Billy tersenyum getir. Karena lukanya terasa perih, dia merintih sebelum menjawab, "Dicakar tadi."Tidak perlu disebutkan lagi siapa yang mencakarnya. Syifa tersenyum dingin dan berkata, "Kondisi ibumu kurang baik. Meskipun aku bukan dokter spesialis otak, aku tetap seorang dokter. Kondisi ini sangat serius. Jadi, sebaiknya kamu buat persiapan mental."Wajah Billy tampak pucat. Dia bertanya, "Kenapa ibuku bisa sampai begitu?""Entahlah. Mungkin karena terlalu emosional, mungkin karena usianya sudah tua dan ada plak di pembuluh darahnya yang pecah," jelas Syifa.Billy mengangguk dengan ragu sambil berkata, "Mungkin karena masalah perceraian kita dan ... anak kita."Syifa tidak ingin membahas tentang masa lalu. Dia hanya berujar, "Kalau Bibi Erica selamat, segera pikirkan cara supaya dia bisa hidup tenang. Kalau nggak, konsekuensinya akan fatal."Billy mengangguk memahaminya. "Aku akan berusaha supaya Shifa nggak mengganggunya.""Ya, kuharap begitu," balas Syifa.Tebersit amarah pada ta
Begitu mendengarnya, staf mendongak menatap Syifa. Dia mengira akan melihat ekspresi sedih, tetapi Syifa malah terlihat begitu tenang, bahkan tersenyum.Ketika melihat staf itu menatapnya, Syifa bertanya dengan sopan, "Apa ada yang perlu ditambahkan di dokumen?""Oh, nggak kok. Semuanya sudah lengkap," sahut staf itu."Baguslah." Syifa tersenyum.Staf bertanya lagi, "Gimana dengan hak asuh anak? Apa kalian sudah membahasnya?""Kami ...." Begitu membahas tentang anak, tatapan Syifa menjadi suram. Billy juga memalingkan wajahnya dan tidak ingin menanggapi. Pada akhirnya, Syifa menimpali, "Kami ... nggak punya anak.""Oh, oke. Kalau begitu, perceraian ini mudah diurus," ucap staf itu."Ya.""Tunggu sebentar, biar kuselesaikan semuanya.""Baik."Staf tiba-tiba bertanya kepada Billy, "Pak, apa kamu keberatan dengan sesuatu? Kenapa diam saja?""Aku ikuti keinginannya saja." Billy mendongak dan menggeleng.Staf terkekeh-kekeh, lalu memasang ekspresi paham dan bertanya, "Aku tahu, kalian mema
"Syifa, Syifa ...."Di telinganya terdengar suara yang rendah dan serak, tetapi lembut dan penuh kehangatan. Sudah tiga tahun menikah, Syifa Perdana masih merasa bahwa suaminya, Billy Aditama, memiliki kepribadian yang berbeda saat berada di atas dan di luar ranjang.Sifat Billy sehari-hari sangat penuh perhatian, lembut, dan sopan. Namun, saat mereka telah berduaan di malam hari, Syifa selalu merasa dirinya tidak sanggup mengimbangi stamina Billy. Setelah selesai berhubungan intim, seluruh tubuh Syifa terasa sakit hingga tangannya pun terkulai lemas.Detik berikutnya, lengannya kembali digenggam oleh pria itu. Syifa benar-benar tidak bisa membuka matanya lagi. Dia memohon dengan nada manja, "Sudah dulu ya, besok kita masih harus kerja."Akhir-akhir ini, Syifa sedang mempersiapkan diri untuk penilaian di tempat kerjanya, sehingga rutinitas kesehariannya sangat sibuk. Setelah selesai menulis laporan, malam pun sudah sangat larut. Namun, Billy malah masih mengajaknya berhubungan intim. S
Aulia tersentak melihat kondisi ini. "Dok, ternyata kamu kenal sama suami pasien?"Syifa menatap wajah yang familier ini dengan intens. Pria itu tampak kewalahan, terkejut, gelisah, tetapi yang paling jelas adalah ... kecemasannya terhadap wanita di dalam ruang operasi. Bahkan setelah berusaha menahan diri sekalipun, Billy tetap tidak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya."Kamu ..." Syifa melirik sekilas ke ruang operasi dan melanjutkan, "Suaminya?"Aulia menceletuk, "Ya, dia suaminya. Keluarga yang tanda tangan persetujuan tadi itu dia."Sekujur tubuh Syifa langsung gemetaran. Raut wajahnya berubah muram, "Oh ...."Billy menggertakkan giginya dan berkata, "Syifa, nanti akan kujelaskan masalah ini padamu."Syifa berusaha menenangkan dirinya untuk menjaga profesionalismenya sebagai dokter. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berkata, "Tenang saja, operasinya sukses. Dua-duanya selamat, tapi masih harus diopname dan diinfus penguat janin beberapa hari. Kalau nggak ada mas
Apa Syifa merasa terkejut? Sejujurnya, tidak.Meskipun pernikahannya dengan Billy bukan hasil dari pacaran seperti biasanya, mereka telah hidup bersama selama hampir tiga tahun. Syifa merasa bahwa dia cukup mengenal suaminya.Billy adalah pria yang baik, tidak seperti karakter bos besar dalam novel atau drama yang ucapannya bisa mematikan. Sebaliknya, Billy selalu sopan, penuh perhatian, dan melakukan segala sesuatu dengan sangat teliti. Dia adalah pria dewasa yang lembut dan mapan.Jika ada wanita yang bisa membuat Billy kehilangan kendali, pasti wanita itu bukan orang biasa.Syifa telah mempersiapkan mental untuk menghadapi situasi dramatis seperti yang sering terjadi di drama. Namun, kenyataan ternyata jauh berbeda dari bayangannya. Ketika Syifa tiba di rumah keluarga mereka, memang ada seorang wanita hamil di sana.Namun, wanita hamil itu sedang duduk bersama ibu mertuanya, Erica, sedangkan Billy duduk sendirian di sofa. Melihat Syifa masuk, Billy langsung berdiri dan mengambil man
Memikirkan lembaran hasil pemeriksaan di dompetnya, jari-jari Syifa yang saling menggenggam tampak sedikit pucat."Belum disiapkan ya?" Billy tersenyum ringan, "Nggak apa-apa, dokter besar sepertimu pasti sibuk sekali. Bisa meluangkan waktu untuk makan malam denganku saja sudah termasuk hadiah ulang tahun yang bagus.""Billy, aku sudah ambil cuti seminggu untuk minggu depan. Gimana kalau kita pergi liburan beberapa hari?"Billy tampak terkejut. "Bukannya kamu lagi sibuk sama laporanmu? Ada waktu?""Aku bisa atur jadwalnya."Billy berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Boleh juga, kita belum sempat bulan madu waktu menikah. Kali ini bisa sekalian.""Oke," kata Syifa, "Ganggu pekerjaanmu nggak?""Minggu depan baru berangkat, jadi aku akan atur pekerjaan minggu ini.""Baguslah," jawab Syifa.Billy bertanya, "Apa jadwalmu besok?""Aku sudah tukar jadwal sama orang lain, jadi besok aku libur."Billy melanjutkan, "Besok aku ada reuni teman-teman SMA. Ikut aku ke sana ya."Sebagai istri Billy se
Billy segera kembali fokus setelah melihat sebuah sepeda motor listrik yang melaju melawan arus ke arah mereka. Dia buru-buru membanting setir untuk menghindarinya, lalu menginjak rem dengan keras dan menghentikan mobil di pinggir jalan. Sepeda motor listrik itu berhasil menghindari mereka dengan selamat, tetapi dengan jarak yang sangat tipis.Syifa terkejut hingga wajahnya memucat. "Sebaiknya fokus kalau nyetir.""Ya." Billy juga masih agak terkejut. Dia mengembalikan ponsel itu kepada Shifa. "Kamu buka saja sendiri."Shifa menolaknya, bahkan tanpa menoleh sama sekali. "Aku mau perbaiki riasanku, sibuk.""Tapi aku harus nyetir ....""Bukannya kamu lagi nggak nyetir sekarang?" balas Shifa.Syifa menghela napas dan berkata pada Billy. "Begini saja, berikan ponselnya padaku. Kamu bacakan password-nya, aku yang buka.""Oke." Billy memberikan ponselnya kepada Syifa dan berkata, "Password-nya ryx2 ....""Billy, kamu ngapain!" Shifa tiba-tiba marah besar dan melemparkan cerminnya ke samping.
"Aku istrinya," jawab Syifa.Kedua pria itu langsung tercengang dan menilai penampilan Syifa sekilas. "Kamu ....""Namaku Syifa. S-Y-I-F-A."Mendengarnya, kedua orang itu kembali terpelongo. Syifa tertawa dan bertanya, "Memangnya reuni kalian hari ini nggak boleh bawa keluarga?""Ah, bukan begitu," jawab pria itu."Kalau begitu aku masuk dulu." Syifa membawa tasnya dan masuk ke dalam bar yang penuh sesak.Sebagai pusat perhatian, Billy dikelilingi oleh banyak orang yang berbincang dan menyapanya. Syifa merasa tidak ingin bergabung dalam keramaian itu, jadi dia memilih untuk duduk di sebuah sudut untuk menjauh dari hiruk-pikuk.Suasana bar jadi lebih berisik dari biasanya. Billy yang mungkin merasa kepanasan, lantas melepaskan jasnya dan menggantungnya di lengan. Namun tak lama kemudian, sebuah tangan menyambut jas tu sambil berkata, "Biar kubantu pegang."Billy menghindari tangannya. "Nggak usah, aku bisa pegang sendiri."Shifa tersenyum tipis dan berkata dengan lembut, "Lihat saja ora