"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?"
"Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan
"Ibu belum pulang Pak?"Suara lembut Nilam, berhasil membuat Jean yang sibuk mengetik naskah novelnya, langsung menoleh ke arah si pembantu.Dengan kedua bola matanya, dia memperhatikan Nilam yang datang ke arahnya sambil membawa secangkir Kopi Hitam."Iya nih. Kayaknya dia lembur lagi," jawab Jean sekenanya. Sebenarnya dia juga membalas kalau harus membahas Elisha yang sering pulang telat seperti ini."Silahkan kopinya Pak, temen buat begadang." Perempuan berpakaian rok pendek selulut serta sweater beebahan rajut sebagai atasan ini, menyodorkan cangkir kopinya ke arah Jean. Berharap cairan itu bisa sedikit mengurangi rasa suntuk si majikan."Ibu Elisha, sibuk banget ya Pak. Pergi pagi-pagi banget, terus pulangnya juga malem banget."Jean melirik ke arah Nilam. Wajahnya yang mengeras membuat perempuan 20 tahun itu langsung mengatupkan bibirnya. "Maaf Pak, saya nggak bermaksud—""Enggak kok, Nilam. Apa yang kamu bilang ba
"Mas...""Lagian, buat apa itu semua kalau Qila harus kehilangan peran ibu yang sangat dia sayangi? Buat apa?" tukas Jean."Mas... Udah dong! Jangan membesar-besarkan masalah ini!" pinta Elisha lagi."Kamu— aku bingung sama kamu Sha! Kamu kayak orang lain aja sekarang. Kamu beda dengan Elisha yang dulu."Jean mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang. Ia pijat pelipisnya guna menghilangkan rasa pening di kepalanya. Dia begitu lelah menghadapi perangai istrinya.Elisha terdiam. Dia tau dia salah. Dia sadar kalau ia banyak berubah. Tapi dia bisa apa selain tetap diam dan pasrah. Dia banyak menanggung beban berat yang hanya bisa dia sendiri yang rasakan.Selama beberapa waktu, keduanya tidak saling mengatakan apapun dan sibuk larut dalam pikirannya masing-masing."Aku mau ke kamar Qila. Mau pamit ke dia kalau nggak bisa ikut ke puncak."Jean memandangi istrinya yang menggamit tas jinjingnya dan pergi ke luar dari ka
"Yakin kamu nggak mau pergi?""Enggak. Qila mau istirahat aja di kamar."Jean menatap sendu putrinya. Melihat anaknya tidak bersemangat dan sedih karena Elisha, membuat ia jadi kesal."Ya udah kalau gitu. Papa, mau ke luar dulu ya. Nanti kalau butuh apa-apa kamu panggil Papa aja."Qila menganggukkan kepalanya. Dan memilih untuk tiduran di ranjang dan istirahat. Sungguh dia sangat kecewa karena ulah mamanya.***Jean terlihat lesu saat keluar dari kamar anaknya. Ia berjalan gontai ke arah ruang tamu dan langsung duduk di single sofa. Dari arah luar terlihat Nilam yang berjalan ke arahnya.Melihat bosnya tidak baik-baik saja, Nilam pun bertanya, "Bapak kok di sini? Jalan-jalannya nggak jadi Pak?"Jean yang sedang memijat pelipisnya, langsung menoleh ke arah perempuan itu. "Enggak. Kamu kan liat sendiri, Elisha lembur lagi hari ini.""Saya kira bapak pergi berdua sama Mbak Qila.""Dia nggak mau. K
"Termasuk kamu kan?" tukas Elisha tanpa tanggung-tanggung. Dikta ingin mengelak. Tapi karena dia pikir untuk apa menutupi perasaannya itu, jadi dia langsung membenarkan ucapan Elisha. "Lebih ke penasaran aja sih sebenernya. Bukan yang benar-benar tertarik." Sang sekertaris hanya bisa membuang nafas dengan kasar. Sudah dia duga, jika Dikta memang tidak bisa serius hanya pada satu wanita saja. Termasuk dengannya dulu. "Tapi Nilam itu tipe yang susah ditaklukkan. Aku sendiri heran bagaimana bisa membuatnya tertarik padaku," ucap Dikta dengan pandangan menerawang. Selama tiga bulan Nilam magang di perusahaannya, tidak sekalipun dia punya kesempatan untuk mendekati gadis berparas cantik tersebut. Bahkan hanya sekedar mencicipi bibir ranum nya saja, Dikta kesulitan. "Berhubung kedekatan kita udah nggak kayak dulu, aku mau minta saran ke kamu, Sha.". "Saran buat apa?" "Yah— siapa tau kamu punya ide su
Malam harinya, Nilam sedang tiduran di sofa dengan menggunakan paha sang Mama sebagai bantalnya. Gadis itu terlihat bermanja-manja bersama Bu Mala sambil menceritakan semua kejadian hari ini."Apa?! Jadi yang bantu Jean selama ini Papa kamu?""Iya, Ma. Papa bilang bakal nyerahin tanggung jawab mimpi perusahaan yang dia bangun ke kak Jean. Sementara aset sisanya bakal dikasih ke aku sama mama."Bu Mala terlihat syok. Dia tidak menyangka jika Jean akan mendapatkan keberuntungan seperti itu."Papa bilang, kak Jean sudah banyak membantu mengembangkan perusahaan selama Papa drop. Belum lagi, pas Papa sakit kak Jean juga setia nemenin Papa," Nilam kembali melanjutkan ceritanya."Menurut Mama gimana?" Tanya Nilam, mau minta pendapat kepada sang Ibu mengenai keputusan pak Wijaya."Rasanya itu udah wajar, Nilam." Bu Mala membalas dengan bijak. "Jean kan juga turut andil selama beberapa bulan ini, dan kalau kita liat hasilnya, sepertinya p
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"Jean menatap sungkan ke arah Pak Wijaya. "Jujur, waktu bapak pertama kali menunjukkan foto masa kecil Nilam ke saya, saya juga belum tau kalau Ayunda yang dimaksud itu dia Pak," jelas Jean. "Saya juga baru tau kalau Ayunda dan Nilam ternyata satu orang saat saya berkunjung ke rumah Bu Mala."Nilam hanya menggigit bibir bawahnya. Ternyata selama ini Jean juga banyak menutupi masalah tersebut darinya."Ternyata dunia sesempit itu ya?" ucap Pak Wijaya. "Tapi bapak bersyukur dan ngerasa lega karena kamu yang jadi pacarnya, Ayunda."Nilam berdecak. Sungguh, nama itu sangat di benci olehnya.Pak Wijaya menoleh ke arah Nilam dan tersenyum. Dia merasa senang karena Jean berhasil membawa putrinya bertemu dengannya."Ayu—""Nilam! Panggil aku itu!" sergah gadis 20 tahun tersebut.Jean memegangi tangan kekasihnya itu. Mengode Nilam agar lebih tenang."Nilam..." Jean melirik ke arah kekasihnya dengan ekor mata. "Tolo
Nilam buru-buru ke rumah sakit yang Jean sebutkan di telfon. Ia di antar oleh Surya langsung menuju ke lokasi dengan perasaan kalut. Dia takut pacarnya itu kenapa-kenapa. Sebab Jean sendiri tidak menjelaskan apapun ketika memintanya datang ke sana."Kak Jean!" Begitu melihat kekasihnya, Nilam langsung berlari dan menghamburkan pelukannya ke dalam dekapan Jean.Sambil menangis dia terus saja bertanya bagaimana keadaan Jean, mana yang sakit, bagaimana kronologinya, bahkan gadis itu sama sekali tidak memberi kesempatan untuk Jean buka suara. Pria itu hanya berdiri sambil membalas pelukan Nilam."Nilam... Aku nggak apa-apa!"Nilam melepaskan pelukannya. Ia pindai sekujur tubuh Jean untuk memastikan apakah duda di depannya ini hanya berusaha untuk menenangkannya."Serius kakak nggak apa-apa?""Iya." Ia tersenyum lembut sambil menyeka jejak basah di pipi Nilam. "Liat sendiri kan aku nggak kenapa-kenapa.""Terus kenapa kakak di
"Jean..."Panggilan lemah pria itu makin membuat Jean merasa bersalah. Karena belum bisa mewujudkan keinginan Pak Wijaya sebulan yang lalu."Gimana acara ulang tahun mantan istri kamu kemarin? Lancar?"Jean menatap sendu pria paruh baya tersebut. Tidak menyangka hal itulah yang pertama kali ditanyakan oleh beliau. Padahal kondisinya sedang tidak baik, tapi Pak Wijaya masih sempat memikirkan orang lain."Lancar Pak. Walaupun ada sedikit ketegangan.""Kenapa? Apa mantan istri kamu cemburu karena kamu membawa pacar baru kamu ke acara itu?"Jean diam selama beberapa saat. Sebenarnya itu bukan masalah penting yang harus dia ceritakan pada Pak Wijaya."Kamu harus tegas, Jean."Pria itu mendongak dan menatap lurus ke arah Pak Wijaya."Kamu harus bisa memposisikan diri sebagai ayah dan pasangan yang baik," lanjut Pak Wijaya."Saya bingung Pak," desis Jean. "Setiap bersama anak saya, saya seperti orang
"Qila."Bocah 8 tahun yang sedang duduk di sofa sambil memperhatikan sang mama yang sedang memakaikan kaos kaki untuknya tersebut, hanya menaikan alisnya ketika sang Mama memanggil namanya."Ada apa Ma?" tanya bocah itu dengan nada riang seperti biasanya."Mama boleh cerita ke kamu nggak?" tanya Elisha dengan wajah lesu yang dibuat-buat."Cerita apa?""Mama— sebenarnya nggak suka ama Mbak Nilam."Ucapan tak terduga Elisha itu tidak langsung dapat tanggapan dari putrinya."Kamu sadar nggak sih sayang, kalau Mbak Qila itu pinter banget ngerebut perhatian Papa dari kamu," lanjut Elisha mulai meracuni otak polos putrinya."Hem?""Inget nggak kemarin? Pas kamu maksa Papa buat makan sama-sama kita? Tapi, Papa kamu malah mau anterin Mbak Nilam pulang dibandingkan kumpul sama kamu," tutur Elisha sambil mengerutkan keningnya. Memasang ekspresi sedih guna menarik simpati Qila."Tapi kan abis itu Papa mau
Sepanjang acara makan tersebut, Elisha terus memancing putrinya untuk membahas hal-hal yang sering mereka lakukan saat masih menjadi keluarga yang utuh. Dari mulai hal yang sepele sampai ke hal-hal yang romantis. Jean sebenernya tidak ingin terlalu menanggapi. Kecuali jika anaknya bertanya atau mengatakan sesuatu padanya.Pria itu berusaha menjaga perasaan Nilam yang tampak semakin tidak nyaman di situasi tersebut. Sampai akhirnya, Jean mengambil alih suasana."Dulu juga pas Mama sibuk kerja kita mainnya seru banget ya, Qila. Belajar masak sama Mbak Nilam, buat kue, buat cemilan.""Wah, iya Pa. Dulu seru banget pas belajar bikin cup cake ama Mbak Nilam. Dihias-hias juga lagi." Qila menanggapi dengan antusias."Qila mau masak bareng lagi nggak kapan-kapan?" tanya Nilam yang akhirnya bisa masuk ke tengah obrolan mereka."Mau banget lah, Mbak. Nanti ajarin bikin donat ya?" pinta Nilam."Siap, Mbak Qila.""Qila jadi kangen p
Jean menarik nafas panjang. Ia sudah janji pada Bu Mala untuk tidak membuat Nilam kecewa."Sayang..." Jean membungkukkan punggungnya agar sejajar dengan Qila. "Makan malamnya lain kali aja nggak apa kan?"Qila mengerutkan keningnya. Tampak tidak setuju dengan ucapan sang Papa. "Papa harus nganterin Mbak Nilam pulang. Kan kasian kalau Mamanya khawatir."Nilam yang berdiri di belakang Jean mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun jujur saja, dia merasa girang karena Jean memihaknya."Kan Mbak Nilam udah besar, dia bisa pulang sendiri Pa," rengek Qila. Ia terlihat ingin menangis karena penolakan sang Papa."Tapi Papa tadi ke sini kan sama Mbak Nilam, masa sekarang Mbak Nilam harus pulang sendiri? Kan bahaya sayang." Jean berusaha membujuk putrinya. "Lain kali Papa janji kita bakal makan sama-sama.""Papa jahat! Papa udah nggak sayang lagi ya ama Qila!""Enggak gitu sayang... Papa—""Mas! Ayo dong! Toh cuma
"Suapan pertama mau mama kasih ke Qila..." Dengan wajah sumringah ia menyuapi putrinya itu."Makasih Ma," balas Qila happy."Suapan kedua buat..." Elisha terlihat ragu-ragu untuk menyebut nama Jean. Tapi dari tatapan matanya jelas mengisyaratkan untuk siapa suapan tersebut."Buat Papa aja Ma!" Qila lebih dahulu memotong. Dan tentu saja itu bisa jadi alasan yang bagus buat Elisha."Kalau Papa kamu mau Qila," desis Elisha lirih.Jean hanya diam saja. Sementara Nilam, jangan ditanya, ekspresi wajahnya sudah tidak enak sejak tadi."Papa! Papa mau kan disuapin Mama?" tanya Qila sambil menggunvangkan lengan lelaki itu.Duda tampan itu hanya melirik ke arah Nilam. Namun kali ini, Nilam memilih untuk pura-pura tidak melihatnya."Papa..." rengek Qila.Demi Qila, Jean terpaksa membuka mulutnya dan menerima suapan dari Elisha."Yai..." Qila berseru semakin senang. "Selamat ulang tahun ya Mama.""