“Irena Sayang, apa yang terjadi sebenarnya?” Fandi tak mampu melanjutkan perjalanan. Tangannya gemetar kala mengetahui misteri dari obat yang terus-menerus dikonsumsi Irena selama ini. “Bod0h! Aku sungguh suami yang bod0h! Bagaimana bisa selama ini aku tak tahu jika istriku sakit, mengapa aku tak tahu? Bod0hnya aku malah selingkuh dan apa ini … alasan Irena minta waktu bersama selama tiga bulan? Ya Allah ….” Fandi memukul-mukul dadanya, seolah semua yang mengganjal di hati dapat hilang begitu saja.Fandi tak peduli, jika sekarang banyak pasang mata yang menatapnya heran karena menangis di samping mobilnya.“Aku … aku akan ke Mamah dan Ayah. Memastikan ini, oh tidak … aku harus langsung ke rumah sakit ini. Iya, aku harus ke rumah sakit ini dulu.” Disekanya air mata dan Fandi bergegas meluncur dengan roda empatnya menuju di mana kota tempat dirinya dan istri tinggal selama ini.*“Mas Fandi belum pulang? Ini sudah sore dan kenapa ponselnya tak bisa dihubungi, ke mana dia?” Irena tamp
“Mas!” Fandi yang baru saja mengerjap.Gegas mencari asal suara, di mana suara itu adalah suara lembut sang istri.Ya, hari sudah pagi dan Irena berbaring di ranjang yang sama dengan Fandi, sembari memeluk erat lelaki pujaan hatinya.“Ya Allah, Yang. Maafkan Mas!” Fandi kembali meminta maaf pada sang istri.Apa yang dia lakukan selama ini, ternyata begitu menyakiti hati sang istri.Ah, Fandi ingin menghujam belati ke dadanya sendiri, andai dengan begitu bisa merubah semua ke saat bahagia mereka. Sebelum dirinya merasa bosan, kerap kesal dengan sikap Irena, kerap tersinggung dengan perlakuan dan ucapan keluarga besar Irena, kerap berpikir negatif atas semua masukan dan perkataan keluarga Irena … terutama ayah dan ibu Irena.“Mas, ayo sholat subuh bareng. Semalam rasanya Irena sholat gak khusyu tanpa Mas yang jadi imam.” Irena menatap penuh rindu wajah tampan yang kini mulai ditumbuhi jambang tipis.“Maaf,” ucap Fandi lirih.“Apaan sih? Ayo, bangun! Di rumah ini hanya kita yang sholat.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Wanita itu meneguk obat yang biasa dia minum rutin.“Sudah? Ayo!” Fandi meraih tangan sang istri dan keduanya sholat malam. Di pertiga malam, sepasang suami istri memanjatkan doa. “Ya Allah, angkatlah penyakit istri hamba.” Irena menitikkan air mata kala mendengar untaian doa dan harap sang suami untuk kesembuhan dirinya.***Suara mobil terdengar di depan rumah Irena dan Fandi di pagi hari. Masih berkabut dan sempat gerimis kala subuh. Membuat Fandi dan Irena kembali masuk ke dalam selimut dan memilih berbincang banyak hal.“Siapa ya?” Fandi beranjak.Disingkapnya tirai dan terlihat ayah mertuanya yang menurunkan banyak barang bersama Roy dan Rani di mobil berikutnya.“Sayang, Ayah dan Mamah ….” Belum selesai Fandi bicara, Irena turun dari ranjang dan menghela napas berulang kali.“Bismillahirrahmanirrahim, Mamah pasti mengerti alasan Irena menunda ke Jerman. Tenang saja Mas,” tukas Irena.Seolah mengerti kegundahan hati sang suami, Irena mengusap leng
“Indah, dia sekarang tinggal di panti asuhan kembali.” Rani berkata pelan, takut jika iparnya mendengar dan Irena kembali terluka.Perkiraan Rani, Irena akan meledak dan meminta sang adik berbuat sesuatu agar Indah keluar dari tempat itu.Seperti yang dilakukannya dan Roy, mereka berdua berhasil membuat Indah merasa apa yang namanya sakit, terhina, dan juga tak dianggap berharga.Rani sempat tak setuju kala Irena meminta ibu mereka untuk mencari tahu panti asuhan di mana sang pengurus sudah tiada.Ternyata, setelah kepergian sang pengurus ke pangkuan Ilahi. Panti asuhan itu terombang-ambing, terlantar tanpa ada orang dewasa yang mengambil tanggung jawab.Melihat itu, Irena langsung mengambil tindakan.Semula, Rani mengira tindakan Irena adalah wujud kekuasaannya pada Indah. Bahwa Irena bisa menguasai apa saja yang dia mau, dan hal itu belum tentu bisa dimiliki oleh Indah.Kini, Rani paham maksud dan tujuan sang kakak mengambil alih tempat yang tak berarti bagi mereka.Bukan karena iri
Hari itu, dua keluarga bertamasya di pinggir telaga. Suara tawa dan keakraban dua keluarga begitu riuh ramai terdengar.Fafa yang akrab dengan Rani, kini terus berfoto ria demi mengisi laman medsosnya.Roy malah sibuk dengan Wisnu, menyusuri tempat sekitar yang tampaknya bagus untuk peluang bisnis.Tak hanya itu, mata Roy juga jelalatan kala melihat wanita cantik yang masih kerap mengenakan kemban dan kain panjang.Kebetulan telaga itu berada di kampung yang masih asri, bahkan mereka harus melewati jalan memutar agar bisa membawa mobil ke telaga, jika menggunakan jalur Fandi dan Irena lewati, tak ayal mobil harus berhenti di jalan besar yang jauh dari telaga.Fandi tak pernah sedikit pun jauh dari sang istri, bahkan Fandi selalu siaga menjaga Irena. Obat anti nyeri selalu dia bawa, begitu pun obat-obatan herbal yang kini diminum rutin Irena. Hal itu juga yang membuat Irena jarang merasa nyeri. Sesekali terasa, tapi tak semenyakitkan awal ketahuan. Entahlah, itu anggapan Fandi. Semuan
“Yang, kamu kenapa? Kok lama sekali di kamar mandinya?” Fandi mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Saat itu tak ada jawaban dari Irena.Membuat Fandi panik dan memilih mendobrak pintu tersebut.“Astaghfirullah, Irena!” ***Tangis bayi terdengar memenuhi suara ruangan. Irena beranjak dan begitu bahagia kala suster menyerahkan bayi mungil berbalut kain itu padanya.Sejurus kemudian, Fandi masuk ke dalam ruangan dan tersenyum pada Irena.Dipeluknya tubuh Irena yang mendekap bayi.“Irena, sadarlah Sayang.” Seiring suara itu, Irena melihat bayi di tangannya menghilang.“Mas, anak kita mana?” “Mas!” Deg ….“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Istriku sudah sadar,” ucap syukur Fandi.Irena mengerjap berkali-kali, dirinya masih tak begitu dapat mencerna kata-kata yang diucapkan dokter juga perawat. Dia hanya mengangguk dan menggapai tangan Fandi sembari berkata, “Mas, jangan tinggalkan aku.”Irena baru sadar, ternyata memeluk bayi tadi hanya sekedar mimpi. Bunga tidur yang tak akan
“Gak apa-apa ini, Yang?” Fandi terus bertanya hal yang sama.Kali ini di pagi yang cerah, kala supermarket baru saja buka … Irena sudah mengajak si Mbok dan Fandi belanja untuk buah tangan pada anak-anak di panti asuhan.“Ya gak apa-apa, Mas. Gak mungkin kita datang cuma tangan kosong. Kita itu akan berhadapan dengan anak-anak yang memang mendapat hadiah adalah kebahagiaan tersendiri bagi mereka.” Irena begitu bersemangat, tangannya tak henti meraih ini dan itu di etalase hingga dua troli belanja penuh berisi cemilan dan segala macam cokelat hingga mainan lucu.Si Mbok dan Pak Yanto, supir mereka ikut ke panti. Seiring mobil berhenti, keduanya turun membawa barang yang begitu banyak ke panti, di mana para anak-anak berwajah polos dan kurang beruntung itu sudah menunggu kedatangan mereka.Fandi menggenggam erat tangan Irena, kala netranya menangkap sosok wanita yang dulu pernah digila1nya.“Yang,” ucap Fandi lirih.Irena tetap menatap ke depan dan tersenyum. Semula, anak-anak panti lan
Hari itu, Irena sekeluarga berangkat ke Jerman, tentu saja Fandi ikut serta. Wajah Irena yang pucat pasi, selalu berada dalam dekapan Fandi. Ayah dan ibu Irena sampai menitikkan air mata melihat sepasang sejoli yang entah akan bagaimana kisah mereka ke depannya.Sepanjangan perjalanan, Fandi dan Irena hanya terus diam dan saling memandang. Meski Irena berada dalam dekapan Fandi.***Sebuah rumah mewah menjadi tempat tinggal mereka sementara di Jerman, tak begitu jauh dari Rumah Sakit Helios. Yang mana menjadi rumah sakit tempat Irena akan melanjutkan pengobatan.Roy dan Rani hanya berada dua hari di Jerman, sebab keduanya memiliki rutinitas di Indonesia yang tak bisa lama ditinggal.Rani yang mulai turut berkecimpung di bisnis sang ayah, serta Roy yang fokus mengurus perusahaan milik sang kakak yang kini berkembang pesat.Tiga hari setelah berada di Jerman, Irena dan Fandi ditemani kedua orang tua Irena mendatangi rumah sakit tersebut setelah tentunya membuat jam temu.“Halo Irena, s