Share

Bab 3 Terlalu Dekat, Jadi Tidak Bisa Jadian

Apa Syifa merasa terkejut? Sejujurnya, tidak.

Meskipun pernikahannya dengan Billy bukan hasil dari pacaran seperti biasanya, mereka telah hidup bersama selama hampir tiga tahun. Syifa merasa bahwa dia cukup mengenal suaminya.

Billy adalah pria yang baik, tidak seperti karakter bos besar dalam novel atau drama yang ucapannya bisa mematikan. Sebaliknya, Billy selalu sopan, penuh perhatian, dan melakukan segala sesuatu dengan sangat teliti. Dia adalah pria dewasa yang lembut dan mapan.

Jika ada wanita yang bisa membuat Billy kehilangan kendali, pasti wanita itu bukan orang biasa.

Syifa telah mempersiapkan mental untuk menghadapi situasi dramatis seperti yang sering terjadi di drama. Namun, kenyataan ternyata jauh berbeda dari bayangannya. Ketika Syifa tiba di rumah keluarga mereka, memang ada seorang wanita hamil di sana.

Namun, wanita hamil itu sedang duduk bersama ibu mertuanya, Erica, sedangkan Billy duduk sendirian di sofa. Melihat Syifa masuk, Billy langsung berdiri dan mengambil mantel serta tas dari tangannya seperti biasa. "Kubantu gantungin mantelnya."

Ibu mertuanya juga menyapanya dengan ramah, "Syifa, kamu sudah pulang ya. Ayo duduk."

Syifa menyapa ibu mertuanya, kemudian menoleh ke wanita hamil di sebelahnya, "Ini ...?"

Erica tersenyum dan memperkenalkan, "Perkenalkan, namanya Shifa. Dia ini putri Paman Andrew dari sebelah. Sebelumnya, dia menetap di luar negeri bersama suaminya dan baru saja kembali. Shifa, ini istri Billy yang tadi kuceritakan padamu."

Wanita hamil itu tersenyum sambil menahan perutnya dan berdiri dengan perlahan, "Halo, namaku Shifa."

Syifa tertegun sejenak, "Siapa ... namamu?"

"Kebetulan sekali ya. Nama kita sama, tapi tulisannya beda. Kalau namaku tulisannya S-H-I-F-A."

Erica tersenyum menyahutnya, "Iya, kebetulan sekali. Waktu Billy menikah, aku juga kaget. Mungkin Billy berjodoh sama orang yang namanya sama. Yang satu adalah sahabatnya sejak kecil, yang satu lagi istrinya."

Wanita hamil bernama Shifa berkata, "Ya, kebetulan banget. Mungkin Bibi belum tahu ya, Dokter Syifa yang operasi aku."

Erica semakin kaget, "Oh ya?"

"Iya." Shifa mengulur tangan pada Syifa untuk berjabat tangan. "Aku masih belum ucapkan terima kasih sama Dokter. Kalau bukan berkat kamu, aku dan anakku nggak akan bisa duduk di sini dengan selamat."

Lantaran lawan bicaranya tampak tenang, Syifa juga tentunya merespons dengan terbuka. Dia menyambut tangan Shifa dan berkata, "Nggak usah sungkan, ini memang tanggung jawabku. Kondisimu kelihatannya agak berisiko sekarang, tapi sebenarnya bukan masalah besar. Setelah ikat rahim, tinggal istirahat beberapa hari saja. Tapi setelah ini kamu harus lebih hati-hati."

"Terima kasih, Dok. Akan kuingat."

Para pelayan kemudian mulai menyajikan hidangan satu per satu.Erica mengajak semua orang untuk makan bersama.

Billy adalah orang yang rendah hati dan tidak suka kemewahan. Berhubung ulang tahunnya yang ke-31 bukanlah usia yang istimewa, mereka tidak mengadakan perayaan besar-besaran. Mereka hanya menyiapkan semeja penuh hidangan di rumah dan berkumpul bersama keluarga untuk makan malam.

Seperti biasanya, Syifa tidak banyak bicara. Di meja makan, hampir seluruh percakapan didominasi oleh Erica dan Shifa yang berbincang tentang hal-hal keseharian. Sambil mendengarkan, Syifa mendapatkan beberapa informasi.

Ternyata, di sebelah rumah keluarga Billy dulu pernah tinggal sebuah keluarga bermarga Pratama. Keluarga ini sudah menjadi tetangga mereka selama puluhan tahun. Shifa dan Billy lahir di tahun yang sama, hanya berbeda setengah tahun. Mereka sekelas dari SD hingga SMA dan baru berpisah saat masuk universitas.

Billy melanjutkan studi manajemen di universitas terbaik di dalam negeri, sedangkan Shifa pergi ke luar negeri untuk mempelajari hukum. Seperti yang dikatakan Erica, "Shifa dan Billy sangat dekat, seperti saudara kandung."

Erica adalah kaum intelektual yang gemar menulis dan menerbitkan buku. Cara bicaranya juga sangat anggun. Dengan kata-katanya tadi, dia ingin memberi tahu Syifa bahwa hubungan antara Billy dan Shifa hanyalah persahabatan yang murni.

Untuk memastikan Syifa yang berlatar belakang sains mengerti, Erica menepuk tangan Syifa sambil berkata, "Dulu mereka sangat dekat, sampai-sampai aku sempat salah sangka. Kukira mereka sedang pacaran, tapi ternyata ... hahaha, salah besar!"

Erica lalu berbalik menjelaskan sambil tersenyum, "Ternyata, Shifa suka sama salah satu teman Billy. Setiap hari, dia minta Billy untuk ngantarin pesan ke anak laki-laki itu!"

Billy hanya tersenyum getir sambil bergurau, "Iya, aku cuma jadi perantara."

Syifa tersenyum dan bertanya, "Lalu apa mereka akhirnya berhasil jadian?"

Shifa yang sejak tadi diam saja, langsung menjawab, "Sempat jadian, tapi nggak bertahan lama. Namanya juga pacaran saat remaja, 'kan? Di usia itu, perasaan kita memang masih menggebu-gebu, tapi jarang ada yang benar-benar bertahan."

Syifa mengangguk, "Benar juga."

Erica kemudian bertanya sambil setengah bercanda, "Shifa, kenapa kamu nggak tertarik sama Billy? Menurutku, anak itu nggak lebih baik dari Billy juga!"

Shifa hanya mengangkat bahu dan bercanda, "Terlalu akrab, jadi sulit untuk berpikir seperti itu."

Erica berhasil mencairkan suasana dengan caranya sendiri dan candaan Shifa membuat suasana semakin santai. Tawa riang Erica memenuhi seluruh ruangan makan dan menciptakan suasana yang hangat dan harmonis.

Sebenarnya, Syifa sangat menghargai perhatian dari ibu mertuanya. Erica menyadari bahwa Syifa menyimpan keraguan, tetapi tidak enak hati untuk langsung menanyakannya. Oleh karena itu, Erica mengambil inisiatif untuk menjelaskan semuanya.

Sejujurnya, Syifa sangat puas dengan pernikahannya. Billy adalah suami yang lembut dan penuh perhatian dan ibu mertuanya juga sangat baik hati. Tidak seperti keluarga kaya lainnya yang mungkin akan memaksa menantu untuk segera memiliki anak, mereka justru sangat mendukung karier Syifa. Jika saja ada cinta di dalam hubungan ini, pernikahan mereka bisa dianggap sempurna.

Namun ....

Nama Shifa dan Syifa terlalu mirip, membuatnya tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul. Menurut Erica, ayah Shifa, Andrew, pergi ke sanatorium di pegunungan bersama istrinya beberapa tahun lalu karena istrinya sakit.

Udara di pegunungan dianggap baik untuk pemulihan kesehatan, jadi rumah di sebelah keluarga Billy sudah kosong selama lebih dari tiga tahun dan belum dihuni lagi. Demi keselamatan Shifa yang sedang hamil dan juga sebagai bentuk kepedulian antar tetangga, Shifa akhirnya diizinkan untuk menginap di rumah keluarga Billy malam itu.

Setelah mandi dan kembali ke kamar, Syifa menemukan Billy sudah setengah bersandar di dipan ranjang. Dia mengenakan kacamata berbingkai emas dan sedang membaca sebuah buku.

Melihat Syifa datang, Billy meletakkan bukunya dan mengambil handuk dari tangan Syifa untuk membantunya mengeringkan rambut. "Capek nggak?" tanya Billy.

Demi menemani Billy untuk merayakan ulang tahun di rumah keluarga mereka, Syifa telah bekerja terus-menerus selama 24 jam. Setelah pulang ke rumah, dia juga tidak langsung beristirahat, melainkan terus bekerja seharian. Sampai sekarang, Syifa sudah tidak tidur selama 36 jam.

"Lumayan," jawab Syifa.

Billy terus mengeringkan rambutnya dengan lembut. Suaranya bahkan lebih lembut daripada gerakannya saat menjelaskan, "Waktu di rumah sakit, aku nggak sempat cerita soal Shifa karena waktunya terlalu mepet. Dia datang dari luar negeri untuk ngerayain ulang tahunku, tapi malah mengalami kecelakaan waktu dalam perjalanan dari bandara."

"Oh, gitu," jawab Syifa.

Ternyata, malam itu Billy buru-buru keluar rumah bukan karena urusan mendesak di perusahaan, melainkan adalah untuk menjemput Shifa di bandara.

Billy melanjutkan, "Aku dan Shifa adalah sahabat terbaik."

Saat mengatakan kata "sahabat", suara Billy menjadi lebih pelan dan berat, seolah-olah memang sengaja menekankan kata itu.

Syifa menanggapi sekilas, lalu berkata dengan perlahan, "Sudah hamil enam bulan saja masih pulang dari luar negeri untuk ngerayain ulang tahunmu. Persahabatan kalian dekat sekali ya."

Tangan Billy yang sedang mengeringkan rambut Syifa berhenti sejenak. Kemudian, terdengar suaranya yang pelan dan ragu-ragu, "Ya ...."

"Oh ya." Billy mengalihkan pembicaraan, "Sebelumnya kamu bilang mau kasih aku hadiah ulang tahun. Hari ini sudah hampir berlalu. Mana hadiahnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status