“Mas!” Irena berjalan pelan menuju kebun yang kini digarap Fandi.“Pelan-pelan! Nanti jatuh!” pekik sang suami.Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya demi menjemput sang istri yang tengah berjalan ke arahnya.“Is, bisa kok!” Irena kini digandeng Fandi menuju saung kecil tempat di mana dirinya biasa beristirahat.“Masak apa?” Fandi bertanya saking penasaran, karena sang istri setiap hari membawakan bekal makan siang dengan menu berbeda tetapi tetap sederhana.“Ikan goreng dan sambel terasi, ada lalapan juga. Sayurnya sayur bening. Tadi si tukang sayur keliling sudah kehabisan ikan dan sayurnya juga yang ada di kebun malah. Jadi beli ikan sama bumbu doank. Tapi enak kok Mas,” jabar Irena riang.“Tentu saja enak,” timpal Fandi.Ya, inilah hidup yang mereka jalani selama dua Minggu ini.Tak terasa memang, tetapi selama dua Minggu di kampung halaman Fandi, Irena merasa hubungan keduanya semakin membaik. Dari kehidupan sederhana, Irena mulai bisa menerima sisi lain dalam diri Fandi.Irena m
“Ap—apa?” Indah saat itu tahu diri, gegas dirinya bergeser dan melangkah menuju kamar mayat untuk mengurus kepulangan jasad dari ibu panti.Indah menghela napas, sebenarnya dia merasa lelah dengan hidup yang tak pernah adil untuknya.Sedari kecil tak memiliki orang tua dan tak mendapat perhatian. Hingga rasa nyaman didapatnya dari lelaki yang bernama Fandi. Rasa peduli yang begitu sarat akan kasih sayang itu membuatnya terbuai meski belakangan Indah tahu jika Fandi bukan seorang pria lajang.Demi bisa mendapatkan limpahan kasih sayang, berbalut dosa atas nama cinta itu … Indah menutup mata akan kenyataan yang ada. Wanita itu memejamkan mata kala mayat ibu panti mulai dimasukkan ke dalam ambulance. Dadanya bergemuruh saat itu, harusnya saat seperti ini Indah bisa bersandar pada seseorang.Fandi tepatnya, sayang … lelaki itu tak merespon banyaknya pesan yang dia kirim meski menggunakan nomor baru.“Ya Allah, semua mulai dari awal.” Indah menangis tersedu-sedu.Semua tak adil menurutn
Roy tersenyum, dirinya mengikuti langkah wanita paruh baya yang siap memergoki suaminya bermain api dengan wanita muda.Wanita muda yang tak lain dan tak bukan adalah Indah.Dari jauh Roy melihat, anak buahnya menyusul ke arah dirinya berada.“Sudah siap, Tuan. Bisa disaksikan dari mobil saja.” Anak buahnya itu mempersilakan Roy berjalan terlebih dahulu. Di tangan sang bawahan, sebuah tab yang menayangkan apa saja yang terjadi di dalam sana.Ya, Roy memasang sebuah kamera mikro di tas wanita tadi.Senyumnya merekah kala melihat Indah diserang secara brutal oleh wanita paruh baya itu. Dalam keadaan Bu gil, suaminya sibuk membenah diri dan berlutut di kaki sang istri. Sedang istrinya membuat wanita tak tahu diri itu terkapar dengan rambut yang acak-acakan serta tampak tercabut karena jam bakan.“Dasar j4lang, berani-beraninya kau main api dengan suamiku. Kau tahu, perusahaan itu milikku dan oh … lihat semua fasilitas ini, ini semua punyaku. Kau bahkan tak pantas mengenakan ling3rie in
“Pelan-pelan jalannya. Agak licin dan berbatu. Ya begini jalan di kampung, Nak Mantu. Biasakan aja ya.” Ibu mertua Irena menggenggam erat tangan Irena agar tak jatuh.Di belakang ada Fera dan Fafa, keduanya menggendong anak kembar Fera. Meski sepanjang jalan Fafa menggerutu karena susah untuk membalas pesan dari kekasihnya.“Sini, sama saya saja.” Irena hendak menggendong Naya, adiknya Nayla. Anak kembar Fera.“Gak usah Mbak, biar Fafa aja. Ini sengaja ngambekan biar dapat jatah jajan lagi dari Mbak Fera, masa’ Mbak Irena terus yang ngasih jajan.” Fafa melirik Fera yang siap mencubit pipinya.“Kerja makanya, gunain tuh gelarmu yang banyak ‘S’-nya itu. Lulus kok bukannya cari kerja malah pacaran aja Mulu,” gerutu Fera.Irena hanya bisa tersenyum mendengar Fera dan Fafa saling sahut.“Sudah, biarin aja mereka,” bisik ibu mertuanya.Pengajian itu dihadiri oleh hampir ibu-ibu di kampung, mereka ada yang sambil menyuap anak makan, ada yang menyusu1, ada yang menenangkan anak yang rewel dan
“Irena Sayang, apa yang terjadi sebenarnya?” Fandi tak mampu melanjutkan perjalanan. Tangannya gemetar kala mengetahui misteri dari obat yang terus-menerus dikonsumsi Irena selama ini. “Bod0h! Aku sungguh suami yang bod0h! Bagaimana bisa selama ini aku tak tahu jika istriku sakit, mengapa aku tak tahu? Bod0hnya aku malah selingkuh dan apa ini … alasan Irena minta waktu bersama selama tiga bulan? Ya Allah ….” Fandi memukul-mukul dadanya, seolah semua yang mengganjal di hati dapat hilang begitu saja.Fandi tak peduli, jika sekarang banyak pasang mata yang menatapnya heran karena menangis di samping mobilnya.“Aku … aku akan ke Mamah dan Ayah. Memastikan ini, oh tidak … aku harus langsung ke rumah sakit ini. Iya, aku harus ke rumah sakit ini dulu.” Disekanya air mata dan Fandi bergegas meluncur dengan roda empatnya menuju di mana kota tempat dirinya dan istri tinggal selama ini.*“Mas Fandi belum pulang? Ini sudah sore dan kenapa ponselnya tak bisa dihubungi, ke mana dia?” Irena tamp
“Mas!” Fandi yang baru saja mengerjap.Gegas mencari asal suara, di mana suara itu adalah suara lembut sang istri.Ya, hari sudah pagi dan Irena berbaring di ranjang yang sama dengan Fandi, sembari memeluk erat lelaki pujaan hatinya.“Ya Allah, Yang. Maafkan Mas!” Fandi kembali meminta maaf pada sang istri.Apa yang dia lakukan selama ini, ternyata begitu menyakiti hati sang istri.Ah, Fandi ingin menghujam belati ke dadanya sendiri, andai dengan begitu bisa merubah semua ke saat bahagia mereka. Sebelum dirinya merasa bosan, kerap kesal dengan sikap Irena, kerap tersinggung dengan perlakuan dan ucapan keluarga besar Irena, kerap berpikir negatif atas semua masukan dan perkataan keluarga Irena … terutama ayah dan ibu Irena.“Mas, ayo sholat subuh bareng. Semalam rasanya Irena sholat gak khusyu tanpa Mas yang jadi imam.” Irena menatap penuh rindu wajah tampan yang kini mulai ditumbuhi jambang tipis.“Maaf,” ucap Fandi lirih.“Apaan sih? Ayo, bangun! Di rumah ini hanya kita yang sholat.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Wanita itu meneguk obat yang biasa dia minum rutin.“Sudah? Ayo!” Fandi meraih tangan sang istri dan keduanya sholat malam. Di pertiga malam, sepasang suami istri memanjatkan doa. “Ya Allah, angkatlah penyakit istri hamba.” Irena menitikkan air mata kala mendengar untaian doa dan harap sang suami untuk kesembuhan dirinya.***Suara mobil terdengar di depan rumah Irena dan Fandi di pagi hari. Masih berkabut dan sempat gerimis kala subuh. Membuat Fandi dan Irena kembali masuk ke dalam selimut dan memilih berbincang banyak hal.“Siapa ya?” Fandi beranjak.Disingkapnya tirai dan terlihat ayah mertuanya yang menurunkan banyak barang bersama Roy dan Rani di mobil berikutnya.“Sayang, Ayah dan Mamah ….” Belum selesai Fandi bicara, Irena turun dari ranjang dan menghela napas berulang kali.“Bismillahirrahmanirrahim, Mamah pasti mengerti alasan Irena menunda ke Jerman. Tenang saja Mas,” tukas Irena.Seolah mengerti kegundahan hati sang suami, Irena mengusap leng
“Indah, dia sekarang tinggal di panti asuhan kembali.” Rani berkata pelan, takut jika iparnya mendengar dan Irena kembali terluka.Perkiraan Rani, Irena akan meledak dan meminta sang adik berbuat sesuatu agar Indah keluar dari tempat itu.Seperti yang dilakukannya dan Roy, mereka berdua berhasil membuat Indah merasa apa yang namanya sakit, terhina, dan juga tak dianggap berharga.Rani sempat tak setuju kala Irena meminta ibu mereka untuk mencari tahu panti asuhan di mana sang pengurus sudah tiada.Ternyata, setelah kepergian sang pengurus ke pangkuan Ilahi. Panti asuhan itu terombang-ambing, terlantar tanpa ada orang dewasa yang mengambil tanggung jawab.Melihat itu, Irena langsung mengambil tindakan.Semula, Rani mengira tindakan Irena adalah wujud kekuasaannya pada Indah. Bahwa Irena bisa menguasai apa saja yang dia mau, dan hal itu belum tentu bisa dimiliki oleh Indah.Kini, Rani paham maksud dan tujuan sang kakak mengambil alih tempat yang tak berarti bagi mereka.Bukan karena iri