Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya. Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas. Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu. "Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang. Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar. "Biarkan dia masuk." Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang ta
Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat
Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?Perlahan kubuka pintu.
Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka
Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi
Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk
Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!
Dengan senyum palsu dan langkah gontai, Nafeeza kembali ke dapur kafe setelah insiden memalukan itu.Suara riuh pengunjung masih terdengar di belakangnya, namun hatinya telah hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba menata ulang gelas dan piring yang pecah. Manajer sempat melirik tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa, mungkin karena menyadari siapa yang barusan mempermalukannya.Beberapa jam kemudian, setelah shiftnya berakhir, Nafeeza berjalan pulang ke rumah sakit. Malam sudah larut. Langit mendung, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan rintik-rintik mulai turun saat ia tiba di ruang rawat Danis. Di dalam, Bibi Rara tertidur di kursi, sementara Danis masih terbaring lemah, namun senyumnya merekah saat melihat sang ibu datang.“Mama…” gumam Danis pelan.Nafeeza segera mendekat, menggenggam tangan kecil itu, menahan air mata yang hendak jatuh. “Iya, Nak. Mama di sini…”Danis menatap langit-langit. “Tadi aku mimpi ketemu Papa. Dia marah…”Nafeeza tercekat. “P
Arfan berdiri kaku di sisi ranjang. Tubuhnya nyaris tak bergerak, seperti patung yang diliputi badai batin. Di wajahnya bertarung rasa bersalah dan kebingungan, seolah badai menghantamnya dari dalam, tak henti mencabik.Ia ingin memeluk Nafeeza. Meminta maaf. Menenangkan perempuan itu seperti dulu. Tapi ia tahu, ia telah melampaui batas. Bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai manusia.“Kalau begitu, kamu makan sendiri!” bentaknya, suaranya meledak oleh emosi yang tak tertahan. “Dan jangan harap bisa keluar dari rumah ini kalau kamu tidak menghabiskan bubur ini!”Nafeeza menatapnya. Tatapan yang dulu hangat, kini tajam membelah dada. Sorot luka dan kebencian bersinar jelas di matanya. Rahangnya mengeras, air mata masih mengalir, tapi bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena amarah dan kepedihan yang telah lama tertanam dalam diam.“Apa hakmu mengatur hidupku? Aku mau pulang! Anakku menungguku!”Arfan melangkah maju. Tatapannya menyala seperti api yang mulai kehilangan kendali.“H
Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Arfan membuka pintu dan turun tanpa mempedulikan hujan yang deras mengguyur tubuhnya. Langkahnya cepat, sorot matanya terpaku pada sosok perempuan yang tergeletak di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.Saat wajah itu terlihat jelas, jantung Arfan seolah dihantam gelombang besar.“Nafeeza...?”Tubuh Nafeeza terkulai lemah, wajahnya pucat dan kuyup. Arfan berlutut, mengguncang pelan bahunya.“Feez? Bangun... Nafeeza!”Tak ada respons.Dengan sigap, Arfan mengangkat tubuh Nafeeza ke dalam pelukannya. Meski tubuh itu ringan, rasanya seperti memikul seluruh rasa bersalah dan luka yang selama ini ia abaikan. Nafeeza, perempuan yang ia dorong menjauh, kini tak berdaya dalam pelukannya.Dan untuk pertama kalinya… Arfan benar-benar takut kehilangannya.“Cepat buka pintu!” seru Arfan panik.“Iya, Pak!” jawab Randy gugup.Dengan cepat, Arfan membawa Nafeeza masuk ke dalam mobil.“Kita ke rumah sakit, Pak?” tanya Randy.“Tidak. Kita pulang ke rumah. Da
Langkah Nafeeza gemetar saat menapaki teras cafe tempatnya bekerja.Wajahnya masih basah oleh air mata yang belum sempat mengering. Ia menatap pintu kaca yang selama ini selalu ia buka dengan semangat dan senyum. Namun hari ini… segalanya terasa berbeda.Begitu masuk, suasana langsung sunyi. Beberapa rekan kerjanya melirik dengan tatapan canggung. Manajer kafe, Pak Hermawan, buru-buru keluar dari ruangannya, seolah memang sudah menanti kedatangannya.“Nafeeza,” sapanya singkat, nadanya kaku. “Masuk sebentar.”Nafeeza mengangguk lemah dan mengikuti langkah pria itu menuju ruangan kecil di pojok kafe. Begitu pintu tertutup, ketegangan langsung menyelimuti.“Saya kesini mau pinjam uang, Pak,” Nafeeza mengawali, suaranya nyaris bergetar. “Anak saya... Danis, dia butuh dirawat. Saya janji akan mengembalikan...”Pak Hermawan mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya.“Saya minta maaf, Feez… Tapi kamu tidak bisa lagi bekerja di sini.”Nafeeza terdiam. Nafasnya tercekat. “Apa maksud Bapak?
Arfan berdiri di tengah lorong rumah sakit, matanya menyapu tajam siapa pun yang berani mendekat.Para perawat dan staf medis menunduk, tak satupun berani menatapnya langsung. Suaranya baru saja menggelegar di ruang rawat, dan kini, dinginnya masih menggema, membekukan seluruh koridor.“Siapa pun yang membantu perempuan itu… akan saya pastikan kehilangan pekerjaan,” ucap Arfan dingin kepada kepala perawat yang baru mendekat. “Termasuk kamu.”Kepala perawat menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Ia tahu, pengaruh Arfan di rumah sakit ini bukanlah hal sepele.Di dalam, Nafeeza memapah tubuh lemah Danis dengan susah payah. Anak itu masih menggigil, wajahnya pucat, nafasnya pendek dan terputus-putus. Tapi tak ada satupun yang berani membantu. Bahkan kursi roda pun tak disediakan. Nafeeza menggigit bibir, menahan tangis, bukan hanya karena kelelahan fisik, tapi karena hatinya hancur. Menyaksikan anak sekecil Danis harus merasakan penolakan sekejam itu… dari ayah kandungnya sendiri.“Pelan-pe
Aurel menatap layar ponselnya dengan senyum licik yang tersembunyi rapi di balik raut wajah lembutnya.Pesan singkat dari Randy baru saja masuk: Arfan percaya dengan hasil tes DNA palsu itu. Ia yakin, kebencian Arfan terhadap Nafeeza kini akan semakin dalam.Tak lama kemudian, Aurel mengenakan setelan terbaiknya dan melangkah ringan menuju ruang kerja Arfan. Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi kue favorit Arfan, kebiasaan lama yang kini ia hidupkan kembali demi memperkuat citranya sebagai sosok setia dan pengertian.Saat pintu terbuka, wajah Arfan tampak kusut, penuh beban dan kemarahan yang tertahan. Namun Aurel langsung masuk tanpa menunggu undangan, seperti merasa dirinya telah menjadi bagian dari rumah itu.Ia menggenggam tangan Arfan erat.“Kita sudah terlalu lama menunda, Arfan. Bagaimana kalau... kita percepat saja pernikahan kita? Kamu butuh stabilitas. Ketenangan. Aku bisa memberimu semua itu.”Arfan hanya diam, matanya menerawang.“Lagipula,” lanjut Aurel dengan suara l
Nyonya Yuliana menarik napas dalam, lalu bangkit dari sofa dan melangkah pelan ke arah Arfan. Ia tersenyum tipis, tapi tatapan matanya tajam, seolah sedang menakar kekuatan lawan."Arfan, kamu sudah bertahun-tahun melupakan hal ini… kenapa sekarang diungkit lagi?" tanyanya dengan suara lembut yang terdengar dibuat-buat. "Nafeeza sudah pergi. Dia memilih pria lain. Bukankah itu sudah jelas?"Arfan tak menjawab. Tatapannya tertuju pada ibunya, dalam diam yang justru makin menyesakkan.Nyonya Yuliana melanjutkan, suaranya mulai meninggi. "Mama menyaksikan sendiri betapa hancurnya kamu waktu itu. Kamu bahkan koma karena kecelakaan itu! Dan siapa yang tak peduli? Nafeeza! Dia tak pernah datang menjengukmu, bahkan tak bertanya bagaimana keadaanmu. Karena apa? Karena dia sudah bersama pria lain!"“Tapi…” Arfan membuka suara, namun segera dipotong.“Tidak ada tapi!” ujar Nyonya Yuliana tegas. "Mama tahu kamu mencintainya, tapi sampai kapan kamu mau menyiksa dirimu dengan kenangan itu? Dia sud
Sementara itu, di sebuah rumah mewah...Seorang wanita dengan dandanan mencolok berdiri di tengah ruang tamu yang megah. Jemarinya mengepal, rahangnya mengeras.“Ini tidak bisa dibiarkan… Nafeeza. Kenapa aku tidak membunuhmu waktu itu?” gumamnya, suaranya bergetar, dipenuhi amarah yang nyaris meledak.Ia mondar-mandir dengan langkah cepat. Hak sepatunya menghentak lantai marmer, memantulkan gema yang mencerminkan kegelisahan hatinya. Di tangan kanannya, layar ponsel masih menampilkan nama terakhir yang dihubungi: Randy.“Aku sudah bilang, jangan pernah muncul lagi di hadapan Arfan! Dia calon suamiku. Hanya aku yang pantas menjadi nyonya Arfan! Tapi kamu malah berani melanggar... Apa kamu benar-benar ingin mati, Nafeeza?”Tatapannya lalu beralih tajam ke sebuah bingkai foto di atas nakas. Sosok Arfan muda tersenyum lebar, berdiri merangkul pinggang wanita itu, wanita yang kini mendidih oleh rasa benci yang terpendam.“Aku membangun semua ini bertahun-tahun. Reputasi, kekuasaan… dan seb
Tamparan keras mendarat di pipi Arfan, bukan dari Rafa, melainkan dari Nafeeza.Ruangan mendadak senyap. Waktu seolah membeku. Rafa menegang, siap melindungi jika Arfan bereaksi kasar. Tapi Arfan hanya terpaku, matanya membelalak, bukan karena rasa sakit di wajahnya, tapi karena hantaman yang jauh lebih menyakitkan: di hatinya.Itu bukan sekadar tamparan fisik. Itu adalah luapan luka. Cinta yang dikhianati. Harapan yang diruntuhkan.“Aku pernah mencintaimu, Arfan,” suara Nafeeza bergetar, lirih namun jelas. “Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu pernah menjadi rumah, tempat aku merasa aman. Tapi kalau ini wajahmu sekarang, penuh curiga, dendam, dan kebencian, maka aku bersyukur pernah pergi.”Arfan membuka mulutnya, tapi tak satu kata pun keluar. Seolah kebenaran telah menyayat hatinya, dan ia tak punya kekuatan untuk membantahnya.Nafeeza menatapnya, matanya berkaca-kaca, tapi tak ada keraguan di sana. Hanya keberanian yang lahir dari luka yang dalam.“Kamu tahu kenapa aku mas
Nafeeza menunduk. Ingatan akan ancaman Aurel dan Bu Yuliana kembali terngiang, ancaman bahwa mereka akan menghabisi dirinya dan Danis jika ia berani bicara jujur pada Arfan.“Tidak apa-apa,” sahutnya lirih, mencoba menyimpan luka itu sendiri.“Sekarang kamu mau buat kebohongan baru agar aku simpati?” Arfan menyeringai sinis. “Kalau iya, kamu salah besar, Nafeeza. Aku nggak akan tertipu oleh wanita licik sepertimu.”Nafeeza menatapnya dengan mata memerah, tapi tak ada air mata kali ini. Luka di hatinya terlalu dalam untuk sekadar ditangisi.“Aku nggak butuh simpati darimu, Arfan,” suaranya lirih tapi mantap. “Aku bertahan bukan untuk dikasihani. Aku bertahan… karena aku nggak punya pilihan.”Arfan menggeleng pelan, napasnya memburu karena emosi. “Selalu kamu yang jadi korban, ya? Padahal kamu yang pergi. Kamu yang hancurkan semuanya!”Nafeeza berdiri. “Aku pergi untuk selamatkan kamu dan Danis. Bukan karena aku ingin. Kamu pikir aku nggak ingin ada di sisimu saat kamu sadar? Kamu pikir