"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar."
"Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aja." Saka coba memberikan saran terbaik. "Atau coba cari momen yang tepat. Walau nggak setiap hari, kita butuh itu Sob." "Masalahnya, Elisha itu super duper sibuk. Pergi pagi, pulang malem. Kadang weekend juga masih lembur. Jangankan buat gua suaminya, buat Qila anaknya aja, dia nggak ada waktu lho. Bayangin sendiri deh!" Saka. Pria berkulit agak gelap itu hanya bisa mengganggu-ganggkkan kepalanya, memang rumit jika salah satu pasangan sangat sibuk dalam bekerja. Jadi moment untuk me-time jadi terhambat. "Susah juga ya Bro," desah Saka. "Tuh kan. Lo aja bingung. Apalagi gue?" Jean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sendiri juga sudah kehabisan ide agar bisa berduaan dengan sang istri. "Eh, haus nih. Minta tolong bikinin minum kenapa? Ama tamu lo juga." Mendengar keluhan Sang sahabat, Jean hanya tersenyum kecil. Seasyikan curhat, dia sampai melupakan fakta tersebut. "Bentar. Gua panggil Nilam dulu." "Nilam? Siapa itu?" "Pembantu baru gua." Saka mengangguk paham sementara si pemilik rumah langsung memanggil Nilam, agar gadis itu segera datang. "Nilaam! Nilaaam!" "Saya Pak." "Tolong ya, bikinin kopi buat tamu saya!" Perempuan cantik itu mengangguk. "Kalau Bapak?" "Samain aja," balas Jean sambil tersenyum. Begitu Nilam pergi, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Saka adalah, perihal sosok berkulit putih tersebut. Memastikan apakah itu benar pembantu di rumah megah ini atau bukan. "Bro!" "Hm?" "Yang tadi itu— beneran pembantu lo?" Jean yang sedang memainkan ponselnya, hanya mengangguk. "Iya." "Serius?" Saka reflek nge-gas. "Cewek secantik itu jadi pembantu?!" "Apa sih? Lebay banget deh." Saka menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir. "Dia nggak cocok bro jadi pembantu. Cocoknya tuh jadi artis." Jean menarik sebelah sudut bibirnya. "Ya sama. Gue juga mikir gitu sebelumya. Tapi, itu emang kerjaan dia. Katanya nggak masalah jadi pembantu asal halal." "Ckckckc. Sayang banget sih itu. Mana masih muda kan? Umur berapa?" "Apa sih pakai nanya-nanya umur segala? Naksir lo?" Pria berkulit sawo matang itu menepuk bahu Jean. "Ya iyalah bro. Cewek cantik dan seksi gitu nggak pantes jadi ART. Cocoknya sih, jadi istri." Jean tertawa usai mendengar ucapan sang sahabat. Pun Saka yang juga melakukan hal serupa. "Eling bro! Eling! Lo kan udah punya anak bini! Jangan sampai khilaf." Saka menggelengkan kepalanya. Tidak terima dikira khilaf oleh pria sebayanya itu. "Harusnya gue yang bilang gitu. Takutnya lo yang khilaf, soalnya tiap hari ketemu si— siapa tadi namanya? Nilam." Jean hanya meringis. Meskipun haus belaian, tapi mana bisa dia goyah. Hatinya tetap untuk Elisha yang amat dia cinta. Tak berapa lama kemudian, Nilam muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan. "Silahkan Pak, diminum kopinya." "Makasih ya Nilam," ucap Jean sambil mempersilakan perempuan muda itu pergi dari hadapannya. "Gila, bodynya cakep banget itu pembantu," celetuk Saka sambil memperhatikan cara jalan Nilam dari belakang. Memang biasa saja, tapi di matanya tiap langkah Nilam sudah seperti model profesional. "Pinggulnya, pantatnya, perfect banget nggak sih?" Jean berdehem. Mengabaikan ucapan temannya yang 1000% benar. "Bahaya banget nih kalau cuma lo sama Nilam berduaan di rumah. Takut ada setan trus lo jadi khilaf," sindir Saka. Jean mendengkus. "Gila aja lo. Gue bukan cowok macam gitu. Gue cuma setia sama satu perempuan." "Mulut manusia itu emang munafik ya. Padahal kalau disuguhi cewek cantik macam Nilam, lo juga nggak akan nolak kan?" Pria 30 tahun itu menggelengkan kepalanya. Berusaha menunjukkan ekspresi ketidaktertarikan. "Udah, jangan berisik lo! Nih minum kopinya!" * Agak siang, Saka pamit untuk pulang. Karena urusan mereka sudah selesai dan Jean juga harus bersiap menjemput anaknya. Sebelum pergi dengan motornya, Saka sempat memberi pesan untuk hati-hati. Hati-hati takut ada setan yang masuk dan membuatnya berani main belakang dengan Nilam. Tentu saja hal itu hanya dibalas candaan oleh Jean. Sekali lagi, secantik apapun wanita yang ditemuinya, tapi cintanya tetap hanya untuk Elisha. "Bapak mau makan siang? Saya udah masak ayam goreng sama oseng buncis." Nilam menghampiri Jean yang sibuk dengan laptopnya di ruang tamu. Dia menawarkan makan siang dengan senyum ramah yang terlampau manis. Jean tertegun selama beberapa saat. Senyum milik Nilam seakan menghipnotisnya. Cantik sekali. Dan apa itu tadi? Makan siang? Dia bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya ada seseorang yang menawarkan makan siang karena dia biasa masak sendiri dan akan memakannya seorang diri. "Aku makannya nanti aja, nungguin Qila," jawab Jean kemudian. "Mumpung masih anget lho Pak. Sayang kalau harus nunggu nanti," balas Nilam. " Untuk Mbak Qila, nanti saya bisa masakin sendiri, biar anget." Pria tampan itu ingin menolak. Tapi apesnya, perutnya malah berbunyi cukup keras tanda jika dia sedang kelaparan. 'Brengsek nih perut,' makinya dalam hati. Apalagi saat melihat Nilam menahan tawa diam-diam. "Ya udah, ayo makan!" ajaknya sambil berdiri. Nilam tertegun. "Eh, gimana Pak?" Bingung perempuan 20 tahun itu. "Kamu ngajak saya makan kan? Jadi ayo kita makan bareng!" ucapnya lagi. Nilam makin bingung. "Mana boleh dong Pak. Saya kan cuma pembantu, mana sopan kalau harus makan sama-sama bapak." "Ya gimana lagi, saya paling nggak bisa kalau harus makan seorang diri. Jadi mau nggak mau kamu harus nurut!" ucap Jean lagi. Nilam hanya mendukkan kepalanya. Dia dibuat kehabisan kata karena ucapan pria itu. "Saya, pasrah deh Pak kalau gitu." Jean menoleh sekilas ke arah Nilam. 'Pasrah? Kayak mau diapain aja,' gumamnya dalam hati. Sungguh kata itu sedikit membuatnya ambigu untuk saat ini."Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Umph..." Nilam tercekat. Dia tidak menyangka jika Jean tiba-tiba mendorong belakang kepalanya dan menciumn secara mendadak. "Hmm..." Gadis itu meremas celananya sendiri saat merasakan sensasi dingin sekaligus manis yang menyebar ke dalam mulutnya. Tapi yang makin membuat ia tak fokus karena lidah Jean yang tidak berhenti mengajak lidahnya sendiri untuk saling bergulat satu sama lain. Seandainya saja mereka tidak butuh pasokan oksigen, pasti mereka tidak akan berhenti untuk saling pagut satu sama lain. "Gimana? Makan es krim ala orang dewasa lebih enak kan?" bisik Jean di samping telinga Nilam. Gadis itu reflek mendorong dada Jean. "Untung aja lantai atas sepi. Kalau ada yang liat gimana?" "Paling yang liat CCTV!" Nilam melotot. Dia kaget bukan main saat menyadari hal itu. "Astaga!! Kamu gimana sih? Nanti kalau kita viral gimana? Nanti kalau wajah kita masuk sosmed terus jadi hujatan orang-orang gimana?" "Terus—mmphhh..." Karena berisik, Lagi-lagi Jean memutuskan untuk mencium
"Jadi kamu nganter aku pulang cuma buat marah-marah aja?" "Enggak gitu, Nilam. Aku cuma khawatir." "Aku baik-baik aja. Ngapain harus khawatir." Jean menghela nafas panjang sembari mengusap jari Nilam yang sedang menggenggamnya. "Dasar kamu!" Gadis itu memperhatikan jarinya yang begitu kecil di genggaman sang kekasih. Sampai, iseng dia berucap, "Cincinnya cocok nggak di jariku?" Jean melirik sekilas ke arah jari manis Nilam. "Tentu aja cocok. Kan aku yang pilih." "Emm... Kamu kok bisa tau ukuran jariku?" tanya Nilam sambil memperhatikan Jean. Manik hitamnya memandang sang kekasih dengan binar penuh kerinduan. "Apa gunanya kita sering gandengan tangan kayak sekarang ini?" "Oh, jadi diem-diem kamu ngukur jariku?" "Nggak cuma jari aja. Semua yang ada di kamu, aku tau banget, Nilam."
"Apa?!" Elisha melotot kaget. Dia tidak menyangka jika Nilam akan seberani ini. "Kamu bener-bener nggak punya attitude ya! Kamu mau dapat nilai kualifikasi yang buruk?" tanya wanita itu dengan raut emosi. "Iya Nilam! Kamu jangan gitu ke Bu Elisha!" bisik salah satu rekan Nilam. "Bener. Nanti kalau sertifikat magang kamu nggak keluar gimana? Sia-sia kamu kerja keras selama berminggu-minggu." "Orang dia dulu yang mulai!" Nilam masih saja keras kepala. "Tapi kan—" "Sekarang udah jelas ya gimana sifat asli kamu!" Lagi-lagi Elisha sengaja memotong ucapan Nilam. "Selain licik dan tukang tipu, kamu ini juga pinter banget ngerayu laki-laki." Elisha tertawa mencemooh. Ia lipat kedua tangannya di dada dengan wajah jengah. "Maksudnya gimana?" "Pakai pura-pura segala! Udah lupa dulu waktu masih jadi pembantu gimana tingkah laku kamu? Ke sana- ke sini
Nilam mematung. Bahkan dia hanya bisa bengong seperti orang bodoh saat Jean memasangkan cincin platina di jari manisnya. "I- ini maksudnya apa?" tanya Nilam sambil mengedipkan kedua kelopak matanya. "Aku ngelamar kamu, Nilam. Aku ingin kamu jadi istriku." "N—ngelamar? Tapi kita..." "Demi Tuhan Nilam, waktu itu aku beneran nggak bermaksud buat putus dari kamu. Aku hanya ingin mempersiapkan momen ini saja." Ia menangkup pipi Nilam. Gadis itu sudah tak bisa berkata apapun lagi kecuali menangis. "Nilam... Kenapa kamu malah nangis?" Jean panik. Ia buru-buru menghapus air mata gadis itu dan berusaha menenangkannya agar tidak mengundang rasa penasaran orang-orang. Maklum saja mereka masih di acara forum sekarang ini. "Brengsek!" Nilam memukul dada Jean. "Kamu udah bikin aku nangis semaleman gara-gara minta putus, sekarang kamu bilang itu cuma prank? Terus apa gunan
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa