"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya.
Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah dia hidangkan. "Ehm, enak. Enak banget." Jean tersenyum lebar ke arah pembantu barunya, setelah mencicipi masakan perempuan itu. "Yang bener Pak?" Nilam tersenyum penuh percaya diri. "Iya. Enak banget rasanya. Asin, gurihnya juga pas banget," puji suami Elisha itu secara bertubi-tubi. "Kamu jago banget masaknya? Pernah kerja di restoran atau emang punya hobby masak kamu?" "Saya kebetulan emang seneng masak Pak. Belum lagi, saat di asrama kan saya juga dilatih lagi. Mungkin karena itu masakan saya jadi lebih enak," balas Nilam sambil tersenyum malu-malu. "Oh. Bener juga sih." "Ya udah Pak, silahkan dinikmati. Saya, pamit mau beres-beres dapur dulu." "Lho-lho! Kok gitu sih?" Pertanyaan Jean itu membuat langkah Nilam terhenti. "Kan tadi aki ngajak kamu buat makan bareng? Kok sekarang kamu malah mau kabur?" Perempuan berambut panjang yang sengaja di kuncir di belakang tengkuk itu, hanya bisa menggaruk pelipisnya. "Tapi Pak, saya nggak enak kalau harus satu meja ama Bapak." "Kenapa gitu? Kamu malu dekat denganku?" "Bukan— tapi saya ngerasa nggak pantes. Soalnya saya kan cuma pembantu." "Pembantu juga manusia kan? Jadi nggak usah merendah gitu! Ayo duduk! Kita makan sams-sama!" Nilam sebenernya sangat sungkan karena harus duduk di tempat yang sama dengan majikannya. Tapi dia juga tidak berani membantah pria itu karena Jean adalah tuannya. Suasana di meja makan terasa amat canggung. Hanya suara denting peralatan makan yang terdengar meramaikan suasana. Keduanya tidak terlalu banyak bicara, sampai— "Nilam!" Jean memanggil pembantu yang duduk di seberang mejanya, saat tidak sengaja melihat ada biji nasi yang menempel di dagu sang pembantu. "Iya Pak?" Nilam balik menatap majikannya dengan sorot mata yang tampak polos. "Ada apa?" "Itu, ada nasi di dagu kamu," balas Jean. Pipi Nilam langsung memerah. Dia langsung meraba dagunya untuk mencari nasi yang dimaksud oleh Jean. Tapi entah memang di sengaja atau tidak, Nilam terlihat kesulitan membersihkan nasi itu dari dagunya. Hingga tanpa sadar, pria berahang tegas itu malah mengulurkan tangannya untuk mengambil nasi tersebut dari wajah sang gadis. "Udah bersih," gumam Jean. Melihat tatapan kaget Nilam, membuat pria itu sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Ma— makasih Pak." Nilam malu sekali. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya karena perlakuan Jean tersebut. Mencoba mengatasi situasi canggung yang terjadi, Jean pun berkata, "Aku udah selesai makannya." Nilam memandangi pria yang berdiri di seberangnya ini. "I-iya Pak." "Aku mau ke atas dulu. Mau siap-siap jemput Qila. Aku minta tolong beresin ini ya!" Pembantu seksi itu hanya mengganggukkan kepalanya. Mempersilahkan Tuannya itu untuk meninggalkan tempat. Sementara dia sendiri hanya dapat mengusap dagunya yang tadi di sentuh oleh Jean. Sungguh dia merasa tersipu hanya karena sentuhan kecil itu. Jujur dia tidak pernah mengalami hal tersebut. Bahkan saat dengan pacarnya dulu. *** Elisha pulang ke rumah di atas jam 10 malam seperti biasanya. Namun bedanya, kali ini ada Nilam yang membukkan pintu untuknya. "Selamat malam Bu." Nilam membukakan pintu sembari membantu Elisha untuk membawakan ras kerjanya. Dia menyambut majikan wanitanya tersebut dengan senyum ramahnya yang khas. "Malam." Wanita berambut gelap itu membalas sapaan Nilam dengan senyum tipisnya. "Sepi banget? Mas Jean udah tidur?" "Saya kurang tau Bu. Tadi setelah makan malam sama Mbak Qila, langsung naik ke lantai dua." Elisha hanya menganggukkan kepalanya. "Ya sudah." "Ibu mau makan malam? Kalau iya, nanti saya an—" "Nggak usah. Aku udah makan tadi di kantor. Kamu simpen aja makanannya di kulkas." Itulah pesan Elisha sebelum naik ke lantai dua. Sementara Nilam hanya mengangguk dan mengikuti semua arahan sang majikan tanpa banyak membantah. * "Mas!" Elisha masuk ke dalam kamar pribadinya setelah mengecek keadaan di kamar putri semata wayangnya. Ia melihat sang suami sedang bermain laptop di atas ranjang. "Oh? Elisha? Kamu baru pulang?" Mendapatkan pertanyaan itu membuat Elisha terkejut. Tidak biasanya sang suami menyambut kepulangannya dengan gembira. Biasanya dia akan selalu ketus saat ia pulang terlambat. "Tumben Mas nada bicara kamu ceria gitu? Kamu lagi seneng ya?" tanya Elisha sambil menghampiri suaminya. Jean tersentak kecil. "Masa sih? Perasaan biasa aja deh." "Enggak Mas. Agak beda. Kamu keliatan happy gitu kok?" Elisha tersenyum. "Ayo cerita ada apa?" pintanya sambil duduk di samping suaminya. Jean menelan ludah. Dia tidak tau jika Elisha segitu pekanya dengan perubahan moodnya. "Aku hanya merasa gembira karena salah satu karyaku lolos buat dijadikan FTV." "Serius Mas?" Elisha terlonjak gembira. "Selamat ya Mas." Jean kaget saat istrinya ini memeluknya erat. "Aku tau kamu pasti berhasil." Ia memandangi sang suami dan memberikan kecupan singkat di pipi dan bibirnya. "Yah, itu juga berkat doa dari kamu Lis. Makasih ya udah dukung aku." Jean balas tersenyum. "Emang mau tayang di mana Mas?" "Ini masih rencana sih, tapi sepertinya di platform digital. Kan kamu tau sendiri, aplikasi semacam itu lagi laku keras sekarang," terang Jean. Elisha hanya menganggukkan kepalanya. Meskipun tidak begitu paham, tapi dia begitu bangga dengan apa yang suaminya lakukan. Setidaknya, setelah beberapa bulan pengangguran dan hanya menggantungkan gajinya, kini pria itu sedikit berguna sebagai kepala rumah tangga. "Aku mandi dulu ya Mas. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Elisha sambil mengecup pipi suaminya. Melihat istrinya sudah berdiri, Jean langsung mencegah langkah wanita itu dan berkata, "Elisha, setelah ini aku boleh minta sesuatu nggak?" Wanita yang masih mengenakan blouse itu mengerutkan keningnya. "Minta sesuatu? Apa itu Mas?" Jean memandangi istrinya, "Sebenarnya aku..."Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"MAS!" Nada Elisha ikut meninggi, tak terima mendengar ucapan sarkas dari mulut suaminya."APA?!" hardik Jean balik. "Kamu nggak terima kan aku melakukan itu? Tapi apesnya kamu juga nggak bisa puasin aku?"Elisha membeku. Dia benar-benar disudutkan oleh kata-kata sang suami."Udahlah, aku malas debat sama kamu soal ini. Capek tau nggak? Apalagi yang kita bahas hal yang sama dan berulang. Malah bikin aku tambah muak." Dengan langkah menghentak keras, Jean pergi dari hadapan Elisha. Mengabaikan sang ia istri yang mungkin terluka karena kata-katanya.Sementara perempuan berambut hitam itu hanya bisa menangis dalam diam saat menatap punggung sang suami, yang berjalan menjauh darinya. Sungguh dia merasa serba salah menjadi istri Jean. Apapun yang dia lakukan tak pernah dihargai oleh sang suami. Dan itu karena satu kesalahan yang menurutnya kecil."Mas, kenapa kamu kayak gitu sih? Padahal aku kerja juga buat memenuhi semua kebutuhan rumah ini.
"Mama! Mama liat aku dulu dong! Aku cantik kan?""Iya sayang, apa sih? Mama lagi buru-buru nih. Soalnya Mama harus nyampek kantor lebih cepet," balas Elisha tanpa melihat ke arah anaknya."Tapi Mama bisa liat aku bentar aja kok. Aku pengen denger pendapat Mama soal rambut aku!" pinta Qila tak mau kalah. Bocah kecil itu mana mengerti soal urusan orang dewasa. Yang penting dia happy, itu saja. "Mama!""Wah, iya sayang kunciran kamu bagus sekali. Cantik banget."Qila yang mendengar ucapan Mamanya, bukannya merasa senang, tapi justru jadi kecewa. Bagaimana tidak, Mamanya memberikan pujian demikian tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.Jean yang melihat kejadian itu, sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak murka. Bagaimana ia tak kecewa melihat istrinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan untuk memberikan pujian pada anaknya yang tidak makan banyak waktu saja, terasa sulit bagi Elisha."Qila sayang—"Panggilan sang P
"Kamu ikut aku ke sekolah Qila ya!"Nilam reflek menautkan kedua alisnya, saat Jean memintanya demikian. "Kenapa Pak?""Soalnya kamu harus tau di mana lokasi sekolahnya Qila, biar pas nanti aku atau Elisha berhalangan dan nggak bisa jemput Qila, kamu bisa gantiin kami," terang Jean dengan entengnya. Sebenarnya dia juga bingung kenapa bisa punya ide seperti itu. Tapi kalau dipikir-pikir, memberitahu lokasi sekolah Qila pada Nilam, tak buruk juga."Baik, Pak. Tapi saya mau ambil jaket dulu ya. Biar rapian sedikit."Jean memberikan anggukan kecil saat sang pembantu meminta ijin padanya untuk mengambil jaket. Sementara ia sendiri menggandeng tangan Qila dan mengajaknya untuk ke depan.Dan sekitar 5 menit kemudian, ketiganya berangkat ke sekolah Qila bersama-sama menggunakan mobil. Jarak ke sekolah tidaklah jauh sebenarnya. Hanya sekitar 15 menit saja. Jadi tidak butuh waktu lama untuk putri pasangan Jean dan Elisha ini untuk segera tiba di sa
"Nggak cuma panas aja, Nilam. Masalahnya aku kebelet nih." Jean terlihat menggoyangkan pantatnya, dia merasa tidak nyaman karena ingin buang air kecil."Bapak mau pipis?" tanya Nilam dengan polosnya."Iya nih.""Tapi kan kita lagi di mobil.""Nah itu masalahnya, mana mobilnya nggak gerak sama sekali.""Saya punya ide Pak," ucap Nilam dengan semangat.Jean menautkan alisnya. "Ide apa? Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku turun dan pipis di pinggir jalan kan?" tanyanya."Pipisnya masukin ke botol itu aja Pak!" Dengan begitu entengnya, Nilam menunjuk ke arah botol kosong yang tergeletak di pintu mobil bagian belakang.Jean otomatis syok saat mendengar penuturan Nilam, apalagi wajah polos gadis itu ketika mengutarakan idenya, makin membuat ia terperangah. "Yang bener aja kamu?""Tenang aja Pak, saya bakal tutup mata kok. Daripada Bapak nahan pipis, malah bisa jadi penyakit entar," ucap Nilam lagi
Tawa lepas dari para pebisnis itu, kembali memecahkan suasana. Kecuali Elisha yang hanya bisa tersenyum kecil sesekali karena canggung karena hanya dia yang berjenis kelamin perempuan di antara yang lainnya. "Udah-udah. Gimana kalau saya traktir Bapak-bapak makan siang?" ucapan Dikta membuat suasana ramai itu sedikit merendam. "Wah, boleh juga Pak. Kebetulan ini saya juga sudah lapar." "Betul sekali Pak Dikta." "Oke, bapak-bapak turun duluan saja turunnya. Saya mau bicara sebentar dengan Elisha," ujar Dikta lagi. Setelah orang-orang itu pergi, kini tinggal Elisha dan Dikta saja yang ada di sana. Dengan wajah fill senyum Dikta bertanya, "Elisha, kamu ikut sama kita kan?" "Maaf Pak. Kayaknya saya nggak bisa ikut. Soalnya saya mau beresin ini semua. Terus juga, saya udah bawa bekal dari rumah, sayang kalau nggak di makan." "Yakin kamu nggak mau ikut?" "Maaf Pak, saya
"Seandainya uang yang kamu kasih cukup untuk biaya sehari-hari, mana mungkin aku sampai hutang sana sini Mas! Coba pake logika kamu Mas!" amuk Elisha. Dia benar-benar lelah menghadapi sikap keras kepala Jean. Sangat lelah.Jean tak berkutik. Pria itu hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memijat pelipisnya."Tolong lah Mas! Ijinin aku nerima pekerjaan ini!" pinta Elisha lagi. Sampai-sampai, ia berlutut di depan kaki suaminya dan memohon agar Jean mengizinkannya pergi bekerja. "Aku janji Mas, selama bekerja aku nggak akan lupa ama tanggung jawabku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri yang baik buat kamu, juga sebagai ibu dari Elisha.""Kamu pikir enak apa jadi pegawai kantoran?" Ia menatap ke arah istrinya. Nada bicaranya yang tadi sangat berapi-api, kini terdengar lebih kalem. "Semua pekerjaan nggak ada yang mudah Mas. Nggak ada yang enak kalau dikerjakan sambil terus mengeluh."Jean memandangi istrinya. Kali ini dia sudah kalah
"Bapak sebenarnya duda atau gimana? Saya— penasaran..."Jean sedikit tersentak mendengar pertanyaan Nilam. Alisnya terangkat, dan untuk sesaat, ia hanya menatap perempuan itu tanpa berkata apa-apa."Kamu penasaran?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih dalam. Nilam menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Saya… saya cuma ingin tahu, Pak. Soalnya, saya gak pernah dengar cerita bapak soal istri sebelumnya, jadi untuk antisipasi saya—" Jean menyela dengan nada datar, "Kamu liat aku pakai cincin nikah gak?"Nilam terdiam. Tatapannya otomatis tertuju pada tangan Jean yang— kosong! Tidak ada cincin di sana.Jean menarik napas panjang, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap Nilam dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Bapak— duda?" tanya Nilam.Jean mengangkat alisnya dan mengangguk kecil. "Hn.""Serius?" Nilam semakin penasaran. "Sudah berapa lama, Pak?" tanyanya hati-hati. Jean menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Empat tah
"S- saya..." Nilam mundur selangkah. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena jarak antara dirinya dan Jean kini terasa begitu dekat. Aura pria itu begitu mendominasi, membuatnya sulit bernapas dengan benar.Jean masih menatapnya dalam-dalam, ekspresinya sulit ditebak. "Katakan padaku jika ada sesuatu yang mengganggu! Aku benci harus menjaga jarak dengan sekertarisku sendiri, Nilam."Nilam menunduk, berusaha menghindari tatapannya. "Saya… saya cuma lagi banyak pikiran, Pak. Gak ada yang perlu dikhawatirkan." Jean tidak langsung merespons. Ia justru lebih mendekat lagi, membuat Nilam kembali mundur sampai akhirnya tubuhnya menyentuh meja di belakangnya."Katakan apa itu!" perintah Jean, suaranya lebih rendah, lebih dekat. Nilam menahan napas. Ia bisa mencium aroma parfum khas pria itu—lagi. Campuran wangi maskulin yang elegan dan sedikit aroma kopi dari cangkir yang baru saja diminumnya."Apa ada hubungannya denganku?"Pertanyaan itu mengejutkan N
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nilam, Talita, dan Rina spontan menoleh dan mendapati sosok Jean berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu mengenakan setelan jasnya seperti biasa, dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak. Namun, sorot matanya sedikit mengerut saat menangkap ekspresi tegang Nilam. "Trauma? Siapa yang trauma?" Suara Jean terdengar dingin, membuat ketiga wanita itu refleks menegakkan postur tubuh mereka. "Gak kok Pak! Gak ada yang trauma," Talita buru-buru tersenyum, berusaha terlihat santai. "Kita cuma ngomongin film." Jean tidak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi tatapannya tetap tertuju pada Nilam yang sejak tadi menghindari kontak mata dengannya. "Bener Nilam?" Jean bertanya langsung pada Nilam. Tubuh Nilam menegang seketika. "Itu bener kok Pak..." Jean memperhatikannya dengan pandangan penuh selidik. "Tapi kenapa kamu keliatan gugup?" Nilam menelan ludah, merasa tidak nyaman berada di bawah tatapan tajam pria itu. Ia tidak mungkin mengatakan bah
"Itu siapa?""Itu mirip Mba Nilam...""Hah? Masa?""I— iya…" Talita mengangguk, tapi tatapannya tetap terpaku pada Nilam yang semakin mendekat ke arah mereka.Rina menelan ludah. "Kenapa dia kayak… hantu?" Talita sedikit mundur, ikut merasa merinding. "Jangan-jangan dia…"BRAK!"AAAKH!"Talita dan Rina langsung menjerit kecil saat Nilam tiba-tiba tersandung dan jatuh telungkup di lantai koridor. "Mba Nilam! K— kamu kenapa?!" Rina buru-buru mendekat, setengah takut, setengah khawatir. "Ayo bangun Mba!"Nilam hanya diam, tak bergerak selama beberapa detik. Talita dan Rina semakin panik."Mba?! kamu kenapa sih? Jangan bikin kita takut!"Dengan gerakan lambat, Nilam mengangkat kepalanya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menatap mereka dengan mata merah dan berair. "Aku gak bisa tidur…" keluhnya dengan suara parau.Talita dan Rina saling berpandangan. "Hah! Kenapa bisa?" tanya Rina hati-hati. Nilam menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku abis mimpi buruk…"Talita menaikkan
"A— aku… gak… bisa… napas…" suara Nilam melemah, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Tatapan Elisha dipenuhi amarah dan kebencian. "Kenapa kamu kembali?" bisiknya dingin. "Kenapa kamu gak mau menjauhi Mas Jean? Apa kamu mau mati, hah?"Nilam meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cekikan Elisha yang semakin erat di lehernya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah."A— aku… tolong…" suaranya hanya terdengar serak, hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Air mata mengalir di sudut matanya."Gak akan ada yang nolongin kamu, Nilam!""Biar aja kamu mati!""L- lepasin!""Gak! Aku gak akan biarkan kamu hidup! Dasar pelakor!"Nilam berusaha melepaskan cengkraman Elisha di lehernya. Tapi susah— wanita itu berhasrat ingin menghabisinya."Mati aja sana! Mati dan masuk neraka aja kamu! Biar aku gak perlu repot-repot jagain Jean dari wanita macam kamu.""Khh... Le— lepas! Lepasin aku!""Sebelum kamu mati! Aku gak akan lepasin kamu, Nilam! GAK AKAN!""Ughh... Tolong... To— long..."Tidak ad
"Aww! Sakit.. Siapa yang—" Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ditarik kasar ke belakang. Napasnya tercekat saat merasakan kuku-kuku tajam mencengkeram rambutnya. "Kamu dari dulu sama aja! Gak pernah berubah!" Suara seorang wanita terdengar penuh amarah di telinganya. "K- kamu siapa?"Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna coklat tua, mengenakan setelan mewah dengan aksen emas di pergelangan tangannya. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat udara di ruangan ini terasa dingin. Wanita itu menyeringai kecil, tapi tatapannya tetap dingin. "Kamu pasti tahu siapa aku," ucapnya, suaranya terdengar rendah namun penuh tekanan.Nilam mengerutkan kening. Jantungnya berdetak semakin cepat. "A- aku gak tau kamu siapa!""Kamu gak usah pura-pura ya! Dasar pelakor!" bentak wanita itu."Aku Elisha," lanjut wanita itu dengan nada mengejek. "Istri Jean."Dunia Nilam seakan berhenti berputar sesaat. Istri?Bukankah ada gosip yang bilang kal
Langit sore mulai menggelap saat Nilam masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Surya. Perjalanan pulang biasanya terasa biasa saja, tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati perjalanan. Kata-kata Rina dan Talita terus terngiang di kepalanya. ["Sebelum gosip buruk tentang kalian menyebar."]["Terus sampai kapan kamu mau digantung gini?"]Nilam memijat pelipisnya, merasa kepalanya berdenyut sejak meninggalkan kantor. Cara pria itu memperlakukannya tadi— kenapa terasa begitu intens?“Kenapa, Mba? Ngelamun terus dari tadi?” suara Surya membuyarkan lamunannya. “Aku pusing banget.”Surya melirik Nilam dari kaca spion, menyipitkan matanya sejenak sebelum kembali fokus menyetir. “Mau di anter ke klinik?"Nilam menghela napas. “Bukan... Bukan pusing yang gitu, tapi lainnya."Surya mengerutkan keningnya. Ia fokus melihat ke arah jalanan meskipun sesekali juga memperhatikan Nilam. "Ada masalah Mba?""Ada. Tapi gak terlalu penting sih.""Pasti masalah cowok ya kan?" sahu
"Yang buat aku penasaran itu cuma satu— darimana karyawan biasa sepertimu bisa punya uang untuk beli parfum mahal?"DEG!Nilam kaget. Ia buru-buru beranjak dari pangkuan sang Bos. Dia mundur dan merapikan pakaiannya dengan gaya salah tingkah."Kenapa panik? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?""Enggak Pak." Nilam menggeleng. "Ini itu parfum KW, KW super ."Jean tersenyum tipis. Dia tau Nilam bohong. Tapi dia santai saja dan tetap mengikuti permainan gadis di depannya."Ya sudah cepat bereskan barang-barang kamu! Sebentar lagi waktunya istirahat." Jean berdiri lebih dahulu, dan Nilam mengikuti perintah pria itu dengan sigap.Sementara itu di tempat berbeda, Rina hampir kehabisan napas ketika sampai di meja Talita. Gadis yang sedang menunggu pesanannya itu mendelik kaget melihat ekspresi heboh sahabatnya. "Apa-apaan sih, Mba Rin? Kayak dikejar debt collector aja!" gerutu Talita, tapi tetap melirik Rina dengan penuh rasa ingin tahu. Rina menarik napas dalam sebelum duduk di samping T
"Boleh cium gak Pak? Buat mastiin?" desis Nilam yang tiba-tiba mengikuti isi pikirannya.Jean tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan rasa ketertarikan. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Nilam yang masih berusaha menata ekspresinya. "Tentu aja," jawabnya. "Kamu bisa menciumku sesukamu."Nilam menelan ludah. Ia tidak menyangka Jean akan benar-benar menanggapi ucapannya. Rina yang baru saja kembali ke ruangan untuk mengambil catatannya mendapati pemandangan itu dan langsung terbelalak. Ia buru-buru berbalik, tapi tetap mengintip dari celah pintu, terlalu penasaran untuk pergi begitu saja. "OMG! Mereka mau apa?!" jerit Rina dalam hati."Nunggu apa lagi, Nilam? Katanya mau mastiin?"Nilam menghela napas pelan dan berusaha mengendalikan kegugupannya. Perlahan, ia mendekatkan diri ke arah Jean, mencoba mencium aroma parfumnya dengan lebih jelas. Wangi sandalwood yang bercampur citrus segera menyapu indera penciumannya, kali ini lebih kuat karena jarak mereka yang