Share

Bab 02

Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik.

"Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun."

Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini."

Jean kaget.

ART? Mustahil.

Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah.

"Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya.

"Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok."

Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?"

"Ni— Nilam Pak."

"Ya udah bentar."

Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur tenaga kerja. Memastikan, apa perempuan di depan sana, benar-benar orang yang mereka kirim untuk menjadi asisten rumah tangga di sini.

*

Nilam berdiri diam di dekat pintu masuk. Gadis 20 tahun itu menunggu dengan sabar calon majikannya tadi.

Sekitar lima menit ia menunggu, sampai akhirnya Jean kembali keluar dan mendekatinya.

"Gimana Pak?" tanya Nilam, dengan suaranya yang terdengar lembut dan juga sopan.

"Ternyata kamu beneran orang yang mereka kirim," balas Jean agak lesu.

Bukannya apa-apa, menurutnya terasa aneh jika ada orang secantik Nilam yang mau bekerja kasar seperti ini.

"Benarkan. Saya itu nggak bohong Pak." Gadis itu tersenyum.

"Ya udah, masuk! Saya harus interview kamu dulu!"

Nilam menganggukkan kepalanya, sembari mengikuti langkah kaki sang majikan yang lebih dulu berjalan masuk ke dalam. Keduanya duduk berhadapan di area ruang tamu, dan mulai berbincang.

"Jadi nama kamu Nilam ya?"

"Iya Pak."

"Umur kamu berapa?"

"Tahun 21, Pak."

'Wah, ternyata beneran masih muda banget?' pikir Jean. "Pernah jadi ART sebelumnya?"

"Belum Pak," jawab Nilam jujur. "Dulu setelah lulus SMA saya langsung kerja di pabrik 2 tahun lalu karena ada PHK, saya milih untuk ikut penyalur."

"Berapa lama kamu di sana?"

"Kurang lebih enam bulan Pak."

Pria berkulit sawo matang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gitu ya. Tapi ngerti kan sama pekerjaan rumah? Soalnya istri saya itu agak bawel."

"Oh, kalau itu Bapak tenang aja. Saya jago kok kalau bersih-bersih. Masak juga Pak. Kalau nggak, mana mungkin saya di kirim ke sini."

"Oke. Bagus deh kalau gitu."

Nilam tersenyum. Begitu manis hingga membuat Jean agak salah tingkah. "Oh iya. Masalah gaji, kamu bicarakan aja ya ama istri saya!"

"Baik Pak." Perempuan muda itu menganggukkan kepalanya dengan mimik wajah malu-malu.

"Ya udah, sekarang saya tunjukin di mana kamar kamu!" Jean berdiri dan mengajak Nilam untuk melihat kamarnya.

Mereka berhenti di sebuah ruangan 3*3 meter. Cukup besar untuk ukuran sebagai seorang ART.

"Bagus banget Pak kamarnya?" Nilam berdecak kagum.

"Masak sih? Padahal biasa aja."

Nilam menggaruk belakang kepalanya. Kamar ini cukup mewah untuk ukuran dia yang hanya orang dari kalangan menengah ke bawah. Meskipun cuma diisi singel bed, nakas di bagian kanan dan kiri ranjang, serta lemari pakaian saja. Ah, bahkan di sini ada televisi.

"Udah sana istirahat! Buat jadwal apa aja yang harus kamu kerjakan nanti urus aja ama Ibu."

"Trus saya habis ini harus ngapain Pak? Nggak mungkin dong saya istirahat sampai malam?"

Jean terlihat berpikir. "Ehm, kalau gitu kamu masak aja buat makannya Qila."

"Qila?"

"Qila itu anak semata wayang kami. Kalau jam segini dia biasanya masih sekolah."

"Oh." Perempuan cantik itu mengangguk. "Baik Pak, saya mengerti."

Begitu Jean pergi dari dalam kamarnya, Nilam segera menata bajunya dari dalam ransel ke lemari pakaian. Bajunya tidak banyak, namun rata-rata terdiri dari daster selutut, tank top, atau celana pendek. Maklum, udara di Jakarta begitu panas di malam hari. Jadi dia lebih nyaman dengan pakaian seperti ini.

Sedangkan untuk bekerja, ada beberapa potong seragam dari penyalur yang bisa ia kenakan. Setidaknya dia tidak akan bingung kalau harus mencari baju apa saat bekerja.

Selesai menata semua pakaiannya, Nilam langsung keluar dari kamarnya. Lalu memasak makan siang untuk anak Sang majikan.

Namun saat berada di depan kulkas, ia malah dibuat bingung dengan menu apa yang harus dia buat.

"Ngapain kamu?"

"Eh?" Saat mendengar teguran Sang majikan, Nilam pun langsung berdiri dan menatap lurus ke arah pria 30 tahunan tersebut.

"Ini Pak, saya kan mau buat makan siang buat Mbak Qila. Tapi saya bingung harus masak apa."

Jean yang tadinya akan membuat kopi, terlihat mengerutkan keningnya. Tampak berpikir sejenak sebelum berujar, "Masakin yang simpel aja. Itu ada ayam ukep, kamu goreng aja. Sama buatin sayur sop. Itu menu kesukaannya Qila."

"Bapak sendiri?"

Jean menggeleng. "Kalau aku sih nggak biasa makan siang. Cukup ngopi aja," terangnya sambil memamerkan cangkir kopi yang hendak ia gunakan.

"Oh. Kalau gitu, gimana kalau saya yang buatkan kopi?" tanya perempuan berkuncir satu tersebut. Berusaha menawarkan diri.

Lagi-lagi, pria bertubuh atletis itu tidak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya...

"Boleh deh. Takarannya dua sendok kopi dan satu sendok gula."

Nilam mengulum senyum yang menawan. Dan hal itu membuat Jean sedikit terpanah. "Anterin ke ruang kerja saya ya. Saya, ada di sana."

"Baik Pak. Tunggu sebentar."

*

Nilam begitu percaya diri saat mengaduk kopi untuk sang majikan. Orang terdekatnya bilang, kopi buatannya yang paling enak dan pas.

Jadi saat ia memberikan cangkir berisi cairan warna hitam itu pada Jean, ia tampak begitu bangga untuk menunggu pujian sang majikan.

"Silahkan Pak, kopinya." Nilam menyodorkan cangkir kopi buatannya setelah Jean mengizinkan ia masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Oh. Makasih ya." Pria itu tersenyum kecil. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ada yang membuatkan kopi khusus untuk dirinya.

Jean langsung menyeruput kopi itu dengan hati-hati karena masih panas. Menyesap rasa manis dan pahit yang bercampur di dalam mulutnya. Ia bahkan bisa mencium aroma yang berbeda dari uap yang mengepul dari cangkir bermotif batik tersebut.

"Gimana Pak? Udah cocok sama selera Bapak?" Nilam bertanya dengan hati-hati. Karena ini hari pertamanya kerja, jadi dia harus memberikan pelayanan terbaik untuk majikan yang akan membayarnya.

"Kok kopinya beda?" Kening Jean berkerut heran.

"Be— beda gimana Pak?" Nilam balik bertanya. Wajah serius pria berkulit Tan itu malah membuatnya panik. 'Apa dia salah memberikan takaran? Atau kopinya terlalu pahit ya?'

"Rasa kopinya..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status