Hari itu, dua keluarga bertamasya di pinggir telaga. Suara tawa dan keakraban dua keluarga begitu riuh ramai terdengar.Fafa yang akrab dengan Rani, kini terus berfoto ria demi mengisi laman medsosnya.Roy malah sibuk dengan Wisnu, menyusuri tempat sekitar yang tampaknya bagus untuk peluang bisnis.Tak hanya itu, mata Roy juga jelalatan kala melihat wanita cantik yang masih kerap mengenakan kemban dan kain panjang.Kebetulan telaga itu berada di kampung yang masih asri, bahkan mereka harus melewati jalan memutar agar bisa membawa mobil ke telaga, jika menggunakan jalur Fandi dan Irena lewati, tak ayal mobil harus berhenti di jalan besar yang jauh dari telaga.Fandi tak pernah sedikit pun jauh dari sang istri, bahkan Fandi selalu siaga menjaga Irena. Obat anti nyeri selalu dia bawa, begitu pun obat-obatan herbal yang kini diminum rutin Irena. Hal itu juga yang membuat Irena jarang merasa nyeri. Sesekali terasa, tapi tak semenyakitkan awal ketahuan. Entahlah, itu anggapan Fandi. Semuan
“Yang, kamu kenapa? Kok lama sekali di kamar mandinya?” Fandi mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Saat itu tak ada jawaban dari Irena.Membuat Fandi panik dan memilih mendobrak pintu tersebut.“Astaghfirullah, Irena!” ***Tangis bayi terdengar memenuhi suara ruangan. Irena beranjak dan begitu bahagia kala suster menyerahkan bayi mungil berbalut kain itu padanya.Sejurus kemudian, Fandi masuk ke dalam ruangan dan tersenyum pada Irena.Dipeluknya tubuh Irena yang mendekap bayi.“Irena, sadarlah Sayang.” Seiring suara itu, Irena melihat bayi di tangannya menghilang.“Mas, anak kita mana?” “Mas!” Deg ….“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Istriku sudah sadar,” ucap syukur Fandi.Irena mengerjap berkali-kali, dirinya masih tak begitu dapat mencerna kata-kata yang diucapkan dokter juga perawat. Dia hanya mengangguk dan menggapai tangan Fandi sembari berkata, “Mas, jangan tinggalkan aku.”Irena baru sadar, ternyata memeluk bayi tadi hanya sekedar mimpi. Bunga tidur yang tak akan
“Gak apa-apa ini, Yang?” Fandi terus bertanya hal yang sama.Kali ini di pagi yang cerah, kala supermarket baru saja buka … Irena sudah mengajak si Mbok dan Fandi belanja untuk buah tangan pada anak-anak di panti asuhan.“Ya gak apa-apa, Mas. Gak mungkin kita datang cuma tangan kosong. Kita itu akan berhadapan dengan anak-anak yang memang mendapat hadiah adalah kebahagiaan tersendiri bagi mereka.” Irena begitu bersemangat, tangannya tak henti meraih ini dan itu di etalase hingga dua troli belanja penuh berisi cemilan dan segala macam cokelat hingga mainan lucu.Si Mbok dan Pak Yanto, supir mereka ikut ke panti. Seiring mobil berhenti, keduanya turun membawa barang yang begitu banyak ke panti, di mana para anak-anak berwajah polos dan kurang beruntung itu sudah menunggu kedatangan mereka.Fandi menggenggam erat tangan Irena, kala netranya menangkap sosok wanita yang dulu pernah digila1nya.“Yang,” ucap Fandi lirih.Irena tetap menatap ke depan dan tersenyum. Semula, anak-anak panti lan
Hari itu, Irena sekeluarga berangkat ke Jerman, tentu saja Fandi ikut serta. Wajah Irena yang pucat pasi, selalu berada dalam dekapan Fandi. Ayah dan ibu Irena sampai menitikkan air mata melihat sepasang sejoli yang entah akan bagaimana kisah mereka ke depannya.Sepanjangan perjalanan, Fandi dan Irena hanya terus diam dan saling memandang. Meski Irena berada dalam dekapan Fandi.***Sebuah rumah mewah menjadi tempat tinggal mereka sementara di Jerman, tak begitu jauh dari Rumah Sakit Helios. Yang mana menjadi rumah sakit tempat Irena akan melanjutkan pengobatan.Roy dan Rani hanya berada dua hari di Jerman, sebab keduanya memiliki rutinitas di Indonesia yang tak bisa lama ditinggal.Rani yang mulai turut berkecimpung di bisnis sang ayah, serta Roy yang fokus mengurus perusahaan milik sang kakak yang kini berkembang pesat.Tiga hari setelah berada di Jerman, Irena dan Fandi ditemani kedua orang tua Irena mendatangi rumah sakit tersebut setelah tentunya membuat jam temu.“Halo Irena, s
Irena menarik tangan Fandi, lelaki itu sudah beberapa hari ini tampak tak tenang.“Mas, istighfar.” Irena berkata sembari mengusap punggung tangan sang suami.“Astaghfirullahaladzim,” ucap Fandi pelan.Irena tersenyum, hari ini mereka akan kembali ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan terakhir kali sebelum operasi pengangkatan rahim dilakukan.“Mas, tenanglah untukku kali ini. Kumohon, Mas.” Irena merebahkan kepalanya di dada bidang Fandi.Lelaki itu mengangguk dan mengecup kening Irena.Irena sendiri memejamkan mata, di mana kata-kata Dokter Carlos terus terngiang-ngiang di ingatannya.Bagaimana tidak, hari itu hari di mana Irena dan keluarga mendengar diagnosa akhir dari penyakitnya. Irena ingat benar, wajah Dokter Carlos yang tampak serius dan menatap mereka satu per satu. Hingga lama netra itu menatap ke arah Irena.“Irena, sebagai seorang dokter. Saya tak suka bertele-tele. Kanker ini sudah harus mendapatkan penangan khusus dan segera. Saya tak menyarankan kemo atau pengoba
Fandi benar-benar pergi, membawa kegalauan yang tak berperi. Baik di sisi wanita yang dicintainya, atau sang ibu … wanita yang sudah melahirkan, membesarkan, hingga membuatnya menjadi seorang Fandi seperti sekarang.“Huft, kenapa semua kacau seperti ini?” gumamnya.Saat itu lelaki yang masih berstatus suami Irena tersebut, duduk menunggu waktu keberangkatannya.Ditatapnya foto dan beberapa pesan dari sang adik yang menyampaikan jika sang ibu akan dikebumikan tak lama lagi.“Aku harus pulang, aku harus menyelesaikan masalah ini semua. Baru kembali pada Irena. Aku yakin, istriku pasti akan mengerti,” gumamnya sekali lagi.Lelaki tampan itu lalu beranjak kala pesawat yang ditumpanginya akan berangkat sebentar lagi.“Sayang, mas pasti kembali.”***Di rumah sakit, orang tua Irena masih setia menunggu sang anak. Operasi itu berjalan lumayan memakan waktu. Kedua orang tua Irena itu duduk dengan tak tenang hati. “Yah, bagaimana nasib anak kita?” Ibu Irena menangis tersedu-sedu, dirinya t
“Nak Mantu! Nak Mantu!” Irena yang tengah duduk di padang bunga berdiri dan melihat ke sekeliling.“Siapa itu?” Irena terus mengedarkan pandangan ke segala arah.“Nak Mantu,” panggil seseorang.Perlahan bayang samar terlihat dan kini, Irena tersenyum kala melihat wanita yang kerap menyayanginya berjalan pelan menuju ke arahnya.“Umi!” pekik Irena ceria.Keduanya saling memeluk erat, Irena begitu bahagia.“Umi sehat?” Itu yang pertama kali Irena tanyakan.Dirinya tak tahu jika sang mertua sudah tiada.Wanita itu hanya tersenyum dan mengecup kening Irena, “Anak menantuku sayang, apa pun yang terjadi … ikhlaslah, Nak. Maafkan kesalahan Umi dan juga suamimu, Fandi.” Irena mengangguk pelan, lalu tersenyum.Sempat dirinya tersentak kala melihat mertuanya bangkit dan menjauh, tak lama Fandi menyusul. Di mana lelaki itu hanya tersenyum padanya dan berlalu menjauh.“Mas Fandi,” panggil Irena.Wanita itu mencoba menggapai Fandi, sayang … tak pula dirinya berhasil menembus kabut yang menghalan
Beberapa jam kemudian, Fandi sampai di kampungnya hampir tengah malam.“Den Fandi, sudah sampai Den. Bangun,” tukas sang supir.Fandi perlahan terjaga, dirinya memandang lurus ke arah rumah yang masih terpasang tenda. Di mana tetap digunakan untuk tahlilan hingga malam ke empat puluh.“Sudah sampai ya Pak. Ayo kita masuk, jangan tidur di luar. Kalau sungkan, Bapak bisa tidur di rumah saya saja,” tunjuk Fandi sopan.“Inggih, Den. Bapak istirahat di mana saja, bisa!” tanggap sang supir.Fandi pun turun, di mana pintu depan perlahan terbuka dan tampak Fera menanti kepulangan masnya itu.Mata wanita beranak dua itu berkaca-kaca. Bibirnya sudah bergetar hebat karena menahan tangis.“Mas,” ucap Fera lirih.Fandi menghampiri sang adik dan memeluknya erat. Saat itu juga, pecah tangis keduanya.Roy yang bersama Wisnu menggendong si kembar, kininturut menghampiri dan menepuk pundak iparnya tersebut.“Umi tiada karena Fafa, Mas. Karena Fafa,” adu Fera dalam isaknya.Fandi menyeka air mata Fera,
Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula
Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug
“Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”
Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit
Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih
“Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su
Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga
Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per