Beberapa jam kemudian, Fandi sampai di kampungnya hampir tengah malam.“Den Fandi, sudah sampai Den. Bangun,” tukas sang supir.Fandi perlahan terjaga, dirinya memandang lurus ke arah rumah yang masih terpasang tenda. Di mana tetap digunakan untuk tahlilan hingga malam ke empat puluh.“Sudah sampai ya Pak. Ayo kita masuk, jangan tidur di luar. Kalau sungkan, Bapak bisa tidur di rumah saya saja,” tunjuk Fandi sopan.“Inggih, Den. Bapak istirahat di mana saja, bisa!” tanggap sang supir.Fandi pun turun, di mana pintu depan perlahan terbuka dan tampak Fera menanti kepulangan masnya itu.Mata wanita beranak dua itu berkaca-kaca. Bibirnya sudah bergetar hebat karena menahan tangis.“Mas,” ucap Fera lirih.Fandi menghampiri sang adik dan memeluknya erat. Saat itu juga, pecah tangis keduanya.Roy yang bersama Wisnu menggendong si kembar, kininturut menghampiri dan menepuk pundak iparnya tersebut.“Umi tiada karena Fafa, Mas. Karena Fafa,” adu Fera dalam isaknya.Fandi menyeka air mata Fera,
“Keberadaannya di mana?” tanya Fandi tak sabar.“Tenang, Mas.” Roy memperlihatkan alamat yang tertera diponselnya. Di mana semua itu adalah lokasi keberadaan Lukman dan Fafa.“Ya Allah, Fafa! Kamu harus pulang, Fa!” Fandi menyeka air matanya dan mengusap dada perlahan.Tak buang waktu, Fandi dan Roy bergegas ke kota dengan mengendarai mobil masing-masing.Sesuai arahan dan info yang mereka dapat, akhirnya Fandi dan Roy serta dua mobil yang merupakan anak buah Roy sampai di sebuah kontrakan petak yang berada di pinggiran kota.Yang mana dapat ditempuh hanya dalam dua jam dari kampung.“Di sini?” tanya Fandi pada Roy.Roy menatap sang anak buah dan anak buahnya tersebut mengangguk, “kontrakan dengan cat hijau, Tuan.”Fandi pun berjalan pelan ke arah kontrakan tersebut, Roy dipintanya menunggu saja di mobil. Bukan apa, ini urusan keluarga yang rasanya tak pantas jika membuat Roy terbawa-bawa dalam masalah ini.Baru saja Fandi sampai di depan pintu, keluar seorang ibu-ibu dari kontrakan s
Indah ….Nama yang membuat Irena tersentak.Fandi yang semula hendak beranjak, kini membeku dan bergegas meraih ponsel milik Roy, “Sayang, nanti Mas jelaskan. Ini mengenai Fafa dan juga Indah, pokoknya nanti mas jelaskan.”Panggilan itu Roy langsung akhiri. Lelaki yang tahu semua yang terjadi itu. Kini memijit pelipisnya dan mencengkram lengan Fandi.“Mas, aku ini di sini sebagai wakil Mbak Irena. Kalau ternyata ….” “Mas tahu, Roy! Tapi kamu tahu sendiri yang terjadi, bukan!” bentak Fandi tak mau kalah.Keduanya pun berjalan ke arah ruangan di mana menurut petugas rumah sakit, korban kecelakaan bernama Indah sedang menjalani operasi.“Mas,” panggil Roy.“Urusan Indah biar anak buah saya saja yang urus, sekarang … ada baiknya temani Mbak Fera. Dia dan Mas Wisnu ada di kamar mayat, mengurus pemulasaraan Fafa dan calonnya,” tukas Roy.Ya, Fandi seketika lupa pada sang adik.Kakinya kembali terasa tak bertulang, hingga tubuhnya terhuyung-huyung limbung.“Fafa,” ucapnya lirih.“Ya Allah,
Wanita cantik itu berjalan pelan, dipapah sang ibu yang begitu perhatian pada anaknya. Di mana tampak Fandi yang berdiri mematung di pintu utama, hatinya bimbang ….“Assalamualaikum,” salam sosok tersebut.“Wa’alaikumsalam,” balas salam Irena pelan.“Mas, akhirnya sampai juga,” sapa Irena lembut.Lelaki itu merentangkan tangan dan memeluk Irena lekat, “Maaf, membuatmu menunggu.”Ayah dan ibu Irena memberi ruang untuk keduanya bicara.“Sholat dulu,” celetuk Irena.Fandi mengangguk pelan, lelaki itu … saat itu menjadi imam.Selesai sholat, Fandi berbalik dan memeluk Irena erat.“Kenapa? Apa ini pelukan terakhir?” seloroh Irena.Lama keduanya duduk terdiam, hingga akhirnya … Irena dan Fandi membahas hal yang terasa berat untuk keduanya.“Indah—”“Mari kita berpisah, ceraikan aku Mas. Seperti inginmu dulu. Aku ikhlas,” potong Irena tenang.Lelaki itu menangis tersedu-sedu, di saat yang sama … ayah dan ibu Irena dipanggil. Keduanya akan menjadi saksi saat Fandi mengucapkan talak.Sayangnya
Pagi itu, Carlos mengantar Irena sampai ke bandara. Lelaki tampan beraksa biru tersebut melambaikan tangan sembari berteriak, “Irena, bahagialah!”***“Bahagia? Iya, aku punya Allah. Insya Allah, aku bahagia.” Begitulah kata Irena, Singapura menjadi pelabuhan terakhir hatinya. Wanita cantik itu menyenangkan dirinya dengan berlibur seorang diri dan akhirnya memilih membuka usaha di Singapura.Irena menutup mata dan telinga akan berita apa pun tentang Fandi dan Indah.Dirinya telah berdamai dengan kenyataan dan memilih ikhlas menerima takdir.Sebulan Irena di Singapura, Carlos menyusul. Hal yang membuat Irena tercengang adalah Carlos memilih bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Singapura.“Kenapa ikutan ke Singapura sih?” tanya Irena penasaran.“Hm, aku ‘kan sudah pernah bilang. Kalau aku akan menyusul kemari. Seharusnya tak perlu kau tanyakan hal itu,” jawab Carlos begitu gamblang.“Terserah dirimu, Pak Dokter. Aku tak mau kena imbas dari perbuatanmu ini,” balas Irena tak mau ta
Irena berbalik, di belakangnya sudah berdiri Dokter Carlos. Lelaki tampan yang selalu tersenyum padanya.“Aku akan kembali ke Indonesia. Rani akan menikah,” tutur Irena pelan.“Iya, aku tahu. Makanya aku menyuruhmu tetap tenang, toh ada aku.” Lelaki tampan itu meletakkan sebuah buket bunga di depan Irena.“Tumben bawa bunga segala,” celetuk Irena.“Hm, aku mendapatkannya dari seorang perawat yang mengajakku makan malam. Karena aku menolak, dirinya berkata bunga itu berikan saja pada siapa pun yang aku mau. Makanya aku memberikannya padamu,” sahut dokter tampan acuh tak acuh.Irena tersenyum, diraihnya bunga tersebut dan dihidunya, “Kau ini, sudah banyak wanita yang mendekatimu selama ini. Kenapa tak satu pun yang kau terima? Sesekali mencobalah serius, menjalin hubungan itu tak harus di awali saling cinta, perkenalan terlebih dahulu dan saling ada itu lebih baik.”“Ck, kau mengguruiku, Irena? Tak semudah yang kau katakan. Ada hal lain yang membuatku tak bisa menerima cinta dari banyak
Irena bak orang asing di kediamannya sendiri, wanita itu kerap menyendiri sekedar minum teh dan duduk di taman sembari membaca buku.Ayah dan ibunya memaklumi, begitu pun Roy juga Rani. Mereka paham, tak mudah bagi Irena untuk kembali.“Boleh disamperin gak, Auntie?” tanya Carlos tiba-tiba.Pertanyaan Carlos berhasil membuat ibu Irena berbalik dan tersenyum, “Silakan. Sepertinya hanya kamu yang bisa mencairkan suasana hati Irena.”Carlos tersenyum, lalu bergegas ke taman dan duduk di samping Irena.“Aneh! Kau sungguh tak sibuk membantu Rani,” tukas Carlos santai.“Hm, semua sudah siap kok. Bahkan kau tahu, gaun untukku saja sudah tergantung rapi di lemari. Aku mulai bosan, maukah kau menemaniku berkeliling kota?” Irena menutup buku yang dibacanya dan menatap Carlos.Yang mana lelaki tampan itu menyodorkan sekuntum bunga mawar pada Irena. “Kau ingin ke mana emangnya?” Tiba-tiba saja Carlos bertanya.“Aku ingin … ke tempat yang menurutmu indah saja. Terserah,” jawab Irena.Carlos menga
Pesta itu begitu meriah, para undangan begitu ramai dan memeriahkan acara.Para pria lajang dari pihak kerabat dan kenalan tampak merapat dan larut dalam perbincangan.“Sepertinya kau dekat dengan Irena, kenapa tak kau persunting dia saja? Sekarang dia sudah berstatus janda.”Seorang lelaki yang menjadi lawan bicara Carlos berbisik padanya. Carlos hanya menyunggingkan senyum menanggapi celotehan tersebut.“Bagaimana? Benar ‘kan apa yang kubilang. Jangan ditunda jika kau menginginkannya.” Sosok itu, sepupu Irena. Wendy namanya, tengah menepuk bahu Carlos yang lebar.Setelah berkata demikian, Wendy berjalan menuju ke arah para pria lajang lainnya yang hadir di pernikahan Rani tersebut.Carlos sendiri tengah menggoyangkan gelas kaca yang hanya terisi jus saja.Lelaki tampan itu tak meminum minuman keras, selain demi kesehatan … dirinya tengah bertekad mencoba menjadi seperti Irena.Senyumnya tipis, lalu melangkah ke arah Irena yang duduk di kursi sembari menoleh ke belakang, di mana seor
Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula
Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug
“Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”
Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit
Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih
“Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su
Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga
Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per