“Sayang! Sayang!” Fandi tak melihat Irena semenjak dia terjaga.Panik mulai merajai hati, kamar mandi kosong begitu pun beberapa ruangan favorit sang istri.“Sayang! Where are you?” teriak Fandi lantang. Irena yang berada di kamar mandi belakang khusus tamu, kini tengah bersandar di dinding kamar mandi. Perutnya kembali melilit dan seolah diremas-remas.Tangannya gemetar meski baru saja meminum obat yang diresepkan dokter.“Aku—aku harus kuat. Ayo, menghilanglah rasa sakit ini. Aku akan bahagia bersama suamiku!” Irena terus berkata yang ditujukannya pada diri sendiri.Beberapa menit kemudian, dirinya langsung keluar kamar begitu mendengar suara sang suami yang panik.“Mas,” panggil Irena pelan.“Ya Allah, Sayang! Kamu ini bikin mas panik. Habis dari mana sih?” tanya Fandi mesra.“Habis dari belakang. Bersih-bersih kamar mandi tamu,” alasan Irena tepat.“Mas takut, kamu pergi meninggalkan mas. Oya, kenapa wajahmu pucat seperti itu. Minum air hangat ya,” gegas Fandi menuntun sang istri
“Mas!” Irena berjalan pelan menuju kebun yang kini digarap Fandi.“Pelan-pelan! Nanti jatuh!” pekik sang suami.Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya demi menjemput sang istri yang tengah berjalan ke arahnya.“Is, bisa kok!” Irena kini digandeng Fandi menuju saung kecil tempat di mana dirinya biasa beristirahat.“Masak apa?” Fandi bertanya saking penasaran, karena sang istri setiap hari membawakan bekal makan siang dengan menu berbeda tetapi tetap sederhana.“Ikan goreng dan sambel terasi, ada lalapan juga. Sayurnya sayur bening. Tadi si tukang sayur keliling sudah kehabisan ikan dan sayurnya juga yang ada di kebun malah. Jadi beli ikan sama bumbu doank. Tapi enak kok Mas,” jabar Irena riang.“Tentu saja enak,” timpal Fandi.Ya, inilah hidup yang mereka jalani selama dua Minggu ini.Tak terasa memang, tetapi selama dua Minggu di kampung halaman Fandi, Irena merasa hubungan keduanya semakin membaik. Dari kehidupan sederhana, Irena mulai bisa menerima sisi lain dalam diri Fandi.Irena m
“Ap—apa?” Indah saat itu tahu diri, gegas dirinya bergeser dan melangkah menuju kamar mayat untuk mengurus kepulangan jasad dari ibu panti.Indah menghela napas, sebenarnya dia merasa lelah dengan hidup yang tak pernah adil untuknya.Sedari kecil tak memiliki orang tua dan tak mendapat perhatian. Hingga rasa nyaman didapatnya dari lelaki yang bernama Fandi. Rasa peduli yang begitu sarat akan kasih sayang itu membuatnya terbuai meski belakangan Indah tahu jika Fandi bukan seorang pria lajang.Demi bisa mendapatkan limpahan kasih sayang, berbalut dosa atas nama cinta itu … Indah menutup mata akan kenyataan yang ada. Wanita itu memejamkan mata kala mayat ibu panti mulai dimasukkan ke dalam ambulance. Dadanya bergemuruh saat itu, harusnya saat seperti ini Indah bisa bersandar pada seseorang.Fandi tepatnya, sayang … lelaki itu tak merespon banyaknya pesan yang dia kirim meski menggunakan nomor baru.“Ya Allah, semua mulai dari awal.” Indah menangis tersedu-sedu.Semua tak adil menurutn
Roy tersenyum, dirinya mengikuti langkah wanita paruh baya yang siap memergoki suaminya bermain api dengan wanita muda.Wanita muda yang tak lain dan tak bukan adalah Indah.Dari jauh Roy melihat, anak buahnya menyusul ke arah dirinya berada.“Sudah siap, Tuan. Bisa disaksikan dari mobil saja.” Anak buahnya itu mempersilakan Roy berjalan terlebih dahulu. Di tangan sang bawahan, sebuah tab yang menayangkan apa saja yang terjadi di dalam sana.Ya, Roy memasang sebuah kamera mikro di tas wanita tadi.Senyumnya merekah kala melihat Indah diserang secara brutal oleh wanita paruh baya itu. Dalam keadaan Bu gil, suaminya sibuk membenah diri dan berlutut di kaki sang istri. Sedang istrinya membuat wanita tak tahu diri itu terkapar dengan rambut yang acak-acakan serta tampak tercabut karena jam bakan.“Dasar j4lang, berani-beraninya kau main api dengan suamiku. Kau tahu, perusahaan itu milikku dan oh … lihat semua fasilitas ini, ini semua punyaku. Kau bahkan tak pantas mengenakan ling3rie in
“Pelan-pelan jalannya. Agak licin dan berbatu. Ya begini jalan di kampung, Nak Mantu. Biasakan aja ya.” Ibu mertua Irena menggenggam erat tangan Irena agar tak jatuh.Di belakang ada Fera dan Fafa, keduanya menggendong anak kembar Fera. Meski sepanjang jalan Fafa menggerutu karena susah untuk membalas pesan dari kekasihnya.“Sini, sama saya saja.” Irena hendak menggendong Naya, adiknya Nayla. Anak kembar Fera.“Gak usah Mbak, biar Fafa aja. Ini sengaja ngambekan biar dapat jatah jajan lagi dari Mbak Fera, masa’ Mbak Irena terus yang ngasih jajan.” Fafa melirik Fera yang siap mencubit pipinya.“Kerja makanya, gunain tuh gelarmu yang banyak ‘S’-nya itu. Lulus kok bukannya cari kerja malah pacaran aja Mulu,” gerutu Fera.Irena hanya bisa tersenyum mendengar Fera dan Fafa saling sahut.“Sudah, biarin aja mereka,” bisik ibu mertuanya.Pengajian itu dihadiri oleh hampir ibu-ibu di kampung, mereka ada yang sambil menyuap anak makan, ada yang menyusu1, ada yang menenangkan anak yang rewel dan
“Irena Sayang, apa yang terjadi sebenarnya?” Fandi tak mampu melanjutkan perjalanan. Tangannya gemetar kala mengetahui misteri dari obat yang terus-menerus dikonsumsi Irena selama ini. “Bod0h! Aku sungguh suami yang bod0h! Bagaimana bisa selama ini aku tak tahu jika istriku sakit, mengapa aku tak tahu? Bod0hnya aku malah selingkuh dan apa ini … alasan Irena minta waktu bersama selama tiga bulan? Ya Allah ….” Fandi memukul-mukul dadanya, seolah semua yang mengganjal di hati dapat hilang begitu saja.Fandi tak peduli, jika sekarang banyak pasang mata yang menatapnya heran karena menangis di samping mobilnya.“Aku … aku akan ke Mamah dan Ayah. Memastikan ini, oh tidak … aku harus langsung ke rumah sakit ini. Iya, aku harus ke rumah sakit ini dulu.” Disekanya air mata dan Fandi bergegas meluncur dengan roda empatnya menuju di mana kota tempat dirinya dan istri tinggal selama ini.*“Mas Fandi belum pulang? Ini sudah sore dan kenapa ponselnya tak bisa dihubungi, ke mana dia?” Irena tamp
“Mas!” Fandi yang baru saja mengerjap.Gegas mencari asal suara, di mana suara itu adalah suara lembut sang istri.Ya, hari sudah pagi dan Irena berbaring di ranjang yang sama dengan Fandi, sembari memeluk erat lelaki pujaan hatinya.“Ya Allah, Yang. Maafkan Mas!” Fandi kembali meminta maaf pada sang istri.Apa yang dia lakukan selama ini, ternyata begitu menyakiti hati sang istri.Ah, Fandi ingin menghujam belati ke dadanya sendiri, andai dengan begitu bisa merubah semua ke saat bahagia mereka. Sebelum dirinya merasa bosan, kerap kesal dengan sikap Irena, kerap tersinggung dengan perlakuan dan ucapan keluarga besar Irena, kerap berpikir negatif atas semua masukan dan perkataan keluarga Irena … terutama ayah dan ibu Irena.“Mas, ayo sholat subuh bareng. Semalam rasanya Irena sholat gak khusyu tanpa Mas yang jadi imam.” Irena menatap penuh rindu wajah tampan yang kini mulai ditumbuhi jambang tipis.“Maaf,” ucap Fandi lirih.“Apaan sih? Ayo, bangun! Di rumah ini hanya kita yang sholat.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Wanita itu meneguk obat yang biasa dia minum rutin.“Sudah? Ayo!” Fandi meraih tangan sang istri dan keduanya sholat malam. Di pertiga malam, sepasang suami istri memanjatkan doa. “Ya Allah, angkatlah penyakit istri hamba.” Irena menitikkan air mata kala mendengar untaian doa dan harap sang suami untuk kesembuhan dirinya.***Suara mobil terdengar di depan rumah Irena dan Fandi di pagi hari. Masih berkabut dan sempat gerimis kala subuh. Membuat Fandi dan Irena kembali masuk ke dalam selimut dan memilih berbincang banyak hal.“Siapa ya?” Fandi beranjak.Disingkapnya tirai dan terlihat ayah mertuanya yang menurunkan banyak barang bersama Roy dan Rani di mobil berikutnya.“Sayang, Ayah dan Mamah ….” Belum selesai Fandi bicara, Irena turun dari ranjang dan menghela napas berulang kali.“Bismillahirrahmanirrahim, Mamah pasti mengerti alasan Irena menunda ke Jerman. Tenang saja Mas,” tukas Irena.Seolah mengerti kegundahan hati sang suami, Irena mengusap leng
Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula
Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug
“Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”
Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit
Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih
“Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su
Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga
Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per