Share

PTSI 22

Penulis: Agoes Tie Nae 2
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Mas!” Fandi yang baru saja mengerjap.

Gegas mencari asal suara, di mana suara itu adalah suara lembut sang istri.

Ya, hari sudah pagi dan Irena berbaring di ranjang yang sama dengan Fandi, sembari memeluk erat lelaki pujaan hatinya.

“Ya Allah, Yang. Maafkan Mas!” Fandi kembali meminta maaf pada sang istri.

Apa yang dia lakukan selama ini, ternyata begitu menyakiti hati sang istri.

Ah, Fandi ingin menghujam belati ke dadanya sendiri, andai dengan begitu bisa merubah semua ke saat bahagia mereka. Sebelum dirinya merasa bosan, kerap kesal dengan sikap Irena, kerap tersinggung dengan perlakuan dan ucapan keluarga besar Irena, kerap berpikir negatif atas semua masukan dan perkataan keluarga Irena … terutama ayah dan ibu Irena.

“Mas, ayo sholat subuh bareng. Semalam rasanya Irena sholat gak khusyu tanpa Mas yang jadi imam.” Irena menatap penuh rindu wajah tampan yang kini mulai ditumbuhi jambang tipis.

“Maaf,” ucap Fandi lirih.

“Apaan sih? Ayo, bangun! Di rumah ini hanya kita yang sholat.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 23

    “Bismillahirrahmanirrahim.” Wanita itu meneguk obat yang biasa dia minum rutin.“Sudah? Ayo!” Fandi meraih tangan sang istri dan keduanya sholat malam. Di pertiga malam, sepasang suami istri memanjatkan doa. “Ya Allah, angkatlah penyakit istri hamba.” Irena menitikkan air mata kala mendengar untaian doa dan harap sang suami untuk kesembuhan dirinya.***Suara mobil terdengar di depan rumah Irena dan Fandi di pagi hari. Masih berkabut dan sempat gerimis kala subuh. Membuat Fandi dan Irena kembali masuk ke dalam selimut dan memilih berbincang banyak hal.“Siapa ya?” Fandi beranjak.Disingkapnya tirai dan terlihat ayah mertuanya yang menurunkan banyak barang bersama Roy dan Rani di mobil berikutnya.“Sayang, Ayah dan Mamah ….” Belum selesai Fandi bicara, Irena turun dari ranjang dan menghela napas berulang kali.“Bismillahirrahmanirrahim, Mamah pasti mengerti alasan Irena menunda ke Jerman. Tenang saja Mas,” tukas Irena.Seolah mengerti kegundahan hati sang suami, Irena mengusap leng

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 24

    “Indah, dia sekarang tinggal di panti asuhan kembali.” Rani berkata pelan, takut jika iparnya mendengar dan Irena kembali terluka.Perkiraan Rani, Irena akan meledak dan meminta sang adik berbuat sesuatu agar Indah keluar dari tempat itu.Seperti yang dilakukannya dan Roy, mereka berdua berhasil membuat Indah merasa apa yang namanya sakit, terhina, dan juga tak dianggap berharga.Rani sempat tak setuju kala Irena meminta ibu mereka untuk mencari tahu panti asuhan di mana sang pengurus sudah tiada.Ternyata, setelah kepergian sang pengurus ke pangkuan Ilahi. Panti asuhan itu terombang-ambing, terlantar tanpa ada orang dewasa yang mengambil tanggung jawab.Melihat itu, Irena langsung mengambil tindakan.Semula, Rani mengira tindakan Irena adalah wujud kekuasaannya pada Indah. Bahwa Irena bisa menguasai apa saja yang dia mau, dan hal itu belum tentu bisa dimiliki oleh Indah.Kini, Rani paham maksud dan tujuan sang kakak mengambil alih tempat yang tak berarti bagi mereka.Bukan karena iri

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 25

    Hari itu, dua keluarga bertamasya di pinggir telaga. Suara tawa dan keakraban dua keluarga begitu riuh ramai terdengar.Fafa yang akrab dengan Rani, kini terus berfoto ria demi mengisi laman medsosnya.Roy malah sibuk dengan Wisnu, menyusuri tempat sekitar yang tampaknya bagus untuk peluang bisnis.Tak hanya itu, mata Roy juga jelalatan kala melihat wanita cantik yang masih kerap mengenakan kemban dan kain panjang.Kebetulan telaga itu berada di kampung yang masih asri, bahkan mereka harus melewati jalan memutar agar bisa membawa mobil ke telaga, jika menggunakan jalur Fandi dan Irena lewati, tak ayal mobil harus berhenti di jalan besar yang jauh dari telaga.Fandi tak pernah sedikit pun jauh dari sang istri, bahkan Fandi selalu siaga menjaga Irena. Obat anti nyeri selalu dia bawa, begitu pun obat-obatan herbal yang kini diminum rutin Irena. Hal itu juga yang membuat Irena jarang merasa nyeri. Sesekali terasa, tapi tak semenyakitkan awal ketahuan. Entahlah, itu anggapan Fandi. Semuan

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 26

    “Yang, kamu kenapa? Kok lama sekali di kamar mandinya?” Fandi mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Saat itu tak ada jawaban dari Irena.Membuat Fandi panik dan memilih mendobrak pintu tersebut.“Astaghfirullah, Irena!” ***Tangis bayi terdengar memenuhi suara ruangan. Irena beranjak dan begitu bahagia kala suster menyerahkan bayi mungil berbalut kain itu padanya.Sejurus kemudian, Fandi masuk ke dalam ruangan dan tersenyum pada Irena.Dipeluknya tubuh Irena yang mendekap bayi.“Irena, sadarlah Sayang.” Seiring suara itu, Irena melihat bayi di tangannya menghilang.“Mas, anak kita mana?” “Mas!” Deg ….“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Istriku sudah sadar,” ucap syukur Fandi.Irena mengerjap berkali-kali, dirinya masih tak begitu dapat mencerna kata-kata yang diucapkan dokter juga perawat. Dia hanya mengangguk dan menggapai tangan Fandi sembari berkata, “Mas, jangan tinggalkan aku.”Irena baru sadar, ternyata memeluk bayi tadi hanya sekedar mimpi. Bunga tidur yang tak akan

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 27

    “Gak apa-apa ini, Yang?” Fandi terus bertanya hal yang sama.Kali ini di pagi yang cerah, kala supermarket baru saja buka … Irena sudah mengajak si Mbok dan Fandi belanja untuk buah tangan pada anak-anak di panti asuhan.“Ya gak apa-apa, Mas. Gak mungkin kita datang cuma tangan kosong. Kita itu akan berhadapan dengan anak-anak yang memang mendapat hadiah adalah kebahagiaan tersendiri bagi mereka.” Irena begitu bersemangat, tangannya tak henti meraih ini dan itu di etalase hingga dua troli belanja penuh berisi cemilan dan segala macam cokelat hingga mainan lucu.Si Mbok dan Pak Yanto, supir mereka ikut ke panti. Seiring mobil berhenti, keduanya turun membawa barang yang begitu banyak ke panti, di mana para anak-anak berwajah polos dan kurang beruntung itu sudah menunggu kedatangan mereka.Fandi menggenggam erat tangan Irena, kala netranya menangkap sosok wanita yang dulu pernah digila1nya.“Yang,” ucap Fandi lirih.Irena tetap menatap ke depan dan tersenyum. Semula, anak-anak panti lan

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 28

    Hari itu, Irena sekeluarga berangkat ke Jerman, tentu saja Fandi ikut serta. Wajah Irena yang pucat pasi, selalu berada dalam dekapan Fandi. Ayah dan ibu Irena sampai menitikkan air mata melihat sepasang sejoli yang entah akan bagaimana kisah mereka ke depannya.Sepanjangan perjalanan, Fandi dan Irena hanya terus diam dan saling memandang. Meski Irena berada dalam dekapan Fandi.***Sebuah rumah mewah menjadi tempat tinggal mereka sementara di Jerman, tak begitu jauh dari Rumah Sakit Helios. Yang mana menjadi rumah sakit tempat Irena akan melanjutkan pengobatan.Roy dan Rani hanya berada dua hari di Jerman, sebab keduanya memiliki rutinitas di Indonesia yang tak bisa lama ditinggal.Rani yang mulai turut berkecimpung di bisnis sang ayah, serta Roy yang fokus mengurus perusahaan milik sang kakak yang kini berkembang pesat.Tiga hari setelah berada di Jerman, Irena dan Fandi ditemani kedua orang tua Irena mendatangi rumah sakit tersebut setelah tentunya membuat jam temu.“Halo Irena, s

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 29

    Irena menarik tangan Fandi, lelaki itu sudah beberapa hari ini tampak tak tenang.“Mas, istighfar.” Irena berkata sembari mengusap punggung tangan sang suami.“Astaghfirullahaladzim,” ucap Fandi pelan.Irena tersenyum, hari ini mereka akan kembali ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan terakhir kali sebelum operasi pengangkatan rahim dilakukan.“Mas, tenanglah untukku kali ini. Kumohon, Mas.” Irena merebahkan kepalanya di dada bidang Fandi.Lelaki itu mengangguk dan mengecup kening Irena.Irena sendiri memejamkan mata, di mana kata-kata Dokter Carlos terus terngiang-ngiang di ingatannya.Bagaimana tidak, hari itu hari di mana Irena dan keluarga mendengar diagnosa akhir dari penyakitnya. Irena ingat benar, wajah Dokter Carlos yang tampak serius dan menatap mereka satu per satu. Hingga lama netra itu menatap ke arah Irena.“Irena, sebagai seorang dokter. Saya tak suka bertele-tele. Kanker ini sudah harus mendapatkan penangan khusus dan segera. Saya tak menyarankan kemo atau pengoba

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    PTSI 30

    Fandi benar-benar pergi, membawa kegalauan yang tak berperi. Baik di sisi wanita yang dicintainya, atau sang ibu … wanita yang sudah melahirkan, membesarkan, hingga membuatnya menjadi seorang Fandi seperti sekarang.“Huft, kenapa semua kacau seperti ini?” gumamnya.Saat itu lelaki yang masih berstatus suami Irena tersebut, duduk menunggu waktu keberangkatannya.Ditatapnya foto dan beberapa pesan dari sang adik yang menyampaikan jika sang ibu akan dikebumikan tak lama lagi.“Aku harus pulang, aku harus menyelesaikan masalah ini semua. Baru kembali pada Irena. Aku yakin, istriku pasti akan mengerti,” gumamnya sekali lagi.Lelaki tampan itu lalu beranjak kala pesawat yang ditumpanginya akan berangkat sebentar lagi.“Sayang, mas pasti kembali.”***Di rumah sakit, orang tua Irena masih setia menunggu sang anak. Operasi itu berjalan lumayan memakan waktu. Kedua orang tua Irena itu duduk dengan tak tenang hati. “Yah, bagaimana nasib anak kita?” Ibu Irena menangis tersedu-sedu, dirinya t

Bab terbaru

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    46

    Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri     45. Pengabdian Terakhir Irena Pada Fandi.

    Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    44

    Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per

DMCA.com Protection Status