Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..."
"Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat punggungnya. "Elis, boleh nggak aku— ngelakuin itu?" Demi apapun, Jean merasa sangat sungkan saat meminta jatah pada istrinya. Bukannya apa, dia hanya takut perempuan di depannya ini akan menolaknya seperti yang sudah-sudah. Elisha menatap mata suaminya dari cermin. Melihat wajah sang suami yang tampak ragu ketika meminta itu padanya, membuat ia merasa berdosa. Ia sangat bersalah karena telah membuat suaminya kurang kasih sayang seperti ini. "Aku tau kamu capek, tapi—" Elisha berdiri sebelum sang suami menyelesaikan ucapannya. Ia peluk tubuh pria itu sambil berkata, "Maafin aku ya Mas. Aku kurang perhatian ke kamu. Pasti kamu kesepian banget kan?" Jangan ditanya seperti apa reaksi Jean sekarang ini. Dia sangat tidak menyangka jika Elisha akan memeluknya begini. "Elisha—" "Malam ini, aku milik kamu Mas. Aku akan 'melayani' kamu sampai kamu merasa puas," ucap Elisha dengan pipi merona merah. Jean tak tahan lagi. Miliknya menggembung semakin besar, hanya karena lampu hijau yang istrinya berikan. Ia langsung mencium bibir ranum Elisha tanpa ragu. Merasa aroma segar dari pasta gigi yang baru saja digunakan istrinya. "Mmmphh... Mmmm..." Tanpa melepas ciumannya Jean menuntun sang istri untuk tidur di atas ranjang. Memenjara tubuh ramping Elisha agar tak bisa ke mana-mana. "Mas... Santai aja... Malam masih panjang kok!" ucap Elisha sambil memejamkan mata. Menikmati kecupan serta hisapan yang dilakukan Jean di area lehernya. Memberikan tanda kemerahan di sana sebagai bukti jika mereka saling memiliki. Jean tak peduli. Nafsunya membuat ia lupa diri. Sekian lama tak menyentuh Elisha, lalu sekarang sang istri memberikan kesempatan untuk bercinta membuat Jean sedikit kalap. "Maafin aku sayang, tapi kamu bikin aku bergairah." "Aku tau Mas, aku juga rindu sekali ingin disentuh sama kamu Mas." Jean tersenyum miring. Ia kecup bibir istrinya dengan lembut. Sementara kedua tangannya, mulai menggrilya di area bagian depan tubuh Elisha. Ia memijat lembut gundukan kenyal milik istrinya hingga membuat wajah sang istri makin merona hebat. Dengan perlahan dan mata yang menatap lekat ke arah istrinya, Jean mulai menurunkan gaun tidur yang istrinya kenakan. Sepasang gunung kembar yang masih tertutup bra hitam itu menarik perhatian pria itu. Tanpa ragu, Jean ingin melucuti bra tersebut. Namun belum sempat itu terjadi, ponsel Elisha mendadak berdering. Bunyinya cukup nyaring hingga membuat Elisha terkejut. "Mas, ada telfon." Jean tak menggubris. Ia sibuk memberikan jejak di gundukan kenyal tersebut. "Mas..." "Biarin aja Sha! Nanti juga mati sendiri!" "Tapi itu kayaknya itu telfon dari Bos," ucap Elisha dengan sedikit khawatir. Raut wajahnya yang tampak resah membuat Jean menghentikan aksinya. "Aku cek bentar ya Mas, siapa tau penting," pinta perempuan itu pada suaminya. Jean mendengkus. Mau tak mau ia menyingkir dari atas tubuh istrinya dan mempersilahkan perempuan berambut panjang itu untuk mengambil ponselnya yang terus berdering. "Bentar Mas..." Elisha merapikan bajunya yang sudah berantakan dan meninggalkan Jean yang masih dalam mode bergairah. Meskipun wajah Papa kandung Qila itu sudah terlihat kesal, tapi hal itu sama sekali tak digubris oleh Elisha. Bagi perempuan cantik tersebut, telfon dari Bosnya jauh lebih penting dari apapun. "Shit!" Jean mengumpat kesal. Menatap miliknya yang kini sudah mulai lesu karena Elisha terlalu lama menerima telfon tersebut. "Apa sih yang mereka bicarakan?" ketus pria itu sambil menatap istrinya yang sedang mengobrol di balkon. "Memangnya, seharian ketemu di kantor nggak cukup apa buat bahas kerjaan? Kenapa saat di rumah si Bos masih saja mengganggu Elisha?" Wajar jika Jean merasa kesal. Karena sejak bekerja ia seperti kehilangan momen bersama dengan istrinya. Si Bos benar-benar menguasi Elisha. Dan itu membuatnya amak muak dan jengah. Lima menit, Jean masih bisa sabar. Sepuluh menit. Wajah pria itu kian muram dan tampak kesal. Dua puluh menit berlalu, Jean pun memutuskan untuk mencuci muka sebelum turun ke bawah. Minatnya untuk bercinta dengan Elisha seketika pupus karena istrinya kembali sibuk dengan urusan pekerjaan. * * * Saat turun ke bawah, pria itu langsung berjalan ke pantry. Dia berniat untuk membuat kopi untuk menghilangkan rasa suntuknya. Namun yang membuat ia terkejut, adalah kehadiran Nilam yang ternyata masih belum tidur. Ia memperhatikan si pembantu yang sedang merapikan dapur setelah memindahkan makan malam ke dalam wadah untuk di simpan ke dalam kulkas. "Nilam." Mendengar namanya dipanggil, Nilam pun langsung balik badan. Ia terlihat heran saat mendapati sang majikan berjalan ke arahnya. "Pak Jean belum tidur?" tanya Nilam dengan lembut. Nadanya yang sopan itu membuat siapa saja yang mendengarnya merasa sangat tenang. "Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu?" Jean mendekati sang pembantu. Penasaran apa yang membuat wanita itu masih belum juga istirahat dan tidur. "Ini udah jam 11 lewat lho. Kamu nggak capek apa? Kan besok harus bangun pagi?" "Saya nggak bisa tidur Pak. Makanya inisiatif berberes dapur sambil buang-buang bahan makanan ama bumbu yang udah kadaluwarsa," Jelas Nilam. "Apa saya terlalu berisik Pak?" "Enggak! Aku nggak kebangun karena suara kamu kok. Kebetulan aku juga belum tidur. Nilam menganggukkan kepalanya ketika mendengar penjelasan Jean. Sejujurnya dia juga bingung harus menjawab apa. "Aku mau buat kopi." Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?"Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan
Suasana ruang rapat terasa tegang kali ini. Tim marketing duduk berjejer di meja panjang, beberapa dari mereka ada yang mengamati laptop masing-masing. Sedangkan Jean, dia duduk di ujung meja, matanya menatap tajam layar proyektor yang menampilkan slide presentasi yang sedang dipaparkan oleh salah satu anggota tim marketing bernama Bobby."Berdasarkan data yang kami peroleh, tren penjualan pada kuartal ini menunjukkan peningkatan sebesar 12% dibanding kuartal sebelumnya,” jelas Bobby dengan nada percaya diri, sembari menunjuk grafik pada layar. Namun, alih-alih puas, Jean mengerutkan keningnya. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, gestur yang sangat dikenali timnya sebagai tanda bahwa ia tidak puas.“12%?” Jean memotong penjelasan Bobby, suaranya tegas dan terdengar agak dingin. “Kenapa hanya 12%? Padahal strategi yang kalian usulkan bulan lalu menjanjikan peningkatan minimal 20%. Apa ada yang salah di implementasinya?” “Pak, dengan segala hormat,” Bobby memulai, mencoba terdeng
“Kenapa Mama kayak takut aku tahu lebih banyak?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh tuntutan. Bu Mala menarik napas panjang, lalu melepaskan genggaman tangannya. “Bukan soal takut, sayang. Mama cuma gak mau kamu terjebak di masa lalu. Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik."Nilam terdiam. Ia tahu Mamanya sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga tahu percuma jika ia terus mendesak saat ini."Coba ambil hikmahnya, Nilam. Tuhan jelas punya alasan kenapa ngasih kamu amnesia. Jelas Dia mau kamu melupakan semua kenangan itu."Nilam merasa kecewa mendengar balasan sang Mama. Hatinya berkata jika ada sesuatu yang janggal."Tapi Ma...""Cukup ya Nilam sayang! Mama gak mau bahas itu lagi." Bu Mala menatap putrinya dengan sorot memohon. "Dan jangan ungkit soal masa lalu kamu sebelum amnesia ya! Mama mohon..."Nilam ingin membantah. Ia ingin tau semuanya. Tapi melihat tatapan memohon ibunya, menjadikannya lemah. “Iya Ma,” jawabnya akhirnya, meskipun dengan sangat terpaksa.Bu Mala tersen
Pagi itu, Nilam turun ke ruang makan dengan langkah gontai. Wajahnya pucat, matanya sedikit sembab karena kurang tidur. Rambutnya diikat asal, menunjukkan betapa ia bahkan tak peduli pada penampilannya pagi itu. Di meja makan, Bu Mala sang Mama tampak sedang menyiapkan sarapan. Ia mendongak ketika mendengar langkah kaki Nilam di tangga. “Ya ampun, Nilam. Kok mukanya lesu banget? Pasti semalam kamu begadang gara-gara nonton drakor kan?” tanya Bu Mala dengan nada sedikit marah. Walaupun kemarahannya itu adalah bentuk rasa khawatirnya sebagai orang tua.Nilam mengambil gelas jus di depannya tanpa berkata apa-apa. "Aku abis mimpi buruk, Ma."“Mimpi buruk apa?” Bu Mala mendekat, menatap Nilam dengan pandangan khawatir. “kok bisa-bisanya kamu jadi susah tidur abis mimpi itu?"Pertanyaan itu membuat tubuh Nilam sedikit kaku. Ia menatap Bu Mala sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah meja makan. “Cuma mimpi random aja sih, Ma. Tapi bikin rada OVT," jawabnya pelan.“Gak usah terla
"I love you."Nilam tercekat. Ia berdiri mematung, tak bergerak kecuali matanya yang berkedip beberapa kali, serta mulutnya yang sedikit terbuka itu. "P- Pak Jean? Ke- kenapa tiba-tiba bapak—""Kenapa? Aku sedang berbicara apa adanya, Nilam. Aku mencintaimu."Nilam nyaris menjatuhkan dokumen yang dia pegang. Dia tak punya ekspetasi mengenai pernyataan cinta yang mendadak terlontar dari bibir sang Bos. "T- tapi Pak. Ini...""Kamu kaget?"Nilam mengangguk. "Jelas dong Pak. Saya gak nyangka bapak bakal bilang seperti itu ke saya."Jean beranjak dari duduknya, menghampiri perempuan itu dan menarik berkas yang ada di tangan Nilam. "Aku sudah lama ingin menyampaikan perasaan ini padamu. Tapi aku berani mengatakannya sekarang."Nilam menelan ludah. Jarak Jean yang begitu dekat serta kalimat yang pria itu ucapkan nyaris membuat Nilam hangover. "Apa itu alasan bapak baik banget ke saya selama ini?" tanya Nilam pelan."Hm.""Tapi kenapa Pak?" Ia memandangi Jean dengan wajah terharu. "Kenapa bap
"Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja?"Nilam tersentak dan buru-buru tersenyum. "Eh, gak apa-apa, kok.""Kamu masih mikirin masalah sama Pak Jean tadi?" tebak Dewa sambil menurunkan standar motor.Nilam menggeleng cepat, tapi raut wajahnya sulit menyembunyikan kegelisahan. "Sedikit sih. Tapi gak usah dibahas deh!"Dewa memiringkan kepala, seolah tak yakin dengan jawaban Nilam. Namun, ia memutuskan untuk tidak memaksa. "Oke. Tapi kalau kamu ada apa-apa, bilang ya. Jangan pendam sendiri."Nilam mengangguk pelan, berusaha tersenyum. "Iya, aku tau kok. Ayo masuk, aku udah laper."Dewa mengangguk, ia mengikuti Nilam di belakangnya. Keduanya melangkah masuk ke restoran bernuansa modern dengan aroma khas makanan Western yang menggugah selera.Beberapa saat setelah keduanya duduk, seorang pelayan berbaju gelap menyambut mereka dan menyodorkan buku menu pada masing-masing.Dewa membuka buku menu sambil melirik Nilam. "Jadi, kamu mau pesan apa? Steak? Pasta? Atau kamu pengen yang lain?" tanyany
"Oh, gitu ya?" cicit Dewa dengan nada yang terdengar kecewa."Enggak kok. Gak juga, De. Namanya tipe kan gak harus 100% sempurna," ucap Nilam mencoba membuat Dewa untuk tidak insecure akibat kata-kata Bosnya barusan.Dewa memandangi Nilam dan tersenyum kecut."BTW, kalian mau kencan naik motor ini?" Jean memperhatikan kendaraan yang dipakai Dewa untuk menjemput Nilam."Iya Pak," balas Dewa, "Ada masalah, Pak?"Pria tampan dengan mata tajamnya yang khas itu mengangguk. "Iya.""Apa masalahnya Pak?" Nilam bertanya karena penasaran."Mana mungkin kamu naik motor dengan rok pendek begitu, Nilam," komentar Jean. "Kamu mau orang-orang gak fokus karena penampilan kamu?""Saya bawa kain. Kan itu bisa dipakai buat—""Kain?" Lagi-lagi, Jean memotong. Alisnya berkerut tanda kurang setuju. "Itu juga bahaya, Nilam. Gimana kalau kainnya masuk ke roda?"Dewa yang mulai merasa jika Bos Nilam ini terus menyudutkan dirinya pun kembali buka suara. "Tenang, Pak. Saya sudah biasa bawa motor ini kok. Lagian
"Emang seperti apa tipe ideal kamu?" Talita terkikik kecil, mengabaikan protes Nilam. "Pak Jean, saya kasih tahu ya. Tipe ideal Nilam itu yang tinggi, rapi, tenang, dewasa, humoris, dan mapan. Kayaknya pas banget sama seseorang di sini, deh," ujarnya sambil melempar pandangan penuh arti ke arah Jean. Nilam hampir tersedak mendengar ucapan Talita. "Mba Talita, udah deh! Jangan bocor!" Ia memukul pelan lengan Talita sambil menunduk, wajahnya semakin merah.Jean tampak sedikit terkejut, tapi kemudian ia tersenyum tipis. "Hmm, deskripsinya cukup menarik," katanya dengan nada santai, lalu menatap Nilam sekilas. "Kalau begitu, semoga kamu menemukan orang yang sesuai dengan kriteria itu."Nilam hanya bisa tersenyum canggung. "Ehehehe. Terima kasih do'anya Pak," jawabnya dengan suara kecil, berharap momen itu segera berakhir. Jean mengangguk, lalu melangkah pergi sambil membawa kopi dan dokumen-dokumennya. Walaupun sempat bersikap cool dan santai, namun Jean merasa girang dalam hati kar
Nilam berencana tidur sekarang. Namun, sebelum ia benar-benar bisa memejamkan mata, ponselnya kembali bergetar. Ia meraihnya dan melihat nama seseorang muncul di layar. ["Aku baik juga kok, Nilam."]["Seneng banget akhirnya kamu baca chatku."]Nilam menatap pesan itu dengan sedikit rasa bersalah. "Maaf ya, akhir-akhir ini aku sibuk kerja. Tau sendirilah gimana sibuknya anak training."["It's okey. Aku paham kok."]["BTW, kapan kamu libur?"]"Emang kenapa?"["Aku ingin ngajak kamu jalan."]Nilam menggigit bibir bawahnya. Sudah bisa dia tebak sih apa maksud pertanyaan Dewa tadi. "Minggu aku free sih. Tapi aku udah ada acara." Nilam mengetik dengan cepatn jawaban atas pertanyaan Dewa barusan. Dia berharap Dewa mengurungkan niatnya untuk mengajaknya Hangout.["Kalau sabtu?"]"Aku kerja. Tapi cuma setengah hari aja sih."["Oke, sabtu aku jemput ya. Aku traktir kamu makan. Gimana?"]Duh—Nilam memandang layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Ajakan Dewa terlihat sederhana, tapi di matany
Namun, bukannya menanggapi keluhan Nilam dengan serius, Bu Mala malah tersenyum kecil. "Kamu gak lupa kan janji kamu kemarin?""Janji apa?" Nilam balik bertanya, ia pura-pura lupa."Janji buat selalu di antar jemput sama si Surya kalau mama kasih ijin buat kerja."Melihat tatapan tegas sang Mama, membuat Nilam kehabisan kata-kata. Kalau sudah begini, jelas wanita itu tidak akan bisa dibantah. "Ck, mama gak seru."Bu Mala tergelak melihat putrinya cemberut. "Udah-udah! Mending kamu mandi, ganti baju, terus kita makan. Kamu mau dimasakin apa?""Apa aja deh," balas Nilam sambil meraih tasnya dan bergerak naik meninggalkan ibunya. Dia terlihat BT karena sang mama terlalu overprotective kepadanya.Dan akhirnya, selepas makan malam, Nilam menghabiskan waktu santainya di kamar. Gadis itu sedang duduk di tempat tidur, menikmati waktu santainya setelah hari yang panjang. Ia membungkus dirinya dengan selimut, sambil menonton drama favoritnya di laptop. Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di me