Nyonya Yuliana menarik napas dalam, lalu bangkit dari sofa dan melangkah pelan ke arah Arfan. Ia tersenyum tipis, tapi tatapan matanya tajam, seolah sedang menakar kekuatan lawan."Arfan, kamu sudah bertahun-tahun melupakan hal ini… kenapa sekarang diungkit lagi?" tanyanya dengan suara lembut yang terdengar dibuat-buat. "Nafeeza sudah pergi. Dia memilih pria lain. Bukankah itu sudah jelas?"Arfan tak menjawab. Tatapannya tertuju pada ibunya, dalam diam yang justru makin menyesakkan.Nyonya Yuliana melanjutkan, suaranya mulai meninggi. "Mama menyaksikan sendiri betapa hancurnya kamu waktu itu. Kamu bahkan koma karena kecelakaan itu! Dan siapa yang tak peduli? Nafeeza! Dia tak pernah datang menjengukmu, bahkan tak bertanya bagaimana keadaanmu. Karena apa? Karena dia sudah bersama pria lain!"“Tapi…” Arfan membuka suara, namun segera dipotong.“Tidak ada tapi!” ujar Nyonya Yuliana tegas. "Mama tahu kamu mencintainya, tapi sampai kapan kamu mau menyiksa dirimu dengan kenangan itu? Dia sud
Aurel menatap layar ponselnya dengan senyum licik yang tersembunyi rapi di balik raut wajah lembutnya.Pesan singkat dari Randy baru saja masuk: Arfan percaya dengan hasil tes DNA palsu itu. Ia yakin, kebencian Arfan terhadap Nafeeza kini akan semakin dalam.Tak lama kemudian, Aurel mengenakan setelan terbaiknya dan melangkah ringan menuju ruang kerja Arfan. Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi kue favorit Arfan, kebiasaan lama yang kini ia hidupkan kembali demi memperkuat citranya sebagai sosok setia dan pengertian.Saat pintu terbuka, wajah Arfan tampak kusut, penuh beban dan kemarahan yang tertahan. Namun Aurel langsung masuk tanpa menunggu undangan, seperti merasa dirinya telah menjadi bagian dari rumah itu.Ia menggenggam tangan Arfan erat.“Kita sudah terlalu lama menunda, Arfan. Bagaimana kalau... kita percepat saja pernikahan kita? Kamu butuh stabilitas. Ketenangan. Aku bisa memberimu semua itu.”Arfan hanya diam, matanya menerawang.“Lagipula,” lanjut Aurel dengan suara l
Arfan berdiri di tengah lorong rumah sakit, matanya menyapu tajam siapa pun yang berani mendekat.Para perawat dan staf medis menunduk, tak satupun berani menatapnya langsung. Suaranya baru saja menggelegar di ruang rawat, dan kini, dinginnya masih menggema, membekukan seluruh koridor.“Siapa pun yang membantu perempuan itu… akan saya pastikan kehilangan pekerjaan,” ucap Arfan dingin kepada kepala perawat yang baru mendekat. “Termasuk kamu.”Kepala perawat menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Ia tahu, pengaruh Arfan di rumah sakit ini bukanlah hal sepele.Di dalam, Nafeeza memapah tubuh lemah Danis dengan susah payah. Anak itu masih menggigil, wajahnya pucat, nafasnya pendek dan terputus-putus. Tapi tak ada satupun yang berani membantu. Bahkan kursi roda pun tak disediakan. Nafeeza menggigit bibir, menahan tangis, bukan hanya karena kelelahan fisik, tapi karena hatinya hancur. Menyaksikan anak sekecil Danis harus merasakan penolakan sekejam itu… dari ayah kandungnya sendiri.“Pelan-pe
Langkah Nafeeza gemetar saat menapaki teras cafe tempatnya bekerja.Wajahnya masih basah oleh air mata yang belum sempat mengering. Ia menatap pintu kaca yang selama ini selalu ia buka dengan semangat dan senyum. Namun hari ini… segalanya terasa berbeda.Begitu masuk, suasana langsung sunyi. Beberapa rekan kerjanya melirik dengan tatapan canggung. Manajer kafe, Pak Hermawan, buru-buru keluar dari ruangannya, seolah memang sudah menanti kedatangannya.“Nafeeza,” sapanya singkat, nadanya kaku. “Masuk sebentar.”Nafeeza mengangguk lemah dan mengikuti langkah pria itu menuju ruangan kecil di pojok kafe. Begitu pintu tertutup, ketegangan langsung menyelimuti.“Saya kesini mau pinjam uang, Pak,” Nafeeza mengawali, suaranya nyaris bergetar. “Anak saya... Danis, dia butuh dirawat. Saya janji akan mengembalikan...”Pak Hermawan mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya.“Saya minta maaf, Feez… Tapi kamu tidak bisa lagi bekerja di sini.”Nafeeza terdiam. Nafasnya tercekat. “Apa maksud Bapak?
Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Arfan membuka pintu dan turun tanpa mempedulikan hujan yang deras mengguyur tubuhnya. Langkahnya cepat, sorot matanya terpaku pada sosok perempuan yang tergeletak di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.Saat wajah itu terlihat jelas, jantung Arfan seolah dihantam gelombang besar.“Nafeeza...?”Tubuh Nafeeza terkulai lemah, wajahnya pucat dan kuyup. Arfan berlutut, mengguncang pelan bahunya.“Feez? Bangun... Nafeeza!”Tak ada respons.Dengan sigap, Arfan mengangkat tubuh Nafeeza ke dalam pelukannya. Meski tubuh itu ringan, rasanya seperti memikul seluruh rasa bersalah dan luka yang selama ini ia abaikan. Nafeeza, perempuan yang ia dorong menjauh, kini tak berdaya dalam pelukannya.Dan untuk pertama kalinya… Arfan benar-benar takut kehilangannya.“Cepat buka pintu!” seru Arfan panik.“Iya, Pak!” jawab Randy gugup.Dengan cepat, Arfan membawa Nafeeza masuk ke dalam mobil.“Kita ke rumah sakit, Pak?” tanya Randy.“Tidak. Kita pulang ke rumah. Da
Arfan berdiri kaku di sisi ranjang. Tubuhnya nyaris tak bergerak, seperti patung yang diliputi badai batin. Di wajahnya bertarung rasa bersalah dan kebingungan, seolah badai menghantamnya dari dalam, tak henti mencabik.Ia ingin memeluk Nafeeza. Meminta maaf. Menenangkan perempuan itu seperti dulu. Tapi ia tahu, ia telah melampaui batas. Bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai manusia.“Kalau begitu, kamu makan sendiri!” bentaknya, suaranya meledak oleh emosi yang tak tertahan. “Dan jangan harap bisa keluar dari rumah ini kalau kamu tidak menghabiskan bubur ini!”Nafeeza menatapnya. Tatapan yang dulu hangat, kini tajam membelah dada. Sorot luka dan kebencian bersinar jelas di matanya. Rahangnya mengeras, air mata masih mengalir, tapi bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena amarah dan kepedihan yang telah lama tertanam dalam diam.“Apa hakmu mengatur hidupku? Aku mau pulang! Anakku menungguku!”Arfan melangkah maju. Tatapannya menyala seperti api yang mulai kehilangan kendali.“H
Setelah Aurel melangkah keluar dan menutup pintu perlahan di belakangnya, Arfan menghela napas panjang. Udara pagi yang sejuk menerobos masuk lewat jendela koridor, tapi tidak mampu menenangkan gejolak yang kini tumbuh di dadanya. Ia berbalik, berjalan pelan menuju kamarnya, tempat yang seharusnya menjadi saksi kebersamaan yang telah lama ia rindukan. Namun saat pintu terbuka, yang ia temukan hanyalah keheningan yang mencurigakan. “Nafeeza?” panggilnya, nyaris seperti bisikan. Tak ada jawaban. Matanya menyapu seluruh ruangan. Tempat tidur yang belum sepenuhnya dirapikan. Kursi di sudut yang kosong. Meja kecil dengan segelas air yang belum disentuh. Lalu, pandangannya jatuh pada jendela kamar yang terbuka lebar. Tirai putih melambai lembut, ditiup angin pagi yang masuk leluasa. Perasaan tak enak menyergapnya. Jantung Arfan berdetak tak karuan. Ia melangkah cepat ke jendela, menengok ke bawah. Namun halaman di bawah sana sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. “Randy!” teriaknya
Meskipun hatinya penuh dendam dan luka, Arfan tak mampu mengabaikan sesuatu yang tumbuh diam-diam di dalam dirinya, sebuah rasa asing yang hadir setiap kali menatap wajah pucat Danis. Ia tak tahu bahwa bocah kecil itu adalah darah dagingnya sendiri. Namun ada yang mengusik batinnya; dari sorot mata Danis yang sendu, dari caranya menggenggam tangan Bibi Rara saat kesakitan. Sesuatu yang menggerus dinding keras di hatinya.Danis kini dirawat dalam diam, tersembunyi di sebuah rumah aman yang dijaga ketat. Arfan menyewa dokter spesialis anak dan perawat pribadi untuk memantau setiap detaknya. Ia bahkan memerintahkan Randy mengganti seluruh fasilitas rumah agar lebih nyaman dan steril. Tapi satu hal ia jaga sepenuh kendali, semua dilakukan tanpa sepengetahuan Nafeeza."Pastikan anak itu tak kekurangan apa pun," ucap Arfan dingin kepada Randy. "Tapi jangan izinkan Nafeeza mendekat. Biar dia pikir anaknya sudah... tiada."Randy sempat ragu, pandangannya meredup. "Tapi Pak... bagaimana dengan
Mereka kembali ke ruang tamu, membawa sisa percakapan hangat dari kamar Danis. Nafeeza duduk di lantai berkarpet tipis, bersandar pada sofa tua yang empuk di satu sisi, sementara Rafa duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat untuk berbagi kehangatan, namun masih cukup sopan untuk memberi ruang satu sama lain. Televisi dibiarkan menyala sebagai latar. Volume-nya tak terlalu keras, hanya sebagai pelengkap suasana. Nafeeza meraih bantal kecil, memeluknya sambil menatap layar. Rafa melirik sejenak ke wajahnya, lalu ikut mengarahkan pandangannya ke televisi. Hujan di luar mulai reda, menyisakan embun di jendela yang buram. Mereka tertawa kecil saat iklan lucu muncul, kemudian hening kembali. Tapi hening itu bukan hampa, itu tenang, menenangkan. Namun keheningan itu pecah saat layar televisi berubah menampilkan breaking news: “Inilah momen kemewahan pesta pertunangan konglomerat muda Arfan Rahadian dan putri pengusaha, Aurel Ramadhani.” Nafeeza sontak menegakkan tubuhnya, nafasnya
Sejak sore, langit seperti menyimpan tangis yang enggan pecah. Hujan turun perlahan, tak juga usai, seperti luka lama yang belum sempat sembuh. Rintiknya menari di atas atap kontrakan mungil tempat Nafeeza menetap, irama lembut yang mengisi kesepian malam.Di dalam kamar kerjanya, Nafeeza baru saja menyelesaikan desain terakhir untuk klien. Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam relaksasi sejenak, dan membiarkan pikirannya melayang bersama suara hujan yang jatuh satu-satu, seperti bisikan alam yang paling jujur.Getar pelan dari ponsel di atas meja memecah keheningan. Layarnya menyala. Satu pesan masuk. Dari Rafa. Lihat hujan begini, aku jadi pengen duduk bareng kamu sambil minum coklat panas. Bisa?Senyum kecil muncul di sudut bibir Nafeeza, begitu halus tapi nyata. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik balasan. Kalau kamu bawa cokelat panasnya, aku sediain mie rebus. Deal? Hehe.Belum sempat ia beranjak dari kursinya, pintu kamar berderit perlah
Hari-hari berlalu di Studio Avila, dan Nafeeza mulai menemukan ritme barunya. Awalnya canggung, tetapi perlahan ia merasa diterima oleh rekan-rekannya. Ia mendapat kepercayaan untuk menangani proyek desain produk baru untuk lini perlengkapan rumah yang menyasar pasar urban. Ide-idenya, yang sempat diragukan oleh salah satu senior, justru berhasil memukau saat dipresentasikan langsung kepada klien. Malam itu, setelah presentasi yang sukses, ia pulang dengan hati ringan. Di dapur kontrakannya, ia menyeduh teh sambil memandangi Danis yang tertidur lelap. Ada rasa syukur yang menghangatkan dadanya. Namun di sela kebahagiaan itu, pikirannya sesekali kembali pada Arfan, pada tatapan mata pria itu saat terakhir kali mereka bertemu, dan pada pertanyaan yang belum juga ia temukan jawabannya: apakah luka mereka bisa sembuh, atau memang ditakdirkan tinggal sebagai kenangan? Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Nafeeza membuka dengan sedikit heran. Di hadapannya berdiri Rafa, masih mengenakan
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Arfan dan Aurel, akhirnya Nafeeza memutuskan menerima tawaran Rafa.Pagi-pagi sekali, Nafeeza berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya, merapikan jilbab dan blazer hitam yang telah lama tergantung di lemari. Danis masih tertidur lelap, dan Bibi Rara berjanji akan menjaganya hari ini. Nafeeza menarik napas panjang, lalu meraih map cokelat berisi portofolio lamanya. Ia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang mengembalikan kendali atas hidupnya.Pagi itu, ia melangkah ke kantor perusahaan desain milik teman Rafa dengan langkah mantap. Suasana kantor modern itu terasa asing tapi menyenangkan. Dindingnya dihiasi hasil karya desain produk yang elegan dan kreatif.Seorang resepsionis menyambutnya ramah. “Selamat pagi, Ibu Nafeeza. Silakan tunggu, HRD kami akan segera menemui Anda.”Tak lama, seorang perempuan muda berdandan rapi datang menghampirinya. “Halo, saya Putri dari tim HR. Mari ikut saya, Bu.”Mereka memasuki ruang kecil den
Keesokan harinya, Nafeeza melangkah masuk ke restoran tempatnya bekerja dengan langkah yang pelan namun teratur. Di balik senyum tipis yang coba ia pasang, hatinya masih diguncang pertemuan mendalam bersama Rafa malam sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara pagi itu, tekanan yang sulit dijelaskan, seolah alam pun tahu akan datangnya badai kecil dalam hidupnya.Ia baru saja mengganti seragamnya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu utama. Refleks, Nafeeza menoleh. Dan di sanalah mereka, Arfan dan Aurel, berdiri di ambang pintu, kontras dengan hiruk-pikuk pelanggan pagi itu. Arfan tampak gagah dalam balutan jas gelap, wajahnya tegang dan dingin. Di sampingnya, Aurel tersenyum anggun, mengenakan gaun kasual yang mahal, namun di balik senyumnya, Nafeeza bisa membaca keraguan samar yang bersembunyi di matanya. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi Nafeeza mengenal bahasa tubuh itu."Apa yang mereka lakukan di sini?" Nafeeza bertanya dalam hati, buru-bu
Nafeeza terpaku. Nama itu datang seperti angin, tanpa aba-aba, langsung mengguncang ketenangan yang baru saja berhasil ia bangun. Tangannya gemetar saat membuka pesan berikutnya: “Kalian ada di mana? Aku sudah cari-cari kalian di rumah sakit, tapi kata perawat, Danis sudah lama dipindahkan. Apa Arfan melakukan sesuatu pada kalian? Maaf waktu itu… aku ditekan untuk pindah ke rumah sakit lain. Tapi sekarang aku sudah kembali.” Nafeeza menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemarinya nyaris mengetik balasan, namun pikirannya menahan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam gelombang emosi yang mendadak menyerbu. Pesan dari Rafa membangkitkan kembali kenangan pahit, saat Arfan memaksa rumah sakit menghentikan pengobatan Danis. Nafeeza tahu, kepindahan Rafa ke luar kota bukan pilihan. Semua karena Arfan. “Arfan… aku sangat membencimu.” Tangannya menggenggam erat ponsel. “Ada apa, Bu?” tanya Bibi Rara dengan lembut. Nafeeza menggeleng pelan. “
Pagi menyelinap perlahan di sudut sempit kontrakan itu, membawa embusan udara yang dingin namun menyegarkan. Di balik tirai tipis yang menari perlahan, Nafeeza membuka mata. Masih gelap. Tapi ia tahu, inilah waktu yang tepat,waktu saat dunia masih sunyi dan harapan bisa tumbuh diam-diam.Ia bangkit pelan, menjaga agar suara kasur tak membangunkan Danis yang masih terlelap. Wajah anak itu begitu damai, seolah dunia diluar sana tak punya hak untuk menyakitinya. Nafeeza menatapnya sejenak, lalu melangkah ke dapur kecil dan menyeduh kopi sachet terakhir. Aroma kopi hangat memenuhi udara, tapi lebih dari itu, ada aroma tekad yang mulai menguat.Di depan cermin kecil yang tergantung dekat jendela, Nafeeza menatap dirinya sendiri. Wajahnya tampak letih, kulitnya pucat, namun sorot matanya... ada sesuatu yang berbeda. Ada nyala. Ada keberanian. Ada keteguhan yang hanya dimiliki seorang ibu yang memutuskan untuk tidak menyerah.Ia menggenggam ponselnya, menelusuri halaman demi halaman lowongan
Dengan langkah lunglai, Nafeeza menyusuri jalan menuju kontrakan kecilnya. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi menambah beban di pundaknya. Tapi di balik sorot matanya yang sayu, ada bara yang mulai menyala, tekad yang tak bisa dipadamkan. Ia akan mengambil Danis, apapun yang terjadi.Beberapa jam kemudian, Nafeeza berdiri di depan pintu kontrakan. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sosok perempuan paruh baya dengan sorot mata yang familiar.“Bibi…” Nafeeza memanggil dengan suara nyaris tak terdengar. Serak. Penuh luka yang belum sembuh. “Kenapa Bibi ada disini? Danis mana?”Bibi Rara menatapnya terkejut. “Bu Nafeeza? Danis… Danis ada di dalam. Baru tidur. Tadi capek sekali, menangis sepanjang jalan.”Tanpa berkata apa-apa lagi, Nafeeza melangkah masuk. Ruangan itu masih seperti dulu, sempit, sederhana, tapi pernah dipenuhi tawa anak kecil yang kini hanya tersisa dalam kenangan. Matanya menyapu ruangan, hingga berhenti pada sosok mungil yang terbaring di atas kasur tipis di
Nafeeza berdiri membatu di lorong rumah sakit yang lengang. Lampu-lampu putih menyala pucat, membiaskan bayangan tubuhnya yang rapuh ke dinding. Sesekali suara langkah kaki perawat terdengar, tapi bagi Nafeeza, dunia seakan membisu. Di dalam dadanya, genderang luka berdentam, menggema keras seperti perang yang tak kunjung usai. Ia mencoba menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi, namun tak mampu. Satu-satu, butiran itu jatuh, pecah di lantai dingin.Bahunya terguncang pelan. Nafasnya sesak, seperti ditimpa beban yang tak tertampung oleh tubuh sekecil itu. Bukan hanya karena difitnah. Bukan hanya karena luka. Tapi karena orang yang ia cintai, yang ia tunggu dengan sabar, yang ia doakan dalam sunyi, kini menolaknya tanpa memberi ruang untuk menjelaskan."Aku... sudah cukup," bisiknya, suara itu nyaris tak terdengar di tengah keheningan lorong. "Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka biarlah ini menjadi yang terakhir. Aku tidak akan kembali. Tidak akan lagi mengejarmu, A