Demi biaya pengobatan suamiku yang mengalami kecelakaan, aku terpaksa meninggalkannya. Ibu mertuaku berjanji akan menanggung semua biaya perawatannya, dengan satu syarat, aku harus pergi dari hidupnya. Diam-diam, aku membawa serta anak dalam kandunganku. Aku tak pernah membayangkan harus memilih antara tetap di sisi suamiku atau memastikan dia mendapatkan perawatan yang layak. Tapi ibu mertuaku tak memberiku pilihan lain. "Jika kau benar-benar mencintainya, buktikan dengan menghilang dari hidupnya," katanya dingin, menatapku dengan penuh kebencian. "Kamu sudah cukup membawa sial dalam hidupnya." Dadaku sesak. Aku ingin membela diri, ingin berteriak bahwa aku bukan penyebab semua ini. Tapi saat aku menoleh ke arah Arfan, terbaring lemah dengan nafas yang bergantung pada alat medis, aku tahu aku tak punya pilihan lain. Malam itu, dengan tangan gemetar, aku mengemasi barang-barangku. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan tentu saja, rahasia terbesar yang ku sembunyikan dari ibu mertuaku, kehidupan kecil yang tumbuh dalam rahimku. Sebelum pergi, aku berdiri di ambang pintu kamar rumah sakit, menatapnya untuk terakhir kali. Aku ingin menyentuhnya, menggenggam tangannya, membisikkan bahwa aku mencintainya dan berharap dia segera sadar. Tapi aku takut. Takut jika aku menunggu lebih lama, aku tak akan sanggup pergi. "Aku mencintaimu," bisikku pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan hatiku bersamanya.
View MoreJantung Nafeeza seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, lalu tanpa pikir panjang, ia langsung berlari. Sepatu hak tingginya tak lagi ia pedulikan, hingga akhirnya terlepas di tengah jalan. Nafeeza terus berlari dengan kaki telanjang, menyusuri trotoar malam yang dingin dan kasar. Hanya satu hal memenuhi pikirannya: Danis.Putranya.Darah daging yang selama ini menjadi alasan ia bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.Sementara itu, di dalam mobil mewah yang terparkir tak jauh dari bar, Arfan duduk diam dengan tatapan kosong. Di sampingnya, Randy tampak gelisah.“Fan… gue tahu lo syok. Tapi tadi lo kelewatan,” ucap Randy hati-hati.Arfan tak menjawab. Dalam benaknya, wajah Nafeeza terus berputar. Bukan Nafeeza yang tadi di bar, melainkan Nafeeza yang dulu, yang tersenyum hangat setiap pagi, yang selalu menyambutnya pulang dengan pelukan. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya seperti menelan bara api.“Arfan, lo denger gak sih?” seru R
Nafeeza perlahan mengangkat wajahnya. Cahaya remang bar memperjelas kelelahan di matanya, pipi tirusnya, dan luka batin yang tak mampu ia sembunyikan.“Kamu mengenalnya, Bos?” tanya salah satu teman Arfan.Arfan tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Nafeeza, seakan dunia di sekitarnya berubah menjadi sunyi.Nafeeza mengerjap pelan, mencoba berdiri tegak meski tubuhnya gemetar. Ia merasa seluruh dirinya ditelanjangi oleh tatapan-tatapan asing yang mulai memperhatikan mereka.“Apa kamu mengenalnya, Bos?” ulang temannya, kali ini dengan nada penasaran, menangkap ketegangan aneh di antara keduanya.Arfan menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan sejenak.“Dia... hanya seseorang dari masa lalu,” jawabnya datar. Namun nada suaranya terdengar berat, seperti menahan badai yang siap meledak.Temannya tertawa kecil, tidak menyadari betapa rapuh suasana itu.“Wah, mantan, ya? Selera lo dulu beda banget, Fan. Dari istri model ke..”“Diam,” potong Arfan. Suaranya dingin dan mema
Dengan senyum palsu dan langkah gontai, Nafeeza kembali ke dapur kafe setelah insiden memalukan itu.Suara riuh pengunjung masih terdengar di belakangnya, namun hatinya telah hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba menata ulang gelas dan piring yang pecah. Manajer sempat melirik tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa, mungkin karena menyadari siapa yang barusan mempermalukannya.Beberapa jam kemudian, setelah shiftnya berakhir, Nafeeza berjalan pulang ke rumah sakit. Malam sudah larut. Langit mendung, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan rintik-rintik mulai turun saat ia tiba di ruang rawat Danis. Di dalam, Bibi Rara tertidur di kursi, sementara Danis masih terbaring lemah, namun senyumnya merekah saat melihat sang ibu datang.“Mama…” gumam Danis pelan.Nafeeza segera mendekat, menggenggam tangan kecil itu, menahan air mata yang hendak jatuh. “Iya, Nak. Mama di sini…”Danis menatap langit-langit. “Tadi aku mimpi ketemu Papa. Dia marah…”Nafeeza tercekat. “P
Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!
Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk
Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi
Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka
Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?Perlahan kubuka pintu.
Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat
"Garis dua?" gumamku lirih saat menatap test pack di tangan yang gemetar.Senyumku merekah perlahan. Tanganku terangkat, mengusap perutku yang masih rata. Rasanya seperti mimpi. Setelah penantian panjang, akhirnya ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimku. Aku membayangkan reaksi mas Arfan, apakah ia akan terkejut? Atau justru menangis haru, seperti di video-video kejutan kehamilan yang sering aku tonton?Dengan hati-hati, kusimpan test pack itu di laci meja rias. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Aku sudah menyiapkan semuanya: dekorasi sederhana di ruang makan, hidangan favorit Arfan, dan kue kecil bertuliskan "Happy 4th Anniversary." Malam ini, aku akan memberinya kabar paling bahagia dalam hidup kami.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku sempat ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguanku.“Halo?” sapaku hati-hati.Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat di ujung sana, sebelum akhirnya terdengar suara...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments