Share

Bab 8 Kebencian yang Sudah Lama Terpendam

Shifa tertegun sejenak, tetapi kemudian langsung membalas, "Aku dan Billy sudah berteman selama lebih dari 20 tahun. Semua orang tahu, kami ini cuma teman baik! Bu Syifa kenapa harus berpikiran sempit begitu? Kalau begitu, semua orang cuma boleh berteman dengan sesama jenis saja. Semua hubungan dengan lawan jenis pasti akan disalahartikan."

Syifa segera menjawab, "Tentu saja, berteman sama lawan jenis itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja harus ada batasan antara pria dan wanita, apalagi kalian berdua sudah menikah. Hal-hal seperti ini tetap perlu diperhatikan."

Shifa tertawa sinis, "Nggak kusangka seorang dokter sepertimu bisa begitu perhitungan. Minggu lalu waktu kamu mengoperasiku, ada seorang dokter laki-laki yang masuk ke ruang operasi. Aku sudah menolak, tapi apa yang kamu bilang? Kamu bilang, dokter itu nggak memandang gender."

"Itu karena dokter laki-laki itu adalah ahli anestesi."

"Lalu apa bedanya? Aku perempuan, dia laki-laki, dan ini operasi kebidanan. Bukankah seharusnya juga perhatikan batasan gender di situasi seperti itu? Apa Bu Syifa ini mau menerapkan standar ganda?"

Syifa menarik napas dalam-dalam karena merasa agak tidak berdaya, "Bu Shifa, itu namanya mengalihkan isu. Waktu itu kamu lagi pendarahan hebat dan itu terjadi di tengah malam. Cuma ada satu dokter anestesi laki-laki yang sedang bertugas. Kalau nggak segera dioperasi, nyawa anakmu bisa terancam! Mana yang lebih penting, nyawa anakmu atau batasan gender?"

Shifa melipat tangannya dengan tidak acuh, "Lagian kamu yang jadi dokter, jadi kamu yang lebih tahu sendiri. Siapa lagi yang tahu bagaimana sebenarnya kondisi anakku saat itu?"

Merasa kemampuannya sebagai dokter diragukan, Syifa mulai kesal, "Bu Shifa, apa maksudmu?"

"Nggak bermaksud apa-apa. Aku cuma ingin tahu. Kalau kamu bisa ditelepon dari rumah untuk mengoperasiku, kenapa nggak bisa telepon dokter anestesi perempuan lain?"

"Kamu ...."

"Kalau dokter laki-laki bisa masuk ruang operasiku, apa salahnya aku ambilin kunci dari kantong Billy?"

"Sudah cukup!" Billy yang sudah agak mabuk, berdiri dengan tubuh goyah. Butuh beberapa saat baginya untuk menstabilkan langkahnya.

Billy mengerutkan keningnya dengan bau alkohol yang menyelimuti tubuhnya. Dia merogoh kantongnya untuk mengeluarkan kunci mobil, lalu meletakkannya di tangan Syifa sambil berkata dengan lembut, "Shifa lagi hamil, wajar kalau dia emosional. Jangan terlalu diambil hati."

Syifa menerima kunci itu dan menatapnya, "Kalian benar-benar cuma teman?"

Billy menarik napas berat, kemudian dia mengangguk, "Iya."

Syifa menatap dalam-dalam ke mata Billy, seakan-akan mencoba melihat ke dalam hatinya. Billy hanya bertahan beberapa saat sebelum mengalihkan pandangannya. "Sudah malam, kita pulang saja."

Syifa membantu Billy ke kursi belakang dan mengencangkan sabuk pengamannya, lalu duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil. Dari kaca spion, dia melihat Shifa juga masuk ke kursi belakang dan menutupi Billy dengan jas dengan lembut.

"Bu Shifa, bukannya kamu biasa mabuk kendaraan? Kenapa nggak duduk di depan?" tanya Syifa.

Shifa memasang sabuk pengamannya dengan tenang dan berkata, "Hari ini aku baik-baik saja, nggak mabuk kendaraan." Syifa hanya tersenyum sinis dan mulai mengemudi.

Sesampainya di rumah Billy, mereka menyadari bahwa Erica sudah tertidur. Erica memang sangat memperhatikan kesehatannya dan selalu tidur pukul sembilan setiap malam.

Syifa membantu Billy masuk ke rumah dan membawanya langsung ke kamar mereka di lantai dua. Shifa mengikuti dari belakang, kemudian memanggil, "Hei."

Syifa berhenti dan menoleh padanya. Shifa berkata, "Kamu nggak ambil jas Billy? Sebagai istrinya, kok bisa lupa?"

"Taruh saja di sofa ruang tamu, besok aku bereskan."

"Besok kamu harus kerja pagi-pagi, yakin punya waktu untuk beres-beres?"

Syifa mengatupkan bibirnya dan menjawab dengan tenang, "Pertama, beresin jas nggak butuh waktu lama, cuma beberapa menit, nggak akan mengganggu pekerjaanku. Kedua, Ibu sudah tidur. Dia itu tipe orang yang mudah terbangun. Kamu yakin mau berdiri di sana dan berdebat sama aku dengan suara keras?"

Shifa tertawa kecil, "Meskipun seorang dokter, Bu Syifa pintar berdebat juga."

"Terima kasih atas pujiannya, tapi sebaiknya kamu pelankan suaramu. Jangan ganggu istirahat Ibu."

Shifa mengangkat dagunya dengan bangga, "Bibi sayang sekali padaku, dia nggak akan marah padaku ...."

"Sudah cukup, Shifa!" sela Billy seraya menghela napas panjang, lalu berdiri tegak sambil bersandar pada pagar tangga. Dia memandang Shifa dengan kening berkerut, "Kamu bisa taruh jas itu di mana saja. Sekarang sudah malam, kamu lagi hamil, sebaiknya kamu istirahat lebih awal."

Shifa merasa tidak senang karena ucapannya dipotong oleh Billy, sehingga dia membalas dengan nada penuh kejengkelan. "Aku belum ngantuk."

"Tapi aku ngantuk, Syifa juga ngantuk. Besok pagi dia harus kerja, jam enam sudah harus bangun. Kita semua butuh istirahat," jawab Billy tegas.

Shifa tiba-tiba tertawa sinis, "Billy, kamu sekarang sudah lupa teman setelah menikah, ya? Hari ini aku sudah membantumu menahan minuman, mengambilkan jasmu, dan ini balasan yang aku dapat?"

"Jadi, kamu maunya aku bersikap gimana? Memangnya aku hidup sama teman atau sama istri?" balas Billy dengan nada yang lebih tegas.

Shifa terdiam dan tidak mampu menjawab. Billy lalu berbalik dan menarik tangan Syifa untuk mengajaknya naik ke lantai atas.

Entah karena pengaruh alkohol atau emosi yang tertahan, Billy yang biasanya lembut, memegang pergelangan tangan Syifa dengan kuat. Rasanya seperti ada kemarahan yang sudah lama dipendamnya dan kini tidak bisa lagi ditahan.

Sesampainya di kamar, Syifa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di pergelangan tangannya terlihat jelas lima bekas jari yang memerah. Setelah terkena air hangat, bekas jari itu tampak agak membengkak. Untungnya, piama yang dikenakannya berlengan panjang, sehingga bisa menutupi bekas tersebut.

Ketika Syifa keluar dari kamar mandi, Billy sudah tidak ada di kamar. Syifa lantas mencarinya ke balkon. Benar saja, Billy sedang berdiri di sana sambil merokok.

Dia masih mengenakan setelan jas yang sama seperti yang dipakainya sepanjang hari. Rokok itu terselip di antara jari-jarinya dan diisap dalam-dalam sebelum mengembuskan asap putih. Gerakan yang begitu lancar dan terbiasa, menunjukkan bahwa ini bukan pertama kali Billy melakukannya.

"Billy?" panggil Syifa dengan lembut.

Billy tersadar dari lamunannya, lalu refleks mematikan rokoknya. Namun kemudian, dia baru menyadari tidak ada asbak di sana sehingga akhirnya dia membuang puntung rokok itu ke dalam tempat sampah.

"Sudah selesai mandi?"

"Iya. Kamu sendiri, lagi mikirin apa?" tanya Syifa sambil mendekatinya.

Billy menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa. Cuma agak mabuk, jadi mau hilangin bau alkohol dulu di balkon."

"Kamu dulu merokok?" tanya Syifa.

"Ya ...."

"Lalu kenapa akhirnya berhenti?" tanya Syifa lagi.

Billy tertawa sambil menjawab, "Rokok nggak baik untuk kesehatan."

"Iya," balas Syifa singkat. Merokok tidak baik untuk kesehatan. Betapa mulianya alasan yang diberikannya?

Billy berjalan masuk ke kamar sambil berkata, "Kamu tidur saja duluan, aku mandi dulu."

"Ya."

Billy mengambil pakaian santainya dan berjalan menuju kamar mandi di kamar utama. Saat berpapasan dengan Syifa, angin membawa aroma tembakau yang masih tersisa di udara.

Tiba-tiba, ponsel Billy yang diletakkan di meja bergetar dan terdengar suara notifikasi masuk. Layar menunjukkan beberapa pesan baru dari Shifa.

[ Billy, kamu sudah tidur belum? ]

Beberapa saat kemudian, masuk lagi beberapa pesan lainnya secara beruntun.

[ Istrimu itu dokter, tapi pintar sekali berdebat? Sampai bisa adu argumen sama pengacara sepertiku ini. Nasibmu bakal sial nih nikah sama cewek judes. Seumur hidup ini kamu bakal diaturnya dengan ketat. ]

[ Aku nggak bisa tidur. Turun ke halaman yuk, kita lihat bintang kayak waktu kecil dulu. ]

[ Kenapa kamu nggak jawab? Benaran tidur ya? Kamu tidur atau lagi "sibuk" sama istrimu? ]

[ Jangan lupa teman dong, kita ini sahabat baik. Kalau kamu nggak balas, hubungan persahabatan kita tamat. Pikirkan baik-baik. ]

Syifa hanya bisa melihat pesan-pesan itu di layar tanpa berkomentar. Dia merasa ada yang ganjil, tetapi dia memilih untuk diam dan menunggu Billy keluar dari kamar mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status