Di hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaannya, Rosa justru dipermalukan di depan ratusan pasang mata. Evelyn, mantan kekasih Liam yang menghilang lima tahun lalu, muncul dengan senyum penuh kemenangan, membawa tuduhan keji yang langsung menghancurkan kepercayaan semua orang. Fitnah itu begitu kejam—menyeret masa lalu yang tidak pernah Rosa lakukan, membuatnya tampak seperti wanita penuh dosa di mata keluarga Liam. Saat cinta dan kepercayaan yang dia jaga dengan sepenuh hati hancur begitu saja, Liam hanya bisa berdiri di antara keraguan dan tekanan dari keluarganya. Apakah Rosa benar-benar seperti yang dituduhkan? Terpojok dan dikhianati, Rosa menolak menyerah. Dia bersumpah akan membuktikan kebenaran dan membersihkan namanya, meski dunia seolah bersekongkol untuk menjatuhkannya. Namun, semakin dalam dia menggali kebenaran, semakin banyak rahasia kelam yang terungkap—termasuk fakta bahwa Evelyn tidak datang sendiri. Ketika nyawanya terancam dan kebohongan semakin menjerat, satu pertanyaan besar menghantuinya: Jika cinta Liam tak cukup kuat untuk bertahan di tengah badai ini, apakah dia masih layak untuk diperjuangkan?
View MoreCahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak
Evelyn masih duduk di sudut kafe bersama Raka, menatap cappuccino-nya yang sudah dingin. Dia merasa hatinya semakin tidak karuan karena sosok tadi. Siapa dia? Mungkinkah dia orang yang mengenal Evelyn?Raka memperhatikan wajah Evelyn yang tampak gelisah. "Kamu kelihatan nggak fokus," ucapnya pelan, "ada yang mengganggu pikiranmu?"Evelyn menghela napas, meletakkan sendok di tepi cangkir. "Aku cuma merasa aneh, kayak ada sesuatu yang nggak beres."Sebuah suara pintu kaca terbuka, membuat Evelyn spontan menoleh. Seorang pria tinggi masuk, mengenakan jas hitam yang tampak mahal. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.Tatapan Evelyn langsung terpaku pada pria itu. Ada sesuatu yang familiar dari posturnya, cara dia berjalan, dan bagaimana dia membawa dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.Raka memperhatikan perubahan ekspresi Evelyn. "Kenapa? Kamu kenal dia?"Evelyn buru-buru menggeleng meskipun rasa curiganya semakin kuat. "Aku nggak yaki
Rosa menatap Rainer dengan dahi berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajahnya."Apa maksudmu, Rainer?" tanyanya dengan nada curiga.Alih-alih langsung menjawab, Rainer tersenyum tipis dan berjalan santai menuju sofa ruang tamu. Tanpa diminta, dia menjatuhkan diri di sana, menyilangkan kaki dengan ekspresi santai seolah ini rumahnya sendiri."Evelyn dan Raka," ucapnya datar, seakan dua nama itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.Rosa terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut, dadanya terasa sedikit sesak. Evelyn dan Raka? Ada sesuatu yang mengusik hatinya saat mendengar dua nama itu disebut dalam satu kalimat."Kenapa kamu tiba-tiba nyebut nama mereka? Dan kenapa kamu tahu aku tinggal di sini? Rainer, sebenarnya kamu siapa? Apa waktu itu bukan kebetulan?" tanya Rosa bertubi-tubi, masih mencoba memahami situasi. Dia masih berdiri di dekat pintu.Rainer menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku pernah mendengar pembicaraan mereka di sebuah kafe. Dan, aku mencoba mencari tahu lebih
Liam melangkah masuk ke dalam kafe yang telah disepakati dalam pesan tadi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, di sudut ruangan, dua sosok yang sudah sangat dikenalnya sedang menunggunya dengan ekspresi puas—Raka dan Evelyn."Kamu akhirnya datang juga," ujar Raka dengan seringai khasnya.Liam menarik kursi dengan kasar dan duduk, menatap keduanya penuh curiga. "Apa yang kalian inginkan?"Evelyn tersenyum, menyilangkan kakinya dengan elegan. "Kami cuma ingin kamu lihat sesuatu."Raka mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar chat yang menunjukkan percakapan mesra antara dirinya dan Rosa. Kata-kata dalam pesan itu seolah menunjukkan bahwa Rosa masih memiliki perasaan untuk Raka, seakan-akan dia hanya berpura-pura mencintai Liam.Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Ini nggak mungkin.""Tapi kamu lihat sendiri, kan?" Raka mendesak. "Nomor dan foto profilnya jelas milik Rosa."Liam menggeleng, menolak percaya. "Aku tahu
"Kamu marah?" tanya Evelyn santai, kepalanya sedikit dimiringkan. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah dia baru saja mengeluarkan kartu as dalam permainan yang sudah dia kendalikan sejak awal. Liam menatapnya tajam. "Aku muak." Evelyn menaikkan alis. "Muak sama siapa? Sama aku atau sama istrimu yang jelas-jelas menyembunyikan sesuatu?" "Rosa nggak menyembunyikan apa pun." "Tapi dia juga nggak terbuka, kan?" Evelyn mendekat. "Liam, kamu terlalu naif kalau berpikir semua ini hanya kebetulan. Kenapa Raka dan pria lain itu muncul setelah kita bertemu lagi? Kenapa selalu ada sesuatu yang membuatmu meragukan Rosa?" Liam mengepalkan tangan. Dia membenci cara Evelyn berbicara—selalu penuh jebakan, selalu berusaha memanipulasinya. "Aku cuma mau bantu kamu," lanjut Evelyn, "kamu bisa bilang aku licik, tapi aku cuma ingin memastikan kamu nggak disakiti lagi. Aku masih orang yang paling tahu gimana perasaanmu kalau dikhianati." Liam menggeram. "Aku nggak butuh bantuanm
Suasana di rumah Rosa masih menegang. Liam berdiri di depan istrinya dengan rahang mengeras, matanya menatap lurus ke arah Rosa yang baru saja mengucapkan sesuatu yang membuat dada seperti dihantam palu godam. "Kenapa diam, Mas?" Suara Rosa bergetar, tetapi tatapannya tetap tegar. "Harusnya kamu senang aku ngomong kayak gini, kan? Gak apa di rumah orang tua aku sendiri, biar aku gak terlalu malu. Jadi, kamu bisa pulang ke rumahmu sama ibumu hari ini." "Enteng!" bentak Liam, nadanya meninggi. Binar luka terpancar jelas dari kedua matanya, "enteng banget kamu ngomong kayak gini, seolah-olah kita nggak pernah saling mencintai." Rosa terdiam, ekspresinya sulit ditebak. "Lantas aku harus gimana, Mas? Kita menikah, tapi belum pernah sehari pun kita bahagia. Bukannya lebih baik berpisah? Kamu bisa balik ke Evelyn sesuai—" "Jangan-jangan kamu yang mau balik ke Raka atau mungkin pria bernama Rainer itu?" potong Liam kasar. Dia tidak benar-benar ingin menuduh, tetapi emosinya sudah di uju
"Kamu nggak perlu tahu siapa yang ngirim foto ini, pastinya sekarang sudah ada bukti kalau kamu itu cuma mau duit anakku," tekan Bu Diana, suaranya tajam seperti pisau yang menusuk dada Rosa. Rosa mengepalkan tangan erat-erat, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya. Gelombang panas menjalar dari ujung kaki hingga kepala, membuat darah berdesir cepat. Itu jebakan. Seseorang telah menyiapkan skenario untuk menghancurkan rumah tangganya dan mereka melakukannya dengan rapi. Tapi siapa? Pikirannya berputar cepat, mencari sosok yang paling mungkin berada di balik semua ini. Evelyn? Wanita itu jelas membencinya dan tak pernah menyembunyikan keinginannya untuk melihat rumah tangga Rosa hancur. Raka? Lelaki itu pun punya cukup alasan untuk menjebaknya, apalagi setelah pertemuan terakhir mereka yang berakhir tanpa kejelasan. Namun, bagaimana mereka bisa mendapatkan foto seperti ini? Apa seseorang diam-diam mengikutinya? "Ibu, aku bisa jelasin," desak Rosa, berusaha meredam getaran
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang k...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments