Di hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaannya, Rosa justru dipermalukan di depan ratusan pasang mata. Evelyn, mantan kekasih Liam yang menghilang lima tahun lalu, muncul dengan senyum penuh kemenangan, membawa tuduhan keji yang langsung menghancurkan kepercayaan semua orang. Fitnah itu begitu kejam—menyeret masa lalu yang tidak pernah Rosa lakukan, membuatnya tampak seperti wanita penuh dosa di mata keluarga Liam. Saat cinta dan kepercayaan yang dia jaga dengan sepenuh hati hancur begitu saja, Liam hanya bisa berdiri di antara keraguan dan tekanan dari keluarganya. Apakah Rosa benar-benar seperti yang dituduhkan? Terpojok dan dikhianati, Rosa menolak menyerah. Dia bersumpah akan membuktikan kebenaran dan membersihkan namanya, meski dunia seolah bersekongkol untuk menjatuhkannya. Namun, semakin dalam dia menggali kebenaran, semakin banyak rahasia kelam yang terungkap—termasuk fakta bahwa Evelyn tidak datang sendiri. Ketika nyawanya terancam dan kebohongan semakin menjerat, satu pertanyaan besar menghantuinya: Jika cinta Liam tak cukup kuat untuk bertahan di tengah badai ini, apakah dia masih layak untuk diperjuangkan?
View MoreSebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
"Memangnya Rosa kayak gimana?""Apa aku masih harus mengeja?"Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terd
Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya. Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tap
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "Aku akan tetap bersamamu. Aku juga minta maaf soal tadi." Kata-kata itu terasa manis, tetapi juga menakutkan. Bisakah mereka benar-benar bertahan melawan dunia? Wanita itu menarik napas panjang. Dia ingin percaya, tetapi hatinya masih penuh ketakutan. Karena kenyataannya, kepercayaan bisa goyah. Cinta bisa diuji dan janji bisa dilupakan."Aku mohon ...." Liam kembali mengiba. Kedua matanya berkaca-kaca, berbinar menunjukkan cinta.Rosa menghela napas panjang. "Seperti kamu yang percaya sama aku, aku juga harus percaya kalau kamu memang mencintaiku, Mas."Mendengar itu, Liam seketika melebarkan senyum. Sungguh, dia terluka atas tuduhan Evelyn dan khawatir jika memang itu adalah kebenaran, tetapi hati tidak bisa berbohong, Liam sangat mencintai istrinya, takut kehilangan. "Kalian istirahat dulu!" perintah Bu Rini yang langsung ditanggapi dengan anggukan samar dari Liam. Pria itu langsung mengajak istrinya masuk kamar. Mereka melangkah dengan per
“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang. Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan.Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja.Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka."Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua oran
"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas."Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu."Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Seakan baru saja ditampar keras oleh
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang k
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang k...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments