"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar."
"Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aja." Saka coba memberikan saran terbaik. "Atau coba cari momen yang tepat. Walau nggak setiap hari, kita butuh itu Sob." "Masalahnya, Elisha itu super duper sibuk. Pergi pagi, pulang malem. Kadang weekend juga masih lembur. Jangankan buat gua suaminya, buat Qila anaknya aja, dia nggak ada waktu lho. Bayangin sendiri deh!" Saka. Pria berkulit agak gelap itu hanya bisa mengganggu-ganggkkan kepalanya, memang rumit jika salah satu pasangan sangat sibuk dalam bekerja. Jadi moment untuk me-time jadi terhambat. "Susah juga ya Bro," desah Saka. "Tuh kan. Lo aja bingung. Apalagi gue?" Jean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sendiri juga sudah kehabisan ide agar bisa berduaan dengan sang istri. "Eh, haus nih. Minta tolong bikinin minum kenapa? Ama tamu lo juga." Mendengar keluhan Sang sahabat, Jean hanya tersenyum kecil. Seasyikan curhat, dia sampai melupakan fakta tersebut. "Bentar. Gua panggil Nilam dulu." "Nilam? Siapa itu?" "Pembantu baru gua." Saka mengangguk paham sementara si pemilik rumah langsung memanggil Nilam, agar gadis itu segera datang. "Nilaam! Nilaaam!" "Saya Pak." "Tolong ya, bikinin kopi buat tamu saya!" Perempuan cantik itu mengangguk. "Kalau Bapak?" "Samain aja," balas Jean sambil tersenyum. Begitu Nilam pergi, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Saka adalah, perihal sosok berkulit putih tersebut. Memastikan apakah itu benar pembantu di rumah megah ini atau bukan. "Bro!" "Hm?" "Yang tadi itu— beneran pembantu lo?" Jean yang sedang memainkan ponselnya, hanya mengangguk. "Iya." "Serius?" Saka reflek nge-gas. "Cewek secantik itu jadi pembantu?!" "Apa sih? Lebay banget deh." Saka menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir. "Dia nggak cocok bro jadi pembantu. Cocoknya tuh jadi artis." Jean menarik sebelah sudut bibirnya. "Ya sama. Gue juga mikir gitu sebelumya. Tapi, itu emang kerjaan dia. Katanya nggak masalah jadi pembantu asal halal." "Ckckckc. Sayang banget sih itu. Mana masih muda kan? Umur berapa?" "Apa sih pakai nanya-nanya umur segala? Naksir lo?" Pria berkulit sawo matang itu menepuk bahu Jean. "Ya iyalah bro. Cewek cantik dan seksi gitu nggak pantes jadi ART. Cocoknya sih, jadi istri." Jean tertawa usai mendengar ucapan sang sahabat. Pun Saka yang juga melakukan hal serupa. "Eling bro! Eling! Lo kan udah punya anak bini! Jangan sampai khilaf." Saka menggelengkan kepalanya. Tidak terima dikira khilaf oleh pria sebayanya itu. "Harusnya gue yang bilang gitu. Takutnya lo yang khilaf, soalnya tiap hari ketemu si— siapa tadi namanya? Nilam." Jean hanya meringis. Meskipun haus belaian, tapi mana bisa dia goyah. Hatinya tetap untuk Elisha yang amat dia cinta. Tak berapa lama kemudian, Nilam muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan. "Silahkan Pak, diminum kopinya." "Makasih ya Nilam," ucap Jean sambil mempersilakan perempuan muda itu pergi dari hadapannya. "Gila, bodynya cakep banget itu pembantu," celetuk Saka sambil memperhatikan cara jalan Nilam dari belakang. Memang biasa saja, tapi di matanya tiap langkah Nilam sudah seperti model profesional. "Pinggulnya, pantatnya, perfect banget nggak sih?" Jean berdehem. Mengabaikan ucapan temannya yang 1000% benar. "Bahaya banget nih kalau cuma lo sama Nilam berduaan di rumah. Takut ada setan trus lo jadi khilaf," sindir Saka. Jean mendengkus. "Gila aja lo. Gue bukan cowok macam gitu. Gue cuma setia sama satu perempuan." "Mulut manusia itu emang munafik ya. Padahal kalau disuguhi cewek cantik macam Nilam, lo juga nggak akan nolak kan?" Pria 30 tahun itu menggelengkan kepalanya. Berusaha menunjukkan ekspresi ketidaktertarikan. "Udah, jangan berisik lo! Nih minum kopinya!" * Agak siang, Saka pamit untuk pulang. Karena urusan mereka sudah selesai dan Jean juga harus bersiap menjemput anaknya. Sebelum pergi dengan motornya, Saka sempat memberi pesan untuk hati-hati. Hati-hati takut ada setan yang masuk dan membuatnya berani main belakang dengan Nilam. Tentu saja hal itu hanya dibalas candaan oleh Jean. Sekali lagi, secantik apapun wanita yang ditemuinya, tapi cintanya tetap hanya untuk Elisha. "Bapak mau makan siang? Saya udah masak ayam goreng sama oseng buncis." Nilam menghampiri Jean yang sibuk dengan laptopnya di ruang tamu. Dia menawarkan makan siang dengan senyum ramah yang terlampau manis. Jean tertegun selama beberapa saat. Senyum milik Nilam seakan menghipnotisnya. Cantik sekali. Dan apa itu tadi? Makan siang? Dia bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya ada seseorang yang menawarkan makan siang karena dia biasa masak sendiri dan akan memakannya seorang diri. "Aku makannya nanti aja, nungguin Qila," jawab Jean kemudian. "Mumpung masih anget lho Pak. Sayang kalau harus nunggu nanti," balas Nilam. " Untuk Mbak Qila, nanti saya bisa masakin sendiri, biar anget." Pria tampan itu ingin menolak. Tapi apesnya, perutnya malah berbunyi cukup keras tanda jika dia sedang kelaparan. 'Brengsek nih perut,' makinya dalam hati. Apalagi saat melihat Nilam menahan tawa diam-diam. "Ya udah, ayo makan!" ajaknya sambil berdiri. Nilam tertegun. "Eh, gimana Pak?" Bingung perempuan 20 tahun itu. "Kamu ngajak saya makan kan? Jadi ayo kita makan bareng!" ucapnya lagi. Nilam makin bingung. "Mana boleh dong Pak. Saya kan cuma pembantu, mana sopan kalau harus makan sama-sama bapak." "Ya gimana lagi, saya paling nggak bisa kalau harus makan seorang diri. Jadi mau nggak mau kamu harus nurut!" ucap Jean lagi. Nilam hanya mendukkan kepalanya. Dia dibuat kehabisan kata karena ucapan pria itu. "Saya, pasrah deh Pak kalau gitu." Jean menoleh sekilas ke arah Nilam. 'Pasrah? Kayak mau diapain aja,' gumamnya dalam hati. Sungguh kata itu sedikit membuatnya ambigu untuk saat ini."Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga
Hari ini, Nilam benar-benar tak tahu akan dibawa ke mana oleh Jean. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dari raut wajahnya, Jean tampak begitu bersemangat, seakan-akan telah menunggu momen ini sejak lama. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bangunan apartemen mewah itu menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan dan eksklusivitas. Fasade bangunan yang berlapis kaca tampak berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. "Selamat datang," ucap Jean dengan senyum penuh arti. Nilam menatapnya dengan bingung sekaligus penasaran. "Kita ke sini ngapain, Pak?" Jean tak langsung menjawab. Ia justru menggandeng tangan Nilam, membawanya masuk ke dalam lobi yang sangat luas dan elegan. Lantai marmernya mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung menambah kesan mewah. Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, sementara beberapa penghuni yang terlihat lewat berpakaian rapi
Nilam sudah siap sejak pagi, dia duduk di ruang tamu dengan kaki bersilang, mengenakan gaun selutut krem dengan motif bunga yang membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Pandangannya sesekali mengarah ke layar ponsel, namun ia menahan diri untuk tidak menghubungi Jean.Sesuai janji pria itu semalam, mereka akan pergi ke suatu tempat—meski Jean tak menyebutkan di mana. Nilam sebenarnya penasaran, tapi di sisi lain ia juga menikmati sensasi kejutan yang pria itu siapkan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ibunya, Bu Mala, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh di tangan. Wanita paruh baya itu mengenakan daster batik favoritnya, rambutnya disanggul seadanya. Ia lalu duduk di sebelah Nilam dengan santai.“Masih belum datang ya si Jean?” tanyanya, menyesap teh melati yang aromanya begitu khas. “Belum, Ma. Kayaknya masih di jalan.” “Coba chat aja?” Nilam menggeleng. “Nggak deh. Takutnya dia l