Share

Suamiku Terpincut Sahabatnya
Suamiku Terpincut Sahabatnya
Penulis: Katrina

Bab 1 Orang yang Berbeda di atas dan di luar Ranjang

"Syifa, Syifa ...."

Di telinganya terdengar suara yang rendah dan serak, tetapi lembut dan penuh kehangatan. Sudah tiga tahun menikah, Syifa Perdana masih merasa bahwa suaminya, Billy Aditama, memiliki kepribadian yang berbeda saat berada di atas dan di luar ranjang.

Sifat Billy sehari-hari sangat penuh perhatian, lembut, dan sopan. Namun, saat mereka telah berduaan di malam hari, Syifa selalu merasa dirinya tidak sanggup mengimbangi stamina Billy. Setelah selesai berhubungan intim, seluruh tubuh Syifa terasa sakit hingga tangannya pun terkulai lemas.

Detik berikutnya, lengannya kembali digenggam oleh pria itu. Syifa benar-benar tidak bisa membuka matanya lagi. Dia memohon dengan nada manja, "Sudah dulu ya, besok kita masih harus kerja."

Akhir-akhir ini, Syifa sedang mempersiapkan diri untuk penilaian di tempat kerjanya, sehingga rutinitas kesehariannya sangat sibuk. Setelah selesai menulis laporan, malam pun sudah sangat larut. Namun, Billy malah masih mengajaknya berhubungan intim. Saat ini, tenaga Syifa benar-benar sudah terkuras habis.

Billy bertanya sambil tertawa pelan, "Mikir apa?"

Wajah Syifa bersemu merah, "Lalu kamu ...."

Tangan Billy yang kokoh menyentuh tulang belikat Syifa. Jari-jarinya menekan bagian tubuh Syifa yang terasa sakit dengan lembut. Tenaga Billy cukup besar dan posisi pijatannya juga tepat. Sensasi nyeri yang nyaman itu menjalar ke sekujur tubuh Syifa dan membuatnya mengerang dengan perlahan.

"Nyaman nggak?" Suara Billy yang bariton dan parau kembali terdengar. Nada bicaranya tetap lembut seperti biasanya, sehingga membuat wajah Syifa tak kuasa merona.

Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, sebenarnya Syifa lebih memahami masalah seperti ini dibandingkan siapa pun. Namun sayangnya, dia adalah tipe orang yang kuat dalam teori, tetapi lemah dalam praktik. Saat menghadapi situasi nyata, Syifa malah merasa dirinya kurang berpengalaman.

Hanya saja, untungnya Billy adalah pria yang jentelmen. Kehidupan rumah tangga mereka memang tidak semesra pengantin baru, tetapi termasuk saling menghormati.

Sebenarnya, Syifa memiliki pemikiran yang cukup terbuka. Bagaimanapun, mereka berkenalan dari sebuah perjodohan. Oleh karena itu, keduanya tidak menjalani masa-masa pacaran, melainkan langsung naik ke pelaminan. Bisa membangun bahtera rumah tangga hingga seperti ini saja sudah termasuk cukup baik.

"Coba gerakkan sekarang, sudah baikan?" tanya Billy.

Syifa mencoba menggerakkan bahunya sekilas. Setelah dipijat oleh Billy, rasanya memang sudah lebih nyaman sekarang. "Makasih, sudah baikan, kok." Setelah itu, Syifa membalikkan badannya dan bertanya, "Sejak kapan kamu belajar pijat?"

"Dulu pernah belajar sedikit sama tabib. Sudah lama nggak dipraktikkan, untung masih ingat." Billy meletakkan tangan Syifa ke dalam selimut dan berkata dengan lirih, "Tidurlah."

Bagaimana sebenarnya kehidupan pernikahan yang bahagia itu? Di antara ribuan orang, mungkin tidak akan ada yang bisa memberikan jawaban yang sama persis.

Terkadang, Syifa merasa agak menyayangkan bahwa dirinya terlalu fokus dalam belajar dan meniti karier saat masih muda dulu. Karena alasan itulah, dia tidak pernah menjalani masa-masa pacaran yang menggebu-gebu, layaknya remaja biasanya.

Akan tetapi, Syifa merasa cukup bersyukur. Baik dari latar belakang keluarga, penampilan, kepribadian, ataupun jenjang pendidikan, bisa dibilang, Billy adalah kandidat suami yang sempurna. Dia tidak merokok, mabuk-mabukan, ataupun terlalu banyak pertemuan bisnis. Setelah selesai kerja, Billy selalu pulang tepat waktu untuk menemaninya.

Bahkan sahabat terbaiknya, Prilly Sanusi, yang tidak pernah memiliki kesan baik terhadap pria sekalipun memberikan penilaian terbaik untuk Billy: "Standar tertinggi untuk seorang pria".

Syifa sendiri juga sangat puas terhadap suaminya ini. Apalagi, sekarang ini dia sedang mengandung.

Syifa mengelus perutnya dengan lembut, lalu berkata dengan pelan, "Billy, minggu depan kamu berulang tahun. Ada hadiah yang mau kuberikan padamu."

Tiba-tiba, ponsel Billy bergetar. Setelah mengecek ponselnya, raut wajah Billy sontak berubah. Syifa bertanya, "Kenapa?"

Billy langsung bangkit dan berkata, "Ada urusan mendadak. Aku keluar dulu."

"Masalah kantor?" tanya Syifa.

"Ya ...." Suara Billy terdengar lirih. Namun dalam sejenak, dia kembali berkata dengan cemas, "Aku berangkat dulu."

"Oke, hati-hati di ...."

Bum! Pintu dibanting hingga tertutup.

"Jalan ...," gumam Syifa menyelesaikan ucapannya.

Selama tiga tahun pernikahan, Syifa belum pernah melihat Billy sepanik ini. Mungkin memang terjadi masalah besar di perusahaan. Dua hari yang lalu, Syifa sepertinya melihat di berita bahwa Grup Aditama sedang melakukan akuisisi saham. Kabar itu bahkan sampai disiarkan dalam berita di saluran keuangan.

Syifa adalah seorang lulusan kedokteran, jadi dia tidak terlalu paham tentang urusan bisnis. Namun jika berita ini sampai masuk TV, kemungkinan besar memang ada masalah yang cukup serius. Syifa menangkupkan kedua tangannya, diam-diam berdoa agar Billy dan perusahaannya bisa melewati krisis dengan lancar.

Namun, baru saja Syifa hendak bersiap-siap untuk beristirahat, ponselnya tiba-tiba berdering tanpa henti. "Dok, cepat datang ke rumah sakit. Ada pasien ibu hamil yang kritis!"

Setelah bertahun-tahun belajar kedokteran, situasi seperti ini tidak lagi asing bagi Syifa. Dia langsung menutup telepon, lalu mengganti pakaian dan bergegas keluar. Saat tiba di rumah sakit, asistennya, Aulia, telah berdiri di depan pintu rumah sakit sembari menunggu dengan penuh harap.

Melihat kedatangan Syifa, Aulia buru-buru menyerahkan jas dokter dan sarung tangan padanya. "Akhirnya Dokter datang juga!"

Syifa selalu bersikap profesional dalam menangani pekerjaannya. Dengan langkah sigap, dia berjalan sambil mengenakan jas dokter dan sarung tangannya. "Gimana kondisi pasien?"

"Kecelakaan. Katanya kondisi di lokasi parah sekali. Pasien sedang hamil enam bulan dan mengalami pendarahan hebat. Sekarang ini dia nggak sadarkan diri dan mulai muncul gejala syok."

Kehamilan berusia enam bulan sudah termasuk cukup besar. Baik melakukan prosedur ikat rahim ataupun induksi persalinan, keduanya harus menjalani operasi.

"Sudah hubungi keluarganya?"

"Sudah," jawab Aulia.

"Suruh mereka tanda tangan persetujuan, pasien harus segera dioperasi."

"Baik."

Syifa bergegas masuk ke ruang operasi. Kondisi pasien saat ini tidak terlalu optimis. Setelah melihat rekam medis pasien, Syifa memutuskan untuk melakukan prosedur ikat rahim. Selanjutnya adalah menjalani alur kerja yang tidak asing lagi baginya.

Syifa berganti pakaian dan segera masuk ke ruang operasi. Dengan menggabungkan tindakan penyelamatan dan operasi, Syifa sibuk selama hampir enam jam. Saat keluar dari ruang operasi, kaki Syifa sudah terasa lemas.

Untung saja, Aulia menangkapnya dengan sigap. "Dok, kamu nggak apa-apa?"

Syifa menggelengkan kepalanya. "Bantu aku duduk sebentar."

Aulia memapah Syifa untuk duduk di kursi. Setelah itu, dia menuangkan air hangat dan bertanya dengan cemas pada Syifa, "Dok, sebenarnya Dokter sendiri juga sedang hamil. Seharusnya nggak boleh secapek ini. Tapi, pasien tadi itu benar-benar gawat. Di rumah sakit ini cuma Dokter yang bisa menolongnya."

Saat mendengar kata "hamil", tangan Syifa gemetar sejenak. "Kenapa kamu bisa tahu?"

Aulia mengedipkan matanya. "Hamil itu kabar baik, kenapa harus disembunyikan dariku? Kemarin aku melihat hasil pemeriksaan di mejamu."

Syifa tersenyum tersipu, "Ya, memang kabar baik."

"Sudah kasih tahu suami?"

"Belum. Dua hari lagi dia ulang tahun, akan kuberi tahu saat itu ...."

Bruk! Bruk! Bruk!

Terdengar suara pintu digedor dari luar ruang operasi. Aulia berkata, "Pasti suami pasien yang buru-buru ingin tahu kondisi istri dan anaknya. Dokter istirahat saja, biar aku yang ngomong sama dia."

"Biar aku saja," ucap Syifa, "Aku dokter bedahnya. Sesuai peraturan rumah sakit, memang seharusnya aku yang jelasin kondisi pasien pada keluarganya."

Syifa berdiri sambil menopang pada dinding. Aulia segera membantunya membuka pintu luar ruang operasi. Pria di luar ruangan itu langsung menyerbunya, "Dok! Gimana kondisinya?!"

"Tenang saja, ibu dan anak baik-baik saja. Istrimu sekarang masih harus diobservasi ...."

Begitu ucapan itu dilontarkan, keduanya langsung tertegun sejenak.

"Syifa ...?"

Syifa membelalakkan mata menatap pria di hadapannya. "Billy ...?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status