"Memangnya Rosa kayak gimana?"
"Apa aku masih harus mengeja?" Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar. Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terdengar lebih pelan kali ini, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untuk Liam seorang, "aku nggak akan memaksamu kembali saat ini juga, tapi aku masih bisa menunggu." Pria di hadapannya menghela napas panjang. Dada naik turun sebelum akhirnya punggung bersandar pada kursi kayu. Kedua tangan bertaut di atas meja, menandakan bahwa kesabaran mulai menipis. Liam bukan pria yang mudah tergoda kata-kata manis, terlebih ketika datang dari seseorang yang sudah lama menghilang. "Evelyn, kalau kamu ngajak aku ketemu cuma buat bahas ini, lebih baik—" "Jangan!" Evelyn langsung memotong sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. Mata berbinar seperti menyimpan sesuatu yang belum ingin dia lepaskan. "Suatu hari kamu pasti mengerti. Percaya sama aku, Liam. Aku masih Evelyn yang kamu kenal dulu." "Evelyn yang aku kenal? Wanita yang menghilang tanpa sepatah kata pun, padahal mengaku sangat cinta sama aku? Itu maksud kamu?" Wanita yang memiliki rambut lurus itu menatap penuh putus asa lantas berusaha meraih tangan Liam. "Aku masih Evelyn yang sama, yang mencintaimu setulus hati. Untuk itu, aku membawa Raka supaya kamu percaya sama aku. Itu bukan tuduhan palsu, Liam. Raka memang masa lalu Rosa. Aku membawa dia bukan hanya biar kamu ninggalin dia, tapi aku nggak mau Liam-ku jatuh dalam pelukan wanita yang salah." Di sudut lain kafe, seorang perempuan mengamati dengan cermat. Mata bulat yang biasanya penuh keceriaan kini berubah tajam, menyoroti setiap gestur kecil yang terjadi di antara dua orang itu. Jari ramping bergerak cepat di atas layar ponsel, membidik momen yang dirasa penting. Sebuah foto terkirim ke dalam chat pribadi. Di rumah yang diterangi cahaya temaram, Rosa menatap layar ponsel dengan napas tertahan. Jantung berdegup tidak karuan saat melihat foto yang dikirim Naina beberapa menit lalu. Sebuah gambar sederhana, tetapi cukup untuk menimbulkan gelombang kecemburuan yang sulit dibendung. Jari-jari Rosa menggesek layar, memperbesar detail yang terlihat jelas. Liam dan Evelyn duduk berhadapan, dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca sepenuhnya. Seolah ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, sesuatu yang Rosa belum tahu. Telepon di sisi tempat tidur bergetar pelan. Nama Naina muncul di layar. Rosa mengangkatnya tanpa ragu, mendekatkan perangkat ke telinga. "Lo lihat fotonya, kan?" Suara di seberang sana terdengar hati-hati, seakan tahu bahwa percakapan ini bisa memicu ledakan emosi. Rosa menghela napas. "Gue lihat." Suara lebih rendah dari biasanya, hampir seperti berbisik. "Apa lo masih percaya dia?" Tidak ada jawaban langsung. Rosa menatap langit-langit dengan tatapan kosong, mencoba mengabaikan perasaan yang menggerogoti dadanya. Detik berikutnya, tangan mengepal di atas selimut. "Gue janji, gue bakal interogasi dia malam ini." "Lo pengantin baru, baru kemarin malah dan sekarang dia ketemu—" "Evelyn. Dia Evelyn, Naina. Gue udah tahu mereka bakal ketemu, kok. Gue tutup dulu, ya, takut kedengaran nyokap." *** Setelah makan malam, Rosa berjalan menuju kamar dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Pintu ditutup sedikit lebih keras, menarik perhatian Liam yang tengah melepas jam tangan di dekat nakas. Pria itu menoleh, menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Mata tajam menangkap ekspresi dingin yang biasanya hanya muncul saat Rosa sedang marah atau merasa dikhianati. "Ada apa?" Liam bertanya, berusaha meredakan ketegangan sebelum hal-hal yang tidak perlu terjadi. Rosa tidak langsung menjawab. Ponsel disodorkan ke depan wajah pria itu, memperlihatkan foto yang dikirim Naina. Liam menatapnya sekilas lalu mendesah pelan. "Kamu ngikutin aku?" "Bukan aku, Naina melihatmu, Mas." Liam terdiam. "Jelasin kalian ngomong apa sampai tatapannya dalam begitu?"" Pria itu menatap Rosa beberapa detik, kemudian menarik napas panjang sebelum duduk di tepi tempat tidur. Dengan suara rendah dan tenang, diceritakan semuanya. Bagaimana wanita itu membahas masa lalu, membicarakan ancaman yang belum jelas, dan bagaimana Liam dengan tegas menolak semua yang Evelyn katakan. Rosa mendengarkan tanpa menyela, tetapi matanya tetap tajam mengamati setiap perubahan ekspresi Liam. "Ternyata Evelyn masih mendambakanmu, Mas," kata Rosa akhirnya, nada suara lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Liam menatap dalam, membaca sesuatu di balik kata-kata yang baru saja keluar dari bibir istrinya. Sebelum sempat merespons, suara notifikasi mengalihkan perhatian mereka. Ponsel di meja samping bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Rosa mengambilnya dengan dahi mengernyit lalu menatap layar lebih lama dari yang seharusnya. Pesan itu berasal dari seseorang yang tidak pernah dia duga. [Rosa, aku minta maaf karena membuatmu malu kemarin. Evelyn memaksa aku untuk datang. Aku sebenarnya nggak mau ingkar tentang kita yang menjaga aib masing-masing, tapi aku nggak punya pilihan dan jujur, aku masih cinta sama kamu. Kalau Liam nggak baik, kamu bisa balik ke aku. I love you. Dariku, Raka. Tolong jangan blokir aku lagi, yaa.] Jari-jari Rosa menegang di atas layar. Mata berkedip beberapa kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia baca. Liam yang sejak tadi mengawasi, mencondongkan tubuh untuk melihat isi pesan. Ketika nama pengirim terbaca jelas, ekspresi wajah pria itu berubah. Tatapan dingin muncul, rahang mengeras. Tanpa mengatakan apa-apa, Liam meraih ponsel dari tangan Rosa, menatap pesan itu dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan. Hawa di kamar berubah. Ketegangan baru saja dimulai. Perasaan cemburu dan amarah langsung menyusup ke dalam dada. Jemari mengepal erat, rahang mengeras menahan luapan emosi yang siap meledak. "Jadi, ini yang kamu sembunyikan?" Suara Liam terdengar rendah, tapi tajam menusuk. Rosa menatap layar ponsel, perasaan bergejolak di antara kebingungan dan kesal. "Mas, aku nggak tahu dia bakal kirim pesan kayak gini. Lagian udah aku jelasin juga kalau aku nggak kenal sama dia. Entah dia tahu dari mana nomerku ini, Mas. Kamu nggak ngasih nomer aku ke Evelyn, kan?" Liam tertawa kecil, tapi bukan karena lucu—melainkan karena kecewa. "Kamu bisa jelasin nanti, Ros. Tapi sekarang aku pengen tahu satu hal," ujarnya, suara lebih berat. Tatapan mengunci milik Rosa, menunggu jawaban yang bisa mengubah segalanya. "Apa?" "Kamu masih mencintai Raka?""Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Rosa, itu nggak mungkin." Mendengar itu, Rosa tersenyum miris. Senyum yang bukan pertanda bahagia, melainkan kepedihan yang begitu dalam. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini semakin menipis. Langkahnya mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Bukan karena takut, tetapi karena ingin melindungi dirinya sendiri. Setiap kali Liam membuka mulut tentang Evelyn, selalu ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya. Tatapan di hadapannya begitu lembut, tetapi juga penuh kebingungan. Seakan-akan pria itu sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Apakah Evelyn benar-benar tidak lagi memiliki tempat di hatinya? Jemari yang tadi hendak menggapainya kini terhenti di udara. Ada keraguan di sana, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun, bagi Rosa, justru itulah yang membuatnya semakin sakit. "Hanya aku yang berjuang di sini," kata Rosa dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, "hanya aku yang berharap kalau pernikahan ini lebih dari sekadar kewajiban." Dada L
"Saya terima nikah dan kawinnya Rosaline binti Rafaelan Dirgantara dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Suara Liam terdengar mantap, bergema di aula pernikahan yang dipenuhi tamu. Cahaya lampu kristal memantul di kelopak bunga putih yang menghiasi ruangan, menciptakan suasana sakral yang nyaris sempurna. Rosa menatap suaminya dengan senyum lega dengan sepasang mata yang berbinar penuh kebahagiaan. Tangan gemetar itu digenggam erat oleh Liam, seolah ingin menegaskan bahwa sekarang adalah awal baru bagi mereka. Semua orang menahan napas menunggu keputusan penghulu. "Sah!" Suara para saksi menggema serempak, disusul tepuk tangan riuh dari para tamu. Rosa menundukkan kepala, meresapi momen sakral yang baru saja terjadi. Hatinya bergetar, penuh syukur, penuh cinta. Hari ini, dia resmi menjadi istri Liam, pria yang selama ini dia cintai. Senyumnya belum sempat memudar ketika tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu hak tinggi yang menggema di lantai marmer. "Jadi dia yang k
"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas."Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu."Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Seakan baru saja ditampar keras oleh
Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang. Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan.Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja.Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka."Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua oran
“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "Aku akan tetap bersamamu. Aku juga minta maaf soal tadi." Kata-kata itu terasa manis, tetapi juga menakutkan. Bisakah mereka benar-benar bertahan melawan dunia? Wanita itu menarik napas panjang. Dia ingin percaya, tetapi hatinya masih penuh ketakutan. Karena kenyataannya, kepercayaan bisa goyah. Cinta bisa diuji dan janji bisa dilupakan."Aku mohon ...." Liam kembali mengiba. Kedua matanya berkaca-kaca, berbinar menunjukkan cinta.Rosa menghela napas panjang. "Seperti kamu yang percaya sama aku, aku juga harus percaya kalau kamu memang mencintaiku, Mas."Mendengar itu, Liam seketika melebarkan senyum. Sungguh, dia terluka atas tuduhan Evelyn dan khawatir jika memang itu adalah kebenaran, tetapi hati tidak bisa berbohong, Liam sangat mencintai istrinya, takut kehilangan. "Kalian istirahat dulu!" perintah Bu Rini yang langsung ditanggapi dengan anggukan samar dari Liam. Pria itu langsung mengajak istrinya masuk kamar. Mereka melangkah dengan per
"Rosa, itu nggak mungkin." Mendengar itu, Rosa tersenyum miris. Senyum yang bukan pertanda bahagia, melainkan kepedihan yang begitu dalam. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini semakin menipis. Langkahnya mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Bukan karena takut, tetapi karena ingin melindungi dirinya sendiri. Setiap kali Liam membuka mulut tentang Evelyn, selalu ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya. Tatapan di hadapannya begitu lembut, tetapi juga penuh kebingungan. Seakan-akan pria itu sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Apakah Evelyn benar-benar tidak lagi memiliki tempat di hatinya? Jemari yang tadi hendak menggapainya kini terhenti di udara. Ada keraguan di sana, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun, bagi Rosa, justru itulah yang membuatnya semakin sakit. "Hanya aku yang berjuang di sini," kata Rosa dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, "hanya aku yang berharap kalau pernikahan ini lebih dari sekadar kewajiban." Dada L
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
"Memangnya Rosa kayak gimana?""Apa aku masih harus mengeja?"Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terd
Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya. Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tap
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "Aku akan tetap bersamamu. Aku juga minta maaf soal tadi." Kata-kata itu terasa manis, tetapi juga menakutkan. Bisakah mereka benar-benar bertahan melawan dunia? Wanita itu menarik napas panjang. Dia ingin percaya, tetapi hatinya masih penuh ketakutan. Karena kenyataannya, kepercayaan bisa goyah. Cinta bisa diuji dan janji bisa dilupakan."Aku mohon ...." Liam kembali mengiba. Kedua matanya berkaca-kaca, berbinar menunjukkan cinta.Rosa menghela napas panjang. "Seperti kamu yang percaya sama aku, aku juga harus percaya kalau kamu memang mencintaiku, Mas."Mendengar itu, Liam seketika melebarkan senyum. Sungguh, dia terluka atas tuduhan Evelyn dan khawatir jika memang itu adalah kebenaran, tetapi hati tidak bisa berbohong, Liam sangat mencintai istrinya, takut kehilangan. "Kalian istirahat dulu!" perintah Bu Rini yang langsung ditanggapi dengan anggukan samar dari Liam. Pria itu langsung mengajak istrinya masuk kamar. Mereka melangkah dengan per
“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang. Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan.Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja.Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka."Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua oran
"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas."Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu."Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Seakan baru saja ditampar keras oleh