Jika Elisha dan Dikta sedang menikmati hubungan terlarang itu di kantor. Berbeda dengan Jean yang sibuk mengabadikan moment saat Qila dan juga Nilam yang sedang membuat cupcake berdua.
Qila yang tadinya marah dan tidak mau ke luar kamar, akhirnya patuh saat Nilam mengajaknya memasak kue. Dan kini, gadis kecil itu terlihat kembali ceria dan bersemangat lagi ketika Nilam membantunya menghias kue. "Nanti kalau kuenya udah matang, Mbak Qila bisa tunjukin ini ke Mama." Dengan senyum ceria, Nilam mengajak Qila menghias kue buatan mereka dengan sprinkle dan messes. "Emang Mama mau Mbak?" "Ya jelas mau dong. Kan ini buatannya Mbak Qila. Mbak Nilam jamin, Mama Elisha pasti bakal happy banget saat dapat kue ini. Mbak juga yakin, capeknya Mama setelah di kantor bakal hilang setelah makan kue buatan Mbak Qila." Bocah cantik itu meringis lebar. Senang sekali mendengar afirmasi positif yang Nilam katakan. Jangan ditanya apJean kian mendekat ke arah Nilam sambil mengendus aroma parfum tersebut. Saking senangnya dengan bau wangi dari tubuh Nilam, pria itu sampai tidak sadar saat ia sudah menghimpit badan ramping Nilam di antara tubuhnya dan meja makan.Bahkan tidak cuma itu, ia mulai mengulurkan kepalanya untuk mengendus aroma wangi itu lebih dekat lagi. Nilam yang disudutkan begitu tentu saja langsung menahan dada bidang Jean dengan kedua tangannya. Gadis cantik itu juga sempat memanggil nama si majikan beberapa kali agar menjaga jarak darinya. Tapi sayangnya, Jean seolah menulikan telinganya."Ahhh..." Suara desahan nakal itu terdengar lolos begitu saja dari bibir Nilam ketika hidung mbangir Jean menyentuh perpotongan lehernya. Area yang selalu menjadi titik sensitif seorang Nilam.Jean yang mendengar suara desahan Nilam, bukannya berhenti malah justru terus melancarkan aksinya. Ia menciumi leher putih mulus itu dengan hidung mbangirnya hingga membuat si empunya leher mendo
Mendengar Jean masih meragukan dirinya. Nilam pun kemudian berkata, "Kalau bapak nggak percaya, buka aja sendiri Pak!"Jean menyeringai saat mendapatkan lampu hijau dari Nilam. Jadi tanpa ragu-ragu, Jean pun mulai melepas kaitan bra di punggung Nilam."Gimana Pak? Bagus nggak?"Jean tak menjawab. Dia hanya diam tak berkedip memperhatikan milik perempuan 20 tahun yang tersaji di depan matanya."Pak? Gimana?""Pak Jean!""Pak!!!"****"Pak Jean?""Eh— hah?! Apa?!" Jean tersentak dari pikiran mesumnya. Ia menoleh ke belakang dengan wajah bingung yang membuatnya terkesan seperti orang bodoh.Nilam mengerutkan keningnya saat memperhatikan si bos gelagapan seperti itu. Entah apa yang dipikirkan Jean sampai-sampai pria itu melamun seperti sekarang."Bapak mikirin apa? Kok sampai pipi bapak merah kayak gitu?"Jean menelan ludah. Menatap Nilam yang berdiri
Flashback]"Ayo dong Elisha. Mau ya jadi sekretarisnya Bos Dikta? Dia orangnya baik dan loyal kok. Aku jamin hidup kamu bakalan tentram kalau kerja sama dia."Elisha mengerutkan keningnya. Meskipun berulang kali lawan bicaranya ini berusaha untuk meyakinkan dia agar mau menjadi sekertaris pribadi Dikta, namun entah kenapa Elisha masih ragu untuk menerima tawaran tersebut. Padahal iming-iming yang dikatakan Mbak Ratih sangat menarik perhatiannya."Tapi Mbak, aku ini udah punya suami dan anak lho. Kan biasanya bos itu suka cari sekertaris yang singel.""Bos Dikta itu beda Elisha. Dia bakal pilih sekertaris yang sesuai kriteria dia," balas Mbak Ratih lagi. "Jadi sebenarnya ada tiga kandidat buat gantiin aku. Dan salah satunya ya kamu.""Tiga kandidat Mbak? Kok banyak banget?""Ya emang selalu gitu Sha. Sama kayak aku dulu. Kita bakal di ajuin buat Pak Dikta pilih. Kalau cocok ya kita bisa langsung jadi sekretarisnya.""Teru
Kali ini Elisha yang menjadi sangat gugup saat manik tajam itu menelusuri lekuk tubuhnya dari atas hingga bawah. Mata bosnya itu seakan sedang menelanjangi Elisha."Kamu beneran udah nikah?"Elisha pikir, ia akan langsung di tolak seperti kedua kandidat sebelumnya. Tapi ternyata, Dikta malah mengajukan pertanyaan itu untuknya."Be— bener Pak. Saya udah nikah dan punya satu anak."Dikta memindai wajah dan tubuh Elisha sekali lagi. Kulitnya putih, rambutnya panjang dan sedikit ikal. Dan lagi, perempuan itu tidak terlihat seperti seseorang yang sudah melahirkan. Lekukan pinggang Elisha begitu indah, perutnya pun tampak datar-datar saja dan tidak terlihat bergelambir. Payudaranya pun juga tampak masih kencang, dan yah— ukurannya memang tampak lebih besar dibandingkan Nina dan Dita."Anak kamu usai berapa?""Jalan 8 tahun Pak.""Oh— udah besar ternyata.""Iya Pak."Mbak Ratih yang berdiri di belakang Elisha
Elisha tidak langsung menyalakan mobilnya ketika setelah masuk ke dalam sana. Ia malah mengambil ponsel dan mengecek pesan yang masuk benda itu sejak tadi."Mas Jean kenapa kirim foto banyak banget?"Dengan rasa penasaran ia mencari tau foto apa saja yang dikirim oleh suaminya. Dan begitu gambarnya di buka, Elisha seketika terdiam."I- ini kan..." Hati Elisha merasa terpukul. Bagaimana tidak, Qila yang harusnya tertawa bersamanya justru terlihat bahagia saat bersama orang lain. Apalagi orang itu adalah pembantunya.Yap, benar. Jean sengaja mengirim foto-foto Qila saat membuat cup cake bersama Nilam. Dan yang makin membuat ia terenyuh karena anaknya bisa begitu bahagia saat bersama orang lain."Harusnya aku di sana ama Qila. Bukannya nurutin nafsu Pak Dikta sampai bikin Qila sedih." Air mata Elisha mulai jatuh di atas pipinya. Hatinya meradang hanya karena merindukan momen kebersamaan dengan anaknya."Rasanya aku nggak sanggup ker
Saat tiba di meja makan, aroma masakan buatan Nilam langsung menggoda indra penciuman keduanya. Bahkan Qila yang sudah duluan berada di meja makan, tampak tak sabar ingin segera menyantap makanan itu. "Silahkan di nikmati Pak, Bu. Saya mau ke belakang dulu buat beresin dapur." Itulah yang dikatakan oleh Nilam sebelum pamit dari hadapan majikannya. "Makasih ya Nilam," balas Elisha di penuhi tawa bahagia. Begitu Nilam masuk ke dapur, perempuan 20 tahun berbody seksi itu tidak langsung berbenah. Ia justru memperhatikan geral-gerik Elisha yang sedang mengambilkan nasi dan lauk untuk Jean. Ia dapat melihat bagaimana reaksi manis tuannya saat menerima makanan dari sang istri. Suasana di meja makan itu terasa hangat dan membuat semua orang menjadi iri. Termasuk Nilam. Ia ingin sekali mengambil alih posisi Elisha. Menjadi istri sempurna yang disayang suami dan anaknya. Punya banyak uang pula.
Sebenarnya lokasi restoran milik Saka berada di area mall ternama di wilayah itu. Jadi saat keluar dari sana, Jean bisa sekalian cuci mata. Banyak toko yang ia lewati, dari mulai elektronik hingga aksesoris.Namun ada satu toko yang sangat menarik perhatiannya. Yaitu toko pakaian dalam. Yup— toko yang menjual banyak baju dalaman dari bra hingga bawahan, baju tidur hingga lingerie dengan berbagai model tersebut cukup membuatnya tertarik.Tanpa sadar, pria itu masuk ke dalam. Ia memperhatikan beberapa jenis lingerie yang menurutnya sangat cocok dipakai untuk Nilam. Yah, dengan bodohnya ia malah memikirkan untuk membeli dalam untuk si pembantu, dan bukan untuk istrinya.Ada banyak jenis lingerie. Tapi yang menarik perhatian Jean adalah jenis korset dan buister. Jenis Lingerie yang menutupi area payudara hingga atas pusar. Yang akan membuat payudara Nilam kian membesar serta menonjolkan lekuk pinggang yang akan semakin menawan. "Pasti cocok banget Ni
"Udah jelas lah aku harus ngapain."Ibu kandung Qila itu menggigit lidahnya. Ia tidak tahan ingin menampar Dita karena terus mendesaknya seperti ini. "Oh, kamu mau lapor ke Mas Jean?""Hm. Itu emang yang aku rencanakan.""Kamu pikir Mas Jean percaya sama kamu?""Mungkin enggak. Maka dari itu aku akan mengumpulkan bukti yang banyak. Supaya suami kamu tau, jika istrinya punya affair sama bos sendiri." Dita menyeringai puas saat melihat wajah khawatir Elisha. Perempuan itu jadi semakin percaya jika ada sesuatu di antara teman baiknya ini dengan sang Bos."Kenapa wajah kamu pucat Sha? Kamu takut ketahuan ya?" cibir Dita lagi. Kamu pasti khawatir kan kalau suami kamu tau apa yang terjadi?"Elisha menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka jika sahabat baiknya sendiri yang akan menusuknya dari belakang."Terserah kamu mau ngelakuin apapun. Aku nggak peduli. Karena apa yang kamu katakan itu semua nggak bener. Dan sekalipun kam
"Bapak sebenarnya duda atau gimana? Saya— penasaran..."Jean sedikit tersentak mendengar pertanyaan Nilam. Alisnya terangkat, dan untuk sesaat, ia hanya menatap perempuan itu tanpa berkata apa-apa."Kamu penasaran?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih dalam. Nilam menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Saya… saya cuma ingin tahu, Pak. Soalnya, saya gak pernah dengar cerita bapak soal istri sebelumnya, jadi untuk antisipasi saya—" Jean menyela dengan nada datar, "Kamu liat aku pakai cincin nikah gak?"Nilam terdiam. Tatapannya otomatis tertuju pada tangan Jean yang— kosong! Tidak ada cincin di sana.Jean menarik napas panjang, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap Nilam dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Bapak— duda?" tanya Nilam.Jean mengangkat alisnya dan mengangguk kecil. "Hn.""Serius?" Nilam semakin penasaran. "Sudah berapa lama, Pak?" tanyanya hati-hati. Jean menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Empat tah
"S- saya..." Nilam mundur selangkah. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena jarak antara dirinya dan Jean kini terasa begitu dekat. Aura pria itu begitu mendominasi, membuatnya sulit bernapas dengan benar.Jean masih menatapnya dalam-dalam, ekspresinya sulit ditebak. "Katakan padaku jika ada sesuatu yang mengganggu! Aku benci harus menjaga jarak dengan sekertarisku sendiri, Nilam."Nilam menunduk, berusaha menghindari tatapannya. "Saya… saya cuma lagi banyak pikiran, Pak. Gak ada yang perlu dikhawatirkan." Jean tidak langsung merespons. Ia justru lebih mendekat lagi, membuat Nilam kembali mundur sampai akhirnya tubuhnya menyentuh meja di belakangnya."Katakan apa itu!" perintah Jean, suaranya lebih rendah, lebih dekat. Nilam menahan napas. Ia bisa mencium aroma parfum khas pria itu—lagi. Campuran wangi maskulin yang elegan dan sedikit aroma kopi dari cangkir yang baru saja diminumnya."Apa ada hubungannya denganku?"Pertanyaan itu mengejutkan N
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nilam, Talita, dan Rina spontan menoleh dan mendapati sosok Jean berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu mengenakan setelan jasnya seperti biasa, dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak. Namun, sorot matanya sedikit mengerut saat menangkap ekspresi tegang Nilam. "Trauma? Siapa yang trauma?" Suara Jean terdengar dingin, membuat ketiga wanita itu refleks menegakkan postur tubuh mereka. "Gak kok Pak! Gak ada yang trauma," Talita buru-buru tersenyum, berusaha terlihat santai. "Kita cuma ngomongin film." Jean tidak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi tatapannya tetap tertuju pada Nilam yang sejak tadi menghindari kontak mata dengannya. "Bener Nilam?" Jean bertanya langsung pada Nilam. Tubuh Nilam menegang seketika. "Itu bener kok Pak..." Jean memperhatikannya dengan pandangan penuh selidik. "Tapi kenapa kamu keliatan gugup?" Nilam menelan ludah, merasa tidak nyaman berada di bawah tatapan tajam pria itu. Ia tidak mungkin mengatakan bah
"Itu siapa?""Itu mirip Mba Nilam...""Hah? Masa?""I— iya…" Talita mengangguk, tapi tatapannya tetap terpaku pada Nilam yang semakin mendekat ke arah mereka.Rina menelan ludah. "Kenapa dia kayak… hantu?" Talita sedikit mundur, ikut merasa merinding. "Jangan-jangan dia…"BRAK!"AAAKH!"Talita dan Rina langsung menjerit kecil saat Nilam tiba-tiba tersandung dan jatuh telungkup di lantai koridor. "Mba Nilam! K— kamu kenapa?!" Rina buru-buru mendekat, setengah takut, setengah khawatir. "Ayo bangun Mba!"Nilam hanya diam, tak bergerak selama beberapa detik. Talita dan Rina semakin panik."Mba?! kamu kenapa sih? Jangan bikin kita takut!"Dengan gerakan lambat, Nilam mengangkat kepalanya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menatap mereka dengan mata merah dan berair. "Aku gak bisa tidur…" keluhnya dengan suara parau.Talita dan Rina saling berpandangan. "Hah! Kenapa bisa?" tanya Rina hati-hati. Nilam menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku abis mimpi buruk…"Talita menaikkan
"A— aku… gak… bisa… napas…" suara Nilam melemah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tatapan Elisha dipenuhi amarah dan kebencian. "Kenapa kamu kembali?" bisiknya dingin. "Kenapa kamu gak mau menjauhi Mas Jean? Apa kamu mau mati, hah?"Nilam meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cekikan Elisha yang semakin erat di lehernya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah."A— aku… tolong…" suaranya hanya terdengar serak, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Air mata mengalir di sudut matanya."Gak akan ada yang nolongin kamu, Nilam!""Biar aja kamu mati!""L- lepasin!""Gak! Aku gak akan biarkan kamu hidup! Dasar pelakor!"Nilam berusaha melepaskan cengkraman Elisha di lehernya. Tapi susah— wanita itu berhasrat ingin menghabisinya."Mati aja sana! Mati dan masuk neraka aja kamu! Biar aku gak perlu repot-repot jagain Jean dari wanita macam kamu.""Khh... Le— lepas! Lepasin aku!""Sebelum kamu mati! Aku gak akan lepasin kamu, Nilam! GAK AKAN!""Ughh... Tolong... To— long..."Tidak ad
"Aww! Sakit.. Siapa yang—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditarik kasar ke belakang. Napasnya tercekat saat merasakan kuku-kuku tajam mencengkeram rambutnya. "Kamu dari dulu sama aja! Gak pernah berubah!" Suara seorang wanita terdengar penuh amarah di telinganya. "K- kamu siapa?"Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna coklat tua, mengenakan setelan mewah dengan aksen emas di pergelangan tangannya. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara di ruangan ini terasa dingin. Wanita itu menyeringai kecil, tapi tatapannya tetap dingin. "Kamu pasti tahu siapa aku," ucapnya, suaranya terdengar rendah namun penuh tekanan.Nilam mengerutkan kening. Jantungnya berdetak semakin cepat. "A- aku gak tau kamu siapa!""Kamu gak usah pura-pura ya! Dasar pelakor!" bentak wanita itu."Aku Elisha," lanjut wanita itu dengan nada mengejek. "Istri Jean."Dunia Nilam seakan berhenti berputar sesaat. Istri?Bukankah ada gosip yang bilang kal
Langit sore mulai menggelap saat Nilam masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Surya. Perjalanan pulang biasanya terasa biasa saja, tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati perjalanan. Kata-kata Rina dan Talita terus terngiang di kepalanya. ["Sebelum gosip buruk tentang kalian menyebar."]["Terus sampai kapan kamu mau digantung gini?"]Nilam memijat pelipisnya, merasa kepalanya berdenyut sejak meninggalkan kantor. Cara pria itu memperlakukannya tadi— kenapa terasa begitu intens?“Kenapa, Mba? Ngelamun terus dari tadi?” suara Surya membuyarkan lamunannya. “Aku pusing banget.”Surya melirik Nilam dari kaca spion, menyipitkan matanya sejenak sebelum kembali fokus menyetir. “Mau di anter ke klinik?"Nilam menghela napas. “Bukan... Bukan pusing yang gitu, tapi lainnya."Surya mengerutkan keningnya. Ia fokus melihat ke arah jalanan meskipun sesekali juga memperhatikan Nilam. "Ada masalah Mba?""Ada. Tapi gak terlalu penting sih.""Pasti masalah cowok ya kan?" sahu
"Yang buat aku penasaran itu cuma satu— darimana karyawan biasa sepertimu bisa punya uang untuk beli parfum mahal?"DEG!Nilam kaget. Ia buru-buru beranjak dari pangkuan sang Bos. Dia mundur dan merapikan pakaiannya dengan gaya salah tingkah."Kenapa panik? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?""Enggak Pak." Nilam menggeleng. "Ini itu parfum KW, KW super ."Jean tersenyum tipis. Dia tau Nilam bohong. Tapi dia santai saja dan tetap mengikuti permainan gadis di depannya."Ya sudah cepat bereskan barang-barang kamu! Sebentar lagi waktunya istirahat." Jean berdiri lebih dahulu, dan Nilam mengikuti perintah pria itu dengan sigap.Sementara itu di tempat berbeda, Rina hampir kehabisan napas ketika sampai di meja Talita. Gadis yang sedang menunggu pesanannya itu mendelik kaget melihat ekspresi heboh sahabatnya. "Apa-apaan sih, Mba Rin? Kayak dikejar debt collector aja!" gerutu Talita, tapi tetap melirik Rina dengan penuh rasa ingin tahu. Rina menarik napas dalam sebelum duduk di samping T
"Boleh cium gak Pak? Buat mastiin?" desis Nilam yang tiba-tiba mengikuti isi pikirannya.Jean tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan rasa ketertarikan. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Nilam yang masih berusaha menata ekspresinya. "Tentu aja," jawabnya. "Kamu bisa menciumku sesukamu."Nilam menelan ludah. Ia tidak menyangka Jean akan benar-benar menanggapi ucapannya. Rina yang baru saja kembali ke ruangan untuk mengambil catatannya mendapati pemandangan itu dan langsung terbelalak. Ia buru-buru berbalik, tapi tetap mengintip dari celah pintu, terlalu penasaran untuk pergi begitu saja. "OMG! Mereka mau apa?!" jerit Rina dalam hati."Nunggu apa lagi, Nilam? Katanya mau mastiin?"Nilam menghela napas pelan dan berusaha mengendalikan kegugupannya. Perlahan, ia mendekatkan diri ke arah Jean, mencoba mencium aroma parfumnya dengan lebih jelas. Wangi sandalwood yang bercampur citrus segera menyapu indera penciumannya, kali ini lebih kuat karena jarak mereka yang