Angkara murka akan selalu ada selagi manusia masih diberikan oleh Tuhan kekuatan untuk bernafas. Ini adalah sebuah kisah perjalanan menemukan jati diri, bukan hanya peperangan, tapi lebih dari itu. Ini adalah kisah percintaan sejati, antara menaruhkan kebaikan atau ego. Ini adalah kisah pendekar pilih tanding yang akan menyelamatkan dunia.
Lihat lebih banyakTiga pegunungan yang dikenal dengan sebutan Gunung Tiga Maut itu membangun sebuah lembah mematikan. Dari ketiga gunung tersebut mengalirlah dua sungai, yang pada akhirnya mengalir menjadi satu.
Dua sungai tersebut mengalir dari celah-celah Gunung Tiga Maut. Sungai yang mengalir dari celah selatan airnya sangat dingin. Sedang sungai yang mengalir dari celah barat airnya sedikit hangat. Dua sungai itulah yang disebut dengan Sungai Keabadian.
Tidak mudah untuk sampai pada Sungai Keabadian. Jebakan-jebakan yang berasal dari alam, atau jebakan-jebakan yang berasal dari manusia selalu menunggu setiap saat. Mengintai dari balik-balik semak. Jalan setapak pun tidak tampak sebab satu tahun sekali belum tentu ada manusia yang melaluinya.
Apakah tidak ada yang berminat? Bukan masalah minat atau tidak minat. Tapi mereka lebih dahulu gagal sebelum memasuki kawasan Gunung Tiga Maut yang sebenarnya. Jadilah jalan setapak tidak terbentuk.
Ketika matahari hampir tumbang, sinarnya yang kemerah-merahan meredup, berjalanlah seorang pemuda dengan pakaian serba hitam. Rambutnya tergerai angin tidak beraturan. Keringat membasahi tubuh.
Matanya berkunang-kunang, wajahnya menafan lelah. Hampir empat belas hari dia menaiki Gunung Tiga Maut, belum sampai juga pada lembahnya.
“Aku harus menguatkan tekat,” kata lelaki itu kepada dirinya sendiri.
Tangan pemuda itu meraih akar pohon yang melingkari batu besar, dia berusaha menaiki pegunungan yang terjal. Ah, ternya akar pohon itu tidak terlalu kuat untuk menahan dirinya. Akar itu lepas dari bebatuan.
Buk...
“Aduh...,” seru pemuda itu. Tubuhnya terjatuh menimpa bebatuan di bawah tebing.
Belum hilang rasa sakit yang dia rasa sebab menimpa bebatuan, dari arah atas terjun bebas sebuah batu seukuran kepala. Dengan sisa tenaga yang ada dan dengan menahan rasa sakit pemuda itu berusaha menghindar.
Bruk...
Meski dia cepat menghindar, tapi tangan kanannya tetap tertimpa batu seukuran kepala itu.
“Aduh..,” dia mengaduh untuk yang kedua kalinya.
“Pantas saja tidak banyak manusia yang berhasil sampai di puncak Gunung Tiga Maut. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja.”
Pemuda itu kembali bangkit, meraih akar-akar pohon yang melilit batu, menaiki tebing terjal. “Apakah tidak ada jalan yang lebih buruk dari ini?” kata pemuda itu kepada dirinya sendiri.
Tangan kanannya meraih akar yang melilit batu padas, sedang tangan kirinya meraih sebuah dahan pohoh seukuran kaki orang dewasa. Hampir saja dia kembali terjatuh sebab tangan kirinya yang ragu-ragu berpegangan.
“Syukurlah,” katanya pada diri sendiri. Kakinya berpijak pada batu padas. Keringat dingin kembali mengucur dari sekujur tubuhnya.
Masih butuh dua ratus meter lagi pendakian hingga akhirnya sampai di puncak Gunung Tiga Maut. Semakin ke atas, tebing semakin terjal. Bahkan semakin ke atas, akar-akar tumbuhan semakin hilang, menyisakan bebatuan padas berlubang kecil. Lereng juga semakin tegak. Lengah satu kali saja maka akan terjatuh. Entah apa yang menunggu di bawah sana.
Tinggi lereng keseluruhan hampir enam ratus meter. Dan sekarang, pemuda itu telah menaiki lereng hingga ketinggian empat ratus meter.
“Nah, syukurlah! Di atas sana ada terasering yang bisa aku gunakan untuk istirahat malam ini.” Matanya menatap cerah selapang tanah yang berukuran tiga meter lebih, di atas sana. Dia kembali semangat mengais dan mengais akar-akar tanaman. Beberapa kali ia terpaksa mengais batu yang menempel pada lereng gunung, sebab tidak ada akar terdekat yang bisa ia gunakan. Ia semakin dekat dengan tempat peristirahatan untuk malam ini.
Matahari telah sempurna hilang. Awan kemerah-merahan beranjak pergi digantikan awan hitam keabu-abuan. Pemuda itu belum kunjung sampai juga di terasing untuk bermalam.
Tangan kiri pemuda itu meraih sebuah akar yang melilit batu seukuran kepala. Tangan kanannya berusaha meraih akar pohon di atasnya. “Nah, semoga saja sampai.”
Tapi ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Ketika tangan kanannya satu senti dari akar pohon di atasnya, sebuah anak panah melesat menyasar tangan kanan pemuda tersebut. “Keparat. Apakah ada manusia di alam seperti ini?” Tangan kanan pemuda itu sekarang berpegangan pada akar yang sama dengan tangan kiri. Kakinya memijak batu seadanya.
Matanya memandang kiri-kanan, dari asal muasal anak panah. Tidak ada siapa-siapa. “Ah, paling itu adalah anak panah pemburu yang tengah membidik sembarangan.” batin dia.
Tangan kanannya kembali berusaha meraih akar pohon semula. Tapi ketika tangannya satu senti dari akar tersebut, tiba-tiba anak panah kembali menyasar, membidik tangannya.
Matanya menatap tajam asal anak panah. “Hai, siapa saja kau, keluarlah! Jangan jadi pengecut.” Pemuda itu berteriak marah.
Tidak ada jawaban. Lengang. Bahkan suara angin sekalipun tidak terdengar.
Dia harus segera naik. Satu, sebab akar pohon itu tidak mampu menahan tubuhnya lebih lama lagi. Dua, hari semakin gelap. Pendakian tebing ini tidak akan bisa berlanjut jika gelap menyelimuti. Alhasil, apapun akibatnya pemuda itu harus segera naik. Entah anak panah itu kembali datang atau tidak.
Perlahan tangan kanannya kembali meraih dahan pohon seukuran tangan orang dewasa. Sepertinya kali ini aman, tidak ada anak panah yang kembali menyasar tangannya. Tubuh pemuda itu kembali naik satu meter.
Kakinya berpijak pada dahan pohon yang sekiranya mampu menahan berat tubuhnya. Tangan kirinya meraih dahan yang tidak jauh dari kepalanya, berhasil.
Tangan kanannya kembali meraih batu yang setengah terkubur di lereng pegunungan, sedikit kesulitan, batu itu setengah besar. Tangan kirinya buru-buru meraih akar yang melilit batu, kakinya terangkat menopang tubuhnya untuk naik. Berhasil. Tubuhnya kembali naik satu meter.
Sampai beberapa saat akhirnya pemuda itu berhasil naik sampai tanah terasering. Wajahnya tersenyum bangga. “Ah, tidak akan ada yang bisa menghalangiku lagi.”
Salah, ternyata pemuda itu sangat salah. Sebuah anak panah kembali melesat, menyasar tangan kanannya.
Wush...
Syukurlah, setidaknya telinganya masih bisa mendengar desingan anak panah itu. Dengan sigap tangannya bergerak naik. Anak panah itu mengenai sebuah dahan pohon menancap di sana. Belum sempat tangannya turun, sebuah anak panah kembali mendesing menyasar lehernya.
Wush...
Kali ini dia terpaksa mengayunkan tubuhnya ke belakang, meliuk seperti karet terbakar panasnya api. Itu semua belum selesai. Dua anak panah kembali mendesing bersamaan, menyasar kaki dan kepalanya. Ah, kali ini pemuda itu terbang ke atas. Tubuhnya salto bebas.
Belum sampai tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba belasan batu seukuran kepalan tangan beterbangan menyerang dirinya. Nyiur angin dingin bertiup. Dengan susah payah pemuda itu menghindar. Sesekali dia harus menggunakan ajian peringan tubuh, meski itu sangat menguras energinya.
Wush...
Sebuah anak panah kembali menyasar perutnya. Dengan mudah pemuda itu bisa menghindar.
Dari arah tidak begitu jauh, dari bawah sebuah pohon beringin, terdengar suara tepuk tangan beberapa kali. Plok... plok... plok... terdengar berjeda dua detik dari masing-masing tepukan.
“Hai, Pemuda! Sepertinya kemampuan pendengaranmu sedikit bisa membantu.” Suara itu terdengar kabur oleh suara angin.
Mata pemuda itu memandang asal suara. Dia menemukan sebuah sosok tinggi hitam, mata orang yang berkata itu berpendar-pendar kekuningan.
Pemuda itu berkata, “Siapa kau berani-beraninya menyerangku...?”
Belum selesai dia berbicara, sebuah anak panah kembali menyassarnya.
Wush...
Tepat mengenai perutnya. Pemuda itu tidak bisa menghindar sama sekali. Tubuhnya terkulai jatuh. Tidak sadarkan diri.
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen