Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?"
"Kamu nggak capek emangnya?" "Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok." "Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya. "Baik Pak. Siap." Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan. "Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya. "Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi." "Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?" Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja. "Kamu nggak tidur?" "Iya Pak ini mau tidur." "Udah ngantuk?" Nilam bingung kenapa ditanya seperti itu oleh Jean. Namun, ia pun menjawab, "Sebenarnya sih belum terlalu Pak." "Mau temenin saya ngobrol nggak?" tawar Jean tanpa sungkan. "Ehm— itu..." "Sebentar aja kok. Soalnya aku lagi suntuk banget." Nilam sedikit bingung. Dia mau menolak, tapi tidak enak hati. "Tapi kalau kamu nggak mau, aku juga nggak masalah kok. Aku juga nggak ma—" "Sebentar aja ya Pak. Takut nggak enak kalau ada Ibu," sela Nilam kemudian. "Rasa kopi buatan kamu kenapa selalu pas ya? Manisnya pas sesuai selera saya." Perempuan bertubuh ramping yang duduk di sebelah Jean itu hanya bisa menarik sudut bibirnya ketika lagi-lagi, kopinya mendapatkan pujian dari sang majikan. "Saya biasa bikinin Bapak kopi saat di kampung Pak, dulu juga pernah bantuin ibu di warung pas masih nganggur. Dan kalau di warung kan, tiap orang seleranya beda-beda. Mungkin gara-gara itu saya jadi paham gimana bikin kopi yang enak sesuai dengan karakternya," cerita Nilam. "Hm, pantesan kamu jago banget buat kopinya," puji Jean sembari menyeruput kopi buatan Nilam. "Ada campuran jahenya ya?" "Iya Pak, tapi cuma sedikit. Itu supaya badan Bapak fit dan lebih seger," jawab Nilam apa adanya. Mendengarkan jawaban Nilam, Jean hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Ia kagum dengan Nilam yang tampak teliti dalam melakukan pekerjaannya. Menurutnya sangat jarang ada orang yang bekerja dengan tulus dari hati begini. Kebanyakan mereka hanya bekerja karena uang saja. Yah, walaupun terlalu cepat bagi Jean untuk menilai demikian, karena Nilam baru dua hari bekerja di sini. "Kayaknya saya bakal ketagihan ama kopi buatan kamu." "Bapak bisa aja. Gimana pun juga kopi buatan Bu Elisha pasti lebih enak Pak." "Harusnya sih ya. Tapi sejak sibuk bekerja, dia jarang banget bikinin kopi kayak gini lagi. Sesempat-sempatnya pun, dia hanya buat saat pagi hari pas sarapan, selebihnya ya, aku sendiri yang buat," curhat Jean. Mengenang apa yang istrinya lakukan untuknya. Jean sepertinya masih menganut pepatah, "Istri tak boleh mengabaikan tugas utamanya, meskipun sedang bekerja". Pria tampan itu tidak pernah menghargai istrinya walau Elisha sudah berbuat banyak untuknya hanya karena satu kesalahan saja. "Mungkin, Ibu udah capek Pak. Makanya nggak sempet ngelakuin hal lain," ujar Nilam menenangkan. "Lagipula, kan sekarang udah ada saya, jadi kalau Bapak butuh sesuatu bisa bilang ke saya aja." "Emang kamu mau nurutin perintah saya?" "Iya Pak. Gimana pun juga, saya kan asisten rumah tangga di sini. Kewajiban utama saya kan harus menyiapkan semua kebutuhan di rumah ini." "Semuanya?" tanya Jean dengan mata memicing. Ia menatap wajah ayu Nilam dari samping. "Iya Pak." "Termasuk kebutuhan seks saya?" DEG! Nilam terkejut Bukan main saat mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Jean. Ia menoleh ke arah majikannya dengan kedua bola mata yang melebar. "Ma— maksudnya gimana ya?" Sadar juga ucapannya sedikit kelewatan, Jean pun berucap, "Enggak kok, aku cuma bercanda." Nilam menelan ludah. Tawa yang keluar dari bibir Jean sama sekali tidak membuat Nilam merasa lebih nyaman jika dibandingkan sebelumnya. "Nilam... Nilam... jangan terlalu diambil serius dengan apa yang aku ucapkan ya! Aku cuma bercanda kok," kata Jean lagi. Nilam menganggukan kepalanya dengan gerakan yang sedikit kaku. "Bapak, bikin saya kaget aja." Jean hanya tertawa hambar saat mendengar balasan dari Nilam. "Kamu ini lucu banget sih Nilam? Gimana pun juga aku sangat mencintai Elisha. Mana mungkin aku tega mengkhianatinya." Nilam lagi-lagi hanya mengangguk. Membenarkan ucapan majikannya tersebut. "I— iya Pak." "Udah malem nih, kamu nggak mau tidur dan istirahat?" tanya Jean tak berapa lama kemudian. Nilam berdiri dari duduknya. Benar juga, ia lebih baik istirahat agar tidak memikirkan hal-hal yang tak perlu. "Iya Pak, Saya permisi masuk duluan ya!" "Hn." Setelah pendapat persetujuan dari Jean, Nilam pun beranjak dari sana dan meninggalkan majikannya itu seorang diri di sana. Sekitar 5 menit setelah Nilam masuk ke kamarnya, Elisha turun dari lantai 2 untuk mencari keberadaan sang suami. Karena di dapur dia tidak mendapati pria tersebut, Ibu satu anak berlangsung bergegas mencari suaminya di lokasi lain. Dan saat mengecek ke halaman samping, ia mendapati suaminya duduk melamun sendirian sambil menghisap rokoknya. Entah sudah batang yang keberapa dihabiskan oleh pria itu, Elisha tak sempat mencari tau karena fokus pada suaminya ini. "Mas..." Panggilan Elisha itu mengalihkan lamunan Jean. Pria tersebut seketika menengok ke arah sang istri yang tampak sendu ketika memandangnya. "Aku cariin kamu ke mana-mana tadi." "Ngapain pake nyariin? Toh kamu kan lebih asyik ngobrol ama Bos kamu itu," jawab Jean dengan sinis. "Maafin aku Mas," gumam Elisha sambil menarik jemari suaminya. "Tadi itu beneran panggilan mendesak yang nggak bisa ditunda." "Oh, sekarang yang jadi prioritas kamu itu Bos kamu ya? Kalau emang kayak gitu— kenapa kamu nggak tinggal aja sama Bos kamu itu?" "Mas, kok kamu ngomongnya gitu? Kalau nggak penting banget aku juga nggak akan sampai kayak gini?" "Tapi faktanya kamu lebih mentingin kerjaan kan? Sampai kebutuhan seks suami kamu aja, nggak penting lagi buat kamu." Jean meninggikan nada bicaranya. Ia tampak murka karena sang istri lalai akan kewajiban utamanya. "Mas, aku—" "Kamu boleh kerja, kamu boleh fokus sama bos kamu, tapi kamu bisa kan sedikit aja kasih waktu buat aku? Bahkan buat seks nggak lebih dari 1 jam aja, sulit banget buatku." Elisha terlihat ingin menangis ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Padahal ini hanya masalah sepele tapi kenapa suaminya malah membesar-besarkan hal ini. "Apa kamu lebih suka aku 'jajan' di luar daripada melayani suami kamu sendiri?""MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan
"Ibu belum pulang Pak?"Suara lembut Nilam, berhasil membuat Jean yang sibuk mengetik naskah novelnya, langsung menoleh ke arah si pembantu.Dengan kedua bola matanya, dia memperhatikan Nilam yang datang ke arahnya sambil membawa secangkir Kopi Hitam."Iya nih. Kayaknya dia lembur lagi," jawab Jean sekenanya. Sebenarnya dia juga membalas kalau harus membahas Elisha yang sering pulang telat seperti ini."Silahkan kopinya Pak, temen buat begadang." Perempuan berpakaian rok pendek selulut serta sweater beebahan rajut sebagai atasan ini, menyodorkan cangkir kopinya ke arah Jean. Berharap cairan itu bisa sedikit mengurangi rasa suntuk si majikan."Ibu Elisha, sibuk banget ya Pak. Pergi pagi-pagi banget, terus pulangnya juga malem banget."Jean melirik ke arah Nilam. Wajahnya yang mengeras membuat perempuan 20 tahun itu langsung mengatupkan bibirnya. "Maaf Pak, saya nggak bermaksud—""Enggak kok, Nilam. Apa yang kamu bilang ba
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, suasana di dalam mobil cukup hening. Jean terlihat sibuk dengan ponselnya, sementara Nilam menatap ke luar jendela.'Ehm, makan bakso enak kali ya?' gumam Nilam saat mobil mereka melewati beberapa warung bakso pinggir jalan. 'Udah lama gak makan bakso abang-abang gitu. Ngebayangin makan bakso urat, sambelnya pedes, kasih kecap plus cuka dikit pasti mantap,' Nilam menelan ludah.'Hmm, jadi lap—'KryuuuukJean yang sedang fokus dengan hapenya tiba-tiba mendengar suara perut Nilam yang keroncongan. Dia melirik ke samping dan menahan senyum. Sedangkan Nilam sendiri langsung memejamkan mata seraya menunduk dalam. Merasa malu."Kamu lapar?" tanya Jean sambil menoleh ke arah Nilam."Enggak!" bantah gadis itu. "Kan tadi udah makan siang, Pak."Jean mendengkus. "Terus barusan bunyi apa?""Gak tau, Pak. Aku gak denger apa-a—"Kryuuuuk'Shit! Perut sialan!' maki Nilam dalam hati."Gak usah sungkan Nilam! Kalau emang kamu masih lapar, kita bisa mampir dulu
Sekitar jam 11 kurang, Nilam menemani Jean menuju hotel tempat pertemuan dengan klien diadakan.Keduanya naik mobil dengan seorang supir di depan sementara keduanya duduk berdampingan di bangku belakang. Situasi di sana cukup canggung. Nilam sibuk mengerjakan sesuatu di tab-nya sementara Jean juga sibuk membalas beberapa chat penting dari kolega.Sekitar 25 menit kemudian mereka tiba di lokasi. Keduanya berjalan menuju lobi hotel tempat makan siang dengan klien Singapura, Nilam melirik sekilas ke arah Jean dan langsung menyadari sesuatu—dasi pria itu agak miring. Ia menggigit bibir, ragu apakah harus mengatakannya atau tidak. Tapi kalau ia diam saja, bisa-bisa klien nanti malah memperhatikan dan itu mungkin sedikit mengurangi kesan profesional Jean. Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Nilam akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Pak Jean…” panggilnya pelan. Jean yang sedang sibuk mengecek ponselnya menoleh. “Hm?” “Dasi Bapak…” Nilam menunjuk ke arah leher Jean, la
"Mau taruhan?""Taruhan apa?""Taruhan gimana reaksi Pak Jean pas liat kamu udah masuk. Dan aku tebak, dia pasti happy banget liat kamu.""Gak mungkin.""Ya udah sih, ayo taruhan!" Talita tetap maksa. "Yang kalah wajib traktir makan siang seminggu? Gimana?"Nilam menggembungkan pipinya. "Kalau Mba kalah?""Ganti aku yang traktir kamu. Gimana?"Jean bilang dia hanya menganggap Nilam sebagai sekretarisnya saja kan? Jadi Nilam yakin kalau saat mereka bertemu nantinya, Jean akan bersikap acuh padanya dan biasa saja. Lagipula dia juga sudah memperingatkan pria itu agar bersikap sewajarnya kan? So— sepertinya taruhan dengan Talita tidak ada salahnya.Nilam menatap Talita dengan penuh keyakinan sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, aku setuju. Kalau aku kalah, aku traktir kamu makan siang seminggu. Tapi kalau aku menang— kamu gak boleh kabur Mba," balas Nilam sambil menyeringai."Deal!" Talita tersenyum lebar, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Dan kebetulan, beberapa detik kemudian, suara
"Iya De, aku baru ingat seseorang.""Oh ya? Siapa?""Nana..." Nilam tersenyum sumringah ketika menyadari jika ada satu orang yang bisa membantunya."Bener juga. Kalian kan temenan udah lama."Nayya tersenyum lebar. Dia merasa bangga dengan otaknya yang bisa berpikir cepat. Namun sayangnya, senyuman Nilam tak berlangsung lama karena teringat sesuatu."Kenapa? Kok kamu kayak bingung gitu?""Aku gak bisa nemuin Nana sekarang, De. Kan dia lagi di Surabaya ikut suaminya." Tubuh Nilam langsung longsor ke sandaran kursi. Wajahnya berubah lesu dan bibirnya menekuk ke bawah."Kan kamu bisa telfon dia, Nilam?""Kamu kayak gak tau si Nana aja. Dia itu sejak punya suami dan anak susah banget di telfonnya.""Ya udah, kita temuin aja dia di Surabaya.""Itu lebih mustahil lagi, Dewaaaa...""Kenapa? Gak diijinin Mama kamu?"Nilam menganggukkan kepalanya. "Umph.""Terus gimana?""Aku coba telfon dia dulu deh. Siapa tau dia senggang kan?"“Coba aja dulu, Nilam. Gak ada salahnya kan?” Dewa menepuk bahu
"Aaaarghhh... Stres banget aku..."Nilam mengacak rambutnya, merasa benar-benar stres."Nilam, kamu kenapa?"Nilam menegakkan kepalanya dengan cepat, sedikit terkejut saat mendengar suara Dewa yang tiba-tiba menyadarkannya dari lamunan. Dia hampir lupa kalau sedang bersama pemuda itu sekarang.“Eh... Gak! Aku gak apa-apa kok,” ucap Nilam sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih menghantuinya.Dewa menatapnya lekat-lekat, jelas tak percaya dengan jawaban singkat itu. “Yakin?""Iya, Dewa. Beneran." Ia nyengir kecil, berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dirinya baik-baik saja.Dewa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyesap tehnya perlahan. “Kalau boleh jujur, aku ngerasa kamu lagi banyak pikiran.""Uhm?""Iya, Nilam. Kamu ada di sini, tapi pikiran kamu gak tahu ada di mana."Nilam terdiam, jemarinya sibuk memainkan sedotan cappuccino di tangannya. Tatapannya penuh rasa bersalah saat melihat Dewa. "Enggak gitu kok, De. Aku cuma—""It's okay, Nilam. Gak usah pa
“Rina, si Nilam kasih kabar ke kamu atau tidak?” tanyanya dengan nada datar, tapi jelas sekali tersirat rasa khawatir di kedua manik gelapnya.["Beberapa hari lalu dia bilang kalau Pak Jean sudah kasih ijin buat cuti karena kejadian di lift. Jadi saya gak nanya lagi, Pak."]Jean tampak kecewa mendengar jawaban Rina. Itu sama sekali tidak menjawab rasa penasarannya.["Apa bapak mau saya telfon Nilam langsung buat nanyain kapan dia masuk?"]Saran dari Rina itu seperti memberikan angin segar bagi Jean. Tapi dia malah berkata, "Gak perlu. Nanti aku sendiri yang akan chat dia."["Baik Pak kalau begitu."]["Apa ada lagi yang bisa saya bantu Pak?"]"Enggak. Makasih." Jean mengakhiri panggilannya. Ia membuang nafas berat untuk kesekian kalinya.Ia jadi semakin khawatir pada Nilam, apalagi sejak kejadian di rumah sakit. Ia takut perempuan itu sakit hati dan kecewa karena sikapnya dan memilih resign."Mungkin aku harus chat dia langsung."Jean menatap layar ponselnya, jempolnya mengetik cepat p
Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat masuk melalui celah-celah jendela kamar Nilam. Ia membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa lemas, tapi jauh lebih baik dibanding semalam. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan sesak yang masih menggantung di dadanya. Setelah beberapa saat, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Bu Mala tengah duduk santai di sofa sambil membaca majalah. Melihat ibunya yang begitu tenang, Nilam tersenyum kecil dan langsung menghampirinya. Ia menjatuhkan diri di samping ibunya, lalu menyandarkan kepala di bahu Bu Mala dengan manja. “Ma...” suara Nilam terdengar lembut, nyaris seperti anak kecil yang minta perhatian. Bu Mala tersenyum, tangannya otomatis membelai rambut putrinya. "Nilam... Kamu udah bangun?" tanyanya lembut. "Gimana perasaan kamu? Udah baik kan?"Nilam mengangguk pelan, tapi masih belum ingin menjauh dari dekapan ibunya. "Lumayan."Tanpa bertanya lebih jauh, Bu Mala langsung menarik p
Nilam terdiam sejenak, pertanyaan Jean seolah menghantam dinding hatinya yang sudah penuh dengan keraguan. Ia menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya yang mulai merasa sesak. Apa pria ini sedang mengejeknya? "Saya..." Nilam menatap Jean dengan mata yang tampak bimbang. "Saya gak tahu, Pak. Saya cuma ingin semuanya jelas. Saya gak mau lagi merasa digantung dengan perhatian yang bapak berikan, lalu bapak pura-pura gak ada apa-apa." Jean mengepalkan tangannya erat, perasaan yang selama ini ia pendam terasa semakin berat untuk ditahan. Namun, ia tahu ada batasan, ada sesuatu yang harus ia lindungi—keluarganya, reputasinya, dan juga perasaan Nilam sendiri. Ruangan itu tiba-tiba terasa begitu sunyi. Jean hanya bisa menatap Nilam yang kini berdiri, siap pergi meninggalkannya. "Saya pamit dulu, Pak," ucap Nilam dengan suara pelan, lalu melangkah menuju pintu dengan langkah yang sedikit gontai. "Surya udah sampai." Jean ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa mem
Jean membantu Nilam untuk bangun. Sedangkan Nilam mencoba untuk duduk meskipun kepalanya masih sedikit pusing."Ayo aku antar pulang!"Nilam menatap bosnya dengan pandangan syok. "Enggak perlu, Pak," tolaknya cepat."Kenapa Nilam?"Perempuan itu menggigit ujung lidahnya. "Saya udah terlalu banyak ngerepotin bapak hari ini. Lagipula bapak kan harus segera pulang, pasti istri dan anak bapak juga khawatir kan?"Jean menatap Nilam dengan ragu. “Terus kamu mau pulang dengan kondisi lemes gini? Yang benar saja, Nilam."Nilam tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. “Saya bisa pesen taksi kok. Ini saya mau chat Surya, supir taksi langganan saya."Jean menghela napas. Jelas ada keinginan dalam dirinya untuk tetap di sisi Nilam, memastikan gadis itu benar-benar sampai di rumah dengan selamat. Namun ia juga bisa sedikit lega jika memang Surya yang akan menjemput Nilam nantinya.“Kalau gitu, biar aku tunggu sampai Surya datang,” ujarnya akhirnya, setengah memaksa. Nilam tertawa