Share

Bab 2 Intuisi yang Terlalu Tajam Juga Bukan Hal Baik

Aulia tersentak melihat kondisi ini. "Dok, ternyata kamu kenal sama suami pasien?"

Syifa menatap wajah yang familier ini dengan intens. Pria itu tampak kewalahan, terkejut, gelisah, tetapi yang paling jelas adalah ... kecemasannya terhadap wanita di dalam ruang operasi. Bahkan setelah berusaha menahan diri sekalipun, Billy tetap tidak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya.

"Kamu ..." Syifa melirik sekilas ke ruang operasi dan melanjutkan, "Suaminya?"

Aulia menceletuk, "Ya, dia suaminya. Keluarga yang tanda tangan persetujuan tadi itu dia."

Sekujur tubuh Syifa langsung gemetaran. Raut wajahnya berubah muram, "Oh ...."

Billy menggertakkan giginya dan berkata, "Syifa, nanti akan kujelaskan masalah ini padamu."

Syifa berusaha menenangkan dirinya untuk menjaga profesionalismenya sebagai dokter. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berkata, "Tenang saja, operasinya sukses. Dua-duanya selamat, tapi masih harus diopname dan diinfus penguat janin beberapa hari. Kalau nggak ada masalah lain, akhir pekan ini sudah bisa keluar dari rumah sakit."

Billy menghela napas lega, "Baik." Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan, "Syifa, terima kasih atas kerja kerasmu."

"Nggak masalah. Istri siapa pun itu, sebagai dokter, aku harus berusaha menyelamatkannya."

Syifa kembali ke ruangannya, lalu meneguk segelas air es. Setelah termenung cukup lama, dia baru berhasil menenangkan diri. Setelah menunggu belasan menit, pintu ruangannya diketuk seseorang.

Syifa mendengar suara dari luar memanggilnya, "Syifa, ini aku."

Syifa bangkit dari kursinya untuk membukakan pintu. Kini Billy tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, matanya masih terlihat sembap. Kecemasan di sorot matanya masih belum sirna sepenuhnya.

Syifa terlalu kaget saat berada di luar ruang operasi tadi. Sekarang dia baru menyadari bahwa kemeja putih Billy terkena noda darah dan tampak kusut. Di lengan bajunya bahkan terlihat bercak-bercak air yang besar.

Hanya ada dua kemungkinan. Entah itu terkena air ketuban saat dia membawa wanita itu ke rumah sakit atau mungkin itu air mata yang dia tumpahkan di ruang perawatan tadi. Syifa berbalik dan kembali ke tempat duduknya, lalu bertanya dengan tenang, "Sudah jenguk dia?"

Billy mengangguk dengan perlahan, "Ya, dia sudah ketiduran."

"Dia ...." Billy melanjutkan, "Anak itu bukan punyaku."

Syifa tiba-tiba merasa lega. Dia langsung terduduk di kursinya, seolah-olah seluruh tenaganya telah terkuras habis.

"Dia kecelakaan dan kondisinya sedang kritis. Aku yang bawa dia ke rumah sakit. Aku dapat kabar bahwa dia harus segera dioperasi, tapi persetujuannya cuma boleh ditandatangani keluarga. Jadi aku terpaksa ...."

Syifa baru memahaminya. "Aku yang suruh asistenku untuk minta tanda tangan dari keluarga. Sekarang aku sudah mengerti."

Billy menimpali, "Tadi kita sedang di depan pintu ruang operasi. Ada banyak orang di sana, jadi aku nggak bisa jelasin. Kalau ketahuan aku bukan suaminya, nggak ada lagi yang bisa bantu dia tanda tangan. Nyawa lebih penting."

Syifa akhirnya mengerti. Dia merasa agak bersalah terhadap Billy. Mana mungkin pria selembut dan semapan Billy akan berselingkuh?

Mungkin dia hanya kebetulan bertemu dengan kecelakaan itu dalam perjalanan ke kantor dan tidak tega melihat seorang ibu hamil sendirian. Oleh karena itu, dia segera membawa wanita itu ke rumah sakit.

"Masalahmu di kantor sudah selesai? Ada aku di sini, kamu nggak usah khawatir sama wanita itu."

Billy membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu. "Syifa, aku ...."

"Kenapa?" tanya Syifa.

Billy menggeleng. "Nggak ada masalah di kantor. Kamu sudah selesai sibuk? Aku ... tunggu di luar, kita pulang sama-sama."

Setelah menyelesaikan operasi, selanjutnya pasien hamil itu akan diambil alih oleh perawat. Jadi, Syifa juga tidak perlu tetap berada di sana lagi. Setelah mengganti jas dokternya, Syifa mengambil hasil pemeriksaan kehamilan, lalu melipat dan menyimpannya di dalam dompet. Kemudian, dia baru mengambil tasnya dan berjalan keluar.

Syifa sudah tidak asing lagi dengan mobil Porsche Cayenne putih milik Billy. Dia langsung mengenalinya dan berjalan cepat ke arahnya. Dari kejauhan, dia sudah mencium aroma tembakau yang menyengat.

Di bawah cahaya malam yang redup, sosok Billy bersandar di jendela mobil dengan seberkas cahaya oranye dari rokok yang berkedip-kedip. Syifa mengerutkan kening saat menghampirinya. "Kenapa kamu mulai merokok?"

Billy terkesiap sehingga rokok di tangannya terjatuh. Syifa baru menyadari bahwa di tanah sudah ada belasan puntung rokok yang terbuang. Tampaknya, semua ini adalah bekas puntung rokok Billy. Hari ini, Billy tampak berbeda dari biasanya.

"Apa yang terjadi?"

Billy menggelengkan kepalanya. Meski terlihat kelelahan, dia tetap membukakan pintu mobil dengan jentelmen dan berkata, "Masalah kantor. Ayo masuk."

"Masalah serius ya?"

"Nggak, kok."

Syifa duduk di kursi penumpang depan dan memasang sabuk pengaman. Setelah menunggu beberapa saat, Billy baru masuk ke mobil. Kemudian, dia menyalakan mesin dan menginjak pedal gas.

"Berhenti!" teriak Syifa menghentikannya.

Billy terkejut sejenak. "Kenapa?"

Baru saja Billy selesai berbicara, terdengar suara seseorang di luar yang mengumpat, "Nggak punya mata ya? Gimana sih kamu nyetir? Orang sebesar ini kamu nggak kelihatan? Kalau sampai ketabrak, kamu bisa tanggung jawab?"

Billy biasanya sangat hati-hati saat menjemput Syifa dari rumah sakit dan tidak pernah melakukan kesalahan. Namun entah kenapa, hari ini dia berbeda. Untungnya, orang itu tidak memperpanjang masalah. Dia hanya mengumpat beberapa kali sebelum pergi.

Billy mengatupkan bibirnya, lalu kembali menyalakan mesin mobil dan melaju ke lalu lintas.

Syifa bertanya dengan cemas, "Kamu benaran nggak apa-apa?"

Ekspresi Billy tampak frustasi dan tidak sabar, "Sudah kubilang nggak apa-apa."

Syifa tercengang sejenak, lalu tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Setelah beberapa menit kemudian, dia baru mendengar Billy berkata dengan nada bersalah, "Maaf, Syifa. Belakangan ini aku banyak masalah, jadi emosiku kurang bagus. Aku bukan sengaja mau marah-marah sama kamu."

Syifa mengangguk dengan pelan, "Ya, kamu hati-hati nyetirnya."

"Ya."

Setelah itu suasana kembali menjadi hening.

"Syifa," panggil Billy tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Wanita tadi ...." Billy menjilat bibirnya, lalu bertanya dengan kesulitan, "Wanita yang kamu operasi tadi. Dia nggak apa-apa kalau di rumah sakit sendirian, 'kan?"

Syifa tertawa. "Ternyata kamu masih mikirin dia ya."

"Bukan, aku nggak mikirin dia. Cuma sekadar nanya," sergah Billy.

"Ada perawat di rumah sakit yang bisa jaga dia. Selain itu, rumah sakit juga akan hubungi keluarganya untuk datang."

"Gimana kalau keluarganya nggak bisa datang?" tanya Bily.

"Kenapa kamu tahu keluarganya nggak bisa datang?"

Billy membuka mulutnya dengan ragu-ragu, tetapi tidak mengaatakan apa pun. Meskipun Billy tetap memandang lurus ke depan, seolah-olah sedang fokus mengemudi dengan hati-hati seperti yang diminta Syifa, suasana di dalam mobil menjadi sunyi sepanjang perjalanan.

Saat mereka tiba di rumah, langit perlahan mulai cerah. Billy memarkir mobil di depan rumah, tetapi tidak keluar dari mobil. Dari balik jendela mobil, dia berkata, "Kamu istirahat dulu. Aku harus kembali ke kantor untuk ngurus beberapa hal."

Syifa mengangguk. Apakah Billy benar-benar kembali ke kantor atau tidak, Syifa tidak ingin menanyakannya.

Insting wanita sering kali terlalu tajam dan terkadang itu bukanlah hal yang baik. Seandainya saja Syifa tidak terlalu sensitif, mungkin dia bisa menganggap semua keanehan Billy malam ini sebagai hal yang biasa.

....

Sabtu ini adalah ulang tahun Billy yang ke-31. Syifa dan Billy sudah sepakat untuk kembali ke rumah keluarga mereka bersama-sama sedari awal. Syifa baru saja selesai dinas malam dan pulang pada pukul delapan pagi di hari Sabtu.

Saat hendak keluar rumah, Syifa membuka dompet dan melihatnya sekilas. Lembar hasil pemeriksaan itu telah dilipatnya menjadi seukuran kotak korek api dan tersimpan rapi di dalam selipan dompetnya.

Laporan itu adalah hadiah ulang tahun yang telah lama dipersiapkannya. Namun sekarang, Syifa jadi ragu apakah dia harus memberikan hadiah ini atau tidak. Syifa memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas, lalu mengganti jas dokternya dan bersiap untuk pulang. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi

Telepon dari sahabatnya, Prilly.

"Syifa, aku baru lihat suamimu pulang sama seorang wanita hamil!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status