Share

Bab 03

"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?"

Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak.

"Masa sih?" Jean terlihat sangsi.

"Emangnya kenapa Pak?"

"Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya."

Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak."

Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri."

Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak."

"Ya udah, kamu lanjutin masaknya."

"Baik Pak. Saya permisi."

Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.'

Jean menggeleng. "Ah, aku aja udah lupa gimana rasa kopi buatannya."

*

"Malem Mas."

Jean menengadahkan kepalanya. Sosok Jean yang tak pernah lepas dari laptop kesayangannya itu, melihat ke arah jam tangannya sebelum melihat ke arah Sang istri.

Sekarang hampir pukul 11 malam. Dan dengan santainya, Elisha baru pulang.

"Kok kamu belum tidur? Nungguin aku ya?" tanya perempuan berkulit putih itu sambil memeluk bahu kokoh suaminya dari belakang.

"Hm. Ya gitu deh," jawab Jena sekenanya.

"Oh iya Mas. Gimana? ART-nya udah sampai ke sini?"

"Udah."

"Udah kamu interview?"

"Udah. Tapi cuma profil dia aja. Yang lainnya nggak aku tanyain."

Elisha menganggukkan kepalanya. "Sekarang dia di mana?"

"Udah tidur mungkin. Kan udah mau tengah malam juga."

Wanita cantik yang masih mengenakan blouse dan rok sepan itu mengerucutkan bibirnya. Padahal banyak petuah yang sudah dia siapkan untuk sang ART baru, agar bisa kerja dengan baik di rumah ini.

Tapi karena memang hari sudah malam, jadi ia tidak bisa menyalakan siapapun. "Kalau gitu, aku ke dalam dulu ya Mas. Mau mandi. Gerah banget soalnya."

"Iya udah sana!"

*

Hampir pukul 12 malam ketika Jean masuk ke kamarnya. Dia baru saja menyelesaikan deadlinenya hari ini dan bermaksud untuk istirahat. Namun saat melihat istrinya sedang terlelap hanya mengenakan gaun tidur, membuat hasratnya sebagai pria jadi tergugah.

Dengan perlahan ia mendekati Elisha. Memeluk pinggulnya dari belakang sambil mengecupi pipi wanita cantik tersebut.

"Sha..." panggil pria tampan itu, dengan suara berbisik. Mencoba untuk membangunkan istrinya. "Sha, bangun dong! Mas pengen nih."

"Besok aja ya Mas, aku— capek banget nih." Elisha menepis tangan Sang suami di pundaknya. Dia benar-benar sangat mengantuk.

"Ayolah Sha, satu ronde aja." Ia berusaha membujuk perempuan itu. Berharap istrinya mau diajak kerja sama.

Namun bukannya mengikuti apa yang ia inginkan, malah suara dengkuran Elisha yang ia dengar.

Haah—

Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar. Istrinya benar-benar tidak bisa diandalkan. Padahal mereka sangat jarang untuk bercinta, tapi sekalinya ia ingin, Elisha malah menolak dirinya.

Terpaksa ia harus tidur dengan miliknya yang masih mengeras, walaupun itu tidak membuat Jean merasa nyaman.

***

Seperti biasa pukul 05.00 pagi, Elisha akan bangun dari tidurnya. Ia mengulet. Mencoba merenggangkan otot tubuhnya yang terasa pegal.

Namun ketika pandangan matanya tertuju ke arah sang suami ia jadi ingat satu hal, penolakannya semalam.

Mendadak Elisha dihantui rasa bersalah, sebab ia tidak bisa memuaskan keinginan suaminya dalam hal ranjang.

"Maaf ya, Mas. Kemarin aku udah nolak kamu. Tapi aku beneran capek banget, jadi aku harap kamu bisa ngerti." Elisha mengusap rambut hitam suaminya. Tak lupa memberikan kecupan hangat di dahi sang suami. Sungguh dia jadi merasa berdosa karena hal semalam.

Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk merasa menyesal atau apapun itu. Karena ia harus segera mandi, dan bersiap untuk pergi ke kantor karena ada rapat pagi ini.

Begitu ia siap dengan pakaian rapi dan bersih, juga make up dan rambut yang digulung di belakang tengkuk, wanita itu pun keluar dari kamarnya. Bersiap untuk membangunkan Qila.

"Syaqilaaa... Ayo ba—" Elisha tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena dibuat kaget oleh kehadiran seorang wanita muda, yang sibuk mengepang rambut anaknya. "Kamu— siapa?"

Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nilam langsung berdiri dengan sopan, menyambut kedatangan si nyonya besar. "Pagi Nyonya. Perkenalkan saya Nilam."

"Nilam? Ahh—" Elisha baru ingat, jika kemarin ART yang dia pesan di penyalur sudah mulai bekerja di rumahnya. "Maaf aku lupa. Aku pikir kamu siapa tadi."

Nilam tersenyum kecil. "Iya Bu, nggak apa. Kan kita juga baru pertama ketemu."

Elisha menganggukkan kepalanya dan mulai mendekati anaknya. "Pagi Qila."

"Pagi Ma," sambut sang anak dengan wajah sumringah. "Liat Ma, Mbak Nilam ngepang rambut Qila lho. Bagus banget."

Elisha tersenyum bahagia melihat wajah ceria anaknya. "Wah, iya... Anak Mama jadi makin cantik deh."

Bocah berusia 7 tahun itu nyengir lebar. Senang sekali dapat pujian demikian.

"Oh iya. Mama mau bicara ama Mbak Nilam dulu boleh?" tanya Elisha. Yang dibalas dengan anggukan setuju oleh sang anak.

Begitu Qila sudah pergi keluar Nilam langsung mendekati majikannya ini.

"Nilam, sebenarnya kerja kamu di sini nggak banyak kok. Kamu cuma perlu masak ama bersih-bersih aja. Soal Qila, biar saya ama Papanya yang urus."

Nilam hanya menundukkan kepalanya sebagai rasa sopan ketika Elisha berbicara.

"Trus, selama tiga bulan ini, kamu masih dalam masa training. Soalnya saya mau tau gimana kinerja kamu. Nanti kalau training-nya udah selesai dan saya cocok sama pekerjaan kamu, gajinya pasti bakal saya naikkan kok. Gimana? Kamu nggak keberatan kan?"

Nilam menggeleng. "Enggak kok Bu. Saya nggak masalah. Malah ini bisa jadi motivasi buat saya biar kerja lebih bagus, dan Ibu— jadi cocok buat terima saya."

"Tapi, kamu ini masih muda banget lho? Beneran kamu mau kerja kasar kayak gini?"

"Yah, gimana lagi Bu. Nyari kerja jaman sekarang kan susah banget, jadi selagi itu halal, kerjaan apa aja ya bakal saya ambil."

Elisha tersenyum kagum dengan cara berpikir Nilam yang cukup dewasa. "Bagus deh kalau gitu."

"Ya udah, sekarang kamu pergi ke dapur dan sahabat sarapan buat kami ya!" perintah Elisha.

"Mau sarapan apa Bu?"

"Yang simpel aja sih. Nasi goreng juga boleh. Pakai telur mata sapi ya. Telurnya setengah matang untuk Bapak, saya sama Qila minta yang mateng." Elisha menjelaskan semua yang harus Nilam lakukan dalam satu tarikan nafas. "Dan sama satu lagi, moga kamu betah kerja di sini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status