Prilly mengendarai mobil Porsche merah. Meskipun tidak sekaya Keluarga Aditama, keluarganya termasuk terkemuka di Kota Hadam.Prilly adalah anak tunggal sehingga sangat disayangi sejak kecil. Bisa dibilang, selain kisah cintanya yang menyedihkan saat SMA 3, wanita ini tidak pernah merasakan kesedihan lain.Prilly berujar, "Jangan pulang ke apartemen itu lagi. Nggak usah tinggal di hotel juga. Tinggal saja di tempatku untuk sementara waktu. Anggap kamu menemaniku.""Tolong antar aku ke rumah sakit," balas Syifa sambil menggeleng.Prilly sungguh kehabisan kata-kata. Dia bertanya, "Untuk apa? Kamu ingin menyibukkan diri supaya melupakan kesedihanmu?""Nggak juga," bantah Syifa."Jadi, untuk apa ke rumah sakit? Kamu akhirnya dapat cuti. Gimana kalau kita jalan-jalan? Aku akan membawamu ke luar negeri untuk mencari pria tampan!" seru Prilly.Syifa terdiam sejenak sebelum berkata dengan susah payah, "Aku mau melakukan aborsi."Syifa mulai belajar kedokteran pada usia 18 tahun. Gelar sarjanan
Billy maju dengan perlahan untuk mendekati Syifa. Tatapannya tertuju pada tisu merah di tangan Syifa.Billy menjulurkan tangannya, lalu bertanya dengan susah payah, "Apa ... aku ... boleh menyentuhnya sebentar?"Syifa mengangguk. Mungkin karena cuaca hari ini terlalu dingin, tangan Billy sampai bergetar. Bukan hanya tangannya, tetapi sekujur tubuhnya. Pembuluh darah di punggung tangannya juga tampak menggembung.Billy bergerak dengan hati-hati. Hatinya diliputi rasa bersalah, penyesalan, dan rasa sakit. Di sisi lain, Syifa hanya menatapnya dengan tenang, melihat Billy menggertakkan gigi dan matanya yang makin merah.Pada akhirnya, Billy tidak kuat lagi. Dia sampai menggunakan tangan yang satu lagi untuk menekan pergelangan tangannya, lalu menyentuh tisu itu dengan perlahan.Syifa segera mengepalkan tangannya kembali dan menyimpan tisu itu. Sementara itu, Billy seakan-akan baru tersadar dari mimpi buruknya."Pak, Pak Billy." Billy sontak tersadar kembali. Syifa memanggilnya dengan pangg
Billy mengepalkan tangannya dengan erat. Napasnya memburu. Ketika menatap Syifa, tatapannya terlihat agak asing. Dia berujar, "Syifa, kamu benar-benar rasional.""Terlalu rasional mungkin terkesan kejam. Tapi, ini adalah yang terbaik untuk kita bertiga dalam jangka panjang," sahut Syifa."Bertiga?" tanya Billy sambil mengernyit."Aku nggak akan terikat dengan Keluarga Aditama. Setelah bercerai, aku akan punya kehidupanku sendiri. Sementara itu, masa depanmu nggak akan terhambat karena anak ini. Lagian, wanita itu bisa melahirkan anak untukmu. Kamu juga nggak perlu bertengkar dengannya karena anak ini. Kalau Shifa ...," ujar Syifa.Kemudian, Syifa tersenyum sebelum meneruskan, "Dia nggak perlu repot-repot memikirkan cara untuk membantu anaknya merebut aset keluarga."Billy tidak membantah ucapan Syifa. Dia dan Shifa tumbuh besar bersama. Itu sebabnya, dia tahu seperti apa kepribadian Shifa."Masih ada satu hal yang paling penting. Aku ingin anakku tumbuh di keluarga yang penuh cinta. Se
Di usia Billy yang ke-31 tahun, dia bukannya tidak pernah memikirkan untuk memiliki anak. Di benaknya, anaknya pasti adalah bayi kecil yang digendong di pelukannya atau balita yang berlarian dengan nakal.Billy tidak menyangka anaknya akan berubah menjadi segumpal darah yang dibungkus dengan tisu murahan, bahkan dibuang di tempat pembuangan sampah dan bercampur dengan barang-barang kotor lainnya.Dengan dipapah Prilly, Syifa perlahan-lahan berjalan pergi. Prilly menoleh untuk melirik Billy, tetapi Syifa menepuk tangan Prilly untuk menyuruhnya jangan melihatnya lagi.Billy telah mengenal Syifa selama 3 tahun, tetapi tidak pernah melihat Syifa yang sedingin ini. Syifa adalah wanita yang lembut sekaligus pekerja keras. Dia bukan wanita yang mudah menyerah, apalagi mengakui kekalahannya.Sayangnya, yang dilihat Billy dulu hanya sisi lembut Syifa. Dia tidak menyangka Syifa akan selugas ini setelah membuat keputusan ini.Billy telah memahami semua ucapan Syifa. Pertimbangan Syifa memang sang
Shifa tidak menyangka Billy akan bersikap sedingin ini padanya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menahan amarahnya. Kini, dia yang mengejar Billy sehingga harus bersikap lebih rendah hati.Setelah berhubungan cukup lama, Shifa yakin Billy akan menjadi pria penurut seperti dulu lagi. Shifa merasa lebih lega setelah memikirkannya. Dia bertanya, "Sepertinya suasana hatimu sedang buruk. Kamu mencarinya ya?""Ya." Billy mengiakan."Dia menggunakan anaknya untuk mengancammu? Dia ingin memanfaatkan anaknya? Atau dia ingin mengambil hartamu dengan alasan bercerai? Billy, tenang saja. Aku ahli dalam menangani kasus perceraian. Serahkan saja kepadaku. Dia nggak bakal mendapat sepeser pun," ujar Shifa."Shifa! Dia nggak seperti yang kamu katakan! Dia nggak meminta apa pun!" tegur Billy yang merasa kesal. Bahkan, Syifa tidak menginginkan dirinya lagi.Shifa tentu merasa senang mendengarnya. Dia bertanya, "Kalau begitu, apa yang kamu khawatirkan? Bukannya semuanya sangat baik?"Shifa terkekeh-ke
Shifa akhirnya memahami alasan Billy bersikap aneh hari ini. Dia bertanya dengan lembut, "Tapi, kamu mencintaiku, 'kan?""Kita akan menikah. Kehadiran anak itu cuma akan merusak kebahagiaan kita. Aku bisa melahirkan anak untukmu kok. Selain itu, anak di kandunganku ini juga akan mengikuti margamu nanti.""Jangan berpikir terlalu jauh. Usia kandungannya cuma sebulan, 'kan? Janinnya belum terbentuk kok. Bisa dibilang, itu masih sel kecil atau genangan darah ....""Sudah, jangan dilanjutkan lagi," sela Billy. Hatinya terasa sakit saat teringat pada tisu merah itu."Jadi, jam berapa kamu kemari? Aku mau makan malam bersamamu," tanya Shifa."Aku mau menenangkan diri dulu. Kamu makan saja, nggak usah menungguku," sahut Billy.Jarak dari departemen kebidanan dan ginekologi ke pusat pembuangan limbah medis tidak jauh, bahkan tidak sampai 200 meter.Setelah menjadi dokter selama bertahun-tahun, Syifa sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba. Akan tetapi, dengan dipapah oleh Prilly kal
Perlahan? Kira-kira selama apa? Sejam? Sehari? Sebulan? Atau setahun?Syifa tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Billy untuk melupakan masalah ini. Wanita yang dicintai Billy selama 20-an tahun akhirnya kembali ke sisinya. Pria ini seharusnya akan pulih dengan cepat karena keinginannya akhirnya terkabulkan.Ada banyak macam kebahagiaan di dunia ini. Sementara itu, Billy seharusnya berbahagia karena bisa berkumpul kembali bersama kekasihnya. Perjalanan karier dan cinta Billy berjalan mulus. Jadi, anak mereka ....Anak mereka bahkan belum terbentuk. Mungkin, itu hanya akan menjadi sebuah cacat kecil dalam hidup Billy.Kini, Billy telah bersama wanita yang dicintainya, bahkan kelak mereka akan punya anak. Pemerintah mendorong kebijakan 1 keluarga 3 anak, jadi Keluarga Aditama seharusnya akan punya banyak keturunan. Ketika saat itu tiba, kehidupan Billy akan sempurna.Prilly tidak mengizinkan Syifa tinggal di hotel. Dia membawa Syifa ke rumahnya. Orang tua Prilly memang telah menyi
Syifa merasa yang dikatakan Prilly masuk akal. Di usia 26 tahun ini, pikirannya sudah lebih dewasa. Dia bisa menggunakan cara yang dewasa untuk melewati kesedihannya ini.Sementara itu, Prilly hanya berusia 17 tahun waktu itu. Remaja seperti itu mudah bertindak gegabah. Saat itu, Prilly benar-benar ingin mati untuk memulai kehidupan baru.Syifa bertanya, "Jadi, kapan kamu melupakan kesedihanmu waktu itu?"Prilly merentangkan tangannya sambil membalas, "Entahlah, berlalu begitu saja. Lagian, memangnya bumi berhenti berputar kalau nggak ada dia? Waktu akan memulihkan semuanya."Syifa mengangguk. Semua hanya masalah waktu. Dia tidak takut sedih, hanya berharap kesedihan ini bisa lebih singkat.Prilly tiba-tiba mengedipkan matanya dengan nakal dan berkata, "Kata orang, cara untuk melupakan kisah cinta sebelumnya adalah dengan mencari cinta yang baru. Gimana kalau aku memperkenalkan pria baru untukmu?"Syifa menggeleng dan bertanya, "Kamu rasa aku punya minat seperti itu sekarang?"Syifa bu