Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..."
"Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat punggungnya. "Elis, boleh nggak aku— ngelakuin itu?" Demi apapun, Jean merasa sangat sungkan saat meminta jatah pada istrinya. Bukannya apa, dia hanya takut perempuan di depannya ini akan menolaknya seperti yang sudah-sudah. Elisha menatap mata suaminya dari cermin. Melihat wajah sang suami yang tampak ragu ketika meminta itu padanya, membuat ia merasa berdosa. Ia sangat bersalah karena telah membuat suaminya kurang kasih sayang seperti ini. "Aku tau kamu capek, tapi—" Elisha berdiri sebelum sang suami menyelesaikan ucapannya. Ia peluk tubuh pria itu sambil berkata, "Maafin aku ya Mas. Aku kurang perhatian ke kamu. Pasti kamu kesepian banget kan?" Jangan ditanya seperti apa reaksi Jean sekarang ini. Dia sangat tidak menyangka jika Elisha akan memeluknya begini. "Elisha—" "Malam ini, aku milik kamu Mas. Aku akan 'melayani' kamu sampai kamu merasa puas," ucap Elisha dengan pipi merona merah. Jean tak tahan lagi. Miliknya menggembung semakin besar, hanya karena lampu hijau yang istrinya berikan. Ia langsung mencium bibir ranum Elisha tanpa ragu. Merasa aroma segar dari pasta gigi yang baru saja digunakan istrinya. "Mmmphh... Mmmm..." Tanpa melepas ciumannya Jean menuntun sang istri untuk tidur di atas ranjang. Memenjara tubuh ramping Elisha agar tak bisa ke mana-mana. "Mas... Santai aja... Malam masih panjang kok!" ucap Elisha sambil memejamkan mata. Menikmati kecupan serta hisapan yang dilakukan Jean di area lehernya. Memberikan tanda kemerahan di sana sebagai bukti jika mereka saling memiliki. Jean tak peduli. Nafsunya membuat ia lupa diri. Sekian lama tak menyentuh Elisha, lalu sekarang sang istri memberikan kesempatan untuk bercinta membuat Jean sedikit kalap. "Maafin aku sayang, tapi kamu bikin aku bergairah." "Aku tau Mas, aku juga rindu sekali ingin disentuh sama kamu Mas." Jean tersenyum miring. Ia kecup bibir istrinya dengan lembut. Sementara kedua tangannya, mulai menggrilya di area bagian depan tubuh Elisha. Ia memijat lembut gundukan kenyal milik istrinya hingga membuat wajah sang istri makin merona hebat. Dengan perlahan dan mata yang menatap lekat ke arah istrinya, Jean mulai menurunkan gaun tidur yang istrinya kenakan. Sepasang gunung kembar yang masih tertutup bra hitam itu menarik perhatian pria itu. Tanpa ragu, Jean ingin melucuti bra tersebut. Namun belum sempat itu terjadi, ponsel Elisha mendadak berdering. Bunyinya cukup nyaring hingga membuat Elisha terkejut. "Mas, ada telfon." Jean tak menggubris. Ia sibuk memberikan jejak di gundukan kenyal tersebut. "Mas..." "Biarin aja Sha! Nanti juga mati sendiri!" "Tapi itu kayaknya itu telfon dari Bos," ucap Elisha dengan sedikit khawatir. Raut wajahnya yang tampak resah membuat Jean menghentikan aksinya. "Aku cek bentar ya Mas, siapa tau penting," pinta perempuan itu pada suaminya. Jean mendengkus. Mau tak mau ia menyingkir dari atas tubuh istrinya dan mempersilahkan perempuan berambut panjang itu untuk mengambil ponselnya yang terus berdering. "Bentar Mas..." Elisha merapikan bajunya yang sudah berantakan dan meninggalkan Jean yang masih dalam mode bergairah. Meskipun wajah Papa kandung Qila itu sudah terlihat kesal, tapi hal itu sama sekali tak digubris oleh Elisha. Bagi perempuan cantik tersebut, telfon dari Bosnya jauh lebih penting dari apapun. "Shit!" Jean mengumpat kesal. Menatap miliknya yang kini sudah mulai lesu karena Elisha terlalu lama menerima telfon tersebut. "Apa sih yang mereka bicarakan?" ketus pria itu sambil menatap istrinya yang sedang mengobrol di balkon. "Memangnya, seharian ketemu di kantor nggak cukup apa buat bahas kerjaan? Kenapa saat di rumah si Bos masih saja mengganggu Elisha?" Wajar jika Jean merasa kesal. Karena sejak bekerja ia seperti kehilangan momen bersama dengan istrinya. Si Bos benar-benar menguasi Elisha. Dan itu membuatnya amak muak dan jengah. Lima menit, Jean masih bisa sabar. Sepuluh menit. Wajah pria itu kian muram dan tampak kesal. Dua puluh menit berlalu, Jean pun memutuskan untuk mencuci muka sebelum turun ke bawah. Minatnya untuk bercinta dengan Elisha seketika pupus karena istrinya kembali sibuk dengan urusan pekerjaan. * * * Saat turun ke bawah, pria itu langsung berjalan ke pantry. Dia berniat untuk membuat kopi untuk menghilangkan rasa suntuknya. Namun yang membuat ia terkejut, adalah kehadiran Nilam yang ternyata masih belum tidur. Ia memperhatikan si pembantu yang sedang merapikan dapur setelah memindahkan makan malam ke dalam wadah untuk di simpan ke dalam kulkas. "Nilam." Mendengar namanya dipanggil, Nilam pun langsung balik badan. Ia terlihat heran saat mendapati sang majikan berjalan ke arahnya. "Pak Jean belum tidur?" tanya Nilam dengan lembut. Nadanya yang sopan itu membuat siapa saja yang mendengarnya merasa sangat tenang. "Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu?" Jean mendekati sang pembantu. Penasaran apa yang membuat wanita itu masih belum juga istirahat dan tidur. "Ini udah jam 11 lewat lho. Kamu nggak capek apa? Kan besok harus bangun pagi?" "Saya nggak bisa tidur Pak. Makanya inisiatif berberes dapur sambil buang-buang bahan makanan ama bumbu yang udah kadaluwarsa," Jelas Nilam. "Apa saya terlalu berisik Pak?" "Enggak! Aku nggak kebangun karena suara kamu kok. Kebetulan aku juga belum tidur. Nilam menganggukkan kepalanya ketika mendengar penjelasan Jean. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. "Aku mau buat kopi." Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?"Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan