Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?"
"Kamu nggak capek emangnya?" "Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok." "Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya. "Baik Pak. Siap." Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan. "Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya. "Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi." "Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?" Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja. "Kamu nggak tidur?" "Iya Pak ini mau tidur." "Udah ngantuk?" Nilam bingung kenapa ditanya seperti itu oleh Jean. Namun, ia pun menjawab, "Sebenarnya sih belum terlalu Pak." "Mau temenin saya ngobrol nggak?" tawar Jean tanpa sungkan. "Ehm— itu..." "Sebentar aja kok. Soalnya aku lagi suntuk banget." Nilam sedikit bingung. Dia mau menolak, tapi tidak enak hati. "Tapi kalau kamu nggak mau, aku juga nggak masalah kok. Aku juga nggak ma—" "Sebentar aja ya Pak. Takut nggak enak kalau ada Ibu," sela Nilam kemudian. "Rasa kopi buatan kamu kenapa selalu pas ya? Manisnya pas sesuai selera saya." Perempuan bertubuh ramping yang duduk di sebelah Jean itu hanya bisa menarik sudut bibirnya ketika lagi-lagi, kopinya mendapatkan pujian dari sang majikan. "Saya biasa bikinin Bapak kopi saat di kampung Pak, dulu juga pernah bantuin ibu di warung pas masih nganggur. Dan kalau di warung kan, tiap orang seleranya beda-beda. Mungkin gara-gara itu saya jadi paham gimana bikin kopi yang enak sesuai dengan karakternya," cerita Nilam. "Hm, pantesan kamu jago banget buat kopinya," puji Jean sembari menyeruput kopi buatan Nilam. "Ada campuran jahenya ya?" "Iya Pak, tapi cuma sedikit. Itu supaya badan Bapak fit dan lebih seger," jawab Nilam apa adanya. Mendengarkan jawaban Nilam, Jean hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Ia kagum dengan Nilam yang tampak teliti dalam melakukan pekerjaannya. Menurutnya sangat jarang ada orang yang bekerja dengan tulus dari hati begini. Kebanyakan mereka hanya bekerja karena uang saja. Yah, walaupun terlalu cepat bagi Jean untuk menilai demikian, karena Nilam baru dua hari bekerja di sini. "Kayaknya saya bakal ketagihan ama kopi buatan kamu." "Bapak bisa aja. Gimana pun juga kopi buatan Bu Elisha pasti lebih enak Pak." "Harusnya sih ya. Tapi sejak sibuk bekerja, dia jarang banget bikinin kopi kayak gini lagi. Sesempat-sempatnya pun, dia hanya buat saat pagi hari pas sarapan, selebihnya ya, aku sendiri yang buat," curhat Jean. Mengenang apa yang istrinya lakukan untuknya. Jean sepertinya masih menganut pepatah, "Istri tak boleh mengabaikan tugas utamanya, meskipun sedang bekerja". Pria tampan itu tidak pernah menghargai istrinya walau Elisha sudah berbuat banyak untuknya hanya karena satu kesalahan saja. "Mungkin, Ibu udah capek Pak. Makanya nggak sempet ngelakuin hal lain," ujar Nilam menenangkan. "Lagipula, kan sekarang udah ada saya, jadi kalau Bapak butuh sesuatu bisa bilang ke saya aja." "Emang kamu mau nurutin perintah saya?" "Iya Pak. Gimana pun juga, saya kan asisten rumah tangga di sini. Kewajiban utama saya kan harus menyiapkan semua kebutuhan di rumah ini." "Semuanya?" tanya Jean dengan mata memicing. Ia menatap wajah ayu Nilam dari samping. "Iya Pak." "Termasuk kebutuhan seks saya?" DEG! Nilam terkejut Bukan main saat mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Jean. Ia menoleh ke arah majikannya dengan kedua bola mata yang melebar. "Ma— maksudnya gimana ya?" Sadar juga ucapannya sedikit kelewatan, Jean pun berucap, "Enggak kok, aku cuma bercanda." Nilam menelan ludah. Tawa yang keluar dari bibir Jean sama sekali tidak membuat Nilam merasa lebih nyaman jika dibandingkan sebelumnya. "Nilam... Nilam... jangan terlalu diambil serius dengan apa yang aku ucapkan ya! Aku cuma bercanda kok," kata Jean lagi. Nilam menganggukan kepalanya dengan gerakan yang sedikit kaku. "Bapak, bikin saya kaget aja." Jean hanya tertawa hambar saat mendengar balasan dari Nilam. "Kamu ini lucu banget sih Nilam? Gimana pun juga aku sangat mencintai Elisha. Mana mungkin aku tega mengkhianatinya." Nilam lagi-lagi hanya mengangguk. Membenarkan ucapan majikannya tersebut. "I— iya Pak." "Udah malem nih, kamu nggak mau tidur dan istirahat?" tanya Jean tak berapa lama kemudian. Nilam berdiri dari duduknya. Benar juga, ia lebih baik istirahat agar tidak memikirkan hal-hal yang tak perlu. "Iya Pak, Saya permisi masuk duluan ya!" "Hn." Setelah pendapat persetujuan dari Jean, Nilam pun beranjak dari sana dan meninggalkan majikannya itu seorang diri di sana. Sekitar 5 menit setelah Nilam masuk ke kamarnya, Elisha turun dari lantai 2 untuk mencari keberadaan sang suami. Karena di dapur dia tidak mendapati pria tersebut, Ibu satu anak berlangsung bergegas mencari suaminya di lokasi lain. Dan saat mengecek ke halaman samping, ia mendapati suaminya duduk melamun sendirian sambil menghisap rokoknya. Entah sudah batang yang keberapa dihabiskan oleh pria itu, Elisha tak sempat mencari tau karena fokus pada suaminya ini. "Mas..." Panggilan Elisha itu mengalihkan lamunan Jean. Pria tersebut seketika menengok ke arah sang istri yang tampak sendu ketika memandangnya. "Aku cariin kamu ke mana-mana tadi." "Ngapain pake nyariin? Toh kamu kan lebih asyik ngobrol ama Bos kamu itu," jawab Jean dengan sinis. "Maafin aku Mas," gumam Elisha sambil menarik jemari suaminya. "Tadi itu beneran panggilan mendesak yang nggak bisa ditunda." "Oh, sekarang yang jadi prioritas kamu itu Bos kamu ya? Kalau emang kayak gitu— kenapa kamu nggak tinggal aja sama Bos kamu itu?" "Mas, kok kamu ngomongnya gitu? Kalau nggak penting banget aku juga nggak akan sampai kayak gini?" "Tapi faktanya kamu lebih mentingin kerjaan kan? Sampai kebutuhan seks suami kamu aja, nggak penting lagi buat kamu." Jean meninggikan nada bicaranya. Ia tampak murka karena sang istri lalai akan kewajiban utamanya. "Mas, aku—" "Kamu boleh kerja, kamu boleh fokus sama bos kamu, tapi kamu bisa kan sedikit aja kasih waktu buat aku? Bahkan buat seks nggak lebih dari 1 jam aja, sulit banget buatku." Elisha terlihat ingin menangis ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Padahal ini hanya masalah sepele tapi kenapa suaminya malah membesar-besarkan hal ini. "Apa kamu lebih suka aku 'jajan' di luar daripada melayani suami kamu sendiri?""MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Aku insecure Sha! Aku ngerasa nggak berguna!""Harusnya kamu nggak perlu ngerasa kayak gitu Mas! Kita ini berumahtangga bukan untuk mencari siapa yang paling hebat, atau siapa yang paling banyak menghasilkan uang!" sentak Elisha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kita ini dijadikan pasangan untuk saling melengkapi! Untuk saling bekerja sama, Mas. Rumah tangga kita bukan ajang untuk mencari siapa yang terbaik!"Jean melepaskan cengkramannya dan berjalan menjauhi sang istri. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu, karena kamu nggak ngerasain jadi aku yang tiap hari jadi bahan gunjingan warga karena nggak bekerja.""Itu kan bukan salahku Mas! Lagipula, berapa kali aku harus ngomong sama kamu, berhenti mikirin omongan orang Mas! Cuekin aja mereka!""Kamu ini, udah salah malah ngeyel terus.""Emangnya salahku di mana Mas? Aku ini udah berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga kita. Kerja dari pagi sampai sore demi memenuhi kebutuhan
"Ibu belum pulang Pak?"Suara lembut Nilam, berhasil membuat Jean yang sibuk mengetik naskah novelnya, langsung menoleh ke arah si pembantu.Dengan kedua bola matanya, dia memperhatikan Nilam yang datang ke arahnya sambil membawa secangkir Kopi Hitam."Iya nih. Kayaknya dia lembur lagi," jawab Jean sekenanya. Sebenarnya dia juga membalas kalau harus membahas Elisha yang sering pulang telat seperti ini."Silahkan kopinya Pak, temen buat begadang." Perempuan berpakaian rok pendek selulut serta sweater beebahan rajut sebagai atasan ini, menyodorkan cangkir kopinya ke arah Jean. Berharap cairan itu bisa sedikit mengurangi rasa suntuk si majikan."Ibu Elisha, sibuk banget ya Pak. Pergi pagi-pagi banget, terus pulangnya juga malem banget."Jean melirik ke arah Nilam. Wajahnya yang mengeras membuat perempuan 20 tahun itu langsung mengatupkan bibirnya. "Maaf Pak, saya nggak bermaksud—""Enggak kok, Nilam. Apa yang kamu bilang ba
Setelah mengurus beberapa dokumen di ruangan finance, Nilam berjalan menuju ujung lorong kantor—menuju ruang kerja Jean. Pintu ruangannya sedikit terbuka. Dari balik pintu, terlihat Jean sedang duduk di kursinya, fokus membaca laporan di layar laptop. Sesekali ia menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.Tok tok.Jean menoleh. “Masuk aja, Nilam!”Nilam masuk dan langsung duduk di kursi yang menghadap ke meja kekasihnya itu. Ia terlihat sedikit gelisah, membuat Jean menghentikan kegiatannya dan memandangnya penuh perhatian.“Ada apa? Muka kamu kenapa ditekuk gitu?”Nilam menghela napas. “Talita gak masuk kerja hari ini. Dia juga gak ngasih kabar.”Jean menaikkan alis. “Talita? Tumben?"Nilam mengangguk cepat. “Aku juga gak tau. Mba Rina udah coba hubungi dia dari tadi pagi. Tapi HP-nya gak aktif, chat juga centang satu. Pas aku coba sendiri, emang hapenya gak aktif.”Wajah Jean langsung berubah serius. "Mungkin dia butuh waktu sendiri dan lagi gak pengen diganggu.""Mba Talita bukan tip
Dikta menarik paksa Talita ke kamar. Langkah-langkah mereka berisik menghantam lantai, suara gesekan sepatu dan rontaan Talita memenuhi rumah perempuan itu.“Lepasin aku, Dikta! Ahh! Sakit!!” Talita berteriak, tangannya menahan kusen pintu, tapi tenaga Dikta jauh lebih kuat. Dalam sekali tarikan, perempuan itu terhempas masuk ke dalam kamarnya sendiri.Dikta menutup pintu dengan keras, menciptakan bunyi 'braak’ yang menggema. Sorot matanya gelap. “Kamu pikir kamu bisa main-main sama aku, hah?”Talita menelan ludah. Ia bersandar di kepala ranjang, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu gak punya hak buat memperlakukan aku kayak gini!" bentak Talita, "Kamu lupa siapa yang udah bantuin kamu selama ini. Mana rasa terima kasih kamu!"Dikta mendorong tubuh Talita ke ranjang, membuat teman baik Nilam tersebut reflek mengaduh kesakitan. "Apa yang kamu berikan gak berarti apapun buatku! Toh— kamu memberikan semua itu tanpa paksaan kan?""Dasar cowok gila! Psikopat kamu Dik!" maki Talita nyaris berteria
"Jangan-jangan kamu mau resign ya Mba?" tebak Nilam dengan asal.Talita buru-buru menggeleng, terlalu cepat malah, sampai rambutnya ikut bergoyang. “Enggak! Bukan itu, bukan... aku gak mau resign, kok.”Rina dan Nilam sama-sama saling pandang. Keduanya makin curiga. Nilam menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya tak lepas dari wajah Talita yang semakin kelihatan gelisah.“Kalau bukan mau resign, terus apa?” tanya Nilam yang terlihat semakin penasaran.Talita kembali menunduk, jemarinya mencengkeram gelas air di tangan seperti pegangan hidup. Ada jeda cukup lama sebelum ia akhirnya bersuara lagi.“Aku… cuma lagi banyak pikiran aja, Mba.”Nilam menyipitkan mata. “Masalah kerjaan?”Talita menggeleng.“Masalah keluarga?”Talita terdiam. Diamnya terlalu lama, terlalu ragu, terlalu penuh beban. Sampai akhirnya ia mengangkat bahu dengan senyum tipis. “Yaa, gitu deh.”Rina mulai bersuara, nadanya sedikit bercanda untuk mencairkan suasana. “Duh, bikin penasaran deh kamu Tal. Jangan-jan
Nilam menegakkan kepalanya dan menatap pria itu dengan alis berkerut. "Bicara apa?"Jean menatap wajah Nilam yang kini serius, seolah menimbang-nimbang harus mulai dari mana. Tangannya masih melingkar di pinggang kekasihnya, mencoba menjaga kehangatan di antara mereka meski kalimat yang akan ia ucapkan mungkin sedikit mengusik.“Tadi pagi,” Jean memulai, suaranya pelan, “aku sempat ketemu Talita.”Alis Nilam langsung naik. “Mba Talita? Di mana?”“Di lobi. Pas aku baru sampai.”Nilam mulai duduk tegak, tak lagi bersandar manja. “Terus?”Jean mengangkat bahu sedikit. “Katanya... dia mau bicara denganku, tapi karena tadi ada telfon mendadak, jadi dia gak sempat jelasin mau ngomong apa."Nilam menyipitkan mata. “Tumben?"Jean mengendikkan bahu. “Aku juga gak tahu."Nilam menggigit bibir bawahnya. Wajahnya jelas menunjukkan rasa penasaran yang mulai berubah jadi kekhawatiran kecil. “Kalau dia sampai nemuin kamu berarti itu hal yang penting banget.""Menurut kamu gitu?" tanya Jean sambil me
Di dalam ruangannya, Nilam tampak duduk dengan alis mengernyit, satu tangan menahan ponsel di telinga sementara tangan satunya mengetuk meja dengan irama tak beraturan—pertanda ia mulai kehilangan kesabaran.“Iya, Pak. Saya ngerti soal itu. Tapi kami udah sepakat dari awal, warna kemasannya itu harus warna sapphire, bukan blue sky,” ujarnya tegas. “Dan soal ukuran font logo, saya minta 14pt, bukan 10. Itu terlalu kecil. Klien kita gak akan terima kalau ini gak sesuai.”Ia menarik napas panjang, berusaha menahan diri. “Saya kasih waktu sampai sore ini ya, Pak. Kalau belum sesuai juga, saya pertimbangkan ganti vendor.”Klik. Telfon ditutup dengan tegas.Nilam menghembuskan napas panjang, mencoba meredakan amarah yang tadi hampir meledak. Tapi rasa kesalnya belum sepenuhnya reda. Ia berdiri dan melangkah menuju ruangan Jean tanpa pikir panjang. Ia membuka pintu perlahan tanpa mengetuk, sesuatu yang sudah jadi kebiasaannya sejak hubungan mereka jadi semakin dekat.Jean sedang sibuk dengan
Pagi itu, Talita berdiri di depan gedung kantornya dengan wajah pucat dan mata sembab. Angin pagi yang menyapa kulitnya tak mampu meredakan ketegangan yang mengikat tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang masih kacau. Tapi pikirannya terus berputar—wajah Dikta, tatapan mengancamnya, suara ancamannya yang masih terngiang jelas di telinga.Dengan langkah ragu, ia masuk ke dalam gedung. Beberapa rekan kerjanya menyapa, tapi Talita hanya mengangguk kecil tanpa senyum. Ia duduk malas di area lobby sebelum naik ke atas.“Apa aku harus cerita ke Nilam?" gumamnya lirih. "Siapa tau dia bisa bantu bisa bantu kan?"Nilam—sahabat terdekatnya sekarang. Seseorang yang selalu ada, yang mungkin akan percaya tanpa perlu banyak tanya. Tapi ingatan tentang mata Nilam yang berbinar saat membicarakan persiapan pernikahannya… menghentikan niat itu seketika."Sebenarnya bagus juga aku cerita ke dia. Karena Nilam sendiri target Dikta untuk sekarang ini.""Tapi kan Nilam lag
Dikta menatap Talita tajam, ekspresinya semakin gelap. Ia melangkah lebih dekat, membuat Talita refleks mundur satu langkah. Namun, Dikta lebih cepat. Tangannya mencengkeram lengan Talita dengan kuat, membuat perempuan itu tersentak kaget."Dikta, lepasin!" Talita berusaha menarik lengannya, tapi genggaman Dikta semakin erat."Aku gak percaya kamu gak nyembunyiin sesuatu," suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi ada nada ancaman di dalamnya. "Kamu berubah, Talita. Dan aku mau tahu kenapa."Jantung Talita berdebar kencang. Rasa takut mulai menjalar dalam dirinya. "Aku bilang nggak ada apa-apa! Akh! Sakit, Dikta! Lepasin aku!"Alih-alih melepasnya, Dikta malah menarik Talita lebih dekat, menatapnya dalam-dalam. "Apa ini tentang kecelakaan Nilam? Kamu tahu sesuatu, kan?"Talita terkejut mendengar itu. Dari mana Dikta tahu ia memikirkan kecelakaan Nilam? Rasa takutnya semakin menjadi."Dikta, kamu nyakitin aku," ucap Talita lirih, berusaha mengendalikan suaranya agar tidak terdengar panik.
Keesokan harinya, Nilam dan Talita duduk bersama di kantin kantor saat jam istirahat. Mereka menikmati segelas jus dingin masing-masing, sementara suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan suara obrolan rekan kerja lainnya.Talita menopang dagunya dengan satu tangan, memperhatikan Nilam yang tengah serius menulis di tablet dengan stylus-nya. Sesekali, perempuan itu menggigit bibirnya, tampak berpikir keras sebelum kembali mengetik."Kamu lagi ngerjain apa, sih? Serius banget," tanya Talita akhirnya, mencoba mengalihkan pikirannya yang sejak tadi dipenuhi oleh sesuatu yang lebih berat.Nilam mengangkat wajahnya sejenak, tersenyum kecil. "Lagi nyusun konsep acara pernikahan. Ada beberapa hal yang masih perlu aku pastikan sebelum meeting sama wedding organizer nanti sore.""Belom selesai? Kirain udah beres semua?"Tanpa menoleh, gadis itu menjawab, "Ada beberapa detail yang kurang."Talita mengangguk pelan, tapi pikirannya justru semakin dipenuhi pertanyaan lain. Tatapannya perlahan-laha
Talita cemberut dan pura-pura marah. "Siapa yang iri? Aku cuma gak nyangka aja kalau akhirnya Nilam bisa nikah sama si bos. Soalnya, selama ini dia kelihatan kayak orang yang terlalu serius buat urusan cinta." Nilam tertawa mendengar komentar Talita. "Iya sih, awalnya aku juga gak yakin bakal sampai di titik ini. Tapi ternyata, Pak Jean memang orang yang gak bisa aku lepaskan." Rina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ya ampun, Nilam. Aku jadi makin gak sabar buat lihat pernikahan kalian. Bakal jadi momen yang luar biasa." "Amin! Aku juga berharap semuanya lancar," jawab Nilam dengan penuh harap. "Kebayang deh kalau kalian nikah terus punya anak, pasti anaknya bakal cakep-cakep," Rina menaruh tangannya di pipi, membayangkan keluarga kecil Nilam membuat ia seketika tersenyum. "Mba bisa aja." Nilam terlihat malu. "Btw, ini undangannya. Kalian beneran harus datang loh ya! Hukumnya wajib!" ucap perempuan itu sambil menggeser dua undangan itu ke arah mereka. Sementara it