Setelah pulang kerja, Syifa naik taksi ke hotel. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang familier di pintu masuk hotel.Billy tampak bersandar di pintu mobilnya sambil menunduk dan merokok. Hari ini dia mengenakan pakaian kasual. Syifa menebak bahwa Billy tidak pergi ke perusahaan hari ini. Yang jelas, alasannya bukan karena dirinya.Begitu melihat Syifa, Billy langsung mematikan rokoknya dan bergegas menghampiri. Dia berkata, "Kamu sudah pulang."Syifa menoleh memandang hotel tempat dia menginap. Hotel ini sangat jauh dari apartemen. Butuh sejam jika mengemudikan mobil kemari."Kok kamu tahu aku tinggal di sini?" tanya Syifa."Grup Aditama punya saham di hotel ini," sahut Billy.Syifa mengernyit dan merasa menyesal. Dia hanya seorang dokter sehingga kurang memahami soal bisnis. Dia juga jarang bertanya tentang urusan perusahaan, jadi tidak tahu apa-apa tentang industri yang berada di bawah naungan Grup Aditama.Siapa sangka, hotel ini adalah bagian dari Grup Aditama. Syifa pun bertanya, "Di
Suasana menjadi sunyi senyap. Billy berdiri di antara Syifa dan Shifa. Syifa pun tersenyum dingin karena situasi ini sungguh konyol. Mereka seperti sedang berebutan pria. Ini persis dengan adegan menjijikkan yang ada di drama."Eh, Billy ya?" Tampak seorang wanita tua yang duduk di kursi roda dan seorang wanita paruh baya yang mendorong kursi roda. Mereka seperti mengenal Billy sehingga menghampiri untuk menyapa."Nenek Janis, Bibi Citra," sapa Billy balik. Kemudian, dia hendak memperkenalkan, "Syifa, mereka ...."Sebelum Billy sempat menyelesaikan ucapannya, Shifa sudah menghampiri dan meraih tangan Janis dengan ramah. "Nenek, sudah lama nggak ketemu ya. Kamu jadi makin muda saja!""Hahaha! Shifa, mulutmu masih semanis dulu ya!" puji Janis.Citra yang berdiri di belakang berkata, "Ibu, ternyata kamu bisa mengenali Shifa. Aku saja nggak bisa mengenalinya waktu itu."Janis menyahut, "Shifa istrinya Billy. Mana mungkin aku nggak bisa mengenalinya? Dulu, Billy terus mengikutinya, membantu
Billy pun panik. Dia menjulurkan tangan untuk merebut kartu kamar, tetapi Shifa menghindar dengan gesit dan memelototinya untuk memberi peringatan."Shifa!" bentak Billy."Kenapa?" Shifa mengerlingkan matanya dan berkata, "Bu Syifa nggak pernah datang ke hotel ini. Aku cuma memberitahunya lokasi restoran. Ngapain kamu membentakku?""Apa kamu bisa berhenti membuat onar?" tanya Billy.Shifa tidak meladeninya dan langsung meletakkan kartu kamar lantai 2 kepada Syifa. Dia berkata dengan tegas, "Bu Syifa, aku sudah beberapa kali datang ke hotel ini. Kalau kamu bingung, cari saja aku. Restorannya ada di sisi kanan waktu kamu keluar. Jalan lurus saja ke depan."Syifa menatap kartu kamar di tangannya, lalu mendongak dan bertatapan dengan Shifa. Keduanya bertemu pandang dan saling memahami isi pikiran masing-masing.Shifa jelas-jelas menyombongkan diri. Dia ingin memberi tahu Syifa bahwa dirinya memiliki kuasa di sini. Sementara itu, Syifa tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Dia memasang eksp
Ada pepatah yang mengatakan bahwa patah hati bisa membuat orang makin giat bekerja. Syifa akhirnya memahaminya hari ini. Laporan yang membuatnya frustrasi selama 2 bulan ini tiba-tiba disiapkan olehnya dalam semalaman.Pukul 5.30 pagi, Prilly menelepon Syifa. "Aku sudah berangkat. Mungkin aku akan tiba dalam sejam.""Sebenarnya nggak perlu sepagi ini. Jam 7 pagi baru berangkat juga boleh kok." Syifa merasa terharu."Nanti macet kalau kesiangan," ujar Prilly dengan tidak berdaya."Baiklah kalau begitu. Terima kasih, nanti aku traktir kamu makan ya," balas Syifa."Jangan bicara sesungkan itu. Cepat bereskan barang-barangmu. Aku paling nggak suka menunggu orang," pesan Prilly.Barang bawaan Syifa tidak banyak. Charger ponsel dan pakaiannya telah disimpan sejak tadi. Tasnya diletakkan di atas meja dan tinggal diambil.Syifa tidak berniat untuk menulis laporan di perjalanan kali ini. Itu sebabnya, dia tidak mengambil laptop dan mengetik semuanya dengan ponsel. Kini, matanya pun terasa kerin
Prilly mengendarai mobil Porsche merah. Meskipun tidak sekaya Keluarga Aditama, keluarganya termasuk terkemuka di Kota Hadam.Prilly adalah anak tunggal sehingga sangat disayangi sejak kecil. Bisa dibilang, selain kisah cintanya yang menyedihkan saat SMA 3, wanita ini tidak pernah merasakan kesedihan lain.Prilly berujar, "Jangan pulang ke apartemen itu lagi. Nggak usah tinggal di hotel juga. Tinggal saja di tempatku untuk sementara waktu. Anggap kamu menemaniku.""Tolong antar aku ke rumah sakit," balas Syifa sambil menggeleng.Prilly sungguh kehabisan kata-kata. Dia bertanya, "Untuk apa? Kamu ingin menyibukkan diri supaya melupakan kesedihanmu?""Nggak juga," bantah Syifa."Jadi, untuk apa ke rumah sakit? Kamu akhirnya dapat cuti. Gimana kalau kita jalan-jalan? Aku akan membawamu ke luar negeri untuk mencari pria tampan!" seru Prilly.Syifa terdiam sejenak sebelum berkata dengan susah payah, "Aku mau melakukan aborsi."Syifa mulai belajar kedokteran pada usia 18 tahun. Gelar sarjanan
Billy maju dengan perlahan untuk mendekati Syifa. Tatapannya tertuju pada tisu merah di tangan Syifa.Billy menjulurkan tangannya, lalu bertanya dengan susah payah, "Apa ... aku ... boleh menyentuhnya sebentar?"Syifa mengangguk. Mungkin karena cuaca hari ini terlalu dingin, tangan Billy sampai bergetar. Bukan hanya tangannya, tetapi sekujur tubuhnya. Pembuluh darah di punggung tangannya juga tampak menggembung.Billy bergerak dengan hati-hati. Hatinya diliputi rasa bersalah, penyesalan, dan rasa sakit. Di sisi lain, Syifa hanya menatapnya dengan tenang, melihat Billy menggertakkan gigi dan matanya yang makin merah.Pada akhirnya, Billy tidak kuat lagi. Dia sampai menggunakan tangan yang satu lagi untuk menekan pergelangan tangannya, lalu menyentuh tisu itu dengan perlahan.Syifa segera mengepalkan tangannya kembali dan menyimpan tisu itu. Sementara itu, Billy seakan-akan baru tersadar dari mimpi buruknya."Pak, Pak Billy." Billy sontak tersadar kembali. Syifa memanggilnya dengan pangg
Billy mengepalkan tangannya dengan erat. Napasnya memburu. Ketika menatap Syifa, tatapannya terlihat agak asing. Dia berujar, "Syifa, kamu benar-benar rasional.""Terlalu rasional mungkin terkesan kejam. Tapi, ini adalah yang terbaik untuk kita bertiga dalam jangka panjang," sahut Syifa."Bertiga?" tanya Billy sambil mengernyit."Aku nggak akan terikat dengan Keluarga Aditama. Setelah bercerai, aku akan punya kehidupanku sendiri. Sementara itu, masa depanmu nggak akan terhambat karena anak ini. Lagian, wanita itu bisa melahirkan anak untukmu. Kamu juga nggak perlu bertengkar dengannya karena anak ini. Kalau Shifa ...," ujar Syifa.Kemudian, Syifa tersenyum sebelum meneruskan, "Dia nggak perlu repot-repot memikirkan cara untuk membantu anaknya merebut aset keluarga."Billy tidak membantah ucapan Syifa. Dia dan Shifa tumbuh besar bersama. Itu sebabnya, dia tahu seperti apa kepribadian Shifa."Masih ada satu hal yang paling penting. Aku ingin anakku tumbuh di keluarga yang penuh cinta. Se
Di usia Billy yang ke-31 tahun, dia bukannya tidak pernah memikirkan untuk memiliki anak. Di benaknya, anaknya pasti adalah bayi kecil yang digendong di pelukannya atau balita yang berlarian dengan nakal.Billy tidak menyangka anaknya akan berubah menjadi segumpal darah yang dibungkus dengan tisu murahan, bahkan dibuang di tempat pembuangan sampah dan bercampur dengan barang-barang kotor lainnya.Dengan dipapah Prilly, Syifa perlahan-lahan berjalan pergi. Prilly menoleh untuk melirik Billy, tetapi Syifa menepuk tangan Prilly untuk menyuruhnya jangan melihatnya lagi.Billy telah mengenal Syifa selama 3 tahun, tetapi tidak pernah melihat Syifa yang sedingin ini. Syifa adalah wanita yang lembut sekaligus pekerja keras. Dia bukan wanita yang mudah menyerah, apalagi mengakui kekalahannya.Sayangnya, yang dilihat Billy dulu hanya sisi lembut Syifa. Dia tidak menyangka Syifa akan selugas ini setelah membuat keputusan ini.Billy telah memahami semua ucapan Syifa. Pertimbangan Syifa memang sang