Share

Bab 7 Saku Celana, Sepertinya Tidak Pantas

Apakah ada persahabatan murni antara pria dan wanita? Syifa tidak tahu, dia hanya tahu bahwa Billy sepertinya juga sudah mulai mabuk.

Alat penuang minuman di tangannya sudah lama menghilang. Mungkin air mineral di dalamnya sudah habis dan dia dikelilingi oleh beberapa orang yang berebut untuk menuangkan minuman ke gelasnya. Shifa yang masih dalam keadaan hamil, tidak bisa menahan sekelompok pemabuk ini. Meskipun dia sudah berusaha menegur mereka cukup lama, tetap saja tidak ada yang peduli.

Billy terpaksa minum beberapa gelas lagi dan langkahnya menjadi agak goyah. Syifa berdiri, "Maaf, aku mau lihat Billy dulu."

John juga tidak mengatakan hal-hal aneh lagi dan mengangguk, "Pergilah."

Syifa segera berjalan menghampiri Billy. Gelas di tangan Billy baru saja diisi ulang, tetapi langsung direbut oleh Syifa.

"Hei, siapa perempuan ini?"

Syifa tidak peduli dengan hal lain. Dia hanya memegang lengan Billy dan bertanya, "Billy, kamu nggak apa-apa?"

Billy memandangnya dengan saksama sejenak sebelum mengenalinya, lalu menggelengkan kepalanya sedikit, "Aku baik-baik saja."

Suara percakapan mereka berdua cukup pelan, sehingga kelompok pemabuk itu tidak mendengarnya. Mereka malah mengira Syifa adalah pelayan, sehingga seseorang mulai mendekat untuk menariknya. "Kamu kira kamu siapa? Berani-beraninya mendekati Billy. Kamu kebelet mau naik status ya ...."

Billy segera menarik tangan orang itu. Dia melangkah maju dan melindungi Syifa di belakangnya sambil mengerutkan kening. "Jangan sentuh dia."

"Billy, kenapa kamu lindungi dia? Perempuan ini jelas-jelas mau dekatin kamu. Aku sudah sering lihat perempuan begini ...."

"Dia istriku."

Para pemabuk itu langsung tersadar seketika. Mereka melihat sekilas Syifa yang dilindungi oleh Billy, lalu mengalihkan pandangan pada Shifa yang berwajah pucat dan bertanya dengan kebingungan, "Kalau dia istrimu, lalu siapa Kak Shifa?"

Semua mata tertuju pada Shifa yang berdiri di belakang. Dia masih memegang jas Billy. Ekspresinya tampak kesal dan matanya agak memerah. "Sudah kubilang, aku dan Billy cuma teman."

Namun, senyuman di wajahnya terlihat agak kaku, seolah-olah dipaksakan. Orang-orang yang hadir di sana juga tidak bodoh. Situasi ini tampaknya agak rumit dan penampilan Shifa yang seperti itu jelas menunjukkan ada sesuatu yang terjadi.

"Billy, kamu dan Kak Shifa ...."

Ekspresi mabuk Billy menghilang perlahan-lahan dan tatapannya kembali tenang. Dengan suara lembut, dia berkata, "Kurasa sudah cukup untuk hari ini, semua pulang saja. Syifa, ayo pulang."

Syifa mengangguk ringan, "Iya." Dia menatap Shifa dan mengulurkan tangan seraya berkata, "Terima kasih, Bu Shifa. Berikan saja pakaian Billy padaku."

Namun, Shifa memegang erat jas di tangannya dan tidak mau melepaskannya. "Lagian aku juga bakal pulang sama kalian, biar aku saja yang bawakan."

Berhubung ada banyak orang di sekitar mereka, Syifa menatapnya sejenak dan tidak lagi memaksanya, "Ya sudah, aku harus papah Billy. Maaf merepotkan Bu Shifa."

Billy berkata, "Ayo jalan."

Syifa memapah Billy berjalan di depan, sedangkan Shifa mengikuti di belakang dengan membawa jasnya. Mereka berjalan keluar bersama, meninggalkan orang-orang yang tampak tercengang di ruangan itu.

"Apa yang terjadi?"

"Aku juga nggak ngerti ...."

John berjalan ke arah mereka sambil memegang sebuah gelas. Kemudian, dia menenggak isinya dalam satu tegukan dan menghela napas, "Kalau ada bunga yang bisa dipetik, petiklah segera. Jangan menunggu sampai bunganya layu dan rantingnya kering ...."

"Hahaha, John, kau jadi puitis kalau sudah mabuk. Apa maksudnya? Kami orang kasar, jadi nggak paham."

"Itu artinya ...." John meletakkan gelasnya dengan keras. Kemudian, dia menatap punggung Shifa yang berjalan sendirian di kejauhan sambil menghela napas panjang, "Kalau tahu bakal begini, kenapa dulu melakukannya."

Begitu keluar dari ruangan, angin malam yang dingin langsung menerpa wajah mereka. Syifa menggigil kedinginan. Namun, untungnya tubuh Billy yang panas mampu mengusir rasa dingin itu di sebagian tubuh Syifa.

Billy yang sudah mabuk tidak bisa lagi mengemudi. Dia berkata, "Aku telepon sopir pengganti."

Shifa segera mengeluarkan ponselnya untuk mengatur hal tersebut. Namun, Syifa berkata, "Biar aku saja yang nyetir."

Billy agak terkejut, "Kamu bisa nyetir?"

Syifa tersenyum tipis, "Bisa, tapi jarang ada kesempatan."

Selama tiga tahun terakhir, Billy selalu mengantar dan menjemputnya pergi dan pulang kerja. Bahkan jika dia harus lembur tengah malam, Billy selalu setia menjemputnya. Malam ini adalah pertama kalinya Billy tidak bersikeras mengantarnya ke rumah sakit.

Syifa bertanya, "Di mana kunci mobilnya?"

"Di saku."

Baru saja dia selesai berbicara, Shifa merogoh kantong jasnya, "Nggak ada di sini?"

Billy memang sudah cukup mabuk. Sebagian besar berat tubuhnya bertumpu pada Syifa. Kepalanya disandarkan pada bahu Syifa, kemudian dia menjawab sambil mengerutkan kening, "Di kantong celana."

"Kalau begitu, kamu harus berdiri yang tegak. Dengan posisi begini, aku nggak bisa ambil."

"Aku bisa, biar aku saja!" seru Shifa dengan semangat dan dia langsung maju dengan niat merogoh kantong celana Billy.

Syifa menghentikannya, "Bu Shifa, merogoh saku celana ... sepertinya kurang pantas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status