Varisha, seorang gadis muda berusia 19 tahun, menjalani kehidupan yang keras dan penuh perjuangan harus menanggung tanggung jawab besar untuk keluarganya. Namun, ketika sebuah tawaran pernikahan tiba-tiba datang dari Arshaka, seorang pria tampan dan kaya berusia 31 tahun dengan rahasia gelapnya sendiri, dunianya yang sederhana menjadi runtuh. Dalam kehidupan yang penuh dengan pengorbanan, Varisha menemukan dirinya terjebak dalam pernikahan yang tidak pernah dia inginkan. Demi melindungi keluarganya, dia harus mengorbankan cinta dan kebahagiaannya sendiri. Ketika masa lalu Arshaka dan niatnya yang sebenarnya terungkap, Varisha harus menemukan kekuatan untuk menjalani pernikahan yang rumit ini. Di tengah kesulitan hidup dan perasaannya yang terkekang, akankah Varisha menemukan cahaya di tengah gelapnya kehidupan barunya, atau akankah dia terus terperangkap dalam permainan takdir yang tak pernah dia bayangkan?
View More“Jika ada lagi yang Anda butuhkan, silakan panggil saya," kata Varisha dengan suara lembut setelah meletakkan pesanan yang dia bawa dan menuangkan segelas wine merah dalam gelas kosong di hadapan Arshaka.
Ia bersiap untuk mundur dan memberi Arshaka ruang untuk menikmati hidangan. Namun, saat ia hendak pergi, tiba-tiba tangannya ditahan oleh pria itu. Varisha terkejut dan menoleh, matanya bertemu dengan mata tajam Arshaka. Dengan lembut, Varisha bertanya, "Apakah ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”
Selama beberapa saat, mereka hanya saling menatap dalam keheningan. Tidak ada kata-kata yang diucapkan. Arshaka tampaknya sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Kemudian, Arshaka melihat ke arah name tag Varisha dan membuka suara dengan dingin, "Yang saya butuhkan saat ini adalah kamu, Varisha.”
Varisha tercengang. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalannya, menelan ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Dengan tenang, dia melepaskan tangan Arshaka yang memegangnya.
"Saya minta maaf, Pak, tetapi saya harus kembali bekerja," ujar Varisha dengan sopan.
Arshaka tersenyum sinis, dan tatapannya yang tajam tidak pernah meninggalkan wajah Varisha. "Saya telah memesan seluruh restoran ini, dan saya hanya ingin kamu yang melayani saya," katanya dengan suara yang tetap dingin.
Varisha menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. “Baiklah, Pak, apa yang ingin Anda bicarakan atau butuhkan dari saya?"
Arshaka tersenyum puas, lalu berkata, "Saya ingin kamu duduk dan menemani saya makan."
Varisha berpikir sejenak. Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan pelanggan. Dia akhirnya mengangguk, meskipun dengan keraguan yang terasa begitu dalam. Dengan hati-hati, dia duduk di hadapan Arshaka.
Arshaka mulai mencicipi steak di hadapannya, tetapi matanya tetap tertuju pada Varisha. Ada sesuatu yang intens dalam tatapannya yang membuat Varisha merasa tidak nyaman. Meskipun ia mencoba untuk tetap profesional, tetapi perasaan ketidaknyamanan itu tak terhindarkan.
“Kenapa hanya diam? Apa kamu tidak menyukai makanannya? Kalau kamu tidak suka saya bisa memesankan makanan lain,” ujar Arshaka.
“Tidak perlu, Pak. Saya hanya sedang tidak lapar,” jawab Varisha dengan cepat sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa kamu ingin minum?” tanya Arshaka sambil memberikan segelas wine kepada varisha.
Varisha menolak dengan lembut, "Terima kasih, tetapi saya masih harus bekerja, jadi saya tidak bisa minum."
Arshaka terus menatap Varisha dengan tajam, membuat Varisha merasa sangat tidak nyaman.
“Apa ada sesuatu yang ingin Anda katakan? Kenapa Anda terus menatap saya seperti itu?” tanya Varisha yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya.
“Kenapa Anda meminta saya untuk melayani Anda malam ini? Apa Anda mengenal saya? tanya Varisha lagi ketika melihat Arshaka hanya diam.
“Varisha Octavia, usiamu 19 tahun. Kamu bekerja untuk membantu kehidupan keluargamu. Ayahmu seorang pemabuk yang suka berjudi. Ibumu bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kakakmu meninggal karena kecelakaan empat tahun yang lalu, adik perempuanmu masih bersekolah dan adik laki-lakimu sedang menjalani pengobatan. Benar, kan?”
Varisha sangat terkejut mendengar semua informasi tersebut. Matanya membulat dan dia bertanya dengan keras, "Siapa Anda sebenarnya, dan mengapa Anda menyelidiki saya?"
Arshaka mengambil selembar kartu nama dari dalam saku jasnya dan dengan tenang memberikannya kepada Varisha. Mata Varisha terbelalak saat ia membaca nama yang tertulis di kartu itu: "Arshaka Diaksara, CEO dari Diaksara Group."
“Apa yang Anda inginkan dari saya?” tanya Varisha dengan suara yang agak gemetar.
Sebelum Arshaka menjawab, tiba-tiba Varisha merasa dingin menjalar dari atas kepalanya. Air dingin yang sejuk membasahi rambut dan bajunya. Ia menatap ke atas dan terkejut melihat seorang wanita yang tiba-tiba muncul, menuangkan sebotol wine ke atas kepalanya dengan ekspresi marah.
Varisha merasakan sensasi dingin yang menusuk sampai ke tulangnya, dan wine itu mengalir turun dari rambutnya yang indah ke baju kerjanya. Pandangannya terpaku di wajah Arshaka dan wanita itu bergantian.
“Apa yang sebenarnya kalian inginkan?” tanya Varisha kemudian bangkit dari tempatnya dengan kesal.
“Dasar jalang! berhenti bersikap seakan-akan kamu tidak mengerti! Mulai sekarang saya minta kamu berhenti mengganggu Arseno,” teriak wanita itu.
Arshaka mencoba menghentikan saudara perempuannya. Ia berbicara dengan suara yang tenang dan tegas, "Arini, tenanglah."
“Nggak, Kak. Aku mau kasih pelajaran sama jalang ini biar dia nggak seenaknya merayu suami orang.”
Kemarahan Arini semakin menjadi-jadi, dan tanpa memberikan kesempatan pada Varisha untuk merespons, ia menampar Varisha dengan keras di wajahnya. Suara tamparan itu terdengar jelas di restoran yang sepi, dan beberapa rekan kerja Varisha yang melihat kejadian itu terkejut.
Varisha merasakan pipinya yang terbakar dari tamparan keras yang diberikan Arini. Matanya berkilat penuh emosi, dan dia merasa kemarahan yang mendalam merayap naik dalam dirinya. Tangan Varisha mengepal kuat mendengar penghinaan itu, dan ia bisa merasakan wajahnya yang terbakar oleh rasa malu dan kemarahan.
"Apa yang Anda katakan?" kata Varisha dengan suara tegas, meskipun hatinya berdebar kencang.
"Apa yang Anda pikirkan tentang saya, huh? Anda tidak tahu apa-apa tentang hubungan saya dengan Arseno, jadi jangan membuat kesimpulan sembarangan!" lanjut Varisha dengan suara tegas dan tatapan tajam, ia melihat mata Arini yang masih penuh amarah.
Arini terlihat terkejut oleh reaksi tegas Varisha. Dia merasa seakan-akan gadis di hadapannya itu begitu berani karena selama ini tak ada yang bisa membalasnya kembali seperti itu.
Kedua wanita ini saling menatap, saling menilai, dan suasana semakin memanas. Namun, Varisha tidak akan membiarkan Arini mempermalukannya di depan semua orang.
"Anda pikir Anda bisa menyalahkan saya? Apakah Anda merasa lebih baik dari saya?" lanjut Varisha dengan nada tajam.
"Arseno adalah suami Anda, dan dia adalah orang yang harus bertanggung jawab atas perasaannya. Kalau Anda merasa khawatir, bicarakanlah dengannya, jangan bersikap seperti ini."
Arini, semakin marah, mencoba menampar Varisha lagi, tetapi tangan Varisha yang cepat dan kuat dengan mudah menangkis serangan itu. Dia menahan tangan Arini dan dengan wajah yang tenang, menambahkan, "Jangan sekali-kali mencoba itu lagi. Anda harus belajar menghormati orang lain."
Amarah Arini semakin menguap, ia hendak menyiram tubuh Varisha lagi, tetapi sebelum tangannya bisa mencapai sasaran, Arshaka menghentikannya.
Sorot mata Arini meluas melihat Arshaka. Rasa keheranan dan kejutan menghiasi wajah Arini saat dia menatap Arshaka.
"Lepas, Kak. Aku nggak akan membiarkan wanita ini lagi kali ini!" teriak Arini dengan suara yang masih sarat emosi, sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kakaknya.
Dengan dingin dan tegas, Arshaka akhirnya menyela, "Cukup, Arini. Biar kakak yang akan mengurusnya dan memberi dia pelajaran."
Arini menatap kakaknya dengan ekspresi kecewa, tetapi akhirnya menurunkan tangannya. Ia melihat ke arah Varisha dengan sorot mata yang penuh kekesalan dan kemarahan, sebelum akhirnya berjalan pergi dari restoran tersebut.
Sementara itu, Varisha masih berdiri di tempatnya, pipinya memerah karena tamparan yang kuat dan wajahnya penuh dengan rasa tegang. Meskipun dia telah memberikan balasan yang setimpal terhadap Arini, dia tidak bisa menghilangkan perasaan malu dan ketidaknyamanan yang melanda dirinya akibat pertengkaran di depan umum ini.
Arshaka mendekat ke arah Varisha. Dia melepaskan jasnya dan menutupi tubuh varisha lalu mengambil napkin dari meja di sebelahnya dan dengan lembut mengelap wajah Varisha yang berantakan karena tumpahan wine. Tatapannya tajam dan berbicara lebih dari kata-kata yang diucapkan. Meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, Varisha merasakan kehadirannya sebagai ancaman yang sangat nyata.
Varisha merasa tidak nyaman dengan tatapan tajam dan dominan Arshaka. Dia mencoba melepaskan diri dari genggaman Arshaka, melepaskan jas yang telah diberikan padanya.
“Saya tidak tahu apa tujuan Anda sebenarnya, tapi tolong berhenti dan jangan ganggu hidup saya,” ujar Varisha dengan nada yang tenang meskipun tubuhnya masih gemetar.
Arshaka tidak melepaskan Varisha begitu saja. Dia menahannya dengan kuat. “Saya tidak akan berhenti begitu saja karena masih ada beberapa hal yang harus kita bicarakan.”
Setelah mengatakan itu, Arshaka melepaskan genggamannya lalu pergi dengan langkah mantap, meninggalkan Varisha yang menatapnya dengan rasa kebencian yang tumbuh di dalam dirinya.
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments