"Mas..."
"Lagian, buat apa itu semua kalau Qila harus kehilangan peran ibu yang sangat dia sayangi? Buat apa?" tukas Jean."Mas... Udah dong! Jangan membesar-besarkan masalah ini!" pinta Elisha lagi."Kamu— aku bingung sama kamu Sha! Kamu kayak orang lain aja sekarang. Kamu beda dengan Elisha yang dulu."Jean mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang. Ia pijat pelipisnya guna menghilangkan rasa pening di kepalanya. Dia begitu lelah menghadapi perangai istrinya.Elisha terdiam. Dia tau dia salah. Dia sadar kalau ia banyak berubah. Tapi dia bisa apa selain tetap diam dan pasrah. Dia banyak menanggung beban berat yang hanya bisa dia sendiri yang rasakan.Selama beberapa waktu, keduanya tidak saling mengatakan apapun dan sibuk larut dalam pikirannya masing-masing."Aku mau ke kamar Qila. Mau pamit ke dia kalau nggak bisa ikut ke puncak."Jean memandangi istrinya yang menggamit tas jinjingnya dan pergi ke luar dari ka"Yakin kamu nggak mau pergi?""Enggak. Qila mau istirahat aja di kamar."Jean menatap sendu putrinya. Melihat anaknya tidak bersemangat dan sedih karena Elisha, membuat ia jadi kesal."Ya udah kalau gitu. Papa, mau ke luar dulu ya. Nanti kalau butuh apa-apa kamu panggil Papa aja."Qila menganggukkan kepalanya. Dan memilih untuk tiduran di ranjang dan istirahat. Sungguh dia sangat kecewa karena ulah mamanya.***Jean terlihat lesu saat keluar dari kamar anaknya. Ia berjalan gontai ke arah ruang tamu dan langsung duduk di single sofa. Dari arah luar terlihat Nilam yang berjalan ke arahnya.Melihat bosnya tidak baik-baik saja, Nilam pun bertanya, "Bapak kok di sini? Jalan-jalannya nggak jadi Pak?"Jean yang sedang memijat pelipisnya, langsung menoleh ke arah perempuan itu. "Enggak. Kamu kan liat sendiri, Elisha lembur lagi hari ini.""Saya kira bapak pergi berdua sama Mbak Qila.""Dia nggak mau. K
Jika Elisha dan Dikta sedang menikmati hubungan terlarang itu di kantor. Berbeda dengan Jean yang sibuk mengabadikan moment saat Qila dan juga Nilam yang sedang membuat cupcake berdua. Qila yang tadinya marah dan tidak mau ke luar kamar, akhirnya patuh saat Nilam mengajaknya memasak kue. Dan kini, gadis kecil itu terlihat kembali ceria dan bersemangat lagi ketika Nilam membantunya menghias kue. "Nanti kalau kuenya udah matang, Mbak Qila bisa tunjukin ini ke Mama." Dengan senyum ceria, Nilam mengajak Qila menghias kue buatan mereka dengan sprinkle dan messes. "Emang Mama mau Mbak?" "Ya jelas mau dong. Kan ini buatannya Mbak Qila. Mbak Nilam jamin, Mama Elisha pasti bakal happy banget saat dapat kue ini. Mbak juga yakin, capeknya Mama setelah di kantor bakal hilang setelah makan kue buatan Mbak Qila." Bocah cantik itu meringis lebar. Senang sekali mendengar afirmasi positif yang Nilam katakan. Jangan ditanya ap
Jean kian mendekat ke arah Nilam sambil mengendus aroma parfum tersebut. Saking senangnya dengan bau wangi dari tubuh Nilam, pria itu sampai tidak sadar saat ia sudah menghimpit badan ramping Nilam di antara tubuhnya dan meja makan.Bahkan tidak cuma itu, ia mulai mengulurkan kepalanya untuk mengendus aroma wangi itu lebih dekat lagi. Nilam yang disudutkan begitu tentu saja langsung menahan dada bidang Jean dengan kedua tangannya. Gadis cantik itu juga sempat memanggil nama si majikan beberapa kali agar menjaga jarak darinya. Tapi sayangnya, Jean seolah menulikan telinganya."Ahhh..." Suara desahan nakal itu terdengar lolos begitu saja dari bibir Nilam ketika hidung mbangir Jean menyentuh perpotongan lehernya. Area yang selalu menjadi titik sensitif seorang Nilam.Jean yang mendengar suara desahan Nilam, bukannya berhenti malah justru terus melancarkan aksinya. Ia menciumi leher putih mulus itu dengan hidung mbangirnya hingga membuat si empunya leher mendo
Mendengar Jean masih meragukan dirinya. Nilam pun kemudian berkata, "Kalau bapak nggak percaya, buka aja sendiri Pak!"Jean menyeringai saat mendapatkan lampu hijau dari Nilam. Jadi tanpa ragu-ragu, Jean pun mulai melepas kaitan bra di punggung Nilam."Gimana Pak? Bagus nggak?"Jean tak menjawab. Dia hanya diam tak berkedip memperhatikan milik perempuan 20 tahun yang tersaji di depan matanya."Pak? Gimana?""Pak Jean!""Pak!!!"****"Pak Jean?""Eh— hah?! Apa?!" Jean tersentak dari pikiran mesumnya. Ia menoleh ke belakang dengan wajah bingung yang membuatnya terkesan seperti orang bodoh.Nilam mengerutkan keningnya saat memperhatikan si bos gelagapan seperti itu. Entah apa yang dipikirkan Jean sampai-sampai pria itu melamun seperti sekarang."Bapak mikirin apa? Kok sampai pipi bapak merah kayak gitu?"Jean menelan ludah. Menatap Nilam yang berdiri
Flashback]"Ayo dong Elisha. Mau ya jadi sekretarisnya Bos Dikta? Dia orangnya baik dan loyal kok. Aku jamin hidup kamu bakalan tentram kalau kerja sama dia."Elisha mengerutkan keningnya. Meskipun berulang kali lawan bicaranya ini berusaha untuk meyakinkan dia agar mau menjadi sekertaris pribadi Dikta, namun entah kenapa Elisha masih ragu untuk menerima tawaran tersebut. Padahal iming-iming yang dikatakan Mbak Ratih sangat menarik perhatiannya."Tapi Mbak, aku ini udah punya suami dan anak lho. Kan biasanya bos itu suka cari sekertaris yang singel.""Bos Dikta itu beda Elisha. Dia bakal pilih sekertaris yang sesuai kriteria dia," balas Mbak Ratih lagi. "Jadi sebenarnya ada tiga kandidat buat gantiin aku. Dan salah satunya ya kamu.""Tiga kandidat Mbak? Kok banyak banget?""Ya emang selalu gitu Sha. Sama kayak aku dulu. Kita bakal di ajuin buat Pak Dikta pilih. Kalau cocok ya kita bisa langsung jadi sekretarisnya.""Teru
Kali ini Elisha yang menjadi sangat gugup saat manik tajam itu menelusuri lekuk tubuhnya dari atas hingga bawah. Mata bosnya itu seakan sedang menelanjangi Elisha."Kamu beneran udah nikah?"Elisha pikir, ia akan langsung di tolak seperti kedua kandidat sebelumnya. Tapi ternyata, Dikta malah mengajukan pertanyaan itu untuknya."Be— bener Pak. Saya udah nikah dan punya satu anak."Dikta memindai wajah dan tubuh Elisha sekali lagi. Kulitnya putih, rambutnya panjang dan sedikit ikal. Dan lagi, perempuan itu tidak terlihat seperti seseorang yang sudah melahirkan. Lekukan pinggang Elisha begitu indah, perutnya pun tampak datar-datar saja dan tidak terlihat bergelambir. Payudaranya pun juga tampak masih kencang, dan yah— ukurannya memang tampak lebih besar dibandingkan Nina dan Dita."Anak kamu usai berapa?""Jalan 8 tahun Pak.""Oh— udah besar ternyata.""Iya Pak."Mbak Ratih yang berdiri di belakang Elisha
Elisha tidak langsung menyalakan mobilnya ketika setelah masuk ke dalam sana. Ia malah mengambil ponsel dan mengecek pesan yang masuk benda itu sejak tadi."Mas Jean kenapa kirim foto banyak banget?"Dengan rasa penasaran ia mencari tau foto apa saja yang dikirim oleh suaminya. Dan begitu gambarnya di buka, Elisha seketika terdiam."I- ini kan..." Hati Elisha merasa terpukul. Bagaimana tidak, Qila yang harusnya tertawa bersamanya justru terlihat bahagia saat bersama orang lain. Apalagi orang itu adalah pembantunya.Yap, benar. Jean sengaja mengirim foto-foto Qila saat membuat cup cake bersama Nilam. Dan yang makin membuat ia terenyuh karena anaknya bisa begitu bahagia saat bersama orang lain."Harusnya aku di sana ama Qila. Bukannya nurutin nafsu Pak Dikta sampai bikin Qila sedih." Air mata Elisha mulai jatuh di atas pipinya. Hatinya meradang hanya karena merindukan momen kebersamaan dengan anaknya."Rasanya aku nggak sanggup ker
Saat tiba di meja makan, aroma masakan buatan Nilam langsung menggoda indra penciuman keduanya. Bahkan Qila yang sudah duluan berada di meja makan, tampak tak sabar ingin segera menyantap makanan itu. "Silahkan di nikmati Pak, Bu. Saya mau ke belakang dulu buat beresin dapur." Itulah yang dikatakan oleh Nilam sebelum pamit dari hadapan majikannya. "Makasih ya Nilam," balas Elisha di penuhi tawa bahagia. Begitu Nilam masuk ke dapur, perempuan 20 tahun berbody seksi itu tidak langsung berbenah. Ia justru memperhatikan geral-gerik Elisha yang sedang mengambilkan nasi dan lauk untuk Jean. Ia dapat melihat bagaimana reaksi manis tuannya saat menerima makanan dari sang istri. Suasana di meja makan itu terasa hangat dan membuat semua orang menjadi iri. Termasuk Nilam. Ia ingin sekali mengambil alih posisi Elisha. Menjadi istri sempurna yang disayang suami dan anaknya. Punya banyak uang pula.
"Umph..." Nilam tercekat. Dia tidak menyangka jika Jean tiba-tiba mendorong belakang kepalanya dan menciumn secara mendadak. "Hmm..." Gadis itu meremas celananya sendiri saat merasakan sensasi dingin sekaligus manis yang menyebar ke dalam mulutnya. Tapi yang makin membuat ia tak fokus karena lidah Jean yang tidak berhenti mengajak lidahnya sendiri untuk saling bergulat satu sama lain. Seandainya saja mereka tidak butuh pasokan oksigen, pasti mereka tidak akan berhenti untuk saling pagut satu sama lain. "Gimana? Makan es krim ala orang dewasa lebih enak kan?" bisik Jean di samping telinga Nilam. Gadis itu reflek mendorong dada Jean. "Untung aja lantai atas sepi. Kalau ada yang liat gimana?" "Paling yang liat CCTV!" Nilam melotot. Dia kaget bukan main saat menyadari hal itu. "Astaga!! Kamu gimana sih? Nanti kalau kita viral gimana? Nanti kalau wajah kita masuk sosmed terus jadi hujatan orang-orang gimana?" "Terus—mmphhh..." Karena berisik, Lagi-lagi Jean memutuskan untuk mencium
"Jadi kamu nganter aku pulang cuma buat marah-marah aja?" "Enggak gitu, Nilam. Aku cuma khawatir." "Aku baik-baik aja. Ngapain harus khawatir." Jean menghela nafas panjang sembari mengusap jari Nilam yang sedang menggenggamnya. "Dasar kamu!" Gadis itu memperhatikan jarinya yang begitu kecil di genggaman sang kekasih. Sampai, iseng dia berucap, "Cincinnya cocok nggak di jariku?" Jean melirik sekilas ke arah jari manis Nilam. "Tentu aja cocok. Kan aku yang pilih." "Emm... Kamu kok bisa tau ukuran jariku?" tanya Nilam sambil memperhatikan Jean. Manik hitamnya memandang sang kekasih dengan binar penuh kerinduan. "Apa gunanya kita sering gandengan tangan kayak sekarang ini?" "Oh, jadi diem-diem kamu ngukur jariku?" "Nggak cuma jari aja. Semua yang ada di kamu, aku tau banget, Nilam."
"Apa?!" Elisha melotot kaget. Dia tidak menyangka jika Nilam akan seberani ini. "Kamu bener-bener nggak punya attitude ya! Kamu mau dapat nilai kualifikasi yang buruk?" tanya wanita itu dengan raut emosi. "Iya Nilam! Kamu jangan gitu ke Bu Elisha!" bisik salah satu rekan Nilam. "Bener. Nanti kalau sertifikat magang kamu nggak keluar gimana? Sia-sia kamu kerja keras selama berminggu-minggu." "Orang dia dulu yang mulai!" Nilam masih saja keras kepala. "Tapi kan—" "Sekarang udah jelas ya gimana sifat asli kamu!" Lagi-lagi Elisha sengaja memotong ucapan Nilam. "Selain licik dan tukang tipu, kamu ini juga pinter banget ngerayu laki-laki." Elisha tertawa mencemooh. Ia lipat kedua tangannya di dada dengan wajah jengah. "Maksudnya gimana?" "Pakai pura-pura segala! Udah lupa dulu waktu masih jadi pembantu gimana tingkah laku kamu? Ke sana- ke sini
Nilam mematung. Bahkan dia hanya bisa bengong seperti orang bodoh saat Jean memasangkan cincin platina di jari manisnya. "I- ini maksudnya apa?" tanya Nilam sambil mengedipkan kedua kelopak matanya. "Aku ngelamar kamu, Nilam. Aku ingin kamu jadi istriku." "N—ngelamar? Tapi kita..." "Demi Tuhan Nilam, waktu itu aku beneran nggak bermaksud buat putus dari kamu. Aku hanya ingin mempersiapkan momen ini saja." Ia menangkup pipi Nilam. Gadis itu sudah tak bisa berkata apapun lagi kecuali menangis. "Nilam... Kenapa kamu malah nangis?" Jean panik. Ia buru-buru menghapus air mata gadis itu dan berusaha menenangkannya agar tidak mengundang rasa penasaran orang-orang. Maklum saja mereka masih di acara forum sekarang ini. "Brengsek!" Nilam memukul dada Jean. "Kamu udah bikin aku nangis semaleman gara-gara minta putus, sekarang kamu bilang itu cuma prank? Terus apa gunan
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa