Share

Bab 5 Sebaiknya Kamu Panggil Aku Nyonya Aditama

Billy segera kembali fokus setelah melihat sebuah sepeda motor listrik yang melaju melawan arus ke arah mereka. Dia buru-buru membanting setir untuk menghindarinya, lalu menginjak rem dengan keras dan menghentikan mobil di pinggir jalan. Sepeda motor listrik itu berhasil menghindari mereka dengan selamat, tetapi dengan jarak yang sangat tipis.

Syifa terkejut hingga wajahnya memucat. "Sebaiknya fokus kalau nyetir."

"Ya." Billy juga masih agak terkejut. Dia mengembalikan ponsel itu kepada Shifa. "Kamu buka saja sendiri."

Shifa menolaknya, bahkan tanpa menoleh sama sekali. "Aku mau perbaiki riasanku, sibuk."

"Tapi aku harus nyetir ...."

"Bukannya kamu lagi nggak nyetir sekarang?" balas Shifa.

Syifa menghela napas dan berkata pada Billy. "Begini saja, berikan ponselnya padaku. Kamu bacakan password-nya, aku yang buka."

"Oke." Billy memberikan ponselnya kepada Syifa dan berkata, "Password-nya ryx2 ...."

"Billy, kamu ngapain!" Shifa tiba-tiba marah besar dan melemparkan cerminnya ke samping. Dia langsung merebut ponselnya dari tangan Syifa dan melemparkannya ke pangkuan Billy dengan kesal, "Nggak boleh kasih tahu password-ku sama orang lain!"

Billy dan Syifa merasa agak canggung.

Shifa malah tidak merasa bersalah atau segan sama sekali. Dia berbalik dan tersenyum pada Syifa di belakang, "Maaf ya Bu Syifa, bumil memang lebih emosional karena pengaruh hormon. Kamu juga pasti bisa mengerti, 'kan?"

"Ya ...."

Shifa melanjutkan, "Zaman sekarang ini ponsel sama seperti privasi seseorang. Hak privasi adalah hak setiap warga negara dan aku cuma sedang menjaga hakku. Nggak bermaksud menyinggungmu."

Syifa tersenyum. "Bu Shifa memang pakar hukum."

"Sudah kebiasaan," jawab Shifa. "Bu Syifa, jangan marah ya."

"Nggak, tapi lebih baik kamu panggil aku Nyonya Aditama. Sekarang kita nggak lagi di rumah sakit dan aku juga bukan dokter utamamu. Cuma kebetulan menangani operasimu saja waktu itu."

Shifa menolak dengan tenang, "Karena sudah tangani operasiku, berarti kamu memang dokterku. Dokter utama atau nggak, nggak ada bedanya. Apalagi, sejak ketemu kemarin aku sudah manggil kamu Bu Syifa. Kalau ganti panggilan sekarang, rasanya jadi aneh."

"Nggak aneh, aku memang Nyonya Aditama."

"Ya, memang." Senyuman Shifa agak memudar dan raut wajahnya menjadi agak kaku. "Tapi kalau panggil Nyonya Aditama rasanya jadi ketuaan, kesannya kayak kamu sudah umur 40 atau 50 tahun. Panggil Bu Syifa kesannya lebih muda."

Syifa menatapnya dengan diam beberapa saat. Shifa menunjukkan senyuman kemenangan, lalu berbalik dan memerintahkan, "Billy, ayo jalan. Jangan sampai telat."

....

Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, Syifa jarang punya waktu untuk menghadiri reuni. Sebelumnya, Prilly pernah mengajaknya beberapa kali, tetapi Syifa selalu menolak dengan sopan karena pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan.

Saat mereka turun dari mobil dan bersiap menuju ke dalam bar, ponsel Syifa kembali berdering. Billy berhenti melangkah. "Rumah sakit ada panggilan lagi ya?"

Syifa melihat layar ponselnya sekilas dan memang peneleponnya adalah dari rumah sakit. "Ya, mungkin ada keadaan darurat pada pasien hamil. Kalau nggak, mereka nggak akan meneleponku di hari libur."

Billy menawarkan, "Biar kuantarkan."

"Nggak perlu, aku bisa sendiri ...."

"Billy!" Dari kejauhan, Shifa memanggilnya dengan suara nyaring, "John sudah telepon untuk suruh kita cepat datang!" Billy sedikit mengernyit karena merasa dilema.

Sementara itu, ponsel Syifa terus berdering. Dia membawa ponselnya dan berjalan menjauh untuk menerima telepon. "Halo?"

"Halo, Bu Syifa. Ini Aulia. Tadi kepala rumah sakit bilang, bulan depan ada kesempatan belajar ke luar negeri, Bu Syifa mau ikut?"

Syifa merasa agak lega. "Kamu telepon cuma untuk ngasih tahu ini? Kukira ada keadaan darurat lagi."

"Hehe, mana mungkin ada keadaan darurat setiap hari? Tenang saja, kalau cuma urusan biasa, aku masih bisa tangani."

"Oke, terima kasih."

"Jadi, Bu Syifa mau ikut nggak? Kesempatan kali ini benar-benar langka! Aku bahkan sudah siapin formulir aplikasinya. Kalau Bu Syifa mau ikut, aku langsung isikan dan serahkan sekarang."

"Nggak, terima kasih," jawab Syifa dengan lembut sambil menutupi perutnya dengan tangan. "Aku juga nggak mau anakku lahir di luar negeri. Lebih baik punya akta lahir di dalam negeri."

"Juga? Bu Syifa, apa masih ada yang sedang hamil di keluargamu akhir-akhir ini?"

"Oh, teman suamiku."

"Baiklah," jawab Aulia dengan nada menyesal. "Haeh, demi anak dan keluarga, selalu saja wanita yang mengorbankan kariernya. Nggak adil sekali. Bu Syifa masih muda saja sudah jadi ahli di departemen kandungan di rumah sakit ini. Kalau ke luar negeri beberapa tahun, pasti kariermu akan semakin cemerlang ...."

Meski menjabat sebagai asisten Syifa, Aulia sebenarnya hanya dua tahun lebih muda darinya dan masih merupakan seorang mahasiswa pascasarjana. Mungkin karena kebiasaannya di bidang kandungan, Aulia sering merasa terpengaruh oleh perubahan yang dialami wanita selama kehamilan dan persalinan. Akhir-akhir ini, dia sering merasakan ketidakadilan dalam hal ini dan bahkan cenderung menolak pernikahan.

Setelah menenangkan Aulia, Syifa menutup telepon dan melihat ke sekeliling. Tampaknya Billy dan Shifa sudah masuk ke dalam bar.

Syifa melangkah masuk ke bar dan langsung disambut oleh suasana yang bising dan ramai. Di ruang utama bar, telah berkumpul sekitar 100 orang dan sebagian besarnya berusia sebaya dengan Billy. Namun, Syifa langsung bisa menemukan Billy di antara kerumunan.

Perawakannya sangat tinggi dan memiliki aura yang anggun dan tenang. Penampilannya juga sangat menonjol. Meskipun begitu, penampilannya sangat kontras dengan auranya. Wajahnya lebih tegas dan berkarakter. Orang yang tidak mengenalnya mungkin akan menganggapnya sebagai orang yang keras dan dominan.

"Jadi, Billy benar-benar nikah sama Shifa ya?"

"Ya, tentu saja. Memangnya bisa bohong? Kamu nggak lihat wawancara di saluran finansial? Dia sendiri yang bilang nama istrinya Shifa."

"Nggak mungkin, 'kan? Mereka sudah lama temanan. Kalau memang mau, pasti sudah jadian dari dulu. Mana mungkin nunggu sampai sekarang?"

"Siapa tahu? Mungkin saja mereka tiba-tiba saling tertarik? Tapi waktu sekolah dulu, Shifa memang suka sama pria yang lembut dan sopan kayak John. Nggak suka sama yang berkarakter dominan."

"Apa mungkin selera Shifa sudah berubah? Dulu waktu sekolah, Billy itu salah satu dari lima perundung besar. Siapa yang bisa mengalahkan dia?"

"Belum tentu selera Shifa yang berubah, mungkin saja Billy yang berubah. Lihat saja dia sekarang, pakai jas dan berkacamata. Sikapnya jadi lembut dan sopan sekali! Siapa yang bakal nyangka, Billy yang dulu dikenal galak dan menakutkan jadi seperti ini sekarang?"

Brak ....

Ponsel Syifa terjatuh di lantai, membuat orang-orang yang bergosip di sekitarnya terkejut. Salah satu pria berjas biru di antaranya membantu mengambilkan ponsel itu dan memberikannya pada Syifa. "Kamu nggak apa-apa?"

Syifa menerima ponsel itu sambil tersenyum, "Nggak apa-apa."

"Kamu dari kelas mana? Sepertinya nggak pernah ketemu."

"Aku bukan teman sekelas kalian, aku ...."

"Bukan teman sekelas? Kalau begitu, maaf Bu. Kami sedang adakan reuni di sini. Bar ini sudah kami pesan semuanya, nggak terbuka untuk umum. Kalau mau bersenang-senang, terpaksa harus ke tempat lain."

Syifa menjawab, "Aku bukan datang untuk senang-senang, aku sedang cari orang."

"Cari siapa?"

"Billy."

Pria itu terkejut. "Kamu mau cari Billy? Kamu siapanya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status