Taksi berhenti tepat di depan apartemen Varisha, dan tanpa banyak bicara, dia segera membayar tarifnya. Varisha keluar dari taksi dan melihat Arshaka yang masih duduk di dalam, menatapnya dengan tatapan dingin yang tak terbaca. Tanpa berbicara lebih lanjut, Varisha meninggalkan mobil dan melangkah menuju pintu masuk apartemennya.
Pintu lift terbuka begitu dia mencapai lobi apartemen, dan tanpa banyak berpikir, Varisha memasuki lift. Dia ingin secepatnya tiba di lantai apartemennya, menjauh dari situasi yang tidak nyaman ini. Varisha menekan tombol lantai apartemennya.
Tapi saat pintu lift hendak menutup, tangan Arshaka tiba-tiba muncul di celah pintu, membuatnya terbuka kembali. Varisha menoleh dan melihat Arshaka telah masuk ke dalam lift dan berdiri di sisinya. Varisha menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Pertemuan yang rumit ini sepertinya tidak akan berakhir begitu saja.
Sementara, Arshaka menatapnya dengan ekspresi yang sama dingin seperti sebelumnya. Tidak ada kata yang diucapkan, hanya tatapan tajam yang memenuhi lift. Pintu lift berdering dan mulai bergerak naik menuju lantai tempat tinggal mereka. Dalam keheningan yang tidak nyaman, Varisha mencoba untuk mengumpulkan cukup keberanian untuk bertanya.
Varisha menoleh ke arah Arshaka dengan ekspresi heran dengan kemarahan dan kebingungan yang mulai mendominasi pikirannya. Varisha mengatakan dengan nada kesal, "Kenapa Bapak terus mengikuti saya? Apa yang Bapak inginkan?"
“Bukankah saya sudah minta maaf soal insiden kopi itu. Saya juga sudah berterima kasih karena tadi Bapak sudah membantu saya. Sebenarnya apa yang bapak inginkan dari saya?” tanya Varisha lagi dengan nada frustrasi. Wajahnya memanas, dan matanya menatap tajam ke arah Arshaka.
Arshaka tetap tenang, melihat Varisha dengan tatapan yang dingin. Dia melangkah maju dan dengan cepat mengunci tubuh Varisha ke sudut lift. Arshaka yang berdiri begitu dekat membuat Varisha merasa terjepit dan tak bisa bergerak bebas.
"Sudah cukup," kata Arshaka dengan suara yang lebih lembut, tetapi masih memancarkan dinginnya.
“Saya tidak tahu dari mana asalnya rasa kepercayaan diri kamu ini. Tapi, sepertinya kamu sudah salah paham, Varisha.” Arshaka menatap Varisha dengan tajam.
“Untuk apa saya mengikuti gadis seperti kamu? Saya rasa saya sudah gila kalau sampai saya melakukannya,” ujar Arshaka lagi dengan nada meremehkan sambil menatap Varisha dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
"Terus apa yang Bapak lakukan di sini?" tanya Varisha lagi.
"Apa saya harus menjawab setiap pertanyaan kamu?" Arshaka bertanya dengan dingin.
Varisha menatap Arshaka dengan perasaan campur aduk antara kemarahan dan ketidakpercayaan. Seolah mencari kebenaran di balik kata-kata pria itu, dia hanya bisa membungkuk dan menundukkan kepala dengan perasaan yang mendalam.
Pintu lift akhirnya terbuka kembali, menampilkan koridor yang sepi di depan mereka. Arshaka melangkah keluar dan tanpa sepatah kata pun, menuju pintu apartemennya yang ternyata berada tepat di depan pintu Varisha.
Varisha mencoba untuk menenangkan dirinya. Ini hanyalah sebuah kebetulan, pikirnya. Kehadiran Arshaka di apartemen yang sama bukanlah tanda-tanda apa pun. Dan tidak masuk akal jika mereka akan berhubungan kembali setelah apa yang terjadi di antara mereka.
***
Keesokan harinya, Varisha bangun agak terlambat karena tidurnya yang kurang nyenyak. Ia buru-buru bersiap, mengenakan busana kerjanya, dan mengejar waktu. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju lift. Saat pintu lift hampir menutup, Varisha meraihnya dan dengan lega, pintu kembali terbuka.
Tetapi begitu ia melangkah masuk, tatapannya langsung bertemu dengan Arshaka. Pria itu tampak rapi dengan balutan jasnya, dan sorot matanya yang dingin segera menangkap Varisha.
Varisha terdiam sejenak, merasa seakan waktu berhenti sebentar. Keberadaan Arshaka di sini membuatnya merasa terdampar, terperangkap dalam kebingungan dan perasaan yang tak terungkapkan.
Suara Arshaka menyadarkannya dari lamunannya. "Mau masuk, atau tidak?" tanyanya dengan suara datar.
Varisha yang tidak tahu apa yang harus dia katakan, merasa tidak memiliki pilihan lain. Meskipun hatinya memberontak, dia tidak ingin terlambat di tempat kerjanya. Dia mengangguk, dan Arshaka menekan tombol lantai dasar.
Mereka berdua berdiri di dalam lift, tetapi suasana terasa sangat canggung. Keduanya terlihat menjauhkan diri satu sama lain, menghindari kontak fisik atau mata. Varisha berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan keberadaan Arshaka dengan berdiri di hadapan pria itu.
Saat lift terus bergerak ke bawah, beberapa orang lain memasuki lift, mengurangi ruang yang tersedia. Varisha terdesak lebih dekat ke Arshaka, dan selama beberapa saat, dia bisa merasakan hembusan napas pria itu di lehernya. Hatinya berdegup lebih cepat, tetapi dia berusaha menahan diri.
Ketika lift akhirnya tiba di lantai dasar, Varisha segera melangkah keluar. Dia hampir menampar dirinya sendiri saat mengingat bahwa mobilnya masih di bengkel dan dia lupa untuk memesan taksi online. Dia berdiri di depan apartemen, Varisha menggigit bibir bawahnya dengan frustrasi.
Tidak lama kemudian, mobil mewah Arshaka berhenti di hadapannya. Dari kursi penumpangnya, Arshaka membuka jendela mobilnya. “Cepat naik! Sebelum saya berubah pikiran.”
Varisha berdiri di tempatnya dengan ragu. Tetapi, ketika Arshaka tetap diam, dia akhirnya menundukkan kepala dan memasuki mobil dengan perasaan frustasi.
Arshaka menyeringai ketika akhirnya Varisha duduk di sampingnya. Selama perjalanan menuju kantor, mereka berdua hanya duduk dalam keheningan. Varisha menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan keberadaan Arshaka di sebelahnya.
Ketenangan Varisha hanya bertahan sebentar ketika tiba-tiba Arshaka meletakkan kepalanya di bahu Varisha. Tubuh Varisha membeku, dan dia berusaha untuk tetap tenang. Sementara, Arshaka hanya terdiam di sana, dengan napasnya yang hangat menyentuh leher Varisha.
“Apa yang bapak lakukan?” tanya Varisha dengan nada frustrasi.
"Diamlah," ucap Arshaka dengan lembut, "Saya hanya ingin istirahat sebentar."
Varisha merasa jantungnya berdebar keras. Ini adalah sisi Arshaka yang sepenuhnya asing baginya, dan dia tidak yakin bagaimana harus merespons. Dia ingin sekali menolak, meminta Arshaka menjauhinya. Namun, dia hanya bisa memendam kekesalannya dan membiarkan Arshaka tetap berada dalam posisi itu.
Ketika mereka tiba di depan kantornya, Varisha berusaha membangunkan Arshaka yang telah tertidur di pundaknya. Saat pria itu bangun, dia segera meninggalkan beberapa lembar uang di kursi penumpang.
“Terima kasih karena sudah mengantar saya, Pak. Tapi, saya tidak ingin berhutang apa pun lagi,” ujar Varisha dengan dingin.
Sebelum Varisha meninggalkan mobil, Arshaka menahan tangannya. "Sampai jumpa saat makan siang," katanya.
Varisha terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Lebih baik kita tidak usah bertemu lagi, Pak."
Arshaka hanya tersenyum dengan tatapan dingin yang selalu dimilikinya. "Kamu masih harus membayar saya karena tumpahan kopi itu," kata pria itu.
Dengan berat hati, Varisha keluar dari mobil dan tanpa menjawab lagi. Dia berjalan cepat menuju pintu masuk kantornya, berharap agar hari itu berjalan lebih baik daripada pagi yang telah dilewatinya.
“Dasar rubah licik, ternyata sifatnya tetap nggak berubah meskipun ingatannya hilang,” umpat Varisha sambil berjalan menuju ruangannya.
Kembali pada rutinitasnya di kantor, Varisha mencoba fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia merasa sedikit terganggu oleh pertemuan pagi tadi dengan Arshaka. Meskipun mereka terus berpapasan, hubungan mereka yang rumit selalu menghadirkan ketidaknyamanan yang tidak bisa dihindari. Beberapa jam berlalu, dan Varisha sedang sibuk menyelesaikan beberapa tugas ketika telepon kantor di sebelahnya berdering. Dengan sigap, dia menjawab panggilan itu dan memberi salam dengan sopan. "Selamat siang," Varisha akhirnya berkata dengan sabar, mencoba memahami situasi.Namun, hanya ada keheningan di seberang sambungan, dan Varisha mulai merasa curiga. Kemudian, suara yang sangat dikenal membuat hatinya berdebar kencang, "Varisha."Varisha menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menjaga dirinya tetap tenang. "Apa yang bisa saya bantu, Pak? Apakah Anda ingin berbicara dengan Pak Ganendra?" tanyanya dengan nada yang tetap profesional.Arshaka hanya terdiam sejenak, membuat Varisha merasa tidak nyaman
Langit sore itu memancarkan warna oranye yang hangat, menciptakan suasana yang tenang ketika Varisha melangkah masuk ke dalam ruangan kantor Cakra Diaksara. Ruangan itu, seperti biasa, penuh dengan nuansa kemewahan dan keanggunan, mencerminkan kepribadian pemiliknya. Cakra duduk di balik meja besar, senyumnya yang ramah menyambut Varisha."Selamat sore, Varisha," sambut Cakra sambil mengangkat sejumput surat kabar yang menutupi meja kerjanya."Selamat sore, Pak," jawab Varisha sambil membalas senyuman. Ia kemudian duduk di kursi yang ditunjuk oleh Cakra. Dalam genggamannya, Varisha membawa sebuah bingkisan kecil berisi suplemen vitamin yang dikhususkan untuk Cakra."Saya membawa beberapa vitamin untuk Anda, Pak. Saya harap kesehatan Anda tetap terjaga."Cakra tersenyum ramah. "Terima kasih, Varisha, saya sangat menghargainya. Kesehatan saya cukup baik, meski tentu saja tak sekuat dulu.” “Jadi, hal apa yang membawa kamu ke sini?” tanya Cakra dengan raut wajah yang cukup serius.Varish
Hari itu, ketika Varisha datang kembali ke kantor Cakra, hujan turun dengan lebatnya. Rintik hujan menimpa jendela-jendela kantor, dan angin malam membawa aroma basah yang khas. Varisha memarkirkan mobilnya dengan hati-hati, tetapi saat ia keluar dari kendaraannya, hujan lebat langsung membasahi pakaiannya.Varisha melangkah dengan mantap melalui koridor kantor yang sudah hampir kosong karena hampir semua karyawan sudah pulang. Varisha langsung menuju pintu ruangan Cakra. Dia mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.” Varisha melangkah masuk setelah mendengar suara izin dari dalam.Saat Varisha memasuki ruangan, Cakra terkejut. Ia dengan cepat bangkit dari kursinya ketika melihat pakaian Varisha yang sudah basah oleh hujan. Cakra memandangnya dengan khawatir."Kenapa pakaianmu sampai basah begini?" tanya Cakra, khawatir.Varisha tersenyum lembut, mencoba meredakan kekhawatiran Cakra. “Tadi di depan tiba-tiba hujan, Pak.” Cakra yang telah terlalu sibuk dengan urusannya sejak tadi tidak me
Hujan semakin deras, Varisha merasakan dingin malam merasuk ke tubuhnya. Ia masih setia menunggu sambil terus menggosok tangannya yang dingin, mencoba menghangatkan dirinya. Sementara Varisha sibuk dengan pikirannya sendiri, dia tidak menyadari bahwa seseorang berdiri di sampingnya.Baru saat mobil berhenti di depannya dan Aryo, supir pribadi Arshaka keluar dari mobil membuat Varisha tersadar. Ia menoleh dan baru menyadari kehadiran Arshaka. Pria itu berdiri dalam diam dan menatapnya dengan tatapan tajam.Varisha ingin menghindari pandangan Arshaka, tetapi kehadiran pria itu telah membuatnya terjebak. Dia mencoba untuk terlihat acuh tak acuh, menatap hujan yang turun, berharap Arshaka akan pergi dan membiarkannya sendiri.Varisha memutuskan untuk kembali menerobos hujan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari kantor. Namun, sebelum ia bisa melangkah, Arshaka menahannya. Seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak ketika Varisha merasakan sentuhan tangan Arshaka yang menyentuh
Keesokan harinya, Varisha tiba di kantor jauh lebih awal dari biasanya, berharap bisa menghindari kemungkinan bertemu Arshaka. Sebelum masuk ke ruangannya, dia membenahi rambutnya dan melilitkan scarf lebih erat di sekitar lehernya untuk menutupi tanda yang Arshaka berikan padanya.Setelah sesi rapat pagi berlangsung, Varisha kembali ke ruangannya dan masuk dalam rutinitas kerjanya. Tumpukan pekerjaan menanti, dan dia berfokus untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut serta mempersiapkan jadwal untuk Ganendra selanjutnya.Ketika Varisha sedang sangat fokus dengan pekerjaannya, Arshaka tiba-tiba muncul di ambang pintu ruangannya, Varisha merasa hatinya berdebar kencang. Dia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya di balik senyuman ramahnya, bertanya, "Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?"Arshaka terdiam di tempatnya, matanya menelusuri wajah Varisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Varisha, menyadari tatapan itu, dengan cepat mencoba menutupi lehernya yang tertutup scarf.“Sudah m
Varisha berusaha menjernihkan pikirannya dengan bekerja lembur di kantor yang sepi. Hanya cahaya redup dari lampu meja yang menerangi ruangannya saat dia merampungkan tugas-tugasnya. Ketika dia akhirnya mematikan komputernya, keheningan kantor begitu mengganggu.Langit sudah mulai gelap saat Varisha meninggalkan kantor. Hanya ada sedikit pencahayaan di sekitar jalan, dan keheningan membuat langkah kakinya terdengar berisik di koridor. Ruangan kantornya sepi, hanya berisi perabotan yang menjadikan malam semakin suram.Varisha merasa hatinya berdebar keras di dalam dada saat ia berjalan menuju mobilnya di tempat parkir kantor. Kedua matanya meraba-raba kegelapan yang mulai melanda, membuatnya merasa semakin terkurung dalam rasa ketidakpastian yang terus menghantuinya. Hingga akhirnya, langkahnya terhenti. Rasanya ada yang tidak beres. Seketika itu juga, ia berbalik untuk memastikan, tetapi hanya menemui kegelapan malam yang pekat.Namun, sesaat kemudian, rasa cemasnya terbukti bukanlah
Arshaka duduk di dalam mobilnya dengan pandangan tajam mengarah ke pintu masuk gedung perkantoran. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Varisha, bayangan gadis itu merajalela di benaknya. Tidak ada yang bisa menjelaskan ketertarikan ini, tetapi ia merasa seakan dunianya terbelah menjadi dua bagian: satu yang berkaitan dengan dunia bisnis dingin dan tanpa belas kasihan, dan yang lainnya penuh warna dengan sosok gadis yang tak pernah bisa dia lepaskan dari pikirannya.Arshaka duduk di dalam mobil mewahnya, matanya terpaku pada pintu masuk gedung perkantoran yang tampak dari jendela. Waktu terasa berjalan sangat lambat, dan Arshaka merasa gelisah. Biasanya, ia hanya menunggu sebentar dalam pertemuan bisnisnya, tetapi hari ini adalah pengecualian.Saat akhirnya ia melihat Varisha, hatinya berdebar kencang. Gadis itu berlari, sepatu hak tinggi menyentuh tanah dengan cepat. Arshaka ingin keluar dari mobil, tetapi sesuatu menghentikannya. Ia melihat ekspresi ketakutan di wajah Varisha, seolah-
Ketika Varisha mengerjapkan matanya, pandangannya mulai menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang cukup terang di ruang perawatan rumah sakit. Tubuhnya terasa kaku dan sakit di beberapa bagian. Aroma obat-obatan dan bau steril rumah sakit mencampuri udara, menciptakan suasana yang familiar meskipun tidak nyaman.Ketika dia mencoba untuk duduk, ia merasakan rasa sakit melintasi tubuhnya. Kilatan kenangan akan peristiwa semalam membanjiri pikirannya. Dia ingat dengan jelas betapa dia hampir diculik oleh sekelompok pria yang menculiknya dan pertemuannya dengan Bagas. Seorang perawat yang memasuki ruangan dengan senyum ramah segera mendekati tempat tidur Varisha. "Selamat pagi, kamu sudah mulai sadar. Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil mengecek catatan medis Varisha.Varisha mengangguk perlahan. "Iya, apa yang terjadi, Sus? Siapa yang membawa saya ke sini?" tanyanya bingung.Perawat itu memberikan penjelasan singkat. "Seseorang membawamu ke sini dan tengah mendapat perawatan intensif s
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s