"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar."
"Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aja." Saka coba memberikan saran terbaik. "Atau coba cari momen yang tepat. Walau nggak setiap hari, kita butuh itu Sob." "Masalahnya, Elisha itu super duper sibuk. Pergi pagi, pulang malem. Kadang weekend juga masih lembur. Jangankan buat gua suaminya, buat Qila anaknya aja, dia nggak ada waktu lho. Bayangin sendiri deh!" Saka. Pria berkulit agak gelap itu hanya bisa mengganggu-ganggkkan kepalanya, memang rumit jika salah satu pasangan sangat sibuk dalam bekerja. Jadi moment untuk me-time jadi terhambat. "Susah juga ya Bro," desah Saka. "Tuh kan. Lo aja bingung. Apalagi gue?" Jean menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sendiri juga sudah kehabisan ide agar bisa berduaan dengan sang istri. "Eh, haus nih. Minta tolong bikinin minum kenapa? Ama tamu lo juga." Mendengar keluhan Sang sahabat, Jean hanya tersenyum kecil. Seasyikan curhat, dia sampai melupakan fakta tersebut. "Bentar. Gua panggil Nilam dulu." "Nilam? Siapa itu?" "Pembantu baru gua." Saka mengangguk paham sementara si pemilik rumah langsung memanggil Nilam, agar gadis itu segera datang. "Nilaam! Nilaaam!" "Saya Pak." "Tolong ya, bikinin kopi buat tamu saya!" Perempuan cantik itu mengangguk. "Kalau Bapak?" "Samain aja," balas Jean sambil tersenyum. Begitu Nilam pergi, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Saka adalah, perihal sosok berkulit putih tersebut. Memastikan apakah itu benar pembantu di rumah megah ini atau bukan. "Bro!" "Hm?" "Yang tadi itu— beneran pembantu lo?" Jean yang sedang memainkan ponselnya, hanya mengangguk. "Iya." "Serius?" Saka reflek nge-gas. "Cewek secantik itu jadi pembantu?!" "Apa sih? Lebay banget deh." Saka menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir. "Dia nggak cocok bro jadi pembantu. Cocoknya tuh jadi artis." Jean menarik sebelah sudut bibirnya. "Ya sama. Gue juga mikir gitu sebelumya. Tapi, itu emang kerjaan dia. Katanya nggak masalah jadi pembantu asal halal." "Ckckckc. Sayang banget sih itu. Mana masih muda kan? Umur berapa?" "Apa sih pakai nanya-nanya umur segala? Naksir lo?" Pria berkulit sawo matang itu menepuk bahu Jean. "Ya iyalah bro. Cewek cantik dan seksi gitu nggak pantes jadi ART. Cocoknya sih, jadi istri." Jean tertawa usai mendengar ucapan sang sahabat. Pun Saka yang juga melakukan hal serupa. "Eling bro! Eling! Lo kan udah punya anak bini! Jangan sampai khilaf." Saka menggelengkan kepalanya. Tidak terima dikira khilaf oleh pria sebayanya itu. "Harusnya gue yang bilang gitu. Takutnya lo yang khilaf, soalnya tiap hari ketemu si— siapa tadi namanya? Nilam." Jean hanya meringis. Meskipun haus belaian, tapi mana bisa dia goyah. Hatinya tetap untuk Elisha yang amat dia cinta. Tak berapa lama kemudian, Nilam muncul dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan. "Silahkan Pak, diminum kopinya." "Makasih ya Nilam," ucap Jean sambil mempersilakan perempuan muda itu pergi dari hadapannya. "Gila, bodynya cakep banget itu pembantu," celetuk Saka sambil memperhatikan cara jalan Nilam dari belakang. Memang biasa saja, tapi di matanya tiap langkah Nilam sudah seperti model profesional. "Pinggulnya, pantatnya, perfect banget nggak sih?" Jean berdehem. Mengabaikan ucapan temannya yang 1000% benar. "Bahaya banget nih kalau cuma lo sama Nilam berduaan di rumah. Takut ada setan trus lo jadi khilaf," sindir Saka. Jean mendengkus. "Gila aja lo. Gue bukan cowok macam gitu. Gue cuma setia sama satu perempuan." "Mulut manusia itu emang munafik ya. Padahal kalau disuguhi cewek cantik macam Nilam, lo juga nggak akan nolak kan?" Pria 30 tahun itu menggelengkan kepalanya. Berusaha menunjukkan ekspresi ketidaktertarikan. "Udah, jangan berisik lo! Nih minum kopinya!" * Agak siang, Saka pamit untuk pulang. Karena urusan mereka sudah selesai dan Jean juga harus bersiap menjemput anaknya. Sebelum pergi dengan motornya, Saka sempat memberi pesan untuk hati-hati. Hati-hati takut ada setan yang masuk dan membuatnya berani main belakang dengan Nilam. Tentu saja hal itu hanya dibalas candaan oleh Jean. Sekali lagi, secantik apapun wanita yang ditemuinya, tapi cintanya tetap hanya untuk Elisha. "Bapak mau makan siang? Saya udah masak ayam goreng sama oseng buncis." Nilam menghampiri Jean yang sibuk dengan laptopnya di ruang tamu. Dia menawarkan makan siang dengan senyum ramah yang terlampau manis. Jean tertegun selama beberapa saat. Senyum milik Nilam seakan menghipnotisnya. Cantik sekali. Dan apa itu tadi? Makan siang? Dia bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya ada seseorang yang menawarkan makan siang karena dia biasa masak sendiri dan akan memakannya seorang diri. "Aku makannya nanti aja, nungguin Qila," jawab Jean kemudian. "Mumpung masih anget lho Pak. Sayang kalau harus nunggu nanti," balas Nilam. " Untuk Mbak Qila, nanti saya bisa masakin sendiri, biar anget." Pria tampan itu ingin menolak. Tapi apesnya, perutnya malah berbunyi cukup keras tanda jika dia sedang kelaparan. 'Brengsek nih perut,' makinya dalam hati. Apalagi saat melihat Nilam menahan tawa diam-diam. "Ya udah, ayo makan!" ajaknya sambil berdiri. Nilam tertegun. "Eh, gimana Pak?" Bingung perempuan 20 tahun itu. "Kamu ngajak saya makan kan? Jadi ayo kita makan bareng!" ucapnya lagi. Nilam makin bingung. "Mana boleh dong Pak. Saya kan cuma pembantu, mana sopan kalau harus makan sama-sama bapak." "Ya gimana lagi, saya paling nggak bisa kalau harus makan seorang diri. Jadi mau nggak mau kamu harus nurut!" ucap Jean lagi. Nilam hanya mendukkan kepalanya. Dia dibuat kehabisan kata karena ucapan pria itu. "Saya, pasrah deh Pak kalau gitu." Jean menoleh sekilas ke arah Nilam. 'Pasrah? Kayak mau diapain aja,' gumamnya dalam hati. Sungguh kata itu sedikit membuatnya ambigu untuk saat ini."Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Omong-omong, Nilam. Aku penasaran sama sesuatu nih.""Soal apa?""Gimana wajah Bos kita? Dia pasti bapak-bapak paruhbaya ya?"Nilam hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan Talita, tapi ia tidak langsung menjawab. Ia sengaja membiarkan temannya menebak-nebak.“Eh, gimana, Nilam?” Talita memandangnya dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. “Dia pasti tipikal bos-bos kebanyakan, kan? Udah agak tua, pakai kacamata, rambut mulai beruban, tapi tetap kelihatan karismatik. Bener nggak?”Nilam terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Enggak, dia gak kayak gitu.”“Loh?” Talita memiringkan kepala, semakin penasaran. “Kalau gak kayak gitu, terus kayak gimana? Jangan-jangan dia tipe bos yang galak dan suka marah-marah?”Nilam terdiam sesaat, mencoba merangkai kata-kata. “Dia... gimana ya, Mba? Pokoknya jauh dari bayangan kamu deh. Dia kayaknya sih masih muda, mungkin sekitar 35 tahunan. Gayanya juga santai, tapi kelihatan tegas. Terus...
“Sekretaris pribadi? Maksudmu, sekretarisnya Jean Adrian? Pemilik perusahaan ini?” Nilam mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun suara Talita membuat semua keraguannya terasa semakin nyata. Talita menatap Nilam dengan campuran rasa kagum. "Kamu keren banget Nilam."Nilam menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai. “Keren apanya?"Talita masih memandangi Nilam dengan wajah kagum. “Keren apanya? Nilam, Kamu sadar gak sih? Dari sekian banyak orang di sini, kamu yang dipilih buat jadi sekretaris pribadi! Itu keren banget, loh!”Nilam menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi terasa kacau. “Tapi aku gak yakin aku pantas buat posisi itu, Mba. Aku gak punya pengalaman apa-apa soal jadi sekretaris. Lagian, kenapa harus aku? Masih banyak orang lain yang lebih cocok padahal. Yang lebih pengalaman maksudnya.” Talita memiringkan kepala, bingung mendengar keraguan Nilam.
Jean menatap Nilam dengan tatapan tajam yang sulit ditebak, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada tegas namun lembut. "Saya ingin kamu menjadi sekretaris pribadi saya."Mata Nilam melebar, wajahnya dipenuhi keterkejutan. "S-sekretaris pribadi, Pak?" ucapnya, setengah gagap. Ia bahkan tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.Jean mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada wajah Nilam yang tampak bingung. "Iya. Sekretaris pribadi. Saya tahu kamu tidak melamar untuk posisi ini, tapi setelah melihat profil kamu dan berbicara langsung denganmu, saya merasa kamu kandidat yang tepat."Nilam menelan ludah, mencoba mencerna situasi ini. "T-tapi Pak, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris. Saya takut bapak kecewa."Jean menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya berubah menjadi lebih santai. "Tidak perlu khawatir soal pengalaman. Tugas seorang sekretaris pribadi sebenarnya cukup sederhana, Nilam. Kamu hanya perlu membantu saya mengatur jad
“Baik, Nilam. Kalau boleh tahu, apa alasan kamu melamar di perusahaan kami? Apa yang membuat kamu tertarik?”Nilam tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih canggung. “Saya pikir, perusahaan ini menawarkan peluang yang baik untuk berkembang, dan posisinya juga sesuai dengan yang saya cari.” Jean mengamati Nilam dengan cermat. Matanya yang tajam menangkap kegelisahan kecil di wajah gadis itu “Baiklah,” kata Jean, menutup berkas di depannya. “Nilam, apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini? Selain, tentu saja, penghasilan yang kamu sebutkan tadi.”Nilam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Saya ingin menambah pengalaman dan belajar lebih banyak. Saya percaya, lingkungan kerja yang mendukung seperti perusahaan ini akan memberikan banyak peluang untuk itu.”"Jadi kamu kerja hanya untuk pengalaman saja?""Bukan cuma itu saja sih, Pak.""Lalu?""Saya juga cari penghasil yang lebih baik daripada pekerjaan saya yang sebelu
Jean tidak bisa membohongi dirinya lagi. Pertemuan singkat dengan Nilam tadi membuat semua kenangan yang ia pendam selama bertahun-tahun mendadak menyeruak ke permukaan. Meski tahu tidak seharusnya ia terlibat lagi dalam kehidupan Nilam, hatinya tidak bisa tenang sebelum memastikan satu hal—apakah gadis itu benar-benar mantan kekasihnya yang dulu begitu ia cintai.Ia segera bergegas menuju ruang HRD. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tetapi karena perasaan gugup yang bercampur dengan rasa rindu. Sesampainya di depan pintu, Jean mengetuk pelan sebelum masuk."Selamat siang, Pak Jean," sapa salah satu staff HRD sambil berdiri. Jean mengangguk kecil. "Siang. Aku ingin bicara sebentar, soal salah satu kandidat yang kalian interview hari ini.""Oh, tentu saja, Pak. Kandidat yang mana ya?" tanya staff itu sambil membuka berkas daftar kandidat di tangannya.Jean menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Namanya Nilam."
"Nilam udah sadar, Je. Tapi dia kehilangan memorinya selama beberapa tahun terakhir.""Bukannya itu lebih baik Tante? Supaya Nilam bisa melupakan hal-hal buruk saat sama saya.""Tapi dulu Nilam pernah bilang, meskipun menjadi pacar kamu terlalu berisiko dan berat tapi dia tetap menyukainya.""Itu karena dia yang terlalu baik Tante. Padahal kalau ga ada saya, hidup dia pasti bisa lebih baik lagi."***"Ini Pak berkasnya! Tolong jangan marah ya! Saya beneran ga sengaja." Nilam mengulurkan kertas yang dia pegang ke arah lelaki di depannya. Dia panik sekali karena sudah membuat kekacauan."P- Pak... Bapak kenapa?" beo gadis berkemeja putih itu ketika melihat si pria yang hanya melamun sambil memandanginya. 'Dia kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Apa aku cepirit di rok?' Dengan muka panik dia mengecek roknya.'Huh... Ternyata enggak.' "Pak... Bapak!""Eh- Maaf." Sentakan pelan Nilam membuat pria itu tersadar
Dua tahun kemudian... "Mama!" Bu Mala tersentak kecil saat Nilam putrinya, mendadak muncul dan memeluk pinggangnya. Wanita paruh baya itu balik ke belakang hanya untuk mendapati cengiran polos anak tunggalnya. "Ya ampun, Nilam! Kamu bikin Mama kaget aja." Gadis itu hanya meringis. Ia menarik salah satu kursi yang ada dan duduk di sana. "Mama tuh yang terlalu fokus. Sampai ga sadar pas aku turun." Bu Mala mendengkus. Ia melanjutkan kegiatannya, mengoles mentega sebelum di masukkan ke dalam mesin Breadtoats. "Kamu rapi banget? Mau ada janji ama Nana?" Gadis berambut sebahu itu menggeleng. "Enggak." "Terus mau ke mana?" "Hari ini aku mau cari kerja, Ma." Bu Mala, bukannya senang mendengar ucapan putrinya, justru langsung mengerutkan dahi sambil memasang wajah sangsi. "Ada angin apa kamu tiba-tiba pengen cari kerja?" "Nilam bosen, Ma," jawab gadis itu setelah menenggak habis segelas jus jeruk buatan ibunya. "Hampir 2 tahun setelah lulus kuliah, Nilam jadi beban Mama." "Lah kamu,
Sebulan kemudian, Jean memberanikan diri untuk mendatangi Bu Mala dan sekaligus menjenguk Nilam. Dia tidak yakin akan disambut baik oleh Bu Mala, tapi setidaknya dia harus datang untuk menyampaikan sesuatu.Dan kini, keduanya duduk di bangku depan ruangan Nilam. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol di sana. Saling bertanya kabar. Saling mengucapkan maaf, dan beberapa hal penting lainnya."Aku tau ini pasti berat sekali buat kamu kan?" Itulah kira-kira yang Bu Mala ucapkan pertama kali setelah mendengar gagasan Jean mengenai hal apa yang selanjutnya akan dia lakukan."Saya pikir, ini yang terbaik buat kita semua Tante. Buat, Nilam, Qila, dan saya." Jean menatap lawan bicaranya tanpa ragu sedikitpun. "Lagi pula saya sedikit khawatir tidak bisa menjalankan amanat yang tante berikan."Bu Mala menghela nafas panjang. Dia tau Jean mungkin masih sakit hati dengan perkataannya dulu. Tapi apa yang dia ucapkan itu berdasarkan fakta, walau terasa sangat m
"Di mana Elisha sekarang?""Aku ga tau.""Berapa lama kamu bakal nyembunyiin keberadaannya? Kamu ga takut bakal di hukum berat karena nyembunyiin dia?!"Dikta melihat beberapa penyidik yang duduk di depannya. Hampir semalaman dia berada disebuah ruangan interogasi guna menyelidiki di mana keberadaan Elisha, si pelaku utama."Mau ditanya berapa kali pun, jawabannya tetap sama. Aku ga tau di mana Elisha."Braak!Suara gebrakan meja yang cukup keras tak membuat nyali Dikta menciut. Dia sudah sering menghadapi orang-orang seperti mereka. Segala tekanan selama menjabat jadi CEO hampir mirip dengan kondisinya sekarang."Padahal semua bukti itu sudah jelas. Tapi kenapa kamu keras kepala sekali?" tukas polisi berpakaian preman tersebut. "Bahkan di mobil itu ada sidik jari Elisha di sana."Dikta berusaha untuk tetap memasang raut tenangnya. Dia tidak mau goyah walaupun semua tuduhan itu tepat tertuju padanya."A