แชร์

Bab 3

ผู้เขียน: Sri Pulungan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-27 11:33:45

"Baik, di mana saya bisa menemui Bapak?" tanyaku tegas.

"Datang saja ke kantor polisi," jawabnya.

Aku mengangguk, meski tahu Pak Rudi tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, aku menatap rumah sakit di depanku. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku. Aku ingin kembali masuk, ingin berada di sisi Mas Arfan, tapi kata-kata ibu mertuaku masih menggema di kepalaku. Aku telah diusir, dan jika aku nekat kembali, mereka tidak akan membiarkanku mendekat.

Tanganku refleks menyentuh perutku. Aku tidak bisa tinggal diam. Jika ada seseorang yang memang ingin mencelakai suamiku, aku harus mengetahui kebenarannya.

Dengan langkah cepat, aku menuju pinggir jalan dan menghentikan taksi pertama yang melintas. Begitu duduk di dalamnya, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, jantungku terus berdebar kencang, dan rasa cemas tak kunjung surut.

Perjalanan terasa begitu lama, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Namun akhirnya, aku tiba di kantor polisi. Pak Rudi sudah menunggu di depan gedung dengan ekspresi serius.

"Terima kasih sudah datang," katanya begitu aku menghampirinya. "Mari kita bicara di dalam."

Aku mengikutinya masuk ke sebuah ruangan kecil yang tampak seperti ruang penyelidikan. Pak Rudi menutup pintu lalu duduk di seberangku.

"Apa yang Bapak temukan?" tanyaku langsung, tak sabar menunggu.

Pak Rudi mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan meletakkannya di atas meja. "Kami menemukan rekaman CCTV dari jalan sebelum kecelakaan terjadi. Truk yang menabrak mobil suami Anda bukan sekadar kebetulan. Dari rekaman ini, terlihat bahwa truk tersebut sudah mengikuti mobil Arfan beberapa kilometer sebelum kejadian. Pengemudinya juga tidak menunjukkan tanda-tanda mengerem atau mencoba menghindar."

Aku menggigit bibir, hatiku mencelos. "Jadi… ini benar-benar percobaan pembunuhan?"

"Itu kemungkinan besar," Pak Rudi mengangguk. "Tapi bukan itu saja."

Aku menatapnya penuh tanya, menunggu penjelasannya.

"Kami menelusuri lebih jauh dan menemukan sesuatu yang mencurigakan." Pak Rudi menyodorkan selembar foto. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Dalam foto itu, terlihat seorang pria berdiri di dekat truk yang menghantam mobil Mas Arfan. Wajahnya agak buram, tapi aku merasa pernah melihatnya sebelumnya.

Aku mengernyit, mencoba mengingat. Lalu, dadaku serasa diremas begitu menyadarinya. "Ini… ini sopir pribadi keluarga suamiku," bisikku, mataku membelalak.

Pak Rudi mengangguk pelan. "Kami juga berpikir begitu. Sopir ini sudah bekerja cukup lama untuk keluarga Arfan, bukan?"

Aku mengangguk cepat. "Ya, dia sudah bekerja sejak Mas Arfan masih remaja."

Aku menggigit bibir, mencoba mencerna informasi ini. Jika benar sopir keluarga suamiku terlibat, maka ini bukan hanya sekadar kecelakaan.

"Apakah ada seseorang dalam keluarga yang mungkin menyuruhnya melakukan ini?" tanya Pak Rudi hati-hati.

Pikiran itu membuatku tercekat. Aku menatap Pak Rudi dengan ngeri.

Apakah mungkin… ibu mertuaku?

Aku tahu ia membenciku, tapi apakah ia benar-benar tega mencelakai anaknya sendiri hanya untuk menyingkirkanku? Atau… ada orang lain yang memiliki kepentingan tersembunyi?

Aku menarik napas dalam-dalam. Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti: aku harus menemukan kebenaran sebelum semuanya terlambat.

****

Aku kembali ke rumah sakit tanpa membuang waktu. Aku harus meminta penjelasan pada ibu mertuaku.

Begitu tiba, aku berjalan cepat menuju ruang perawatan Mas Arfan. Namun, baru beberapa langkah mendekati ICU, dua pria berbadan tegap—pengawal yang tadi menyeretku keluar—langsung menghadang.

"Nyonya tidak diizinkan masuk," kata salah satu dari mereka dengan nada dingin.

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah dan frustrasi. "Aku istrinya! Aku berhak melihat suamiku!"

"Perintah dari Ibu," jawab pengawal itu tanpa ekspresi.

Dadaku terasa sesak. Dari celah pintu ICU yang terbuka sedikit, aku bisa melihat Mas Arfan masih terbaring lemah dengan selang oksigen, tak sadarkan diri. Air mataku hampir tumpah, tapi aku meneguhkan hati.

"Baik," kataku akhirnya, menahan getaran di suaraku. "Aku ingin bicara dengan ibu mertuaku. Sekarang."

Para pengawal saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk. "Ikut kami."

Aku mengikuti mereka menuju ruangan khusus di lantai atas. Begitu pintu terbuka, ibu mertuaku sudah duduk di sofa dengan elegan, wajahnya penuh ketegasan.

"Apa lagi yang kau inginkan?" tanyanya dingin begitu melihatku.

Aku menatapnya lurus. "Aku ingin bertanya sesuatu pada Ibu," suaraku bergetar, tapi aku tidak boleh goyah. "Tentang kecelakaan Mas Arfan."

Ekspresi ibu mertuaku tetap tenang, tapi aku melihat sedikit perubahan di matanya. "Apa maksudmu?"

Aku maju selangkah, menggenggam foto yang tadi diberikan Pak Rudi. "Apakah Ibu mengenali orang ini?" tanyaku, menyodorkan foto sopir keluarga.

Ia melirik foto itu sekilas, lalu mendengus. "Tentu saja. Dia sopir keluarga kami. Kenapa kau bertanya tentang dia?"

Aku menelan ludah. "Karena dia ada di sekitar lokasi kejadian sebelum kecelakaan."

Sekilas, ada bayangan terkejut di wajah ibu mertuaku. Namun, dalam sekejap, ia kembali tenang. "Lalu? Kau menuduhku?"

"Aku hanya ingin tahu," kataku tegas. "Apakah Ibu tahu sesuatu yang bisa membantu penyelidikan?"

Ia menyipitkan mata, menatapku tajam. "Walaupun aku tahu, kenapa aku harus memberitahumu?"

Darahku mendidih. "Karena ini tentang nyawa anak Ibu! Mas Arfan hampir mati!"

Tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terhuyung, tapi tetap berdiri tegak.

"Jangan berani-berani menguliahi aku!" suaranya bergetar oleh emosi. "Arfan adalah anakku! Aku yang lebih tahu apa yang terbaik untuknya!"

Pipiku masih terasa panas akibat tamparannya. Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi aku tahu itu tidak akan ada gunanya.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kalau begitu, buktikan, Bu," kataku lirih tapi tegas. "Kalau Ibu benar-benar mencintai Mas Arfan, maka Ibu juga pasti ingin tahu siapa yang mencoba membunuhnya."

“Tentu saja aku ingin tahu. Aku akan pastikan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dan jangan terlalu ikut campur, biarkan polisi yang menyelidikinya,” katanya dengan tegas.

Aku mengepalkan tangan, menahan emosi. "Kalau begitu, izinkan aku membantu penyelidikan ini."

Ibu mertuaku mendengus. "Kau bukan siapa-siapa. Dan jangan mengacaukan penyelidikan polisi.”

Aku menatapnya tajam. "Aku istrinya. Aku berhak mencari tahu siapa yang mencoba membunuhnya."

Mata ibu mertuaku menyipit, sorotnya penuh kewaspadaan. "Hati-hati dengan ucapanmu."

"Aku hanya mencari kebenaran," balasku dingin.

Sejenak, ia terdiam. Lalu, dengan suara lebih tenang, ia berkata, "Baik. Jika kau ingin mencari tahu, silahkan.”

Begitu keluar dari ruangan, aku merasakan udara di luar terasa lebih berat. Aku tidak hanya harus mencari tahu siapa yang berusaha mencelakai Mas Arfan, tetapi juga menghadapi kemungkinan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk keluarganya sendiri, terlibat dalam rencana jahat ini.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 4

    Aku duduk di depan rumah sakit, menatap kosong ke arah lalu lintas yang ramai. Sudah tiga hari berlalu, dan Mas Arfan masih belum sadar. Namun, yang lebih menyakitkan adalah ibu mertuaku yang terus melarangku untuk menemuinya. Setiap kali aku mencoba masuk, para pengawal selalu menghadang dengan alasan yang sama, "Perintah Ibu." Aku tahu ibu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tapi aku tak menyangka ia bisa setega ini. Aku menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku harus menemukan cara untuk menemui Mas Arfan, apapun resikonya. Aku tidak bisa terus menunggu sementara kebenaran tentang kecelakaannya masih menggantung di udara. Ponselku bergetar. Aku segera meraihnya dan melihat nama Pak Rudi di layar. Tanpa ragu, aku menjawab. "Ada kabar, Pak?" tanyaku langsung. "Kami sudah menemukan sopir itu. Setelah penyelidikan, tidak ada hal-hal yang mencurigakan." Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Rudi. "Tidak ada yang mencurigakan?" ulangku, memastikan aku tidak salah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-27
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 5

    Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya. Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas. Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu. "Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang. Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar. "Biarkan dia masuk." Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang ta

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-27
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 6

    Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-27
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 7

    Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?Perlahan kubuka pintu.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-09
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 8

    Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-09
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 9

    Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-10
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 10

    Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-10
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 11

    Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-11

บทล่าสุด

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 16

    Rafa menepuk bahu Arfan pelan. “Terima kasih… karena telah memilih sisi yang benar.”Dari ujung lorong, suara langkah cepat tim medis mulai terdengar. Nafeeza berdiri perlahan, menggenggam tangan Rafa erat.“Terima kasih… sudah bertahan,” ucap Rafa padanya.Nafeeza mengangguk pelan, masih terisak. “Kalau bukan karena kamu, mungkin Danis sudah tak punya harapan.”Rafa tersenyum tipis. “Kita belum selesai. Sekarang, waktunya menyelamatkan dia.”Pintu ruang operasi terbuka. Dua perawat mendorong ranjang tempat Danis berbaring. Wajah kecil itu pucat, tubuhnya dipenuhi selang, dan napasnya tersengal. Nafeeza menunduk, mengecup kening anaknya, menahan tangis yang nyaris pecah.“Kamu harus kuat, Nak… Mama di sini, Mama nggak akan ke mana-mana,” bisiknya.Rafa memberi isyarat, dan tim medis segera membawa Danis masuk ke ruang operasi. Pintu tertutup dengan suara berat yang membuat Nafeeza tersentak. Kini tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu… dan berdoa.Arfan masih berdiri di lorong, m

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 15

    Perawat yang baru kembali dari ruang administrasi menghentikan langkahnya. Ia tampak ragu, menatap Nafeeza, lalu beralih kepada Rafa. Ketegangan yang membeku membuat waktu terasa melambat.“Arfan,” Nafeeza akhirnya bersuara. Suaranya pelan namun penuh ketegasan. “Kau tidak punya hak menghentikan ini!”“Siapa bilang aku tak punya hak? Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Kalau kalian nekat membantu anak itu, bersiaplah, rumah sakit ini bisa tutup!”Perawat itu menunduk ketakutan, melangkah mundur perlahan. Nafeeza menatap Arfan dengan mata memerah. Namun sorotnya tajam, tak lagi takut, tak lagi ragu.“Siapa Anda? Berani sekali bicara begitu!” seru Rafa, tatapannya menusuk.Arfan mendongak, menatap Rafa dengan sorot penuh gengsi dan kemarahan. “Aku donatur terbesar rumah sakit ini. Tanpa aku, semuanya bisa ambruk dalam semalam, termasuk kamu, Dokter, atau siapa pun kamu.”Namun Rafa tidak mundur. Ia berdiri tegak, bahkan melangkah lebih dekat.“Aku di sini bukan untuk tunduk pada an

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 14

    Jantung Nafeeza seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, lalu tanpa pikir panjang, ia langsung berlari. Sepatu hak tingginya tak lagi ia pedulikan, hingga akhirnya terlepas di tengah jalan. Nafeeza terus berlari dengan kaki telanjang, menyusuri trotoar malam yang dingin dan kasar. Hanya satu hal memenuhi pikirannya: Danis.Putranya.Darah daging yang selama ini menjadi alasan ia bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.Sementara itu, di dalam mobil mewah yang terparkir tak jauh dari bar, Arfan duduk diam dengan tatapan kosong. Di sampingnya, Randy tampak gelisah.“Fan… gue tahu lo syok. Tapi tadi lo kelewatan,” ucap Randy hati-hati.Arfan tak menjawab. Dalam benaknya, wajah Nafeeza terus berputar. Bukan Nafeeza yang tadi di bar, melainkan Nafeeza yang dulu, yang tersenyum hangat setiap pagi, yang selalu menyambutnya pulang dengan pelukan. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya seperti menelan bara api.“Arfan, lo denger gak sih?” seru R

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 13

    Nafeeza perlahan mengangkat wajahnya. Cahaya remang bar memperjelas kelelahan di matanya, pipi tirusnya, dan luka batin yang tak mampu ia sembunyikan.“Kamu mengenalnya, Bos?” tanya salah satu teman Arfan.Arfan tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Nafeeza, seakan dunia di sekitarnya berubah menjadi sunyi.Nafeeza mengerjap pelan, mencoba berdiri tegak meski tubuhnya gemetar. Ia merasa seluruh dirinya ditelanjangi oleh tatapan-tatapan asing yang mulai memperhatikan mereka.“Apa kamu mengenalnya, Bos?” ulang temannya, kali ini dengan nada penasaran, menangkap ketegangan aneh di antara keduanya.Arfan menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan sejenak.“Dia... hanya seseorang dari masa lalu,” jawabnya datar. Namun nada suaranya terdengar berat, seperti menahan badai yang siap meledak.Temannya tertawa kecil, tidak menyadari betapa rapuh suasana itu.“Wah, mantan, ya? Selera lo dulu beda banget, Fan. Dari istri model ke..”“Diam,” potong Arfan. Suaranya dingin dan mema

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 12

    Dengan senyum palsu dan langkah gontai, Nafeeza kembali ke dapur kafe setelah insiden memalukan itu.Suara riuh pengunjung masih terdengar di belakangnya, namun hatinya telah hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba menata ulang gelas dan piring yang pecah. Manajer sempat melirik tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa, mungkin karena menyadari siapa yang barusan mempermalukannya.Beberapa jam kemudian, setelah shiftnya berakhir, Nafeeza berjalan pulang ke rumah sakit. Malam sudah larut. Langit mendung, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan rintik-rintik mulai turun saat ia tiba di ruang rawat Danis. Di dalam, Bibi Rara tertidur di kursi, sementara Danis masih terbaring lemah, namun senyumnya merekah saat melihat sang ibu datang.“Mama…” gumam Danis pelan.Nafeeza segera mendekat, menggenggam tangan kecil itu, menahan air mata yang hendak jatuh. “Iya, Nak. Mama di sini…”Danis menatap langit-langit. “Tadi aku mimpi ketemu Papa. Dia marah…”Nafeeza tercekat. “P

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 11

    Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 10

    Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 9

    Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 8

    Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status