Ekspresi Aulia menjadi masam. "Eh? Meninggalkan bekas? Pak Irvin, kamu harus pikirkan cara supaya nggak ada bekas luka di kaki Bu Syifa. Hidupnya sudah cukup berat belakangan ini. Jangan sampai ada bekas luka di kakinya."Irvin menyahut, "Sekarang sudah tahu takut? Sebagai dokter, kamu harus bisa menjaga diri sendiri dulu. Kamu sudah lupa semua ajaran di universitas?"Syifa menggertakkan gigi sambil menahan rasa perih. Kemudian, dia berujar, "Pasien terkena stroke. Lebih baik kakiku ada bekas luka daripada pasien kenapa-napa."Irvin baru memahami situasinya. Stroke memang berbahaya. Begitu mendengarnya, gerakan tangan Irvin baru menjadi lebih lembut supaya Syifa tidak kesakitan.Selesai membalut luka Syifa, Irvin berpesan dengan sungguh-sungguh, "Jangan melakukan aktivitas berat lagi. Paham?"Syifa tahu Irvin berbicara demikian demi kebaikannya. Dia mengangguk dengan patuh. "Ya, tenang saja.""Eee ... waktu melakukan itu dengan suamimu, kamu juga harus hati-hati. Jangan terlalu kasar.
Suara ini ....Syifa memandang ke arah sumber suara. Terlihat Billy berdiri tidak jauh dari tempat mereka sambil mengernyit.Billy bergegas menghampiri, lalu menjulurkan tangan untuk menggendong Syifa. Dia berkata, "Syifa, aku sudah datang."Dylan langsung membalikkan tubuhnya untuk menghindari tangan Billy. Sesudahnya, dia bertanya balik, "Pak, ada masalah apa?""Pak Dylan," sapa Billy dengan suara yang sangat dingin."Ya. Kamu mengenalku?" Dylan tersenyum."Kita pernah bertemu di restoran waktu itu," timpal Billy.Dylan terkekeh-kekeh dan berkata, "Oh, aku sudah ingat. Kamu yang membawa wanita hamil yang membuat keributan itu.""Pak Dylan, apa pantas menggendong istri orang di hadapan suaminya?" tanya Billy langsung."Istri orang?" Dylan mengangkat alisnya sambil tersenyum sinis."Tentu saja." Billy mengiakan."Kalau Bu Syifa istrimu, gimana dengan wanita hamil itu? Dia selingkuhanmu?" tanya Dylan.Ekspresi Billy menjadi sangat dingin. Dia berkata, "Sebaiknya turunkan Syifa dulu.""
Billy tersenyum getir. Karena lukanya terasa perih, dia merintih sebelum menjawab, "Dicakar tadi."Tidak perlu disebutkan lagi siapa yang mencakarnya. Syifa tersenyum dingin dan berkata, "Kondisi ibumu kurang baik. Meskipun aku bukan dokter spesialis otak, aku tetap seorang dokter. Kondisi ini sangat serius. Jadi, sebaiknya kamu buat persiapan mental."Wajah Billy tampak pucat. Dia bertanya, "Kenapa ibuku bisa sampai begitu?""Entahlah. Mungkin karena terlalu emosional, mungkin karena usianya sudah tua dan ada plak di pembuluh darahnya yang pecah," jelas Syifa.Billy mengangguk dengan ragu sambil berkata, "Mungkin karena masalah perceraian kita dan ... anak kita."Syifa tidak ingin membahas tentang masa lalu. Dia hanya berujar, "Kalau Bibi Erica selamat, segera pikirkan cara supaya dia bisa hidup tenang. Kalau nggak, konsekuensinya akan fatal."Billy mengangguk memahaminya. "Aku akan berusaha supaya Shifa nggak mengganggunya.""Ya, kuharap begitu," balas Syifa.Tebersit amarah pada ta
Begitu mendengarnya, staf mendongak menatap Syifa. Dia mengira akan melihat ekspresi sedih, tetapi Syifa malah terlihat begitu tenang, bahkan tersenyum.Ketika melihat staf itu menatapnya, Syifa bertanya dengan sopan, "Apa ada yang perlu ditambahkan di dokumen?""Oh, nggak kok. Semuanya sudah lengkap," sahut staf itu."Baguslah." Syifa tersenyum.Staf bertanya lagi, "Gimana dengan hak asuh anak? Apa kalian sudah membahasnya?""Kami ...." Begitu membahas tentang anak, tatapan Syifa menjadi suram. Billy juga memalingkan wajahnya dan tidak ingin menanggapi. Pada akhirnya, Syifa menimpali, "Kami ... nggak punya anak.""Oh, oke. Kalau begitu, perceraian ini mudah diurus," ucap staf itu."Ya.""Tunggu sebentar, biar kuselesaikan semuanya.""Baik."Staf tiba-tiba bertanya kepada Billy, "Pak, apa kamu keberatan dengan sesuatu? Kenapa diam saja?""Aku ikuti keinginannya saja." Billy mendongak dan menggeleng.Staf terkekeh-kekeh, lalu memasang ekspresi paham dan bertanya, "Aku tahu, kalian mema
"Syifa, Syifa ...."Di telinganya terdengar suara yang rendah dan serak, tetapi lembut dan penuh kehangatan. Sudah tiga tahun menikah, Syifa Perdana masih merasa bahwa suaminya, Billy Aditama, memiliki kepribadian yang berbeda saat berada di atas dan di luar ranjang.Sifat Billy sehari-hari sangat penuh perhatian, lembut, dan sopan. Namun, saat mereka telah berduaan di malam hari, Syifa selalu merasa dirinya tidak sanggup mengimbangi stamina Billy. Setelah selesai berhubungan intim, seluruh tubuh Syifa terasa sakit hingga tangannya pun terkulai lemas.Detik berikutnya, lengannya kembali digenggam oleh pria itu. Syifa benar-benar tidak bisa membuka matanya lagi. Dia memohon dengan nada manja, "Sudah dulu ya, besok kita masih harus kerja."Akhir-akhir ini, Syifa sedang mempersiapkan diri untuk penilaian di tempat kerjanya, sehingga rutinitas kesehariannya sangat sibuk. Setelah selesai menulis laporan, malam pun sudah sangat larut. Namun, Billy malah masih mengajaknya berhubungan intim. S
Aulia tersentak melihat kondisi ini. "Dok, ternyata kamu kenal sama suami pasien?"Syifa menatap wajah yang familier ini dengan intens. Pria itu tampak kewalahan, terkejut, gelisah, tetapi yang paling jelas adalah ... kecemasannya terhadap wanita di dalam ruang operasi. Bahkan setelah berusaha menahan diri sekalipun, Billy tetap tidak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya."Kamu ..." Syifa melirik sekilas ke ruang operasi dan melanjutkan, "Suaminya?"Aulia menceletuk, "Ya, dia suaminya. Keluarga yang tanda tangan persetujuan tadi itu dia."Sekujur tubuh Syifa langsung gemetaran. Raut wajahnya berubah muram, "Oh ...."Billy menggertakkan giginya dan berkata, "Syifa, nanti akan kujelaskan masalah ini padamu."Syifa berusaha menenangkan dirinya untuk menjaga profesionalismenya sebagai dokter. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berkata, "Tenang saja, operasinya sukses. Dua-duanya selamat, tapi masih harus diopname dan diinfus penguat janin beberapa hari. Kalau nggak ada mas
Apa Syifa merasa terkejut? Sejujurnya, tidak.Meskipun pernikahannya dengan Billy bukan hasil dari pacaran seperti biasanya, mereka telah hidup bersama selama hampir tiga tahun. Syifa merasa bahwa dia cukup mengenal suaminya.Billy adalah pria yang baik, tidak seperti karakter bos besar dalam novel atau drama yang ucapannya bisa mematikan. Sebaliknya, Billy selalu sopan, penuh perhatian, dan melakukan segala sesuatu dengan sangat teliti. Dia adalah pria dewasa yang lembut dan mapan.Jika ada wanita yang bisa membuat Billy kehilangan kendali, pasti wanita itu bukan orang biasa.Syifa telah mempersiapkan mental untuk menghadapi situasi dramatis seperti yang sering terjadi di drama. Namun, kenyataan ternyata jauh berbeda dari bayangannya. Ketika Syifa tiba di rumah keluarga mereka, memang ada seorang wanita hamil di sana.Namun, wanita hamil itu sedang duduk bersama ibu mertuanya, Erica, sedangkan Billy duduk sendirian di sofa. Melihat Syifa masuk, Billy langsung berdiri dan mengambil man
Memikirkan lembaran hasil pemeriksaan di dompetnya, jari-jari Syifa yang saling menggenggam tampak sedikit pucat."Belum disiapkan ya?" Billy tersenyum ringan, "Nggak apa-apa, dokter besar sepertimu pasti sibuk sekali. Bisa meluangkan waktu untuk makan malam denganku saja sudah termasuk hadiah ulang tahun yang bagus.""Billy, aku sudah ambil cuti seminggu untuk minggu depan. Gimana kalau kita pergi liburan beberapa hari?"Billy tampak terkejut. "Bukannya kamu lagi sibuk sama laporanmu? Ada waktu?""Aku bisa atur jadwalnya."Billy berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Boleh juga, kita belum sempat bulan madu waktu menikah. Kali ini bisa sekalian.""Oke," kata Syifa, "Ganggu pekerjaanmu nggak?""Minggu depan baru berangkat, jadi aku akan atur pekerjaan minggu ini.""Baguslah," jawab Syifa.Billy bertanya, "Apa jadwalmu besok?""Aku sudah tukar jadwal sama orang lain, jadi besok aku libur."Billy melanjutkan, "Besok aku ada reuni teman-teman SMA. Ikut aku ke sana ya."Sebagai istri Billy se