Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.
Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan. Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja. Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka. "Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua orang langsung menoleh, seakan menantikan drama yang akan pecah di depan mata mereka. "Ikut Ibu sekarang. Kita pergi dari sini!" Nada suaranya tidak mengizinkan bantahan, penuh dengan otoritas seorang ibu yang merasa anaknya telah dihancurkan. Sementara itu, Rosa merasakan jantungnya mencelos, seakan terseret dalam pusaran badai yang tak kunjung reda. Dia menoleh ke arah Liam, berharap menemukan ketegasan dalam sorot matanya, tetapi yang dia temukan hanyalah kebimbangan. Mata Liam berbicara lebih banyak daripada bibirnya yang terkatup rapat, memperlihatkan perang batin yang berkecamuk di dalam diri. Rosa bisa melihatnya dengan jelas—Liam tidak ingin percaya pada Evelyn, tetapi tekanan yang menghimpitnya terlalu besar untuk diabaikan. Di sisi lain, Bu Diana, ibu Liam, berdiri dengan anggun, tetapi penuh ketegasan. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, selain rasa jijik yang begitu nyata terhadap Rosa. Dengan satu langkah maju, dia menatap Bu Rini dengan sorot mata tajam, seperti ingin mengukuhkan superioritasnya. "Bu Rini, sadarlah," katanya dengan nada rendah, "anakmu sudah mencoreng nama baik keluarga kami." Bu Rini tertawa dingin, tetapi matanya tetap berkilat penuh emosi yang tertahan. Napas memburu, dada naik turun, menunjukkan betapa dia berusaha mengendalikan amarahnya. "Mencoreng nama baik keluargamu? Justru aku yang harusnya bicara begitu!" Suara wanita paruh baya itu bergetar, tetapi tidak kehilangan ketegasannya. "Anakku tidak mungkin melakukan hal menjijikkan seperti yang kalian tuduhkan!" Liam menutup mata sejenak, menarik napas panjang, berusaha mencari keberanian dalam hiruk-pikuk pikirannya. Dia ingin mempercayai Rosa, tetapi seluruh dunia seakan menuntut untuk meragukan istrinya sendiri. Hati kecilnya berteriak bahwa Evelyn sedang memainkan permainan kotor, tetapi logikanya dipaksa mempertimbangkan semua kemungkinan. Di antara tatapan tajam tamu undangan dan tuntutan keluarganya, Liam berada di persimpangan jalan yang begitu menyesakkan. Tatapan ibunya, Bu Diana, begitu dingin. Sementara itu, sepupu-sepupunya, terutama Denny, mulai maju dengan ekspresi penuh amarah. "Liam, lo serius masih mau berdiri di samping cewek ini?" Denny melipat tangan di dada, sorot matanya menekan. "Dia udah ketahuan main belakang dan lo masih bela? Lo pikir harga diri keluarga kita ini mainan?" Pria itu menoleh ke arah sepupunya, rahangnya mengeras. "Gue nggak bilang gue percaya sama Evelyn. Gue cuma ...." Kata-katanya terhenti. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya tanpa terdengar ragu. Dia ingin membela Rosa, tetapi situasi ini membuatnya sulit bergerak. Sepupu lainnya yang bernama via, ikut menyambar. "Lo nggak bisa menggantung di tengah, Liam. Tentuin, lo percaya atau nggak. Jangan bikin keluarga kita malu lebih jauh." Suaranya tajam, menusuk ke dalam hati Rosa yang semakin remuk. Rosa akhirnya mendongak, menatap langsung ke arah semua orang. "Aku nggak melakukan apa yang kalian tuduhkan dan aku nggak butuh kalian untuk percaya." Suaranya tenang, tetapi penuh ketegasan yang mengejutkan semua orang. "Aku hanya peduli pada satu hal, suamiku. Kalau dia sendiri ragu, maka tidak ada gunanya aku menjelaskan apa pun." Mendengar itu, Liam merasa dadanya sesak. Dia ingin berteriak bahwa dia tidak ingin kehilangan Rosa, tetapi lidahnya kelu. Dia berusaha keras mencari cara untuk membela sang istri di hadapan semua orang. Bu Diana yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau memang kamu tidak bersalah, buktikan. Sekarang juga." Suaranya datar, tetapi mengandung tantangan yang membuat Rosa merasa seolah sedang dihakimi di pengadilan. "Jangan menyudutkan putriku!" bentak Bu Rini semakin marah, sedangkan suaminya berusaha tenang meskipun tangan sudah terkepal sempurna. "Liam." Suara Bu Diana yang mengabaikan besannya kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tetapi tetap penuh tekanan. "Kamu masih mau mempertahankan perempuan ini setelah semua yang terjadi?" Sejenak, aula terasa semakin sunyi, semua orang menahan napas menunggu jawaban Liam. Pria itu membuka matanya perlahan, tatapannya langsung jatuh pada Rosa yang masih berdiri tegak di sisinya. Dia bisa melihat kerapuhan di mata itu, sesuatu yang semakin membuatnya sulit mengambil keputusan. "Tolong jelasin, Rosa," kata Liam akhirnya dengan suara yang terdengar berat, penuh tekanan yang membebani pundaknya. Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti pedang yang menusuk dada Rosa tanpa ampun. "Buktikan kamu tidak bersalah atau aku tidak akan bisa melawan orang tuaku." Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya menyisakan debaran jantung Rosa yang terasa menggema di dalam dirinya sendiri. Seketika, tubuh Rosa menegang, merasa dunia runtuh di sekelilingnya tanpa bisa dia hentikan. Matanya membesar, menatap Liam dengan tatapan yang sulit diartikan—kecewa, terluka, dan tak percaya. Kalimat itu menggema di kepalanya, memukul lebih keras daripada semua tuduhan yang telah dia terima saat itu. "Buktikan kamu tidak bersalah." Kalimat itu menggema dalam bayangan Rosa. Sejak kapan beban pembuktian itu ada di pundaknya? Napas wanita itu bergetar, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah, tidak di hadapan semua orang ini. Dia pun menggigit bibir, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, berusaha untuk tetap terlihat kuat. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Rosa dengan suara yang lebih kecil dari biasanya. Dia berharap Liam akan menarik kembali kata-katanya, tapi yang dia temukan hanyalah kebisuan. Sebelum Liam bisa menjawab, suara Bu Diana kembali memotong dengan nada penuh kemenangan. "Kalau kamu memang tidak bersalah, buktikan!" katanya dengan senyum tipis yang menyiratkan keyakinan bahwa Rosa tidak akan bisa melakukannya. Suara itu terasa seperti cambuk yang menghantam punggung Rosa, menyakitkan dan merendahkan. Dia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. "Bagaimana aku bisa membuktikan sesuatu yang bahkan tidak pernah aku lakukan?" Bu Diana mengangkat dagu. "Kalau begitu, anggap saja kamu memang bersalah." Seketika Liam mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan arah percakapan yang semakin menyesakkan dada. Dia ingin menghentikan semua ini, ingin menarik Rosa ke dalam pelukan dan mengatakan bahwa dia percaya padanya. Namun, kakinya terasa terpaku di tempat, seperti ada rantai tak kasat mata yang menahannya. Rosa berdiri diam, dadanya naik turun menahan gelombang emosi yang hampir meledak. Sementara itu, Bu Rini mendekat, meraih tangan putrinya dengan erat, ingin segera menariknya keluar dari neraka tuduhan itu. “Kita pulang, Rosa. Tidak ada gunanya kamu di sini,” ujarnya dengan suara dingin, penuh dengan luka dan rasa malu. .“Tunggu!” Suara Liam menggema ketika melihat Rosa dibawa pergi dari aula yang masih dipenuhi tamu undangan yang terdiam menyaksikan drama itu. Langkah Rosa terhenti, tetapi dia tidak menoleh. Liam menatap semua orang di sekelilingnya, terutama ibunya, lalu menegaskan, “Kalau Rosa pulang, aku akan ikut dengannya!” Pernyataan itu membuat suasana semakin tegang dan wajah Bu Diana langsung mengeras.“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka me
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "Aku akan tetap bersamamu. Aku juga minta maaf soal tadi." Kata-kata itu terasa manis, tetapi juga menakutkan. Bisakah mereka benar-benar bertahan melawan dunia? Wanita itu menarik napas panjang. Dia ingin percaya, tetapi hatinya masih penuh ketakutan. Karena kenyataannya, kepercayaan bisa goyah. Cinta bisa diuji dan janji bisa dilupakan. "Aku mohon ...." Liam kembali mengiba. Kedua matanya berkaca-kaca, berbinar menunjukkan cinta. Rosa menghela napas panjang. "Seperti kamu yang percaya sama aku, aku juga harus percaya kalau kamu memang mencintaiku, Mas." Mendengar itu, Liam seketika melebarkan senyum. Sungguh, dia terluka atas tuduhan Evelyn dan khawatir jika memang itu adalah kebenaran, tetapi hati tidak bisa berbohong, Liam sangat mencintai istrinya, takut kehilangan. "Kalian istirahat dulu!" perintah Bu Rini yang langsung ditanggapi dengan anggukan samar dari Liam. Pria itu langsung mengajak istrinya masuk kamar. Mereka melangkah denga
Langit malam masih gelap ketika Liam duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Percakapan yang baru saja terjadi masih terngiang di kepala, berputar seperti rekaman yang enggan berhenti. Ada sesuatu dalam nada suara di seberang sana yang membuat pikiran pria itu terusik meskipun hati menolak untuk mempercayai sepenuhnya. Di depannya, sang istri berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam dan penuh ketidaksetujuan. Dia sudah mendengar semuanya—tentang telepon yang diterima, tentang janji pertemuan yang diminta. Dan yang paling tidak dia suka, tentang kebimbangan yang kini terlihat jelas di wajah pria itu. “Kamu mau ketemu dia, Mas?” Suara wanita itu terdengar dingin, seperti peringatan yang tak perlu diucapkan dua kali. Ada nada ketegasan yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. Liam menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Dia bilang ini soal nyawa, Sayang.” Kalimat itu keluar dengan nada datar, tap
"Memangnya Rosa kayak gimana?""Apa aku masih harus mengeja?"Liam terdiam. Tak lama kemudian, dia menghela napas panjang beriring harapan bahwa tuduhan itu tidaklah benar.Masih di dalam kafe yang remang-remang, Evelyn menatap pria di hadapannya dengan mata penuh harapan. Aroma kopi bercampur dengan wangi vanilla samar-samar memenuhi udara, tapi suasana di antara mereka terasa tegang. Jemari Evelyn yang lentik menggenggam cangkir cappuccino yang mulai mendingin; pikirannya sama sekali tidak tertuju pada minuman itu. Liam duduk dengan bahu tegap, tetapi ekspresinya jelas tidak nyaman. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan tipis di wajah pria itu, menyoroti rahang tegas yang sedikit mengeras. Tatapan tajam tidak lepas dari perempuan yang kembali datang dengan membawa masa lalu. Bibir Evelyn sedikit bergetar sebelum kembali tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang sejak tadi menggerogoti hatinya. "Aku tahu aku salah, Liam," kata Evelyn dengan suara yang terd
"Mas, aku nggak kenal sama Raka. Kenal aja enggak, apalagi cinta." Suara Rosa terdengar mantap, tanpa keraguan. Mata menatap tajam ke arah Liam, berusaha meyakinkan pria itu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman.Ponsel masih berada di tangan Liam, layar menyala dengan isi pesan yang menusuk pikiran. Tatapan pria itu turun ke layar, membaca ulang kalimat-kalimat dari seseorang yang mengaku mencintai istrinya. Jari menggenggam ponsel lebih erat, rahang menegang, dan napas mulai terasa berat."Kalau nggak kenal, kenapa dia bisa tahu namamu? Kenapa dia bisa ngomong soal ‘menjaga aib masing-masing’?"Sorot mata Liam menyiratkan kecurigaan yang tertahan. Emosi bercampur dalam benaknya, antara percaya dan ragu.Rosa melangkah mendekat, menatap dalam-dalam wajah suaminya yang kini dipenuhi ketegangan. "Aku nggak tahu, Mas. Sumpah, aku nggak tahu siapa dia. Aku nggak pernah punya masa lalu sama siapa pun."Liam mengusap wajah dengan satu tangan, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya di
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Getaran halusnya menggema dalam keheningan kamar. Layar menyala, menampilkan serangkaian kata yang tampak begitu sederhana, tetapi menimbulkan gelombang kecemasan di hati. [Besok, kita harus bicara. Aku akan mengirim alamat kalau sudah di lokasi.] Alis berkerut. Mata terpaku pada layar, membaca ulang pesan itu berkali-kali seakan mencari makna tersembunyi di antara huruf-huruf yang tersusun rapi. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya sebuah ajakan yang terasa begitu mendesak. Jari mengetik cepat, meski hati masih ragu. [Siapa ini?] Balasan datang secepat kilat. [Aku, Evelyn.] Dada terasa mencelos. Evelyn? Wanita itu lagi? Untuk apa dia ingin bertemu? Kemarin baru saja menghampiri Liam, sekarang malah mengirim pesan pribadi seperti ini. Pikiran berputar, menimbang berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Apakah itu jebakan? Atau mungkin ada hal yang benar-benar penting? Jari kembali bergerak, mengetik satu kata p
"Rosa, itu nggak mungkin." Mendengar itu, Rosa tersenyum miris. Senyum yang bukan pertanda bahagia, melainkan kepedihan yang begitu dalam. Dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan ini semakin menipis. Langkahnya mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Bukan karena takut, tetapi karena ingin melindungi dirinya sendiri. Setiap kali Liam membuka mulut tentang Evelyn, selalu ada keraguan yang menyusup ke dalam hatinya. Tatapan di hadapannya begitu lembut, tetapi juga penuh kebingungan. Seakan-akan pria itu sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Apakah Evelyn benar-benar tidak lagi memiliki tempat di hatinya? Jemari yang tadi hendak menggapainya kini terhenti di udara. Ada keraguan di sana, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun, bagi Rosa, justru itulah yang membuatnya semakin sakit. "Hanya aku yang berjuang di sini," kata Rosa dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, "hanya aku yang berharap kalau pernikahan ini lebih dari sekadar kewajiban." Dada L
Udara dingin menusuk kulit saat Rosa berdiri di depan rumah keluarga Liam. Sore yang seharusnya tenang justru terasa begitu menyesakkan. Matanya menatap Jenni yang berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat dengan tatapan yang sulit diartikan. "Mas Liam, aku butuh bicara," kata Jenni terdengar lirih, tetapi cukup jelas untuk membuat Rosa dan Liam saling bertukar pandang. Liam terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, ayo bicara di dalam." Jenni melirik Rosa sekilas sebelum melangkah masuk, sorot matanya penuh kecemasan. Ada sesuatu yang ditahannya, sesuatu yang membuat Rosa merasa tidak nyaman. Begitu mereka duduk di ruang tamu, suasana menjadi berat. Jenni meremas jemarinya, seolah ragu untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalanya. Namun akhirnya, dengan tarikan napas dalam, dia berbicara. "Mas Liam, ada sesuatu yang harus kamu tahu," katanya pelan, suaranya bergetar. Liam mengernyit. "Apa?" Jenni menggigit bibirnya sebelum mengeluarkan ponselnya dan menyerahkann
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak
Evelyn masih duduk di sudut kafe bersama Raka, menatap cappuccino-nya yang sudah dingin. Dia merasa hatinya semakin tidak karuan karena sosok tadi. Siapa dia? Mungkinkah dia orang yang mengenal Evelyn?Raka memperhatikan wajah Evelyn yang tampak gelisah. "Kamu kelihatan nggak fokus," ucapnya pelan, "ada yang mengganggu pikiranmu?"Evelyn menghela napas, meletakkan sendok di tepi cangkir. "Aku cuma merasa aneh, kayak ada sesuatu yang nggak beres."Sebuah suara pintu kaca terbuka, membuat Evelyn spontan menoleh. Seorang pria tinggi masuk, mengenakan jas hitam yang tampak mahal. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.Tatapan Evelyn langsung terpaku pada pria itu. Ada sesuatu yang familiar dari posturnya, cara dia berjalan, dan bagaimana dia membawa dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.Raka memperhatikan perubahan ekspresi Evelyn. "Kenapa? Kamu kenal dia?"Evelyn buru-buru menggeleng meskipun rasa curiganya semakin kuat. "Aku nggak yaki
Rosa menatap Rainer dengan dahi berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajahnya."Apa maksudmu, Rainer?" tanyanya dengan nada curiga.Alih-alih langsung menjawab, Rainer tersenyum tipis dan berjalan santai menuju sofa ruang tamu. Tanpa diminta, dia menjatuhkan diri di sana, menyilangkan kaki dengan ekspresi santai seolah ini rumahnya sendiri."Evelyn dan Raka," ucapnya datar, seakan dua nama itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.Rosa terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut, dadanya terasa sedikit sesak. Evelyn dan Raka? Ada sesuatu yang mengusik hatinya saat mendengar dua nama itu disebut dalam satu kalimat."Kenapa kamu tiba-tiba nyebut nama mereka? Dan kenapa kamu tahu aku tinggal di sini? Rainer, sebenarnya kamu siapa? Apa waktu itu bukan kebetulan?" tanya Rosa bertubi-tubi, masih mencoba memahami situasi. Dia masih berdiri di dekat pintu.Rainer menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku pernah mendengar pembicaraan mereka di sebuah kafe. Dan, aku mencoba mencari tahu lebih
Liam melangkah masuk ke dalam kafe yang telah disepakati dalam pesan tadi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, di sudut ruangan, dua sosok yang sudah sangat dikenalnya sedang menunggunya dengan ekspresi puas—Raka dan Evelyn."Kamu akhirnya datang juga," ujar Raka dengan seringai khasnya.Liam menarik kursi dengan kasar dan duduk, menatap keduanya penuh curiga. "Apa yang kalian inginkan?"Evelyn tersenyum, menyilangkan kakinya dengan elegan. "Kami cuma ingin kamu lihat sesuatu."Raka mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar chat yang menunjukkan percakapan mesra antara dirinya dan Rosa. Kata-kata dalam pesan itu seolah menunjukkan bahwa Rosa masih memiliki perasaan untuk Raka, seakan-akan dia hanya berpura-pura mencintai Liam.Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Ini nggak mungkin.""Tapi kamu lihat sendiri, kan?" Raka mendesak. "Nomor dan foto profilnya jelas milik Rosa."Liam menggeleng, menolak percaya. "Aku tahu
"Kamu marah?" tanya Evelyn santai, kepalanya sedikit dimiringkan. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah dia baru saja mengeluarkan kartu as dalam permainan yang sudah dia kendalikan sejak awal. Liam menatapnya tajam. "Aku muak." Evelyn menaikkan alis. "Muak sama siapa? Sama aku atau sama istrimu yang jelas-jelas menyembunyikan sesuatu?" "Rosa nggak menyembunyikan apa pun." "Tapi dia juga nggak terbuka, kan?" Evelyn mendekat. "Liam, kamu terlalu naif kalau berpikir semua ini hanya kebetulan. Kenapa Raka dan pria lain itu muncul setelah kita bertemu lagi? Kenapa selalu ada sesuatu yang membuatmu meragukan Rosa?" Liam mengepalkan tangan. Dia membenci cara Evelyn berbicara—selalu penuh jebakan, selalu berusaha memanipulasinya. "Aku cuma mau bantu kamu," lanjut Evelyn, "kamu bisa bilang aku licik, tapi aku cuma ingin memastikan kamu nggak disakiti lagi. Aku masih orang yang paling tahu gimana perasaanmu kalau dikhianati." Liam menggeram. "Aku nggak butuh bantuanm
Suasana di rumah Rosa masih menegang. Liam berdiri di depan istrinya dengan rahang mengeras, matanya menatap lurus ke arah Rosa yang baru saja mengucapkan sesuatu yang membuat dada seperti dihantam palu godam. "Kenapa diam, Mas?" Suara Rosa bergetar, tetapi tatapannya tetap tegar. "Harusnya kamu senang aku ngomong kayak gini, kan? Gak apa di rumah orang tua aku sendiri, biar aku gak terlalu malu. Jadi, kamu bisa pulang ke rumahmu sama ibumu hari ini." "Enteng!" bentak Liam, nadanya meninggi. Binar luka terpancar jelas dari kedua matanya, "enteng banget kamu ngomong kayak gini, seolah-olah kita nggak pernah saling mencintai." Rosa terdiam, ekspresinya sulit ditebak. "Lantas aku harus gimana, Mas? Kita menikah, tapi belum pernah sehari pun kita bahagia. Bukannya lebih baik berpisah? Kamu bisa balik ke Evelyn sesuai—" "Jangan-jangan kamu yang mau balik ke Raka atau mungkin pria bernama Rainer itu?" potong Liam kasar. Dia tidak benar-benar ingin menuduh, tetapi emosinya sudah di uju
"Kamu nggak perlu tahu siapa yang ngirim foto ini, pastinya sekarang sudah ada bukti kalau kamu itu cuma mau duit anakku," tekan Bu Diana, suaranya tajam seperti pisau yang menusuk dada Rosa. Rosa mengepalkan tangan erat-erat, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya. Gelombang panas menjalar dari ujung kaki hingga kepala, membuat darah berdesir cepat. Itu jebakan. Seseorang telah menyiapkan skenario untuk menghancurkan rumah tangganya dan mereka melakukannya dengan rapi. Tapi siapa? Pikirannya berputar cepat, mencari sosok yang paling mungkin berada di balik semua ini. Evelyn? Wanita itu jelas membencinya dan tak pernah menyembunyikan keinginannya untuk melihat rumah tangga Rosa hancur. Raka? Lelaki itu pun punya cukup alasan untuk menjebaknya, apalagi setelah pertemuan terakhir mereka yang berakhir tanpa kejelasan. Namun, bagaimana mereka bisa mendapatkan foto seperti ini? Apa seseorang diam-diam mengikutinya? "Ibu, aku bisa jelasin," desak Rosa, berusaha meredam getaran