Share

Bab 9 Bagaimana kalau ... Cerai Saja?

Entah itu karena kepercayaan atau karena merasa tidak ada yang disembunyikan, ponsel Billy tidak memiliki pengaturan kata sandi. Mungkin juga dia berpikir bahwa Syifa tidak akan pernah memeriksa ponselnya?

Sebenarnya, Syifa memang tidak pernah punya kebiasaan untuk memeriksa ponsel Billy. Pertama, karena selama beberapa tahun ini, Billy memang seorang suami yang sempurna dan tidak ada hal mencurigakan. Kedua, Syifa menghormati privasi pribadi. Meskipun mereka adalah pasangan, setiap orang dewasa pasti memiliki rahasia kecilnya tersendiri.

Namun, ponsel Billy terus-menerus bergetar sehingga membuat Syifa sulit untuk tidur. Akhirnya, dia mengambil ponsel itu dan mengetik balasan.

[ Aku Syifa, Billy lagi mandi. Ponselnya ada padaku. Nanti kalau dia sudah selesai, aku akan minta dia untuk menghubungimu kembali. ]

Setelah pesan itu terkirim, ponsel itu langsung menjadi sunyi.

Ketika Billy keluar dari kamar mandi, dia melihat Syifa tampaknya sudah tertidur. Namun, dahinya terlihat agak berkerut seperti sedang bermimpi buruk. Dia melangkah dengan hati-hati untuk mengambil ponselnya dari bantal dan memeriksa pesan-pesannya.

Setelah beberapa saat, dia kembali ke balkon dengan langkah yang hati-hati. Syifa, yang membelakangi balkon, membuka matanya perlahan.

Syifa memang mudah terbangun, terutama saat ada seseorang yang mendekat. Ketika Billy mengambil ponselnya dari bantal tadi, Syifa sudah terjaga dari tidurnya.

Dari arah balkon, tercium aroma tembakau yang samar.

Billy sebenarnya memang bisa merokok dan dulu dia sering melakukannya. Namun dalam tiga tahun terakhir ini, dia tidak pernah merokok sekali pun. Bahkan, di rumah mereka juga tidak ada asbaknya. Akan tetapi, sejak Shifa kembali dalam beberapa hari saja, Syifa sudah mendapati Billy merokok sebanyak tiga kali.

Tak lama kemudian, Syifa mendengar suara samar-samar dari arah balkon.

"Aku memang lagi mandi tadi, baru kelihatan pesannya."

...

"Kamu mikir berlebihan, Syifa nggak bermaksud mau nunjukkin kekuasaannya."

...

"Nggak, kok. Dia bukan orang seperti itu. Syifa sebenarnya orang yang baik. Meski nggak terlalu banyak bicara, dia nggak berniat buruk."

...

"Iya, aku percaya sama kamu. Puas, 'kan? Jangan nangis lagi ya? Kalau bumil nangis, nggak bagus buat kesehatan janinnya."

...

"Ya sudah, kamu tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu sebelum turun."

Billy menutup telepon itu, lalu kembali ke kamar. Tiba-tiba, dia melihat Syifa yang sedang duduk di depan tempat tidur dan merasa terkejut. "Kamu terbangun karena berisik?"

Syifa menggelengkan kepalanya. "Agak dingin."

"Oh, aku lupa tutup pintu balkon tadi. Maaf."

Syifa bertanya kembali, "Ke balkon ngapain? Belum hilang bau alkoholnya?"

Tangan Billy yang memegang ponsel mengepal dengan erat. "Baru terima telepon dari kantor. Aku takut membangunkanmu karena terlalu berisik, jadi ke balkon untuk jawab telepon. Kamu ... sudah lama terbangun?"

"Baru terbangun waktu kamu masuk. Nggak ada masalah di kantor, 'kan?"

"Bukan masalah besar." Billy menambahkan, "Kamu tidur saja dulu, aku keluar dulu."

"Billy," panggil Syifa.

"Hm?"

Syifa mendongak menatap matanya, tetapi tidak berbicara. Melihat tatapannya yang aneh, Billy tersenyum canggung dan bertanya, "Kenapa?"

Syifa menarik kembali pandangannya, lalu berkata dengan datar, "Bu Shifa sepertinya ada urusan mencarimu. Aku sudah janji mau sampaikan."

Billy tertegun sejenak, lalu mengangguk. "Oke, aku sudah tahu."

"Nggak mau balas teleponnya?"

Billy terdiam sejenak. Dia tidak menjawab secara langsung, melainkan hanya berkata, "Kamu istirahat saja dulu, belakangan ini terlalu capek. Kalau ada waktu, nanti akan kupijatkan bahumu."

Syifa tersenyum sekilas. "Hm, ya."

Billy melihat Syifa berbaring dan menutup mata, lalu merapikan selimutnya dengan lembut sebelum mengganti pakaian dan turun ke lantai bawah.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara isak tangis seorang wanita dari lantai satu, diikuti oleh suara mobil yang mulai bergerak. Syifa berdiri di depan jendela di lantai dua, memperhatikan lampu belakang mobil Porsche putih yang perlahan menghilang dari pandangannya.

"Jadi kamu cuma biarin mereka pergi begitu saja?" Suara Prilly terdengar lantang dari seberang telepon hingga hampir memekikkan telinga Syifa. "Kamu nggak langsung pergokin mereka?!"

Syifa bersandar di dipan ranjang dan berkata dengan getir. "Mau pergokin gimana? Dia bilang cuma mau menghibur 'sahabat terbaiknya', bukan menemui selingkuhan. Apa yang mau kupergoki?"

Prilly meradang dan membalas dengan suara geram, "Dia bilang mereka cuma teman, memangnya kamu percaya? Mana ada orang yang nelepon teman lawan jenis di tengah malam untuk melihat bintang! Terus, namanya itu ...."

Mengenai nama mereka yang sama, Syifa juga tidak bodoh. Masalahnya sudah berkembang sejauh ini, apa lagi yang tidak bisa ditebak oleh Syifa? Waktu itu, John pernah bertanya padanya, apakah dia percaya pada persahabatan murni antara pria dan wanita.

Dulu, Syifa percaya.

Syifa juga punya banyak teman dokter pria yang baik di rumah sakit. Hubungan mereka lumayan dekat, tetapi tetap menjaga batas. Jika ada masalah, mereka akan saling membantu. Misalnya, menggantikan jadwal giliran jaga dan kadang-kadang makan bersama saat ada acara kantor.

Saat tahun baru atau hari raya lainnya, mereka hanya akan saling mengirimkan ucapan selamat kepada satu sama lain. Namun, semua itu tetap dalam batas yang wajar.

Menurut Syifa, hubungan seperti Billy dan Shifa ini sudah melewati batas persahabatan biasa. Meskipun belum tentu disebut sebagai perselingkuhan, tetap saja hubungan mereka ini jelas bukan sekadar persahabatan yang murni.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan, "sang pria berniat, tetapi sang dewi tidak menggubris".

Lantaran pihak wanita telah menegaskan akan menjadi sahabat baik selamanya, Billy terpaksa mengubur perasaannya dalam-dalam dan menerima posisinya sebagai teman.

Ketika Shifa menikah dan menetap di luar negeri, Billy kembali menjalani hidupnya. Dia menjalani kehidupan yang normal seperti orang lain. Kencan, menikah, dan membangun kehidupan yang "normal".

Sebenarnya, dengan status dan latar belakang Billy serta segala kelebihannya, dia bisa saja memilih menikah dengan seorang putri konglomerat yang mirip dengan Shifa. Namun, dia justru memilih Syifa yang berasal dari keluarga biasa.

Syifa dulunya berpikir bahwa alasan Billy memilihnya adalah karena dia memiliki paras yang menarik, pekerjaan yang bagus, dan kepribadian yang ramah. Hubungan mereka terasa nyaman dan dia dianggap sebagai pasangan yang cocok untuk menikah.

Namun, kini Syifa mulai menyadari kenyataan pahit. Siapa pun dirinya ini, semua tidak penting. Yang penting hanyalah ... namanya adalah "Syifa".

Syifa merasa seluruh tubuhnya bergidik.

Saat Billy memanggil namanya dengan penuh kasih sayang di malam-malam yang penuh kemesraan itu, apakah dia benar-benar memanggil Syifa, atau sedang memanggil wanita yang ada dalam hatinya? Syifa berjalan ke arah jendela dan memandang malam yang penuh keheningan gitu.

Cuaca malam ini memang sangat cerah. Bulan bersinar terang dan langit dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan. Begitu indah dan menakjubkan.

Ke mana perginya kedua orang itu untuk melihat bintang? Apakah mereka juga membicarakan segalanya saat melihat bintang seperti yang ada dalam film-film drama?

Yang satunya adalah pria setia dan yang satunya lagi adalah pengantin yang kabur. Kalau disatukan, kisah cinta mereka menyerupai kisah cinta mesra seperti di dalam novel. Lalu, apa peran Syifa dalam kisah ini?

"Syifa, gimana kalau ... kamu cerai saja," saran Prilly. "Kisah cinta mereka sudah berlangsung selama 20-an tahun, sedangkan kamu dan Billy baru berapa tahun? Lebih baik sakit sekarang daripada menanggungnya lebih lama, lepaskan saja."

Syifa pernah memikirkan hal itu, tetapi ....

"Prilly, aku hamil."
Komen (1)
goodnovel comment avatar
aanaqish
teruskan pak, cerita yang sangat menarik.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status