Shifa tertegun sejenak, tetapi kemudian langsung membalas, "Aku dan Billy sudah berteman selama lebih dari 20 tahun. Semua orang tahu, kami ini cuma teman baik! Bu Syifa kenapa harus berpikiran sempit begitu? Kalau begitu, semua orang cuma boleh berteman dengan sesama jenis saja. Semua hubungan dengan lawan jenis pasti akan disalahartikan."Syifa segera menjawab, "Tentu saja, berteman sama lawan jenis itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja harus ada batasan antara pria dan wanita, apalagi kalian berdua sudah menikah. Hal-hal seperti ini tetap perlu diperhatikan."Shifa tertawa sinis, "Nggak kusangka seorang dokter sepertimu bisa begitu perhitungan. Minggu lalu waktu kamu mengoperasiku, ada seorang dokter laki-laki yang masuk ke ruang operasi. Aku sudah menolak, tapi apa yang kamu bilang? Kamu bilang, dokter itu nggak memandang gender.""Itu karena dokter laki-laki itu adalah ahli anestesi.""Lalu apa bedanya? Aku perempuan, dia laki-laki, dan ini operasi kebidanan. Bukankah seharusnya j
Entah itu karena kepercayaan atau karena merasa tidak ada yang disembunyikan, ponsel Billy tidak memiliki pengaturan kata sandi. Mungkin juga dia berpikir bahwa Syifa tidak akan pernah memeriksa ponselnya?Sebenarnya, Syifa memang tidak pernah punya kebiasaan untuk memeriksa ponsel Billy. Pertama, karena selama beberapa tahun ini, Billy memang seorang suami yang sempurna dan tidak ada hal mencurigakan. Kedua, Syifa menghormati privasi pribadi. Meskipun mereka adalah pasangan, setiap orang dewasa pasti memiliki rahasia kecilnya tersendiri.Namun, ponsel Billy terus-menerus bergetar sehingga membuat Syifa sulit untuk tidur. Akhirnya, dia mengambil ponsel itu dan mengetik balasan.[ Aku Syifa, Billy lagi mandi. Ponselnya ada padaku. Nanti kalau dia sudah selesai, aku akan minta dia untuk menghubungimu kembali. ]Setelah pesan itu terkirim, ponsel itu langsung menjadi sunyi.Ketika Billy keluar dari kamar mandi, dia melihat Syifa tampaknya sudah tertidur. Namun, dahinya terlihat agak berke
Prilly berseru dengan terkejut, "Apa?!""Baru empat minggu, aku baru periksa."Prilly terdiam.Syifa meletakkan tangannya dengan perlahan di perutnya. "Awalnya, aku mau beri tahu dia waktu ulang tahunnya sebagai kado. Tapi dilihat dari kondisinya sekarang, sepertinya ini bukan kabar baik baginya."Prilly merasa tidak tega dan akhirnya menghiburnya, "Sebenarnya ... belum tentu juga, 'kan? Shifa itu juga sedang hamil. Sesuka apa pun si Billy padanya, nggak mungkin dia mau jadi ayah tiri orang lain, 'kan? Menurutku, dia baik sekali padamu beberapa tahun ini.""Mungkin saja dia sudah nyerah dan memang ingin hidup bahagia sama kamu. Cuma karena kepulangan Shifa kali ini, dia jadi teringat sama kenangan masa mudanya. Wajar saja kalau dia jadi sentimental. Setelah Shifa itu pergi nanti, kalian masih bisa kembali lagi seperti dulu."Syifa membalas, "Apa masih bisa kembali seperti dulu?"Prilly terdiam.Cinta yang terpendam selama 20-an tahun diibaratkan bagai sebuah gunung es. Yang terlihat da
[ Ya. ]Wajah Syifa tersenyum semringah. Prilly yang merasa canggung, menimpali lagi.[ Tapi, kalau akhir-akhir ini kalian ... berhubungan intim, sebaiknya hati-hati ya. Usia kandungan masih kecil. Kamu sendiri dokter kandungan, pokoknya kamu lebih ngerti daripada aku. Hati-hati ya. ]Syifa membalas.[ Ya, aku tahu. ]Sambil menyetir, Billy bertanya sambil tertawa, "Kelihatannya senang sekali, lagi ngobrol sama siapa?""Prilly," jawab Syifa."Itu nama yang dikasih orang tuanya?" tanya Billy.Syifa tertawa sambil menjelaskan, "Bukan, dia yang ganti nama sendiri waktu umur 18 tahun. Keesokan harinya setelah ulang tahun, dia langsung pergi ganti nama tanpa menunggu sama sekali.""Kenapa?" tanya Billy."Waktu SMA pernah menjalani hubungan yang nggak menyenangkan dan terluka. Sejak saat itu, dia memutuskan nggak mau jatuh cinta, makanya ganti nama untuk buang sial."Billy berkomentar, "Sebenarnya nggak perlu sampai begitu, 'kan? Masa-masa remaja semua orang pasti pernah merasakan cinta pert
"Bu Syifa, butuh saran hukum dariku, nggak? Rumah yang dibeli setelah menikah tetap jadi harta bersama suami istri meskipun kamu yang bayar sepenuhnya. Kamu cuma punya hak milik setengah."Syifa membalas, "Maksudmu, Billy juga punya hak setengah, jadi kamu masih bisa mengacau di rumahku sesuka hatimu?"Shifa mengangkat bahunya dan berkata, "Kalau dibeli waktu lajang, berarti itu milikmu sendiri, nggak ada hubungannya sma Billy.""Bu Shifa mau bilang 'lajang' atau 'cerai'?""Mau itu lajang atau cerai, nggak ada bedanya dalam hal kepemilikan rumah. Bu Syifa, jangan salah paham. Aku cuma ingin mengingatkan tentang hukum pernikahan dan hak milik."Syifa tersenyum tipis, lalu menoleh ke Billy, "Kamu sudah lihat sendiri,'kan? Bu Shifa masih bisa berdebat dengan logika yang jelas denganku, itu berarti dia baik-baik saja."Billy berkata dengan perasaan bersalah, "Syifa ....""Ingat transfer 300 ribunya, aku masuk kamar dulu. Mengenai ruang tamu ... ini rumahmu, jadi kamu putuskan saja sendiri
Syifa merasa dirinya sangat hebat. Tidak peduli terjadi masalah apa, dia tetap bisa tidur dengan nyenyak. Padahal, tokoh utama wanita yang ada di drama TV selalu tidak bisa tidur karena merasa sedih.Prilly berkata, "Bagus dong. Itu artinya kamu punya pikiran yang jernih. Kalau aku punya kesadaran seperti ini dulu, mana mungkin aku nggak bisa tidur sebelum ujian masuk universitas dan prestasiku merosot."Ketika SMA, Prilly dan Syifa adalah juara kelas. Mereka selalu mendapat juara 1 atau 2. Kalau bukan Syifa yang juara 1, berarti Prilly yang juara 1. Bahkan, selisih nilai mereka dengan juara 3 sangat jauh.Pada akhir semester SMA 3, murid juara 3 tiba-tiba menyatakan cintanya kepada Prilly, bahkan mengejarnya dengan sepenuh hati. Tentunya, banyak momen romantis yang terjadi.Prilly yang baru berusia 17 atau 18 tahun tentu tidak tahan dengan perlakuan istimewa seperti itu. Dalam waktu kurang dari 2 bulan, dia jatuh ke pelukan pria itu.Para guru juga tahu tentang ini. Namun, karena kedu
Setelah pulang kerja, Syifa naik taksi ke hotel. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang familier di pintu masuk hotel.Billy tampak bersandar di pintu mobilnya sambil menunduk dan merokok. Hari ini dia mengenakan pakaian kasual. Syifa menebak bahwa Billy tidak pergi ke perusahaan hari ini. Yang jelas, alasannya bukan karena dirinya.Begitu melihat Syifa, Billy langsung mematikan rokoknya dan bergegas menghampiri. Dia berkata, "Kamu sudah pulang."Syifa menoleh memandang hotel tempat dia menginap. Hotel ini sangat jauh dari apartemen. Butuh sejam jika mengemudikan mobil kemari."Kok kamu tahu aku tinggal di sini?" tanya Syifa."Grup Aditama punya saham di hotel ini," sahut Billy.Syifa mengernyit dan merasa menyesal. Dia hanya seorang dokter sehingga kurang memahami soal bisnis. Dia juga jarang bertanya tentang urusan perusahaan, jadi tidak tahu apa-apa tentang industri yang berada di bawah naungan Grup Aditama.Siapa sangka, hotel ini adalah bagian dari Grup Aditama. Syifa pun bertanya, "Di
Suasana menjadi sunyi senyap. Billy berdiri di antara Syifa dan Shifa. Syifa pun tersenyum dingin karena situasi ini sungguh konyol. Mereka seperti sedang berebutan pria. Ini persis dengan adegan menjijikkan yang ada di drama."Eh, Billy ya?" Tampak seorang wanita tua yang duduk di kursi roda dan seorang wanita paruh baya yang mendorong kursi roda. Mereka seperti mengenal Billy sehingga menghampiri untuk menyapa."Nenek Janis, Bibi Citra," sapa Billy balik. Kemudian, dia hendak memperkenalkan, "Syifa, mereka ...."Sebelum Billy sempat menyelesaikan ucapannya, Shifa sudah menghampiri dan meraih tangan Janis dengan ramah. "Nenek, sudah lama nggak ketemu ya. Kamu jadi makin muda saja!""Hahaha! Shifa, mulutmu masih semanis dulu ya!" puji Janis.Citra yang berdiri di belakang berkata, "Ibu, ternyata kamu bisa mengenali Shifa. Aku saja nggak bisa mengenalinya waktu itu."Janis menyahut, "Shifa istrinya Billy. Mana mungkin aku nggak bisa mengenalinya? Dulu, Billy terus mengikutinya, membantu