Share

Bab 04

"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar."

"Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia."

Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya.

"Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang."

"Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam.

Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya.

"Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aja." Saka coba memberikan saran terbaik. "Atau coba cari momen yang tepat. Walau nggak setiap hari, kita butuh itu Sob."

"Masalahnya, Elisha itu super duper sibuk. Pergi pagi, pulang malem. Kadang weekend juga masih lembur. Jangankan buat gua suaminya, buat Qila anaknya aja, dia nggak ada waktu lho. Bayangin sendiri deh!"

Saka. Pria berkulit agak gelap itu hanya bisa mengganggu-ganggkkan kepalanya, memang rumit jika salah satu pasangan sangat sibuk dalam bekerja. Jadi moment untuk me-time jadi terhambat.

"Susah juga ya Bro," desah Saka.

"Tuh kan. Lo aja bingung. Apalagi gue?" Jean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sendiri juga sudah kehabisan ide agar bisa berduaan dengan sang istri.

"Eh, haus nih. Minta tolong bikinin minum kenapa? Ama tamu lo juga."

Mendengar keluhan Sang sahabat, Jean hanya tersenyum kecil. Seasyikan curhat, dia sampai melupakan fakta tersebut. "Bentar. Gua panggil Nilam dulu."

"Nilam? Siapa itu?"

"Pembantu baru gua."

Saka mengangguk paham sementara si pemilik rumah langsung memanggil Nilam, agar gadis itu segera datang.

"Nilaam! Nilaaam!"

"Saya Pak."

"Tolong ya, bikinin kopi buat tamu saya!"

Perempuan cantik itu mengangguk. "Kalau Bapak?"

"Samain aja," balas Jean sambil tersenyum.

Begitu Nilam pergi, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Saka adalah, perihal sosok berkulit putih tersebut. Memastikan apakah itu benar pembantu di rumah megah ini atau bukan.

"Bro!"

"Hm?"

"Yang tadi itu— beneran pembantu lo?"

Jean yang sedang memainkan ponselnya, hanya mengangguk. "Iya."

"Serius?" Saka reflek nge-gas. "Cewek secantik itu jadi pembantu?!"

"Apa sih? Lebay banget deh."

Saka menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir. "Dia nggak cocok bro jadi pembantu. Cocoknya tuh jadi artis."

Jean menarik sebelah sudut bibirnya. "Ya sama. Gue juga mikir gitu sebelumya. Tapi, itu emang kerjaan dia. Katanya nggak masalah jadi pembantu asal halal."

"Ckckckc. Sayang banget sih itu. Mana masih muda kan? Umur berapa?"

"Apa sih pakai nanya-nanya umur segala? Naksir lo?"

Pria berkulit sawo matang itu menepuk bahu Jean. "Ya iyalah bro. Cewek cantik dan seksi gitu nggak pantes jadi ART. Cocoknya sih, jadi istri."

Jean tertawa usai mendengar ucapan sang sahabat. Pun Saka yang juga melakukan hal serupa.

"Eling bro! Eling! Lo kan udah punya anak bini! Jangan sampai khilaf."

Saka menggelengkan kepalanya. Tidak terima dikira khilaf oleh pria sebayanya itu.

"Harusnya gue yang bilang gitu. Takutnya lo yang khilaf, soalnya tiap hari ketemu si— siapa tadi namanya? Nilam."

Jean hanya meringis. Meskipun haus belaian, tapi mana bisa dia goyah. Hatinya tetap untuk Elisha yang amat dia cinta.

Tak berapa lama kemudian, Nilam muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan.

"Silahkan Pak, diminum kopinya."

"Makasih ya Nilam," ucap Jean sambil mempersilakan perempuan muda itu pergi dari hadapannya.

"Gila, bodynya cakep banget itu pembantu," celetuk Saka sambil memperhatikan cara jalan Nilam dari belakang. Memang biasa saja, tapi di matanya tiap langkah Nilam sudah seperti model profesional. "Pinggulnya, pantatnya, perfect banget nggak sih?"

Jean berdehem. Mengabaikan ucapan temannya yang 1000% benar.

"Bahaya banget nih kalau cuma lo sama Nilam berduaan di rumah. Takut ada setan trus lo jadi khilaf," sindir Saka.

Jean mendengkus. "Gila aja lo. Gue bukan cowok macam gitu. Gue cuma setia sama satu perempuan."

"Mulut manusia itu emang munafik ya. Padahal kalau disuguhi cewek cantik macam Nilam, lo juga nggak akan nolak kan?"

Pria 30 tahun itu menggelengkan kepalanya. Berusaha menunjukkan ekspresi ketidaktertarikan. "Udah, jangan berisik lo! Nih minum kopinya!"

*

Agak siang, Saka pamit untuk pulang. Karena urusan mereka sudah selesai dan Jean juga harus bersiap menjemput anaknya. Sebelum pergi dengan motornya, Saka sempat memberi pesan untuk hati-hati.

Hati-hati takut ada setan yang masuk dan membuatnya berani main belakang dengan Nilam.

Tentu saja hal itu hanya dibalas candaan oleh Jean. Sekali lagi, secantik apapun wanita yang ditemuinya, tapi cintanya tetap hanya untuk Elisha.

"Bapak mau makan siang? Saya udah masak ayam goreng sama oseng buncis." Nilam menghampiri Jean yang sibuk dengan laptopnya di ruang tamu. Dia menawarkan makan siang dengan senyum ramah yang terlampau manis.

Jean tertegun selama beberapa saat. Senyum milik Nilam seakan menghipnotisnya. Cantik sekali. Dan apa itu tadi? Makan siang? Dia bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya ada seseorang yang menawarkan makan siang karena dia biasa masak sendiri dan akan memakannya seorang diri.

"Aku makannya nanti aja, nungguin Qila," jawab Jean kemudian.

"Mumpung masih anget lho Pak. Sayang kalau harus nunggu nanti," balas Nilam. " Untuk Mbak Qila, nanti saya bisa masakin sendiri, biar anget."

Pria tampan itu ingin menolak. Tapi apesnya, perutnya malah berbunyi cukup keras tanda jika dia sedang kelaparan.

'Brengsek nih perut,' makinya dalam hati. Apalagi saat melihat Nilam menahan tawa diam-diam.

"Ya udah, ayo makan!" ajaknya sambil berdiri.

Nilam tertegun. "Eh, gimana Pak?" Bingung perempuan 20 tahun itu.

"Kamu ngajak saya makan kan? Jadi ayo kita makan bareng!" ucapnya lagi.

Nilam makin bingung. "Mana boleh dong Pak. Saya kan cuma pembantu, mana sopan kalau harus makan sama-sama bapak."

"Ya gimana lagi, saya paling nggak bisa kalau harus makan seorang diri. Jadi mau nggak mau kamu harus nurut!" ucap Jean lagi.

Nilam hanya mendukkan kepalanya. Dia dibuat kehabisan kata karena ucapan pria itu. "Saya, pasrah deh Pak kalau gitu."

Jean menoleh sekilas ke arah Nilam. 'Pasrah? Kayak mau diapain aja,' gumamnya dalam hati. Sungguh kata itu sedikit membuatnya ambigu untuk saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status