"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya.
Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah dia hidangkan. "Ehm, enak. Enak banget." Jean tersenyum lebar ke arah pembantu barunya, setelah mencicipi masakan perempuan itu. "Yang bener Pak?" Nilam tersenyum penuh percaya diri. "Iya. Enak banget rasanya. Asin, gurihnya juga pas banget," puji suami Elisha itu secara bertubi-tubi. "Kamu jago banget masaknya? Pernah kerja di restoran atau emang punya hobby masak kamu?" "Saya kebetulan emang seneng masak Pak. Belum lagi, saat di asrama kan saya juga dilatih lagi. Mungkin karena itu masakan saya jadi lebih enak," balas Nilam sambil tersenyum malu-malu. "Oh. Bener juga sih." "Ya udah Pak, silahkan dinikmati. Saya, pamit mau beres-beres dapur dulu." "Lho-lho! Kok gitu sih?" Pertanyaan Jean itu membuat langkah Nilam terhenti. "Kan tadi aki ngajak kamu buat makan bareng? Kok sekarang kamu malah mau kabur?" Perempuan berambut panjang yang sengaja di kuncir di belakang tengkuk itu, hanya bisa menggaruk pelipisnya. "Tapi Pak, saya nggak enak kalau harus satu meja ama Bapak." "Kenapa gitu? Kamu malu dekat denganku?" "Bukan— tapi saya ngerasa nggak pantes. Soalnya saya kan cuma pembantu." "Pembantu juga manusia kan? Jadi nggak usah merendah gitu! Ayo duduk! Kita makan sams-sama!" Nilam sebenernya sangat sungkan karena harus duduk di tempat yang sama dengan majikannya. Tapi dia juga tidak berani membantah pria itu karena Jean adalah tuannya. Suasana di meja makan terasa amat canggung. Hanya suara denting peralatan makan yang terdengar meramaikan suasana. Keduanya tidak terlalu banyak bicara, sampai— "Nilam!" Jean memanggil pembantu yang duduk di seberang mejanya, saat tidak sengaja melihat ada biji nasi yang menempel di dagu sang pembantu. "Iya Pak?" Nilam balik menatap majikannya dengan sorot mata yang tampak polos. "Ada apa?" "Itu, ada nasi di dagu kamu," balas Jean. Pipi Nilam langsung memerah. Dia langsung meraba dagunya untuk mencari nasi yang dimaksud oleh Jean. Tapi entah memang di sengaja atau tidak, Nilam terlihat kesulitan membersihkan nasi itu dari dagunya. Hingga tanpa sadar, pria berahang tegas itu malah mengulurkan tangannya untuk mengambil nasi tersebut dari wajah sang gadis. "Udah bersih," gumam Jean. Melihat tatapan kaget Nilam, membuat pria itu sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Ma— makasih Pak." Nilam malu sekali. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya karena perlakuan Jean tersebut. Mencoba mengatasi situasi canggung yang terjadi, Jean pun berkata, "Aku udah selesai makannya." Nilam memandangi pria yang berdiri di seberangnya ini. "I-iya Pak." "Aku mau ke atas dulu. Mau siap-siap jemput Qila. Aku minta tolong beresin ini ya!" Pembantu seksi itu hanya mengganggukkan kepalanya. Mempersilahkan Tuannya itu untuk meninggalkan tempat. Sementara dia sendiri hanya dapat mengusap dagunya yang tadi di sentuh oleh Jean. Sungguh dia merasa tersipu hanya karena sentuhan kecil itu. Jujur dia tidak pernah mengalami hal tersebut. Bahkan saat dengan pacarnya dulu. *** Elisha pulang ke rumah di atas jam 10 malam seperti biasanya. Namun bedanya, kali ini ada Nilam yang membukkan pintu untuknya. "Selamat malam Bu." Nilam membukakan pintu sembari membantu Elisha untuk membawakan ras kerjanya. Dia menyambut majikan wanitanya tersebut dengan senyum ramahnya yang khas. "Malam." Wanita berambut gelap itu membalas sapaan Nilam dengan senyum tipisnya. "Sepi banget? Mas Jean udah tidur?" "Saya kurang tau Bu. Tadi setelah makan malam sama Mbak Qila, langsung naik ke lantai dua." Elisha hanya menganggukkan kepalanya. "Ya sudah." "Ibu mau makan malam? Kalau iya, nanti saya an—" "Nggak usah. Aku udah makan tadi di kantor. Kamu simpen aja makanannya di kulkas." Itulah pesan Elisha sebelum naik ke lantai dua. Sementara Nilam hanya mengangguk dan mengikuti semua arahan sang majikan tanpa banyak membantah. * "Mas!" Elisha masuk ke dalam kamar pribadinya setelah mengecek keadaan di kamar putri semata wayangnya. Ia melihat sang suami sedang bermain laptop di atas ranjang. "Oh? Elisha? Kamu baru pulang?" Mendapatkan pertanyaan itu membuat Elisha terkejut. Tidak biasanya sang suami menyambut kepulangannya dengan gembira. Biasanya dia akan selalu ketus saat ia pulang terlambat. "Tumben Mas nada bicara kamu ceria gitu? Kamu lagi seneng ya?" tanya Elisha sambil menghampiri suaminya. Jean tersentak kecil. "Masa sih? Perasaan biasa aja deh." "Enggak Mas. Agak beda. Kamu keliatan happy gitu kok?" Elisha tersenyum. "Ayo cerita ada apa?" pintanya sambil duduk di samping suaminya. Jean menelan ludah. Dia tidak tau jika Elisha segitu pekanya dengan perubahan moodnya. "Aku hanya merasa gembira karena salah satu karyaku lolos buat dijadikan FTV." "Serius Mas?" Elisha terlonjak gembira. "Selamat ya Mas." Jean kaget saat istrinya ini memeluknya erat. "Aku tau kamu pasti berhasil." Ia memandangi sang suami dan memberikan kecupan singkat di pipi dan bibirnya. "Yah, itu juga berkat doa dari kamu Lis. Makasih ya udah dukung aku." Jean balas tersenyum. "Emang mau tayang di mana Mas?" "Ini masih rencana sih, tapi sepertinya di platform digital. Kan kamu tau sendiri, aplikasi semacam itu lagi laku keras sekarang," terang Jean. Elisha hanya menganggukkan kepalanya. Meskipun tidak begitu paham, tapi dia begitu bangga dengan apa yang suaminya lakukan. Setidaknya, setelah beberapa bulan pengangguran dan hanya menggantungkan gajinya, kini pria itu sedikit berguna sebagai kepala rumah tangga. "Aku mandi dulu ya Mas. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Elisha sambil mengecup pipi suaminya. Melihat istrinya sudah berdiri, Jean langsung mencegah langkah wanita itu dan berkata, "Elisha, setelah ini aku boleh minta sesuatu nggak?" Wanita yang masih mengenakan blouse itu mengerutkan keningnya. "Minta sesuatu? Apa itu Mas?" Jean memandangi istrinya, "Sebenarnya aku..."Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Umph..." Nilam tercekat. Dia tidak menyangka jika Jean tiba-tiba mendorong belakang kepalanya dan menciumn secara mendadak. "Hmm..." Gadis itu meremas celananya sendiri saat merasakan sensasi dingin sekaligus manis yang menyebar ke dalam mulutnya. Tapi yang makin membuat ia tak fokus karena lidah Jean yang tidak berhenti mengajak lidahnya sendiri untuk saling bergulat satu sama lain. Seandainya saja mereka tidak butuh pasokan oksigen, pasti mereka tidak akan berhenti untuk saling pagut satu sama lain. "Gimana? Makan es krim ala orang dewasa lebih enak kan?" bisik Jean di samping telinga Nilam. Gadis itu reflek mendorong dada Jean. "Untung aja lantai atas sepi. Kalau ada yang liat gimana?" "Paling yang liat CCTV!" Nilam melotot. Dia kaget bukan main saat menyadari hal itu. "Astaga!! Kamu gimana sih? Nanti kalau kita viral gimana? Nanti kalau wajah kita masuk sosmed terus jadi hujatan orang-orang gimana?" "Terus—mmphhh..." Karena berisik, Lagi-lagi Jean memutuskan untuk mencium
"Jadi kamu nganter aku pulang cuma buat marah-marah aja?" "Enggak gitu, Nilam. Aku cuma khawatir." "Aku baik-baik aja. Ngapain harus khawatir." Jean menghela nafas panjang sembari mengusap jari Nilam yang sedang menggenggamnya. "Dasar kamu!" Gadis itu memperhatikan jarinya yang begitu kecil di genggaman sang kekasih. Sampai, iseng dia berucap, "Cincinnya cocok nggak di jariku?" Jean melirik sekilas ke arah jari manis Nilam. "Tentu aja cocok. Kan aku yang pilih." "Emm... Kamu kok bisa tau ukuran jariku?" tanya Nilam sambil memperhatikan Jean. Manik hitamnya memandang sang kekasih dengan binar penuh kerinduan. "Apa gunanya kita sering gandengan tangan kayak sekarang ini?" "Oh, jadi diem-diem kamu ngukur jariku?" "Nggak cuma jari aja. Semua yang ada di kamu, aku tau banget, Nilam."
"Apa?!" Elisha melotot kaget. Dia tidak menyangka jika Nilam akan seberani ini. "Kamu bener-bener nggak punya attitude ya! Kamu mau dapat nilai kualifikasi yang buruk?" tanya wanita itu dengan raut emosi. "Iya Nilam! Kamu jangan gitu ke Bu Elisha!" bisik salah satu rekan Nilam. "Bener. Nanti kalau sertifikat magang kamu nggak keluar gimana? Sia-sia kamu kerja keras selama berminggu-minggu." "Orang dia dulu yang mulai!" Nilam masih saja keras kepala. "Tapi kan—" "Sekarang udah jelas ya gimana sifat asli kamu!" Lagi-lagi Elisha sengaja memotong ucapan Nilam. "Selain licik dan tukang tipu, kamu ini juga pinter banget ngerayu laki-laki." Elisha tertawa mencemooh. Ia lipat kedua tangannya di dada dengan wajah jengah. "Maksudnya gimana?" "Pakai pura-pura segala! Udah lupa dulu waktu masih jadi pembantu gimana tingkah laku kamu? Ke sana- ke sini
Nilam mematung. Bahkan dia hanya bisa bengong seperti orang bodoh saat Jean memasangkan cincin platina di jari manisnya. "I- ini maksudnya apa?" tanya Nilam sambil mengedipkan kedua kelopak matanya. "Aku ngelamar kamu, Nilam. Aku ingin kamu jadi istriku." "N—ngelamar? Tapi kita..." "Demi Tuhan Nilam, waktu itu aku beneran nggak bermaksud buat putus dari kamu. Aku hanya ingin mempersiapkan momen ini saja." Ia menangkup pipi Nilam. Gadis itu sudah tak bisa berkata apapun lagi kecuali menangis. "Nilam... Kenapa kamu malah nangis?" Jean panik. Ia buru-buru menghapus air mata gadis itu dan berusaha menenangkannya agar tidak mengundang rasa penasaran orang-orang. Maklum saja mereka masih di acara forum sekarang ini. "Brengsek!" Nilam memukul dada Jean. "Kamu udah bikin aku nangis semaleman gara-gara minta putus, sekarang kamu bilang itu cuma prank? Terus apa gunan
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa