Hari itu, Irena sekeluarga berangkat ke Jerman, tentu saja Fandi ikut serta. Wajah Irena yang pucat pasi, selalu berada dalam dekapan Fandi. Ayah dan ibu Irena sampai menitikkan air mata melihat sepasang sejoli yang entah akan bagaimana kisah mereka ke depannya.Sepanjangan perjalanan, Fandi dan Irena hanya terus diam dan saling memandang. Meski Irena berada dalam dekapan Fandi.***Sebuah rumah mewah menjadi tempat tinggal mereka sementara di Jerman, tak begitu jauh dari Rumah Sakit Helios. Yang mana menjadi rumah sakit tempat Irena akan melanjutkan pengobatan.Roy dan Rani hanya berada dua hari di Jerman, sebab keduanya memiliki rutinitas di Indonesia yang tak bisa lama ditinggal.Rani yang mulai turut berkecimpung di bisnis sang ayah, serta Roy yang fokus mengurus perusahaan milik sang kakak yang kini berkembang pesat.Tiga hari setelah berada di Jerman, Irena dan Fandi ditemani kedua orang tua Irena mendatangi rumah sakit tersebut setelah tentunya membuat jam temu.“Halo Irena, s
Irena menarik tangan Fandi, lelaki itu sudah beberapa hari ini tampak tak tenang.“Mas, istighfar.” Irena berkata sembari mengusap punggung tangan sang suami.“Astaghfirullahaladzim,” ucap Fandi pelan.Irena tersenyum, hari ini mereka akan kembali ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan terakhir kali sebelum operasi pengangkatan rahim dilakukan.“Mas, tenanglah untukku kali ini. Kumohon, Mas.” Irena merebahkan kepalanya di dada bidang Fandi.Lelaki itu mengangguk dan mengecup kening Irena.Irena sendiri memejamkan mata, di mana kata-kata Dokter Carlos terus terngiang-ngiang di ingatannya.Bagaimana tidak, hari itu hari di mana Irena dan keluarga mendengar diagnosa akhir dari penyakitnya. Irena ingat benar, wajah Dokter Carlos yang tampak serius dan menatap mereka satu per satu. Hingga lama netra itu menatap ke arah Irena.“Irena, sebagai seorang dokter. Saya tak suka bertele-tele. Kanker ini sudah harus mendapatkan penangan khusus dan segera. Saya tak menyarankan kemo atau pengoba
Fandi benar-benar pergi, membawa kegalauan yang tak berperi. Baik di sisi wanita yang dicintainya, atau sang ibu … wanita yang sudah melahirkan, membesarkan, hingga membuatnya menjadi seorang Fandi seperti sekarang.“Huft, kenapa semua kacau seperti ini?” gumamnya.Saat itu lelaki yang masih berstatus suami Irena tersebut, duduk menunggu waktu keberangkatannya.Ditatapnya foto dan beberapa pesan dari sang adik yang menyampaikan jika sang ibu akan dikebumikan tak lama lagi.“Aku harus pulang, aku harus menyelesaikan masalah ini semua. Baru kembali pada Irena. Aku yakin, istriku pasti akan mengerti,” gumamnya sekali lagi.Lelaki tampan itu lalu beranjak kala pesawat yang ditumpanginya akan berangkat sebentar lagi.“Sayang, mas pasti kembali.”***Di rumah sakit, orang tua Irena masih setia menunggu sang anak. Operasi itu berjalan lumayan memakan waktu. Kedua orang tua Irena itu duduk dengan tak tenang hati. “Yah, bagaimana nasib anak kita?” Ibu Irena menangis tersedu-sedu, dirinya t
“Nak Mantu! Nak Mantu!” Irena yang tengah duduk di padang bunga berdiri dan melihat ke sekeliling.“Siapa itu?” Irena terus mengedarkan pandangan ke segala arah.“Nak Mantu,” panggil seseorang.Perlahan bayang samar terlihat dan kini, Irena tersenyum kala melihat wanita yang kerap menyayanginya berjalan pelan menuju ke arahnya.“Umi!” pekik Irena ceria.Keduanya saling memeluk erat, Irena begitu bahagia.“Umi sehat?” Itu yang pertama kali Irena tanyakan.Dirinya tak tahu jika sang mertua sudah tiada.Wanita itu hanya tersenyum dan mengecup kening Irena, “Anak menantuku sayang, apa pun yang terjadi … ikhlaslah, Nak. Maafkan kesalahan Umi dan juga suamimu, Fandi.” Irena mengangguk pelan, lalu tersenyum.Sempat dirinya tersentak kala melihat mertuanya bangkit dan menjauh, tak lama Fandi menyusul. Di mana lelaki itu hanya tersenyum padanya dan berlalu menjauh.“Mas Fandi,” panggil Irena.Wanita itu mencoba menggapai Fandi, sayang … tak pula dirinya berhasil menembus kabut yang menghalan
Beberapa jam kemudian, Fandi sampai di kampungnya hampir tengah malam.“Den Fandi, sudah sampai Den. Bangun,” tukas sang supir.Fandi perlahan terjaga, dirinya memandang lurus ke arah rumah yang masih terpasang tenda. Di mana tetap digunakan untuk tahlilan hingga malam ke empat puluh.“Sudah sampai ya Pak. Ayo kita masuk, jangan tidur di luar. Kalau sungkan, Bapak bisa tidur di rumah saya saja,” tunjuk Fandi sopan.“Inggih, Den. Bapak istirahat di mana saja, bisa!” tanggap sang supir.Fandi pun turun, di mana pintu depan perlahan terbuka dan tampak Fera menanti kepulangan masnya itu.Mata wanita beranak dua itu berkaca-kaca. Bibirnya sudah bergetar hebat karena menahan tangis.“Mas,” ucap Fera lirih.Fandi menghampiri sang adik dan memeluknya erat. Saat itu juga, pecah tangis keduanya.Roy yang bersama Wisnu menggendong si kembar, kininturut menghampiri dan menepuk pundak iparnya tersebut.“Umi tiada karena Fafa, Mas. Karena Fafa,” adu Fera dalam isaknya.Fandi menyeka air mata Fera,
“Keberadaannya di mana?” tanya Fandi tak sabar.“Tenang, Mas.” Roy memperlihatkan alamat yang tertera diponselnya. Di mana semua itu adalah lokasi keberadaan Lukman dan Fafa.“Ya Allah, Fafa! Kamu harus pulang, Fa!” Fandi menyeka air matanya dan mengusap dada perlahan.Tak buang waktu, Fandi dan Roy bergegas ke kota dengan mengendarai mobil masing-masing.Sesuai arahan dan info yang mereka dapat, akhirnya Fandi dan Roy serta dua mobil yang merupakan anak buah Roy sampai di sebuah kontrakan petak yang berada di pinggiran kota.Yang mana dapat ditempuh hanya dalam dua jam dari kampung.“Di sini?” tanya Fandi pada Roy.Roy menatap sang anak buah dan anak buahnya tersebut mengangguk, “kontrakan dengan cat hijau, Tuan.”Fandi pun berjalan pelan ke arah kontrakan tersebut, Roy dipintanya menunggu saja di mobil. Bukan apa, ini urusan keluarga yang rasanya tak pantas jika membuat Roy terbawa-bawa dalam masalah ini.Baru saja Fandi sampai di depan pintu, keluar seorang ibu-ibu dari kontrakan s
Indah ….Nama yang membuat Irena tersentak.Fandi yang semula hendak beranjak, kini membeku dan bergegas meraih ponsel milik Roy, “Sayang, nanti Mas jelaskan. Ini mengenai Fafa dan juga Indah, pokoknya nanti mas jelaskan.”Panggilan itu Roy langsung akhiri. Lelaki yang tahu semua yang terjadi itu. Kini memijit pelipisnya dan mencengkram lengan Fandi.“Mas, aku ini di sini sebagai wakil Mbak Irena. Kalau ternyata ….” “Mas tahu, Roy! Tapi kamu tahu sendiri yang terjadi, bukan!” bentak Fandi tak mau kalah.Keduanya pun berjalan ke arah ruangan di mana menurut petugas rumah sakit, korban kecelakaan bernama Indah sedang menjalani operasi.“Mas,” panggil Roy.“Urusan Indah biar anak buah saya saja yang urus, sekarang … ada baiknya temani Mbak Fera. Dia dan Mas Wisnu ada di kamar mayat, mengurus pemulasaraan Fafa dan calonnya,” tukas Roy.Ya, Fandi seketika lupa pada sang adik.Kakinya kembali terasa tak bertulang, hingga tubuhnya terhuyung-huyung limbung.“Fafa,” ucapnya lirih.“Ya Allah,
Wanita cantik itu berjalan pelan, dipapah sang ibu yang begitu perhatian pada anaknya. Di mana tampak Fandi yang berdiri mematung di pintu utama, hatinya bimbang ….“Assalamualaikum,” salam sosok tersebut.“Wa’alaikumsalam,” balas salam Irena pelan.“Mas, akhirnya sampai juga,” sapa Irena lembut.Lelaki itu merentangkan tangan dan memeluk Irena lekat, “Maaf, membuatmu menunggu.”Ayah dan ibu Irena memberi ruang untuk keduanya bicara.“Sholat dulu,” celetuk Irena.Fandi mengangguk pelan, lelaki itu … saat itu menjadi imam.Selesai sholat, Fandi berbalik dan memeluk Irena erat.“Kenapa? Apa ini pelukan terakhir?” seloroh Irena.Lama keduanya duduk terdiam, hingga akhirnya … Irena dan Fandi membahas hal yang terasa berat untuk keduanya.“Indah—”“Mari kita berpisah, ceraikan aku Mas. Seperti inginmu dulu. Aku ikhlas,” potong Irena tenang.Lelaki itu menangis tersedu-sedu, di saat yang sama … ayah dan ibu Irena dipanggil. Keduanya akan menjadi saksi saat Fandi mengucapkan talak.Sayangnya