“Indah! Lepas! Mas bilang lepas!” Lelaki itu melepas paksa tubuh wanita yang memeluknya erat.Indah hampir hilang kendali, menghujani Fandi dengan c1uman yang memburu. Serta bersiap membuka pakaiannya.“Kau g1la! Istighfar Indah!” Lelaki itu, dengan tegasnya membentak wanita yang hilang akal karena cinta.“Aku seperti ini karena Mas. Aku ingin bersamamu … hingga akhir nanti. Hanya kamu yang mengerti aku, Mas!” Indah menangis tersedu-sedu.Siapa sangka, pagi itu sudah membuat keduanya runyam.Lama keduanya terdiam, hingga Indah menyeka air matanya dan berkata, “Temani aku Mas, temani aku interview lalu jadilah pacarku selama sehari.”“Indah, Mas—”“Hari ini saja Mas, setelah itu … aku akan menjadi Indah yang baru. Demi hidup yang baik dan masa depan yang cerah. Biarkan Mas menjadi pemanis dalam kisah hidupku. Sehari saja Mas, setelah itu … aku tak ingin apa-apa,” mohon Indah begitu memelas.“Baiklah! Sehari ini saja,” sanggup Fandi.Untung saja Fandi sudah menitipkan pekerjaannya pada
“Tiga bulan? Apa maksudmu tiga bulan, Irena?” Fandi bertanya-tanya.Irena hanya tersenyum, “Aku hanya minta tiga bulan Mas, setelah itu jika kau ingin kembali merajut cinta dengan Indah, atau siapa pun itu. Silakan! Aku minta tiga bulan untuk kita bersama, hanya tiga bulan Mas.” Irena luruh di lantai, wanita itu … menahan sakit hati dan sakit pada tubuhnya yang seakan kompak melebur jasad Irena.Fandi mengangguk, “Jika itu yang terbaik. Mari … kita bertahan tiga bulan lagi. Nanti, jika salah satu di antara kita masih merasa terbebani dan tak bahagia. Mari berpisah.”Irena mengangguk, “Tiga bulan. Aku hanya butuh tiga bulan.”***“Kenapa belum tidur?” Ayah Irena mendapati sang istri tengah berdiri di balkon kamar mereka di kala dirinya pulang kerja.“Ayah baru pulang? Bagaimana dengan para investor itu, apa semua berjalan mulus?” Istrinya meraih tas kerja dan membuka jas hingga dasi sang suami tercinta.“Tentu saja, itu semua berkat doa istri tercinta dan dukungannya yang tak pernah
“Sayang! Sayang!” Fandi tak melihat Irena semenjak dia terjaga.Panik mulai merajai hati, kamar mandi kosong begitu pun beberapa ruangan favorit sang istri.“Sayang! Where are you?” teriak Fandi lantang. Irena yang berada di kamar mandi belakang khusus tamu, kini tengah bersandar di dinding kamar mandi. Perutnya kembali melilit dan seolah diremas-remas.Tangannya gemetar meski baru saja meminum obat yang diresepkan dokter.“Aku—aku harus kuat. Ayo, menghilanglah rasa sakit ini. Aku akan bahagia bersama suamiku!” Irena terus berkata yang ditujukannya pada diri sendiri.Beberapa menit kemudian, dirinya langsung keluar kamar begitu mendengar suara sang suami yang panik.“Mas,” panggil Irena pelan.“Ya Allah, Sayang! Kamu ini bikin mas panik. Habis dari mana sih?” tanya Fandi mesra.“Habis dari belakang. Bersih-bersih kamar mandi tamu,” alasan Irena tepat.“Mas takut, kamu pergi meninggalkan mas. Oya, kenapa wajahmu pucat seperti itu. Minum air hangat ya,” gegas Fandi menuntun sang istri
“Mas!” Irena berjalan pelan menuju kebun yang kini digarap Fandi.“Pelan-pelan! Nanti jatuh!” pekik sang suami.Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya demi menjemput sang istri yang tengah berjalan ke arahnya.“Is, bisa kok!” Irena kini digandeng Fandi menuju saung kecil tempat di mana dirinya biasa beristirahat.“Masak apa?” Fandi bertanya saking penasaran, karena sang istri setiap hari membawakan bekal makan siang dengan menu berbeda tetapi tetap sederhana.“Ikan goreng dan sambel terasi, ada lalapan juga. Sayurnya sayur bening. Tadi si tukang sayur keliling sudah kehabisan ikan dan sayurnya juga yang ada di kebun malah. Jadi beli ikan sama bumbu doank. Tapi enak kok Mas,” jabar Irena riang.“Tentu saja enak,” timpal Fandi.Ya, inilah hidup yang mereka jalani selama dua Minggu ini.Tak terasa memang, tetapi selama dua Minggu di kampung halaman Fandi, Irena merasa hubungan keduanya semakin membaik. Dari kehidupan sederhana, Irena mulai bisa menerima sisi lain dalam diri Fandi.Irena m
“Ap—apa?” Indah saat itu tahu diri, gegas dirinya bergeser dan melangkah menuju kamar mayat untuk mengurus kepulangan jasad dari ibu panti.Indah menghela napas, sebenarnya dia merasa lelah dengan hidup yang tak pernah adil untuknya.Sedari kecil tak memiliki orang tua dan tak mendapat perhatian. Hingga rasa nyaman didapatnya dari lelaki yang bernama Fandi. Rasa peduli yang begitu sarat akan kasih sayang itu membuatnya terbuai meski belakangan Indah tahu jika Fandi bukan seorang pria lajang.Demi bisa mendapatkan limpahan kasih sayang, berbalut dosa atas nama cinta itu … Indah menutup mata akan kenyataan yang ada. Wanita itu memejamkan mata kala mayat ibu panti mulai dimasukkan ke dalam ambulance. Dadanya bergemuruh saat itu, harusnya saat seperti ini Indah bisa bersandar pada seseorang.Fandi tepatnya, sayang … lelaki itu tak merespon banyaknya pesan yang dia kirim meski menggunakan nomor baru.“Ya Allah, semua mulai dari awal.” Indah menangis tersedu-sedu.Semua tak adil menurutn
Roy tersenyum, dirinya mengikuti langkah wanita paruh baya yang siap memergoki suaminya bermain api dengan wanita muda.Wanita muda yang tak lain dan tak bukan adalah Indah.Dari jauh Roy melihat, anak buahnya menyusul ke arah dirinya berada.“Sudah siap, Tuan. Bisa disaksikan dari mobil saja.” Anak buahnya itu mempersilakan Roy berjalan terlebih dahulu. Di tangan sang bawahan, sebuah tab yang menayangkan apa saja yang terjadi di dalam sana.Ya, Roy memasang sebuah kamera mikro di tas wanita tadi.Senyumnya merekah kala melihat Indah diserang secara brutal oleh wanita paruh baya itu. Dalam keadaan Bu gil, suaminya sibuk membenah diri dan berlutut di kaki sang istri. Sedang istrinya membuat wanita tak tahu diri itu terkapar dengan rambut yang acak-acakan serta tampak tercabut karena jam bakan.“Dasar j4lang, berani-beraninya kau main api dengan suamiku. Kau tahu, perusahaan itu milikku dan oh … lihat semua fasilitas ini, ini semua punyaku. Kau bahkan tak pantas mengenakan ling3rie in
“Pelan-pelan jalannya. Agak licin dan berbatu. Ya begini jalan di kampung, Nak Mantu. Biasakan aja ya.” Ibu mertua Irena menggenggam erat tangan Irena agar tak jatuh.Di belakang ada Fera dan Fafa, keduanya menggendong anak kembar Fera. Meski sepanjang jalan Fafa menggerutu karena susah untuk membalas pesan dari kekasihnya.“Sini, sama saya saja.” Irena hendak menggendong Naya, adiknya Nayla. Anak kembar Fera.“Gak usah Mbak, biar Fafa aja. Ini sengaja ngambekan biar dapat jatah jajan lagi dari Mbak Fera, masa’ Mbak Irena terus yang ngasih jajan.” Fafa melirik Fera yang siap mencubit pipinya.“Kerja makanya, gunain tuh gelarmu yang banyak ‘S’-nya itu. Lulus kok bukannya cari kerja malah pacaran aja Mulu,” gerutu Fera.Irena hanya bisa tersenyum mendengar Fera dan Fafa saling sahut.“Sudah, biarin aja mereka,” bisik ibu mertuanya.Pengajian itu dihadiri oleh hampir ibu-ibu di kampung, mereka ada yang sambil menyuap anak makan, ada yang menyusu1, ada yang menenangkan anak yang rewel dan
“Irena Sayang, apa yang terjadi sebenarnya?” Fandi tak mampu melanjutkan perjalanan. Tangannya gemetar kala mengetahui misteri dari obat yang terus-menerus dikonsumsi Irena selama ini. “Bod0h! Aku sungguh suami yang bod0h! Bagaimana bisa selama ini aku tak tahu jika istriku sakit, mengapa aku tak tahu? Bod0hnya aku malah selingkuh dan apa ini … alasan Irena minta waktu bersama selama tiga bulan? Ya Allah ….” Fandi memukul-mukul dadanya, seolah semua yang mengganjal di hati dapat hilang begitu saja.Fandi tak peduli, jika sekarang banyak pasang mata yang menatapnya heran karena menangis di samping mobilnya.“Aku … aku akan ke Mamah dan Ayah. Memastikan ini, oh tidak … aku harus langsung ke rumah sakit ini. Iya, aku harus ke rumah sakit ini dulu.” Disekanya air mata dan Fandi bergegas meluncur dengan roda empatnya menuju di mana kota tempat dirinya dan istri tinggal selama ini.*“Mas Fandi belum pulang? Ini sudah sore dan kenapa ponselnya tak bisa dihubungi, ke mana dia?” Irena tamp