แชร์

Bab 5

ผู้เขียน: Sri Pulungan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-27 11:33:56

Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya.

Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas.

Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu.

"Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang.

Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar.

"Biarkan dia masuk."

Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan mewah. Di sana, ibu mertuaku duduk anggun di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Tatapannya tanpa ekspresi, seolah aku hanyalah debu di rumah ini.

"Ada urusan apa kau kemari?" suaranya tajam, menusuk.

Aku mengepalkan jemari, berusaha menahan gejolak di dadaku. "Saya mohon, Bu. Jangan bawa Mas Arfan ke luar negeri."

Ia mengangkat alis, lalu tersenyum sinis. "Ada hak apa kau meminta ini dariku?"

"Aku istrinya, Bu. Aku tidak ingin dipisahkan darinya."

"Kau terlalu banyak bicara. Sudah kukatakan, menjauhlah dari anakku," ujarnya pelan, tetapi penuh nada ancaman.

Aku berlutut. "Aku mohon, Bu…"

Namun, ia hanya menatapku dingin, seolah permohonanku tak berarti apa-apa. Aku bisa merasakan dinginnya lantai marmer menusuk kulitku, tapi aku tidak peduli. Aku harus melakukan sesuatu.

"Kumohon, Bu… beri aku kesempatan. Mas Arfan membutuhkan aku." Suaraku bergetar, tapi aku berusaha agar tak terdengar lemah.

Ibu mertuaku mendecakkan lidah, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Gerakannya tenang—terlalu tenang.

"Kesempatan?" katanya pelan. "Apa kau pikir aku akan mengubah keputusanku hanya karena kau menangis dan berlutut di hadapanku?"

Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.

"Mas Arfan adalah suamiku, Bu," kataku lirih. "Aku berhak berada di sisinya. Jika benar Ibu menginginkan yang terbaik untuknya, mengapa justru ingin memisahkan kami?"

Senyum sinis tersungging di wajahnya. Ia bangkit, langkahnya anggun saat mendekatiku.

"Karena aku tidak pernah menginginkanmu dalam keluarga ini," bisiknya tajam. "Dan sekarang, aku akhirnya punya alasan untuk menyingkirkanmu."

Jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang.

Aku mengepalkan tangan, berusaha menguatkan diri. "Ibu mungkin bisa mengatur banyak hal, tapi tidak dengan perasaan Mas Arfan. Jika dia sadar, dia pasti menolak pergi. Dia akan mencariku."

Ibu mertuaku tersenyum miring. "Nafeeza, kau pikir cinta bisa menyembuhkan Arfan? Dia butuh pengobatan yang mahal, dan hanya aku yang bisa memberikannya. Atau kau ingin aku menghentikan pengobatannya?"

Darahku seakan membeku. Tanganku mengepal erat, berusaha menahan amarah yang membara di dadaku.

"Ibu tidak bisa melakukan itu," suaraku lirih, nyaris bergetar. "Mas Arfan adalah anak Ibu. Bagaimana bisa Ibu mengancam nyawanya hanya demi menyingkirkanku?"

Ia menatapku puas, menikmati keterkejutanku. "Aku melakukan ini demi Arfan. Dia butuh perawatan terbaik, dan itu hanya bisa ia dapatkan jika pergi ke luar negeri. Kau? Apa yang bisa kau berikan? Air mata? Janji manis?"

Aku menggeleng. "Aku memang tidak punya kekayaan seperti Ibu, tapi aku punya sesuatu yang lebih besar—cinta dan kesetiaan untuk Mas Arfan. Dia bukan hanya butuh pengobatan, tapi juga dukungan dari orang yang mencintainya."

Ia terkekeh kecil, lalu menyesap tehnya perlahan.

"Cinta dan kesetiaan?" Tatapannya merendahkan. "Dengar, Nafeeza. Aku bisa mengatur segalanya dalam hidup Arfan, termasuk siapa yang pantas berada di sisinya. Dan kau…" ia menatapku tajam, "tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku."

Aku menarik nafas dalam. "Kalau aku pergi, apakah Ibu benar-benar akan memastikan Mas Arfan mendapatkan perawatan terbaik?"

Matanya menyipit. "Tentu saja. Aku tidak sekejam yang kau kira. Aku hanya ingin kau menjauh dari hidupnya, bukan mencelakainya."

Aku menggigit bibir. Ini tidak adil. Aku dipaksa memilih, kehilangan suamiku atau mempertaruhkan nyawanya.

"Tapi bagaimana kalau Mas Arfan mencariku?" tanyaku, mencoba menantangnya.

Ia tersenyum tipis. "Dia tidak akan mengingatmu lagi."

Jantungku mencelos. "Apa maksud Ibu?"

Senyumnya semakin lebar. "Arfan mengalami cedera otak akibat kecelakaan itu, kau tahu? Kemungkinan besar dia akan kehilangan sebagian ingatannya. Dan aku pastikan, bagian yang hilang adalah ingatan tentangmu."

Aku terhuyung ke belakang. "Tidak… itu tidak mungkin…"

"Kenyataan memang sering kali menyakitkan."

Air mataku jatuh. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus bertindak sebelum semuanya terlambat. Aku harus menyelamatkan Mas Arfan, sebelum aku benar-benar terhapus dari hidupnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 6

    Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-27
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 7

    Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?Perlahan kubuka pintu.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-09
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 8

    Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-09
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 9

    Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-10
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 10

    Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-10
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 11

    Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-11
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 12

    Dengan senyum palsu dan langkah gontai, Nafeeza kembali ke dapur kafe setelah insiden memalukan itu.Suara riuh pengunjung masih terdengar di belakangnya, namun hatinya telah hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba menata ulang gelas dan piring yang pecah. Manajer sempat melirik tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa, mungkin karena menyadari siapa yang barusan mempermalukannya.Beberapa jam kemudian, setelah shiftnya berakhir, Nafeeza berjalan pulang ke rumah sakit. Malam sudah larut. Langit mendung, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan rintik-rintik mulai turun saat ia tiba di ruang rawat Danis. Di dalam, Bibi Rara tertidur di kursi, sementara Danis masih terbaring lemah, namun senyumnya merekah saat melihat sang ibu datang.“Mama…” gumam Danis pelan.Nafeeza segera mendekat, menggenggam tangan kecil itu, menahan air mata yang hendak jatuh. “Iya, Nak. Mama di sini…”Danis menatap langit-langit. “Tadi aku mimpi ketemu Papa. Dia marah…”Nafeeza tercekat. “P

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-11
  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 13

    Nafeeza perlahan mengangkat wajahnya. Cahaya remang bar memperjelas kelelahan di matanya, pipi tirusnya, dan luka batin yang tak mampu ia sembunyikan.“Kamu mengenalnya, Bos?” tanya salah satu teman Arfan.Arfan tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Nafeeza, seakan dunia di sekitarnya berubah menjadi sunyi.Nafeeza mengerjap pelan, mencoba berdiri tegak meski tubuhnya gemetar. Ia merasa seluruh dirinya ditelanjangi oleh tatapan-tatapan asing yang mulai memperhatikan mereka.“Apa kamu mengenalnya, Bos?” ulang temannya, kali ini dengan nada penasaran, menangkap ketegangan aneh di antara keduanya.Arfan menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan sejenak.“Dia... hanya seseorang dari masa lalu,” jawabnya datar. Namun nada suaranya terdengar berat, seperti menahan badai yang siap meledak.Temannya tertawa kecil, tidak menyadari betapa rapuh suasana itu.“Wah, mantan, ya? Selera lo dulu beda banget, Fan. Dari istri model ke..”“Diam,” potong Arfan. Suaranya dingin dan mema

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12

บทล่าสุด

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 16

    Rafa menepuk bahu Arfan pelan. “Terima kasih… karena telah memilih sisi yang benar.”Dari ujung lorong, suara langkah cepat tim medis mulai terdengar. Nafeeza berdiri perlahan, menggenggam tangan Rafa erat.“Terima kasih… sudah bertahan,” ucap Rafa padanya.Nafeeza mengangguk pelan, masih terisak. “Kalau bukan karena kamu, mungkin Danis sudah tak punya harapan.”Rafa tersenyum tipis. “Kita belum selesai. Sekarang, waktunya menyelamatkan dia.”Pintu ruang operasi terbuka. Dua perawat mendorong ranjang tempat Danis berbaring. Wajah kecil itu pucat, tubuhnya dipenuhi selang, dan napasnya tersengal. Nafeeza menunduk, mengecup kening anaknya, menahan tangis yang nyaris pecah.“Kamu harus kuat, Nak… Mama di sini, Mama nggak akan ke mana-mana,” bisiknya.Rafa memberi isyarat, dan tim medis segera membawa Danis masuk ke ruang operasi. Pintu tertutup dengan suara berat yang membuat Nafeeza tersentak. Kini tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu… dan berdoa.Arfan masih berdiri di lorong, m

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 15

    Perawat yang baru kembali dari ruang administrasi menghentikan langkahnya. Ia tampak ragu, menatap Nafeeza, lalu beralih kepada Rafa. Ketegangan yang membeku membuat waktu terasa melambat.“Arfan,” Nafeeza akhirnya bersuara. Suaranya pelan namun penuh ketegasan. “Kau tidak punya hak menghentikan ini!”“Siapa bilang aku tak punya hak? Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Kalau kalian nekat membantu anak itu, bersiaplah, rumah sakit ini bisa tutup!”Perawat itu menunduk ketakutan, melangkah mundur perlahan. Nafeeza menatap Arfan dengan mata memerah. Namun sorotnya tajam, tak lagi takut, tak lagi ragu.“Siapa Anda? Berani sekali bicara begitu!” seru Rafa, tatapannya menusuk.Arfan mendongak, menatap Rafa dengan sorot penuh gengsi dan kemarahan. “Aku donatur terbesar rumah sakit ini. Tanpa aku, semuanya bisa ambruk dalam semalam, termasuk kamu, Dokter, atau siapa pun kamu.”Namun Rafa tidak mundur. Ia berdiri tegak, bahkan melangkah lebih dekat.“Aku di sini bukan untuk tunduk pada an

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 14

    Jantung Nafeeza seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, lalu tanpa pikir panjang, ia langsung berlari. Sepatu hak tingginya tak lagi ia pedulikan, hingga akhirnya terlepas di tengah jalan. Nafeeza terus berlari dengan kaki telanjang, menyusuri trotoar malam yang dingin dan kasar. Hanya satu hal memenuhi pikirannya: Danis.Putranya.Darah daging yang selama ini menjadi alasan ia bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.Sementara itu, di dalam mobil mewah yang terparkir tak jauh dari bar, Arfan duduk diam dengan tatapan kosong. Di sampingnya, Randy tampak gelisah.“Fan… gue tahu lo syok. Tapi tadi lo kelewatan,” ucap Randy hati-hati.Arfan tak menjawab. Dalam benaknya, wajah Nafeeza terus berputar. Bukan Nafeeza yang tadi di bar, melainkan Nafeeza yang dulu, yang tersenyum hangat setiap pagi, yang selalu menyambutnya pulang dengan pelukan. Ia menarik napas dalam-dalam, tapi rasanya seperti menelan bara api.“Arfan, lo denger gak sih?” seru R

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 13

    Nafeeza perlahan mengangkat wajahnya. Cahaya remang bar memperjelas kelelahan di matanya, pipi tirusnya, dan luka batin yang tak mampu ia sembunyikan.“Kamu mengenalnya, Bos?” tanya salah satu teman Arfan.Arfan tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada Nafeeza, seakan dunia di sekitarnya berubah menjadi sunyi.Nafeeza mengerjap pelan, mencoba berdiri tegak meski tubuhnya gemetar. Ia merasa seluruh dirinya ditelanjangi oleh tatapan-tatapan asing yang mulai memperhatikan mereka.“Apa kamu mengenalnya, Bos?” ulang temannya, kali ini dengan nada penasaran, menangkap ketegangan aneh di antara keduanya.Arfan menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan sejenak.“Dia... hanya seseorang dari masa lalu,” jawabnya datar. Namun nada suaranya terdengar berat, seperti menahan badai yang siap meledak.Temannya tertawa kecil, tidak menyadari betapa rapuh suasana itu.“Wah, mantan, ya? Selera lo dulu beda banget, Fan. Dari istri model ke..”“Diam,” potong Arfan. Suaranya dingin dan mema

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 12

    Dengan senyum palsu dan langkah gontai, Nafeeza kembali ke dapur kafe setelah insiden memalukan itu.Suara riuh pengunjung masih terdengar di belakangnya, namun hatinya telah hancur berkeping-keping. Tangannya gemetar saat mencoba menata ulang gelas dan piring yang pecah. Manajer sempat melirik tajam, tetapi tidak mengatakan apa-apa, mungkin karena menyadari siapa yang barusan mempermalukannya.Beberapa jam kemudian, setelah shiftnya berakhir, Nafeeza berjalan pulang ke rumah sakit. Malam sudah larut. Langit mendung, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang. Hujan rintik-rintik mulai turun saat ia tiba di ruang rawat Danis. Di dalam, Bibi Rara tertidur di kursi, sementara Danis masih terbaring lemah, namun senyumnya merekah saat melihat sang ibu datang.“Mama…” gumam Danis pelan.Nafeeza segera mendekat, menggenggam tangan kecil itu, menahan air mata yang hendak jatuh. “Iya, Nak. Mama di sini…”Danis menatap langit-langit. “Tadi aku mimpi ketemu Papa. Dia marah…”Nafeeza tercekat. “P

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 11

    Lima tahun kemudian…“Ada apa, Bi?” tanya Nafeeza cemas lewat sambungan telepon. Tangannya masih menggenggam nampan berisi pesanan, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Di tengah kesibukannya sebagai pelayan di sebuah kafe kecil di pinggiran Kota Bandung, kabar itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Danis pingsan, Bu,” jawab Bibi Rara panik dari seberang. Suaranya tergesa, diiringi isak tangis anak-anak di latar belakang.Nafeeza nyaris menjatuhkan nampan dari tangannya. “Sekarang di mana? Sudah dibawa ke klinik?”“Sudah… Kami di klinik dekat rumah. Tapi, Bu... dokter bilang Danis harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Sepertinya ada masalah lagi dengan jantungnya…”Waktu seolah melambat.Danis. Putra kecilnya. Satu-satunya alasan Nafeeza bertahan hidup selama lima tahun terakhir. Anak yang lahir dari cinta yang tak pernah padam, cinta antara dirinya dan Arfan.Tanpa pikir panjang, Nafeeza melepas apron dan berlari keluar kafe sambil berseru ke arah manajer, “Saya harus pergi!

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 10

    Zurich, pagi hari…Bu Yuliana tiba dengan jet pribadi. Begitu mendarat, ia langsung menuju rumah sakit tempat Arfan dirawat. Saat memasuki kamar, matanya menatap putranya yang kini terjaga.“Arfan, Nak… Ibu disini,” bisiknya.Arfan menoleh, mengerjap. Namun tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang mencoba mengenali sosok di depannya.“Siapa… Anda?” tanyanya pelan.Wajah Bu Yuliana mengeras. Ia menoleh cepat ke arah dokter.“Kenapa dia tidak mengenal saya?”Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Arfan kemungkinan mengalami amnesia parsial pasca-kecelakaan. Beberapa ingatan penting menghilang, namun bisa pulih perlahan.Namun satu hal membuat dokter heran:“Satu-satunya nama yang terus ia sebut sejak sadar adalah ‘Nafeeza’.”Wajah Bu Yuliana memucat.“Tidak mungkin…” desisnya. “Anak itu hanya… pengganggu. Dia bukan siapa-siapa!”Ia memutar tubuh, menatap tajam orang kepercayaannya.“Cari gadis itu! Apapun caranya. Kalau perlu, habisi dia.”****Siang hari, kamar rumah sakit.Arfan duduk

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 9

    Dokter dan perawat saling berpandangan saat nama itu disebut.Mereka tahu, nama tersebut tak tercantum dalam daftar kontak darurat pasien. Namun satu hal menjadi jelas: wanita bernama Nafeeza itu sangat berarti bagi pria ini. Teramat penting.Di luar ruangan, seorang pria bersetelan rapi sedang berbicara dalam bahasa Inggris yang kaku dengan seorang dokter. Ia adalah orang kepercayaan Bu Yuliana, ibu kandung Arfan. Ditugaskan khusus untuk menjaga Arfan.“Dia menyebut nama seseorang,” kata dokter.“Siapa?” tanya pria itu.“Nafeeza.”Pria itu terdiam. Matanya menyipit, rahangnya mengeras.“Kalau boleh tahu, siapa Nafeeza?”“Tidak penting,” sahutnya singkat.****Sementara itu, di Tanah Air…Bus malam melaju tenang menembus udara dingin menuju Bandung. Nafeeza menyandarkan kepala ke jendela, menatap kosong ke luar. Jalanan gelap dan sepi, hanya lampu-lampu jalan yang melintas cepat, seperti bayangan kenangan.Ia memejamkan mata, namun wajah Aurel kembali muncul. Kata-katanya masih terngi

  • Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!   Bab 8

    Aku tak langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, pikiranku kalut. Aurel? Di sini? Malam-malam begini?“Nafeeza… Aku tahu kamu hamil,” suaranya terdengar dari balik pintu, tenang namun menekan.Darahku seolah berhenti mengalir. Bagaimana bisa dia tahu? Siapa yang memberitahunya?“Nafeeza, aku tidak akan membiarkanmu melahirkan anak Mas Arfan.”Tubuhku membeku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu. Tidak akan membiarkanku melahirkan anak Mas Arfan? Jadi benar, dia datang bukan untuk menolongku.Tanganku refleks memeluk perutku. Jantungku berdetak kencang, seperti hendak meledak. Pikiran, ketakutan, dan firasat buruk menyerbu sekaligus, menyesakkan dada.“Apa maksudmu…?” tanyaku pelan dengan suara parau, berusaha menahan tubuh yang bergetar.Tak ada jawaban. Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat dari balik pintu, terputus-putus, seolah ia sendiri tengah menahan sesuatu.“Kamu sebodoh itu, Nafeeza? Arfan sekarang koma... dan besar kemungkinan dia akan kehilangan ingatannya. Dia aka

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status