Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya.
Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tapi ada ketegangan di dalamnya. Mata mereka bertemu, menyalurkan ketidakpastian yang sama kuatnya dengan keyakinan masing-masing. Keheningan menggantung sejenak, menciptakan ruang yang dipenuhi dengan pemikiran yang bertabrakan. Pria itu tahu, ada luka lama yang belum benar-benar sembuh. Istrinya itu pun tahu, tak mudah meyakinkan seseorang yang pernah terluka untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Liam mengalihkan pandangan ke arah jendela, membiarkan pikirannya bekerja lebih cepat dari perasaan. Dia tak percaya begitu saja dengan ucapan yang baru didengarnya, tapi ada sesuatu yang mengusik naluri. Jika memang ada sesuatu yang lebih besar, maka dia harus memastikan segalanya dengan mata sendiri. "Kalau gitu aku ikut," ucap Rosa dengan suara tegas, seakan tak memberi ruang untuk perdebatan. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa dia sudah memutuskan sesuatu dan tak akan mengubah pikirannya. Pria dengan hidung bangir itu menatapnya, jelas tak setuju dengan ide itu. "Ros, ini bukan ide bagus," jawabnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Dia tahu perempuan di depannya keras kepala, tapi ini bukan sesuatu yang bisa dihadapi bersama. "Tapi dia mantan kamu, Mas. Malah dia jelas-jelas mengakui kamu masih jadi miliknya tadi. Kamu pikir aku gak denger itu semua?" "Seperti aku yang percaya sama kamu. Kamu pun harus percaya sama aku." "Baiklah." Suara Rosa hampir terdengar seperti bisikan. Dia tahu dirinya sulit bertindak karena kehadiran Raka. Namun, wanita itu sudah punya rencana sendiri. Jika suaminya tak mau membawanya serta, maka dia akan menemukan jalan itu sendiri. *** Pagi datang lebih cepat dari yang diharapkan. Matahari sudah tinggi ketika Rosa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan penuh pertimbangan. Rencana yang dia susun sudah matang dan dia yakin bisa menjalankannya dengan baik. Kunci mobil ada dalam genggaman, langkahnya ringan tapi penuh kehati-hatian. Namun, saat dia baru saja hendak keluar dari kamar, suara lembut, tapi tegas menghentikan langkahnya. "Mau ke mana?" Suara itu datang dari wanita yang lebih tua, yang kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. Wajahnya menyiratkan kelelahan, tapi sepasang mata tetap tajam, seakan bisa membaca apa yang sedang direncanakan anaknya. Rosa menelan saliva, berusaha untuk tetap tenang. Dia tak ingin berbohong, tapi juga enggan menjawab dengan jujur. Namun, sorot mata di depannya menuntut kejelasan. "Jangan bilang kamu mau ngikutin suamimu," tebak Bu Rini, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Rosa menggigit bibir, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Dia bisa saja mengelak, tapi sang mama terlalu cerdas untuk dibohongi. Wanita paruh baya yang masih terlihat segar itu mendekat karena berusaha menyampaikan sesuatu, suaranya sedikit melembut. "Zaman sekarang pelakor makin berani, Ros Kamu hati-hati," katanya, penuh kekhawatiran. Kalimat itu membuat hati Rosa bergetar, menyadarkan dirinya akan sesuatu yang selama ini selalu dia takutkan. Dia tak ingin terlihat seperti wanita yang cemburu tanpa alasan, tapi apakah ini hanya soal kecemburuan? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari itu? "Tapi Mama tahu Liam ke mana hari ini selain kerja?" "Mama tahu. Tadi waktu kamu lagi mandi, Liam cerita soal Evelyn—" "Dan Mama bilang apa?" "Sudahlah, kamu harus percaya sama Liam. Kamu pun ada masalah yang menyangkut tentang Raka, kan?" Rosa mengangguk lemah. Keinginannya untuk pergi perlahan memudar. Dia tak ingin membuat mamanya semakin cemas, tak ingin menambah beban yang sudah cukup berat di pundaknya. Dengan berat hati, ia memilih untuk tetap tinggal, meski hatinya masih dipenuhi kegelisahan. *** Di sebuah kafe dengan pencahayaan redup, dua orang duduk berhadapan. Aroma kopi menguar di udara, bercampur dengan keheningan yang membentang di antara mereka. Percakapan belum dimulai, tapi tatapan mata sudah cukup untuk menunjukkan ketegangan yang menggantung. Pria itu tetap diam, menunggu lawan bicaranya membuka suara lebih dulu, sementara wanita yang ada di depannya menatap cangkir kopi di tangan, seakan mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya berbicara. "Aku nggak pernah benar-benar pergi karena mau." Suara Evelyn terdengar pelan, hampir seperti pengakuan. Jari-jarinya saling meremas di atas meja, menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Aku pergi buat lindungin kamu, bukan karena aku ninggalin kamu." Liam sengaja mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras. Luka lama kembali menganga, meninggalkan sensasi yang dulu pernah begitu menyakitkan. Dia tak ingin mendengar alasan, tapi suara di depannya terus berbicara. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengamati dari kejauhan. Seorang perempuan duduk di sudut kafe, mengangkat ponselnya dengan gerakan cepat. Jemarinya lincah, menangkap momen yang mungkin akan menjadi awal dari badai baru. Sebuah pesan singkat terkirim dalam hitungan detik, membawa kabar yang bisa mengubah segalanya. "Aku masih ingat semua tentang kita, Liam." Evelyn melanjutkan, suaranya nyaris bergetar. Ada kesungguhan dalam sorot matanya, seakan berharap pria itu akan merasakan hal yang sama. "Dan aku tahu, jauh di dalam hati, kamu masih ingat juga." Jari-jari Liammengetuk meja, pikirannya sibuk memilah-milah kenyataan dan kenangan. Dia tak ingin terjebak di masa lalu, tapi kata-kata itu menggoyahkan benteng yang selama ini dia bangun. Namun, saat ia hendak membuka mulut untuk menjawab, wanita berambut kuning kecokelatan itu kembali bicara. Kali ini, topik yang diangkat membuat mata pria itu menyipit waspada. "Kamu inget Raka, kan?" Nama itu meluncur begitu saja, membawa sensasi tak nyaman dalam dada Liam. Dia menegakkan punggung, menatap lawan bicaranya dengan pandangan penuh selidik. "Aku yakin kamu nggak tau semua tentang istri kamu." "Kamu ngajak aku ketemu cuma buat dengerin ini, Evelyn?" "Liam, aku mencintaimu. Aku gak pernah ninggalin kamu. Di antara kita, kamu yang punya pasangan. Aku berusaha meyakinkan orang tuaku untuk balik ke sini, tapi kabar yang kudengar adalah kamu akan menikah." "Lantas, kenapa kamu datang tepat di hari pernikahanku? Malah menuduh Rosa dan membawa Raka. Sebenarnya apa yang kamu mau?" "Aku mau kamu, tapi tentang Rosa itu bukan kebohongan!" Keheningan langsung memenuhi ruang di antara mereka. Udara di sekitar terasa lebih dingin, lebih menekan. Untuk pertama kalinya dalam percakapan ini, pria itu merasa seakan sedang terjebak dalam permainan yang dia tak mengerti aturannya. "Kalau kamu tahu siapa dia sebenarnya," lanjut perempuan itu, suaranya lebih pelan dan menusuk, "mungkin kamu nggak akan segini percayanya sama dia.""Memangnya Rosa kayak gimana?""Apa aku masih harus mengeja?"Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terd
"Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Rosa, itu nggak mungkin." Mendengar itu, Rosa tersenyum miris. Senyum yang bukan pertanda bahagia, melainkan kepedihan yang begitu dalam. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini semakin menipis. Langkahnya mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Bukan karena takut, tetapi karena ingin melindungi dirinya sendiri. Setiap kali Liam membuka mulut tentang Evelyn, selalu ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya. Tatapan di hadapannya begitu lembut, tetapi juga penuh kebingungan. Seakan-akan pria itu sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Apakah Evelyn benar-benar tidak lagi memiliki tempat di hatinya? Jemari yang tadi hendak menggapainya kini terhenti di udara. Ada keraguan di sana, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun, bagi Rosa, justru itulah yang membuatnya semakin sakit. "Hanya aku yang berjuang di sini," kata Rosa dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, "hanya aku yang berharap kalau pernikahan ini lebih dari sekadar kewajiban." Dada L
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang k
"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas."Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu."Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Seakan baru saja ditampar keras oleh
Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang. Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan.Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja.Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka."Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua oran
“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
"Rosa, itu nggak mungkin." Mendengar itu, Rosa tersenyum miris. Senyum yang bukan pertanda bahagia, melainkan kepedihan yang begitu dalam. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini semakin menipis. Langkahnya mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Bukan karena takut, tetapi karena ingin melindungi dirinya sendiri. Setiap kali Liam membuka mulut tentang Evelyn, selalu ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya. Tatapan di hadapannya begitu lembut, tetapi juga penuh kebingungan. Seakan-akan pria itu sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Apakah Evelyn benar-benar tidak lagi memiliki tempat di hatinya? Jemari yang tadi hendak menggapainya kini terhenti di udara. Ada keraguan di sana, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun, bagi Rosa, justru itulah yang membuatnya semakin sakit. "Hanya aku yang berjuang di sini," kata Rosa dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, "hanya aku yang berharap kalau pernikahan ini lebih dari sekadar kewajiban." Dada L
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
"Memangnya Rosa kayak gimana?""Apa aku masih harus mengeja?"Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terd
Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya. Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tap
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "Aku akan tetap bersamamu. Aku juga minta maaf soal tadi." Kata-kata itu terasa manis, tetapi juga menakutkan. Bisakah mereka benar-benar bertahan melawan dunia? Wanita itu menarik napas panjang. Dia ingin percaya, tetapi hatinya masih penuh ketakutan. Karena kenyataannya, kepercayaan bisa goyah. Cinta bisa diuji dan janji bisa dilupakan."Aku mohon ...." Liam kembali mengiba. Kedua matanya berkaca-kaca, berbinar menunjukkan cinta.Rosa menghela napas panjang. "Seperti kamu yang percaya sama aku, aku juga harus percaya kalau kamu memang mencintaiku, Mas."Mendengar itu, Liam seketika melebarkan senyum. Sungguh, dia terluka atas tuduhan Evelyn dan khawatir jika memang itu adalah kebenaran, tetapi hati tidak bisa berbohong, Liam sangat mencintai istrinya, takut kehilangan. "Kalian istirahat dulu!" perintah Bu Rini yang langsung ditanggapi dengan anggukan samar dari Liam. Pria itu langsung mengajak istrinya masuk kamar. Mereka melangkah dengan per
“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang. Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan.Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja.Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka."Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua oran
"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas."Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu."Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Seakan baru saja ditampar keras oleh