Share

Bab 4 "Sahabat Terbaik"

Memikirkan lembaran hasil pemeriksaan di dompetnya, jari-jari Syifa yang saling menggenggam tampak sedikit pucat.

"Belum disiapkan ya?" Billy tersenyum ringan, "Nggak apa-apa, dokter besar sepertimu pasti sibuk sekali. Bisa meluangkan waktu untuk makan malam denganku saja sudah termasuk hadiah ulang tahun yang bagus."

"Billy, aku sudah ambil cuti seminggu untuk minggu depan. Gimana kalau kita pergi liburan beberapa hari?"

Billy tampak terkejut. "Bukannya kamu lagi sibuk sama laporanmu? Ada waktu?"

"Aku bisa atur jadwalnya."

Billy berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Boleh juga, kita belum sempat bulan madu waktu menikah. Kali ini bisa sekalian."

"Oke," kata Syifa, "Ganggu pekerjaanmu nggak?"

"Minggu depan baru berangkat, jadi aku akan atur pekerjaan minggu ini."

"Baguslah," jawab Syifa.

Billy bertanya, "Apa jadwalmu besok?"

"Aku sudah tukar jadwal sama orang lain, jadi besok aku libur."

Billy melanjutkan, "Besok aku ada reuni teman-teman SMA. Ikut aku ke sana ya."

Sebagai istri Billy selama tiga tahun, Syifa belum pernah bertemu dengan teman-teman dan rekan-rekannya. Alasan utamanya adalah karena pekerjaannya yang terlalu sibuk. Selain itu, Syifa juga merasa hal ini tidak terlalu penting.

Namun, karena dia tidak bisa menepati janji hadiah ulang tahun kali ini, Syifa akhirnya menyetujuinya, "Oke."

....

Setelah bekerja keras selama dua hari penuh, malam ini Syifa tidur sangat nyenyak. Ketika terbangun, Billy sudah tidak ada di sampingnya lagi.

Hal ini tidak terlalu asing baginya, mengingat pekerjaannya sebagai dokter sering mengharuskannya berjaga kapan saja. Meskipun tidur di ranjang yang sama dengan Billy, mereka sering kali tidak banyak mengobrol karena jadwal mereka yang sibuk.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, Syifa turun ke bawah dan Erica berkata, "Syifa, kamu sudah bangun? Billy sudah menunggumu di depan."

Syifa menjawab dengan singkat, lalu bergegas keluar. Dia melihat mobil Cayenne putih yang familier di depan sana. Saat berjalan mendekat dan membuka pintu depan mobil untuk duduk, Syifa merasa terkejut dengan pemandangan di dalam mobil.

Orang di dalam mobil itu juga terkejut. "Bu Syifa?"

"Bu Shifa ...."

Shifa terlihat sengaja berdandan sebelum datang. Meskipun perutnya sudah cukup besar karena kehamilan, dia mengenakan gaun panjang merah yang mencolok dengan rambut hitamnya terurai dan riasan wajah yang ringan.

Namun, matanya agak merah dan suaranya terdengar serak, seolah baru saja menangis. "Sebenarnya, aku juga mau pergi ke reuni teman sekelas hari ini. Billy kebetulan bisa mengantarkanku."

Syifa baru teringat bahwa Billy dan Shifa telah menjadi teman sekelas dari SD hingga SMA, jadi reuni ini juga merupakan acara Shifa. Namun, biasanya posisi duduk di kursi depan mobil sering dianggap sebagai posisi utama milik istri. Syifa menunggu sejenak, tetapi Shifa tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pindah ke kursi belakang.

Syifa mengingatkan dengan lembut, "Bu Shifa, tempat duduk di belakang lebih luas. Kamu akan lebih nyaman di sana."

Shifa tiba-tiba tersenyum lebar dan menyapu rambutnya ke belakang. Berhubung mobil Cayenne itu adalah tipe SUV, posisi kursi depannya lebih tinggi. Shifa yang duduk di kursi depan, tampak seolah-olah memandang Syifa dari atas, "Aku mual kalau duduk di kursi belakang."

Entah mengapa, Shifa hari ini tampak berbeda dari kemarin. Sikapnya terlihat tidak ramah.

Syifa merasa tersinggung, tetapi tetap mempertahankan senyumannya saat bertanya, "Jadi maksud Bu Shifa?"

"Maaf merepotkan Bu Syifa untuk duduk di belakang untuk beberapa waktu sementara ini ya? Mengalah sedikit sama wanita hamil sepertiku."

"Beberapa waktu sementara?"

"Ya," Shifa menjawab dengan santai, "Aku sudah beberapa tahun nggak pulang. Jadi, kali ini mau menetap beberapa saat di sini. Selain itu, aku nggak mau anakku lahir di luar negeri. Lebih baik punya akta lahir di dalam negeri."

Saat ini usia kandungan Shifa sudah enam bulan. Jika harus menunggu sampai melahirkan dan masa nifas selesai, berarti setidaknya dia akan tinggal di Keluarga Aditama selama setengah tahun?

"Jadi, Bu Shifa rencananya mau masa nifas di Keluarga Aditama?" tanya Syifa.

"Orang tuaku tinggal di sanatorium di pegunungan, aku terpaksa menumpang dulu di Keluarga Aditama. Tapi, rumah keluarga mereka agak jauh dari kota. Jadi, kurang praktis kalau mau periksa kandungan nanti."

"Aku dengar, Billy dan kamu tinggal di pusat kota. Di sana lebih dekat dengan rumah sakit. Rencananya aku mau numpang sampai melahirkan dan masa nifas di rumah kalian."

Kali ini, Shifa tidak menanyakan "apakah boleh?". Nada bicaranya malah terdengar sangat yakin. Seakan-akan semua ini sudah diputuskan dan dia hanya memberi tahu Syifa mengenai masalah ini.

Syifa memiringkan kepalanya menatap Billy yang duduk di kursi pengemudi. "Billy, menurutmu?"

Billy menunjukkan ekspresi bersalah, "Rumah kita memang lebih dekat sama rumah sakit."

"Jadi tadi kalian sudah diskusiin ya?"

"Syifa, Shifa sedang hamil. Selain itu, dia sahabat terbaikku ...."

Sahabat terbaik.

Jika selama tiga tahun ini kamu pernah meneleponnya atau menyebut namanya sekali saja, Syifa mungkin akan percaya dengan alasan "sahabat terbaik" itu. Namun selama tiga tahun ini, mereka sama sekali tidak berhubungan.

Apa yang sebenarnya terjadi sehingga dua "sahabat baik" bisa terputus kontak selama tiga tahun lebih? Apa yang membuat Billy memilih untuk menyembunyikan hubungan mereka sebagai teman saat berada di ruangan Syifa sebelumnya? Namun, Billy malah memilih untuk menyembunyikannya.

Billy mendesak, "Syifa, waktunya sudah hampir tiba. Sudah saatnya berangkat."

Orang didesak Billy adalah Syifa, bukan Shifa. Dia juga tidak berniat untuk menyuruh Shifa berpindah tempat duduk ke belakang Syifa hanya menunduk dan tersenyum, lalu membuka pintu belakang dan duduk di dalam.

Lokasi reuni itu diadakan di sebuah bar yang tenang. Di siang hari, bar biasanya tidak terlalu banyak tamu. Tempatnya juga cukup luas sehingga cocok untuk dijadikan tempat acara reuni. Mungkin karena ada Shifa yang sedang hamil, Billy mengemudikan mobilnya dengan sangat berhati-hati.

Shifa yang duduk di kursi depan, mengeluarkan cermin untuk memperbaiki riasannya. "Billy, dandananku gimana?"

Billy menoleh untuk melirik sekilas. "Lumayan bagus, kok."

Shifa mengerucutkan bibirnya dengan kesal. "Karena lagi hamil jadi nggak bisa dandan sepenuhnya. Penampilanku sekarang nggak ada bedanya sama nggak dandan."

"Nggak dandan juga lumayan cantik."

"Tapi ini beda. Kalau hadiri reuni teman sekelas, harus tampil memukau." Shifa meletakkan cerminnya dan bertanya pada Billy dengan santai, "Mana ponselku?"

Billy mengeluarkan ponselnya dari saku dengan ekspresi tak berdaya, "Kamu masih saja sama kayak dulu. Ponselmu selalu saja diletakkan sembarangan. Waktu mau dipakai baru kecarian. Nih."

Shifa menerima ponsel itu dan tertawa, "Duh, rasanya jadi seperti kembali ke masa-masa sekolah. Ponselku selalu kamu yang bawain."

Billy tampak bernostalgia. "Iya, waktu semua laki-laki itu ngirimin pesan pernyataan cinta untukmu, selalu aku yang balas mereka."

"Hahaha, orang-orang itu memang menyebalkan. Oh ya, tadi sepertinya aku dengar ada suara getaran. Coba lihat siapa yang chat aku?"

Sambil berbicara, Shifa langsung melemparkan ponselnya ke pangkuan Billy tanpa memedulikan apakah dia sedang mengemudi atau tidak. Sementara itu, dia melanjutkan memperbaiki riasannya.

Seolah-olah telah terbiasa melakukan semua ini, Billy menuruti perintahnya tanpa mengeluh sama sekali. Dengan satu tangan, dia mengambil ponsel itu dari pangkuannya, lalu membukanya dan bertanya, "Password-nya apa?"

"Masih sama kayak yang dulu. Kamu tahu, 'kan?"

Dari kursi belakang, Syifa melihat Billy menekan tombol dengan cukup lama dan bahkan sambil mengernyit. " Password-mu ini kayak kode Morse saja susahnya. Apa perlu pakai kode serumit ini?"

"Rumit tapi kamu ingat, 'kan?" Nada bicara Shifa terdengar agak manja, "Belum selesai masukkin password-nya?"

"Sebentar, sudah mau selesai ...."

"Billy!" Syifa mendongak melihat kondisi jalan di depannya dan berteriak, "Awas di depan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status