“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.
“Danu Amarta,” jawab Danu.
“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.
“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.
“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?
“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.
“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”
“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.
“Maksudnya?” tanya orang tua itu.
Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini, apakah bisa dipercaya?
“Apakah kamu meragukanku? Apakah aku adalah orang yang bisa dipercaya?” kata orang tua itu seperti mengetahui apa yang tengah dipikirkan Danu.
Akhirnya Danu mulai bercerita. “Beberapa hari lalu aku berada di lereng Gunung Tiga Maut. Aku sudah berhasil mendaki ketinggian empat ratus meter. Lalu aku bertemu dengan orang tua yang menamakan diri dengan Rangkasa. Aku kira orangnya baik. Singkat cerita ada tamu tidak diundang datang, dia bernama Narga. Dia menyerang kami berdua. Sepertinya kami akan kalah. Tapi sebelum benar-benar kalah, Rangkasa menyerahkan busur panah ini kepadaku, dan aku langsung menghilang, muncul di hutan tidak jauh dari desa ini. Lalu aku bertemu dengan tiga gadis, dan aku bertanya apakah mereka mengetahui rumah pembesar desa ini. Dan aku kira bapak mengerti kisah selanjutnya.”
“Dan akhirnya kamu sampai di rumahku,” sahut orang tua itu. “Perkenalkan, namaku Abimana.” Orang tua itu memperkenalkan diri. “Aku sepertinya pernah bertemu dengan Rangkasa. Apakah orang tua itu masih tetap menyebalkan?”
“Aku kira orang tua itu sangat menyebalkan. Tapi setidaknya dia baik hati,” sahut Danu.
Abimana tertawa lebar. “Begitulah dia. Rangkasa, mungkin orang tua itu telah bosan hidup dengan busur panah, lalu memberikannya padamu. Bolehkan aku meminjam sebentar busur panah itu?” tanya Abimana.
Danu menyerahkan busur panah yang sejak tadi berada di pundaknya.
“Ini masih sama persis dengan busur panah yang aku kenal dahulu.” Abimana mengamati busur panah tersebut.
Busur panah itu tampak hitam mengkilap dengan panjang setengah meter, besarnya hampir satu kepalan tangan orang dewasa, namun tidak berat. Setiap jarak empat jari ada sebuah lubang kecil, entah apa. Busur panah itu penuh dengan seni.
“Ah, beruntung sekali kamu bisa mendapatkan busur panah ini, Danu,” kata Abimana sembari meletakkan busur panah di atas meja.
“Memangnya apa keistimewaan dari busur panah ini, bapak?” tanya Danu. Sekali lagi dia masih canggung mengucapkan kata ‘bapak’.
“Ini adalah busur yang...” kata-kata Abimana terhenti, Diana datang membawa sebuah nampan.
Diana meletakkan nampan berisi dua gelas minuman di atas meja. Gelas itu hitam mengkilap, terbuat dari kayu. Diana menaruhnya di atas meja. Satu untuk tamu dan satunya lagi untuk bapaknya.
“Ah, perkenalkan, ini putriku, Danu! Namanya Diana.” Abimana memperkenalkan putrinya.
Diana memelotot kepada Danu.
“Tidak sopan seperti itu, Diana!” tegur Abimana dengan suara halus.
Beberapa saat kemudian Diana mengambil nampan yang telah kosong. Dia berjalan menuju belakang.
“Anaknya memang seperti itu. Tapi, sebenarnya Diana adalah anak yang baik dan ramah.” Abimana menjelaskan, wajahnya penuh dengan senyum ketika berkata.
Abimana mengangkat gelas kayu hitam mengkilap itu. Uap mengepul dari gelas tersebut. Itu adalah sebuah kopi hitam yang diracik khusus oleh masyarakat setempat. “Silakan diminum, Danu!” kata Abimana.
“Terima kasih, ini adalah sebuah kebaikan hati yang tidak mungkin aku tolak,” sahut Danu. Ia mengangkat gelas yang sama dengan gelas Abimana.
“Lalu rencana apa yang akan kamu lakukan?” tanya Abimana.
“Nah, itulah yang sebenarnya ingin aku tanyakan kepada bapak.”
“Serat Agung itu sangat luar biasa untuk manusia yang mengetahuinya. Serat Agung, selalu menjadi incaran, salah satunya adalah orang tua bangka itu, Narga. Dia mempunyai ego setinggi langit untuk menguasai dunia, kekuasaan adalah impian terbesarnya, serta hidup abadi.” Mata Abimana menerawang jauh ke atap-atap rumah.
“Di dalam busur itulah Serat Agung berada. Barang siapa bisa membukanya, maka dia akan menjadi penyelamat kehidupan, dengan catatan jika digunakan dengan benar. Tapi barang siapa yang bisa membukanya tapi tidak bisa menggunakan dengan baik dan benar, maka akan menjadi penguasa kehitaman dunia.
“Nah, tidak sembarang manusia bisa membukanya. Rangkasa sebenarnya bisa membuka busur panah tersebut dan mengambil Serat Agung darinya, tapi dia tidak melakukan. Dia lebih memilih untuk menjaganya dan menjaganya saja, tidak lebih. Dia tidak berminat untuk memerangi kekuatan keburukan yang hanya bisa dikalahkan oleh Serta Agung. Sebab, Rangkasa berpendapat bahwa manusia sudah dibekali oleh hati dan akal untuk menjadikan dunia penuh kebaikan. Tidak akan ada gunanya Serat Agung itu jika otak dan hati manusia tidak menjadi satu.
“Jadi, jika aku memberikan saran kepadamu untuk kembali menemui Rangkasa pun, itu tidak akan pernah akan membantu, sebab Rangkasa tidak berkenan melakukannya. Maka, aku menyarankanmu untuk menemui seseorang yang bisa membukanya. Atau, kau bisa belajar membukanya sendiri, dan itu akan menghabiskan usiamu, tidak menjamin pula apakah kau akan bisa.
“Sekarang, yang paling mungkin kamu lakukan adalah menemui seseorang itu dan menghancurkan kekuatan jahat yang selalu menghancurkan,” kata Abimana panjang lebar.
“Lalu, di manakah aku bisa menemui orang tersebut, Bapak?” tanya Danu.
Abimana diam sejenak, tidak langsung menjawab.
“Tempat itu sangat jauh, sangat berbahaya pula. Tempat itu bernama Sendang Kliman, dan tidak semua orang mengetahuinya. Aku akan memberikan peta kecil kepadamu, semoga bisa membantu,” kata Abimana. Dia bangkit dari duduknya, melangkah ke belakang. “Tunggu sebentar.”
Beberapa saat kemudian Abimana kembali, tangannya membawa sebuah lembaran kusam, digulung menggunakan tali cokelat, seperti akar sebuah pohon.
“Inilah peta yang aku maksud. Peta ini, belasan tahun silam, direbutkan oleh berbagai kalangan demi mencari seseorang yang bisa membuka busur ini.” Abimana memandang busur yang masih berada di atas meja.
“Ini hanya setengah, setengahnya lagi entah ke mana aku tidak mengetahuinya. Tapi setidaknya kamu bisa menggunakan untuk setengah perjalanan.” Tangan Abimana mengulurkan gulungan kusam itu kepada Danu. Danu menerimanya dengan penuh tanda tanya.
“Apa yang harus aku lakukan setelah bertemu dengan seseorang yang bapak maksudkan?” tanya Danu.
“Yang jelas adalah kamu harus meminta bantuannya untuk membuka busur ini dan mengambil Serat Agung dari dalamnya,” jawab Abimana. Dia kembali mengangkat dan menyeruput kopi dari gelasnya.
“Baiklah, jika seperti itu, maka tidak ada yang aku perlukan lagi untuk berlama-lama di sini.” Mata Danu memandang tajam Abimana.
“Kau ini adalah pemuda yang penuh dengan ambisi. Sebelum pergi, ucapkanlah janji kepadaku bahwa kau akan menggunakan Serat Agung untuk kebaikan.” Abimana memandang lembut Danu.
“Bagaimana bapak bisa yakin bahwa aku akan bisa membuka busur ini?” tanya Danu. “Baiklah, aku berjanji jika suatu saat mendapatkan Serat Agung, aku akan menggunakannya untuk kebaikan.”
Beberapa saat diam, Abimana kembali angkat bicara, “Sebab, Serat Agung hanya untuk manusia-manusia yang mempunyai tekat. Dan kau mempunyai itu. Baiklah, sebelum pergi alangkah baiknya jika kau menikmati masakan Diana, putriku!”
Akhirnya Danu menunggu sampai masakan dihidangkan.
“Tidak ada salahnya juga aku mencicipi gadis itu,” kata Danu kepada dirinya sendiri. “Cantik juga gadis itu.” Mata Danu menerawang jauh ke atap-atap rumah.
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.
Pagi-pagi sebelum matahari keluar dari peraduannya Danu terbangun. Suara ayam saling bersahutan membangunkan manusia. Mata Danu mengerjap-ngerjap, memandang sekitar. Permata adalah pemandangan pertama yang membuat pandangannya bertahan beberapa saat.“Cantik!”Kata itu dengan sendirinya mengalir dari bibir Danu. Matanya masih memandang Permata untuk beberapa saat berikutnya. Bahkan sekarang Danu merangkak mendekati Permata yang mendekap dalam-dalam dadanya, menahan dinginnya pagi walaupun belum sepenuhnya dia tersadar.Danu ragu untuk membangunkan Permata. Tangannya bergerak mendekati kepala Permata, tapi tidak jadi menyentuhnya. Kini tangan Danu mendekati lengan Permata, membangunkan, tapi tidak jadi lagi. Ah, bingung sendiri bagian mana yang akan dia pegang untuk membangunkan. Sejenak Danu menatap buah dada Permata, tapi buru-buru dia mengalihkan pandangannya pada kaki Permata. Dia memberanikan diri untuk menyentuh kaki Permata, menggoyang-goyangka
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se