Irena berbalik, di belakangnya sudah berdiri Dokter Carlos. Lelaki tampan yang selalu tersenyum padanya.“Aku akan kembali ke Indonesia. Rani akan menikah,” tutur Irena pelan.“Iya, aku tahu. Makanya aku menyuruhmu tetap tenang, toh ada aku.” Lelaki tampan itu meletakkan sebuah buket bunga di depan Irena.“Tumben bawa bunga segala,” celetuk Irena.“Hm, aku mendapatkannya dari seorang perawat yang mengajakku makan malam. Karena aku menolak, dirinya berkata bunga itu berikan saja pada siapa pun yang aku mau. Makanya aku memberikannya padamu,” sahut dokter tampan acuh tak acuh.Irena tersenyum, diraihnya bunga tersebut dan dihidunya, “Kau ini, sudah banyak wanita yang mendekatimu selama ini. Kenapa tak satu pun yang kau terima? Sesekali mencobalah serius, menjalin hubungan itu tak harus di awali saling cinta, perkenalan terlebih dahulu dan saling ada itu lebih baik.”“Ck, kau mengguruiku, Irena? Tak semudah yang kau katakan. Ada hal lain yang membuatku tak bisa menerima cinta dari banyak
Irena bak orang asing di kediamannya sendiri, wanita itu kerap menyendiri sekedar minum teh dan duduk di taman sembari membaca buku.Ayah dan ibunya memaklumi, begitu pun Roy juga Rani. Mereka paham, tak mudah bagi Irena untuk kembali.“Boleh disamperin gak, Auntie?” tanya Carlos tiba-tiba.Pertanyaan Carlos berhasil membuat ibu Irena berbalik dan tersenyum, “Silakan. Sepertinya hanya kamu yang bisa mencairkan suasana hati Irena.”Carlos tersenyum, lalu bergegas ke taman dan duduk di samping Irena.“Aneh! Kau sungguh tak sibuk membantu Rani,” tukas Carlos santai.“Hm, semua sudah siap kok. Bahkan kau tahu, gaun untukku saja sudah tergantung rapi di lemari. Aku mulai bosan, maukah kau menemaniku berkeliling kota?” Irena menutup buku yang dibacanya dan menatap Carlos.Yang mana lelaki tampan itu menyodorkan sekuntum bunga mawar pada Irena. “Kau ingin ke mana emangnya?” Tiba-tiba saja Carlos bertanya.“Aku ingin … ke tempat yang menurutmu indah saja. Terserah,” jawab Irena.Carlos menga
Pesta itu begitu meriah, para undangan begitu ramai dan memeriahkan acara.Para pria lajang dari pihak kerabat dan kenalan tampak merapat dan larut dalam perbincangan.“Sepertinya kau dekat dengan Irena, kenapa tak kau persunting dia saja? Sekarang dia sudah berstatus janda.”Seorang lelaki yang menjadi lawan bicara Carlos berbisik padanya. Carlos hanya menyunggingkan senyum menanggapi celotehan tersebut.“Bagaimana? Benar ‘kan apa yang kubilang. Jangan ditunda jika kau menginginkannya.” Sosok itu, sepupu Irena. Wendy namanya, tengah menepuk bahu Carlos yang lebar.Setelah berkata demikian, Wendy berjalan menuju ke arah para pria lajang lainnya yang hadir di pernikahan Rani tersebut.Carlos sendiri tengah menggoyangkan gelas kaca yang hanya terisi jus saja.Lelaki tampan itu tak meminum minuman keras, selain demi kesehatan … dirinya tengah bertekad mencoba menjadi seperti Irena.Senyumnya tipis, lalu melangkah ke arah Irena yang duduk di kursi sembari menoleh ke belakang, di mana seor
Beberapa jam kemudian, Roy datang dan langsung masuk ke rumah tersebut.Brugh!Satu pukulan tepat mengenai pipi Fandi. “Kenapa, Mas? Kau menyesal sekarang?”Fandi tertawa, meski sekedar mengelap cairan merah di ujung bibirnya pun kesusahan.Beberapa saat kemudian, seorang pria dengan pakaian putih layaknya seorang dokter masuk ke kamar tersebut dan menyuntikkan sesuatu pada Fandi.Lelaki itu memang berubah tenang dan kemudian terlelap di peraduannya yang dingin.“Pak Roy, bisa saya bicara dengan Anda sebentar?” Dokter itu berdiri tepat di depan Roy dan Fera.Roy menyanggupi pinta sang dokter. Keduanya berbicara empat mata dekat mobil yang tak jauh terparkir dari rumah itu.Tak lama memang, lalu Roy melambaikan tangan pada Musda. Wanita yang berjilbab itu mendekat.Sejurus kemudian kembali ke rumah dan merangkul Fera. Di mana Wisnu mengikuti dari belakang.“Mbak, Pak Dokter ingin bicara mengenai kesehatan Mas Fandi,” ujar Roy.“Maaf, saya gak bisa bicara dekat pasien. Takutnya hanya me
“Apa sih yang gak untuk kamu, Irena.” Lelaki tampan itu mengerlingkan matanya pada Irena yang membuang muka karena malu.Sepanjang jalan, Irena dan Carlos berbincang banyak hal.Bukan, sebenarnya Carlos-lah yang banyak bicara dan Irena menjadi pendengar. Paling hanya sepatah dua patah kata saja yang keluar dari mulut Irena.Wanita itu, merasa tak pantas terus berada dekat dengan pria sempurna di matanya.‘Kau terus berkata menyukaiku, menginginkanku. Mungkin saja kau menerima aku yang tak sempurna sebagai wanita ini, tapi keluargamu? Apa mereka bisa menerima kekuranganku,’ batin Irena menjerit.Irena lalu menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, “Ya Allah, hamba berserah pada-Mu.”*Pagi itu hujan rintik-rintik, Irena berdiri sembari memandang keluar. Di mana tampak Carlos yang turun dari mobilnya.“Good morning, Uncle.” Carlos menyapa, dirinya bahkan duduk di dekat ayah Irena yang tengah membaca koran.Kebiasaan lama yang tak mau ditinggalkan ayah Irena tersebut.“Dia datang pagi
Indah memejamkan matanya, dirinya mengingat kembali satu kejadian yang tak mengenakan hati.Tangannya sampai gemetar dan bulir bening tampak menetes kala dirinya bersiap mengatakan semuanya.Irena sendiri menatap lekat pada Indah, entah mengapa … nalurinya mengatakan jika hal ini patut dirinya ketahui.Bukan karena rasa cintanya pada Fandi, tetapi … apa yang sudah terjadi selama dirinya tak berada di dekat lelaki itu.Kenapa dia goyah bahkan pergi meninggalkan satu keputusan yang susah payah Irena terima.“Tenangkan dirimu, Indah. Tak apa, saya tak akan memaksamu jika itu suatu hal yang berat diungkap,” tekan Irena.Indah membuka matanya, satu tangannya menyeka air mata yang keluar tanpa ijin dan rasa inginnya itu.“Insya Allah tak berat Mbak. Saya hanya mencoba mengingat semuanya. Tak ingin ada yang terlewat.” Indah mencoba tersenyum, meyakinkan Irena.“Mbak, demi Allah saya sudah tak ingin mengusik hidup Mbak lagi. Saya sudah ikhlas akan semua yang terjadi pada saya. Sepeninggalnya
“Jangan melamun, gak baik.” Carlos menepuk bahu Irena.Saat itu, keduanya tengah duduk di taman yang ada di rumah besar nan megah orang tua Irena. Tepat di depan kolam ikan mahal milik ayah sang wanita yang dipuja Carlos.Irena tersenyum, pandangannya kembali ke arah kolam ikan tersebut.“Apa kau memikirkan wanita di panti itu, atau … mantan suamimu?” Carlos menelisik, rasa penasaran yang membuatnya tak mau sembarang menduga-duga.Irena lalu menatap Aksa biru Carlos, “Aku memikirkan kisahnya, menyayangkan akhir kisah dari cinta buta yang menggebu-gebu. Aku akui dulu pernah naif meminta untuk menunggu, tetapi aku sadar … memang jalan yang Allah tetapkan lebih baik daripada sekedar rencana dan angan-angan yang kita buat sedemikian rupa,” jawab Irena tegas.Carlos tersenyum, “Aku selalu takjub karenamu. Oya, Irena … apa aku boleh berguru padamu?” “Berguru apa?” tanya Irena.Carlos menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, “Aku … aku ingin berguru tentang agamamu.”Irena memandang Carlos
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per