Billy pun panik. Dia menjulurkan tangan untuk merebut kartu kamar, tetapi Shifa menghindar dengan gesit dan memelototinya untuk memberi peringatan."Shifa!" bentak Billy."Kenapa?" Shifa mengerlingkan matanya dan berkata, "Bu Syifa nggak pernah datang ke hotel ini. Aku cuma memberitahunya lokasi restoran. Ngapain kamu membentakku?""Apa kamu bisa berhenti membuat onar?" tanya Billy.Shifa tidak meladeninya dan langsung meletakkan kartu kamar lantai 2 kepada Syifa. Dia berkata dengan tegas, "Bu Syifa, aku sudah beberapa kali datang ke hotel ini. Kalau kamu bingung, cari saja aku. Restorannya ada di sisi kanan waktu kamu keluar. Jalan lurus saja ke depan."Syifa menatap kartu kamar di tangannya, lalu mendongak dan bertatapan dengan Shifa. Keduanya bertemu pandang dan saling memahami isi pikiran masing-masing.Shifa jelas-jelas menyombongkan diri. Dia ingin memberi tahu Syifa bahwa dirinya memiliki kuasa di sini. Sementara itu, Syifa tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Dia memasang eksp
Ada pepatah yang mengatakan bahwa patah hati bisa membuat orang makin giat bekerja. Syifa akhirnya memahaminya hari ini. Laporan yang membuatnya frustrasi selama 2 bulan ini tiba-tiba disiapkan olehnya dalam semalaman.Pukul 5.30 pagi, Prilly menelepon Syifa. "Aku sudah berangkat. Mungkin aku akan tiba dalam sejam.""Sebenarnya nggak perlu sepagi ini. Jam 7 pagi baru berangkat juga boleh kok." Syifa merasa terharu."Nanti macet kalau kesiangan," ujar Prilly dengan tidak berdaya."Baiklah kalau begitu. Terima kasih, nanti aku traktir kamu makan ya," balas Syifa."Jangan bicara sesungkan itu. Cepat bereskan barang-barangmu. Aku paling nggak suka menunggu orang," pesan Prilly.Barang bawaan Syifa tidak banyak. Charger ponsel dan pakaiannya telah disimpan sejak tadi. Tasnya diletakkan di atas meja dan tinggal diambil.Syifa tidak berniat untuk menulis laporan di perjalanan kali ini. Itu sebabnya, dia tidak mengambil laptop dan mengetik semuanya dengan ponsel. Kini, matanya pun terasa kerin
Prilly mengendarai mobil Porsche merah. Meskipun tidak sekaya Keluarga Aditama, keluarganya termasuk terkemuka di Kota Hadam.Prilly adalah anak tunggal sehingga sangat disayangi sejak kecil. Bisa dibilang, selain kisah cintanya yang menyedihkan saat SMA 3, wanita ini tidak pernah merasakan kesedihan lain.Prilly berujar, "Jangan pulang ke apartemen itu lagi. Nggak usah tinggal di hotel juga. Tinggal saja di tempatku untuk sementara waktu. Anggap kamu menemaniku.""Tolong antar aku ke rumah sakit," balas Syifa sambil menggeleng.Prilly sungguh kehabisan kata-kata. Dia bertanya, "Untuk apa? Kamu ingin menyibukkan diri supaya melupakan kesedihanmu?""Nggak juga," bantah Syifa."Jadi, untuk apa ke rumah sakit? Kamu akhirnya dapat cuti. Gimana kalau kita jalan-jalan? Aku akan membawamu ke luar negeri untuk mencari pria tampan!" seru Prilly.Syifa terdiam sejenak sebelum berkata dengan susah payah, "Aku mau melakukan aborsi."Syifa mulai belajar kedokteran pada usia 18 tahun. Gelar sarjanan
Billy maju dengan perlahan untuk mendekati Syifa. Tatapannya tertuju pada tisu merah di tangan Syifa.Billy menjulurkan tangannya, lalu bertanya dengan susah payah, "Apa ... aku ... boleh menyentuhnya sebentar?"Syifa mengangguk. Mungkin karena cuaca hari ini terlalu dingin, tangan Billy sampai bergetar. Bukan hanya tangannya, tetapi sekujur tubuhnya. Pembuluh darah di punggung tangannya juga tampak menggembung.Billy bergerak dengan hati-hati. Hatinya diliputi rasa bersalah, penyesalan, dan rasa sakit. Di sisi lain, Syifa hanya menatapnya dengan tenang, melihat Billy menggertakkan gigi dan matanya yang makin merah.Pada akhirnya, Billy tidak kuat lagi. Dia sampai menggunakan tangan yang satu lagi untuk menekan pergelangan tangannya, lalu menyentuh tisu itu dengan perlahan.Syifa segera mengepalkan tangannya kembali dan menyimpan tisu itu. Sementara itu, Billy seakan-akan baru tersadar dari mimpi buruknya."Pak, Pak Billy." Billy sontak tersadar kembali. Syifa memanggilnya dengan pangg
Billy mengepalkan tangannya dengan erat. Napasnya memburu. Ketika menatap Syifa, tatapannya terlihat agak asing. Dia berujar, "Syifa, kamu benar-benar rasional.""Terlalu rasional mungkin terkesan kejam. Tapi, ini adalah yang terbaik untuk kita bertiga dalam jangka panjang," sahut Syifa."Bertiga?" tanya Billy sambil mengernyit."Aku nggak akan terikat dengan Keluarga Aditama. Setelah bercerai, aku akan punya kehidupanku sendiri. Sementara itu, masa depanmu nggak akan terhambat karena anak ini. Lagian, wanita itu bisa melahirkan anak untukmu. Kamu juga nggak perlu bertengkar dengannya karena anak ini. Kalau Shifa ...," ujar Syifa.Kemudian, Syifa tersenyum sebelum meneruskan, "Dia nggak perlu repot-repot memikirkan cara untuk membantu anaknya merebut aset keluarga."Billy tidak membantah ucapan Syifa. Dia dan Shifa tumbuh besar bersama. Itu sebabnya, dia tahu seperti apa kepribadian Shifa."Masih ada satu hal yang paling penting. Aku ingin anakku tumbuh di keluarga yang penuh cinta. Se
Di usia Billy yang ke-31 tahun, dia bukannya tidak pernah memikirkan untuk memiliki anak. Di benaknya, anaknya pasti adalah bayi kecil yang digendong di pelukannya atau balita yang berlarian dengan nakal.Billy tidak menyangka anaknya akan berubah menjadi segumpal darah yang dibungkus dengan tisu murahan, bahkan dibuang di tempat pembuangan sampah dan bercampur dengan barang-barang kotor lainnya.Dengan dipapah Prilly, Syifa perlahan-lahan berjalan pergi. Prilly menoleh untuk melirik Billy, tetapi Syifa menepuk tangan Prilly untuk menyuruhnya jangan melihatnya lagi.Billy telah mengenal Syifa selama 3 tahun, tetapi tidak pernah melihat Syifa yang sedingin ini. Syifa adalah wanita yang lembut sekaligus pekerja keras. Dia bukan wanita yang mudah menyerah, apalagi mengakui kekalahannya.Sayangnya, yang dilihat Billy dulu hanya sisi lembut Syifa. Dia tidak menyangka Syifa akan selugas ini setelah membuat keputusan ini.Billy telah memahami semua ucapan Syifa. Pertimbangan Syifa memang sang
Shifa tidak menyangka Billy akan bersikap sedingin ini padanya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menahan amarahnya. Kini, dia yang mengejar Billy sehingga harus bersikap lebih rendah hati.Setelah berhubungan cukup lama, Shifa yakin Billy akan menjadi pria penurut seperti dulu lagi. Shifa merasa lebih lega setelah memikirkannya. Dia bertanya, "Sepertinya suasana hatimu sedang buruk. Kamu mencarinya ya?""Ya." Billy mengiakan."Dia menggunakan anaknya untuk mengancammu? Dia ingin memanfaatkan anaknya? Atau dia ingin mengambil hartamu dengan alasan bercerai? Billy, tenang saja. Aku ahli dalam menangani kasus perceraian. Serahkan saja kepadaku. Dia nggak bakal mendapat sepeser pun," ujar Shifa."Shifa! Dia nggak seperti yang kamu katakan! Dia nggak meminta apa pun!" tegur Billy yang merasa kesal. Bahkan, Syifa tidak menginginkan dirinya lagi.Shifa tentu merasa senang mendengarnya. Dia bertanya, "Kalau begitu, apa yang kamu khawatirkan? Bukannya semuanya sangat baik?"Shifa terkekeh-ke
Shifa akhirnya memahami alasan Billy bersikap aneh hari ini. Dia bertanya dengan lembut, "Tapi, kamu mencintaiku, 'kan?""Kita akan menikah. Kehadiran anak itu cuma akan merusak kebahagiaan kita. Aku bisa melahirkan anak untukmu kok. Selain itu, anak di kandunganku ini juga akan mengikuti margamu nanti.""Jangan berpikir terlalu jauh. Usia kandungannya cuma sebulan, 'kan? Janinnya belum terbentuk kok. Bisa dibilang, itu masih sel kecil atau genangan darah ....""Sudah, jangan dilanjutkan lagi," sela Billy. Hatinya terasa sakit saat teringat pada tisu merah itu."Jadi, jam berapa kamu kemari? Aku mau makan malam bersamamu," tanya Shifa."Aku mau menenangkan diri dulu. Kamu makan saja, nggak usah menungguku," sahut Billy.Jarak dari departemen kebidanan dan ginekologi ke pusat pembuangan limbah medis tidak jauh, bahkan tidak sampai 200 meter.Setelah menjadi dokter selama bertahun-tahun, Syifa sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba. Akan tetapi, dengan dipapah oleh Prilly kal