Bab 2. Keraguan

"Benar, Mas. Evelyn itu mantan kamu. Gak menutup kemungkinan dia sengaja merencanakan semua ini supaya kita pisah."

Rosa menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang bercampur aduk. Matanya penuh harap, menunggu Liam mengatakan sesuatu—membelanya, menyangkal tuduhan keji ini, atau setidaknya menunjukkan bahwa dia masih mempercayainya.

Namun, sayang sekali. Liam tetap diam. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk ke arah Raka sebelum beralih ke Evelyn, yang masih berdiri di sana dengan senyum puas.

"Kamu serius percaya omongan mereka?" Suara Rosa bergetar, campuran marah dan kecewa. "Mas, aku bahkan nggak kenal pria itu!"

Liam menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rosa semakin sakit. Itu bukan hanya kemarahan, tapi juga keraguan. Keraguan yang menikam lebih dalam daripada semua tatapan sinis para tamu di ruangan itu.

"Aku nggak tahu harus percaya siapa sekarang," gumam Liam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Seakan baru saja ditampar keras oleh kenyataan, Rosa mundur selangkah. Sementara itu, Evelyn tertawa kecil, suara merdunya terdengar seperti racun.

"Kamu dengar itu, Rosaline? Bahkan suami kamu sendiri nggak yakin sama kamu," katanya dengan nada puas. Dia lalu berbalik pada Liam, "kalau kamu butuh bukti, aku bisa kasih. Aku punya sesuatu yang bisa membuatmu melihat siapa sebenarnya perempuan yang baru saja kamu nikahi."

Tamu-tamu mulai berbisik lagi. Ponsel di tangan mereka masih terangkat, siap merekam setiap detik dari kekacauan itu. Rosa merasa seluruh dunia seakan-akan sedang menertawakan dirinya. Namun, sebelum Evelyn bisa melanjutkan dramanya, suara Liam memecah suasana.

"Nggak perlu. Cukup!"

Nadanya tegas, dingin, penuh ketegasan yang seketika membungkam Evelyn.

"Aku nggak butuh bukti dari kamu, Evelyn. Dan satu lagi, kita sudah selesai. Jangan pernah menganggap aku milikmu!"

Mata Rosa berbinar, sedikit harapan muncul di hatinya. Apakah itu berarti Liam percaya padanya? Namun, sebelum dia bisa bernapas lega, Liam menoleh padanya dan kata-kata berikutnya meremukkan harapan itu seketika.

"Aku mau bicara sama kamu, Rosa. Berdua. Sekarang!"

Nadanya dingin. Tak ada kelembutan. Tak ada ruang untuk perdebatan.

Mendengar itu, Evelyn tersenyum tipis seolah-olah tahu bahwa dia telah berhasil menanamkan benih keraguan dalam hati Liam. "Silakan saja kalau nggak mau bukti lagi, tapi kalau kamu mau tahu lebih banyak, kamu tahu harus mencari siapa."

Dengan angkuh, wanita itu menarik tangan Raka dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan kehancuran yang dia buat. Sementara itu, bisikan para tamu semakin keras. Beberapa di antara mereka menatap Rosa dengan tatapan penuh spekulasi.

"Dengar!" Suara Bu Diana, ibu Liam, memotong ketegangan di antara mereka. "Ibu tidak mau punya menantu seperti Rosa. Dia tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kita."

"Ini sebenarnya ada apa? Siapa wanita tadi? Apa dia kekasih Liam?" Ibunya Rosa akhirnya buka suara, suaranya bergetar antara marah dan bingung. Dia sudah cukup sabar mendengar tuduhan demi tuduhan yang menimpa putrinya.

Namun, sayang sekali karena pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Liam menarik tangan Rosa, bukan dengan kelembutan seorang suami, melainkan dengan ketegangan yang nyata.

"Cepat ikut aku, Rosa!"

Wanita dalam balutan gaun pengantin itu berusaha menahan air matanya. Ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Dia tahu perdebatan ini tidak akan selesai di depan banyak orang. Jadi, tanpa melawan, dia mengikuti Liam keluar dari aula pernikahan mereka.

Langkah mereka tergesa, penuh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Mereka seperti tidak peduli lagi panda tanggapan tamu ketika pengantin meninggalkan ruangan tersebut karena bagi Liam, mereka harus bicara empat mata.

Apabila Rosa mengatakan sesuatu yang dapat melukai harga dirinya, mungkin kata pisah menjadi jalan keluar. Sungguh, tidak ada yang bisa menebak betapa hancurnya perasaan Liam kini.

Begitu sampai di ruangan pribadi, Liam langsung melepaskan genggaman tangannya, seolah menyentuh Rosa adalah sebuah kesalahan.

Tatapannya dingin.

"Kamu dengar apa yang ibuku katakan tadi, kan?"

Rosa menatapnya. Senyum kecil terbit di wajahnya—bukan senyum bahagia, tapi penuh kepahitan. "Aku nggak pantas jadi bagian dari keluarga kalian. Lalu, mau kamu apa, Mas? Kamu pikir mamaku nggak bingung sama kejadian hari ini? Evelyn tiba-tiba datang, menuduh aku orang ketiga dalam hubungan kalian, bahkan berani bilang aku sudah nggak perawan lagi dan kamu diam aja?"

"Jelasin!" perintah Liam tajam.

"Jelasin apa?"

"Kamu tahu apa yang aku maksud, Rosa!" Suaranya naik satu oktaf, sesuatu yang jarang sekali terjadi. "Siapa Raka? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Wanita itu menggeleng cepat, frustasi. "Aku benar-benar nggak kenal dia, Mas. Bahkan aku nggak pernah melihatnya seumur hidupku. Baru hari ini."

"Tapi dia sepertinya mengenalmu dengan baik. Dan Evelyn ... dia terlihat yakin dengan tuduhannya."

Rosa terdiam sesaat, kemudian tertawa kecil—tawa yang terdengar putus asa. "Apa kamu serius mau percaya kata-kata Evelyn, Mas? Dia mantanmu. Dia jelas-jelas ingin menghancurkan kita. Aku nggak tahu apa rencananya, tapi aku bersumpah, aku nggak pernah punya hubungan apa pun sama pria itu."

Liam mengusap wajahnya, frustasi. Tatapannya tetap ragu.

"Mas, kita baru aja menikah. Aku janji akan mencintaimu, setia sama kamu. Aku nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu. Apa kamu benar-benar lebih percaya sama Evelyn ketimbang aku?"

Pria itu terdiam. Pergulatan batin terpampang jelas di wajahnya.

"Mas!"

"Aku mau percaya, tapi Evelyn bukan tipe orang yang bicara tanpa bukti. Dan Raka menyebut namamu dengan jelas. Bagaimana dia bisa tahu namamu kalau dia nggak kenal kamu?"

Mendengar itu, Rosa mendesah panjang. "Aku nggak tahu. Mungkin dia salah orang, mungkin dia dibayar Evelyn untuk mengatakan semua itu. Kamu pikir aku gila kalau mau menghancurkan pernikahanku sendiri? Kamu bisa mengenal Evelyn dengan baik, tapi kenapa nggak bisa kenal aku, Mas?"

Keheningan menggantung, menyesakkan. Rosa melangkah maju, mencoba menyentuh Liam, tapi pria itu justru mundur membuat hati Rosa seketika mencelos.

"Mas, aku mohon." Suaranya lirih, hampir putus asa.

Pria yang memakai kemeja hitam itu menatapnya lama, kemudian berkata dengan suara datar, "Aku butuh waktu."

Seakan seluruh udara di ruangan itu lenyap, Rosa terdiam.

Butuh waktu? Untuk apa? Untuk mempertimbangkan apakah dia akan mempercayai istrinya sendiri atau wanita yang mengkhianatinya di masa lalu?

"Mas, kamu nggak serius, kan?" bisiknya pelan.

Liam tak menjawab.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Rosa, tapi dia menahannya. Dia menolak terlihat lemah.

"Baik. Kalau itu yang kamu mau." Rosa melangkah mundur, menarik napas panjang, kemudian menatap Liam dengan ketegasan baru. "Ayo, balik ke aula. Aku nggak mau ada kesalahpahaman. Aku malu, Mas."

Liam diam sesaat lalu berbisik nyaris tak terdengar, "Ternyata kamu masih punya malu."

Tentu saja, Rosa benar-benar hancur.