Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.
“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.
Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.
“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”
“Kalau boleh tahu apakah dua hal itu?” tanya Danu.
“Pertama, tentu ibunya Diana sangat berat untuk melepasnya. Kedua, pengembaraanku sendiri dahulu yang membuatku ragu, akankah putriku itu mengikuti jejak langkah burukku ini?” mata Abimana menerawang jauh ke depan.
“Pendapatku, maaf lancang! Jika dibekali dengan ilmu yang cukup, aku rasa Diana akan menjadi pengembara yang hebat. Aku adalah seorang pendekar, meski tidak hebat, aku bisa membaca aura seseorang dalam tatapan pertama, dan aku menemukan hal hebat pada putri bapak dalam tatapan pertama tersebut.”
“Oh, iya?” tanya Abimana penasaran, tertarik. “Siapa yang mengajarimu?”
“Itu adalah kemampuanku sejak lahir, kemudian diasah oleh guruku,” jawab Danu dengan sopan. Dia tidak membanggakan diri. Abimana semakin tertarik.
“Hal hebat apa yang kamu lihat dari putriku, Danu?” tanya Abimana tidak sabaran.
“Aura hebat. Aura seorang pendekar hebat yang mampu meluluhkan aura kejahatan, dari orang-orang terdekatnya, juga dari belahan dunia baru, mengubahnya menjadi aura kebaikan,” kata Danu. “Tapi entahlah, hanya itu yang bisa aku terjemahkan. Namun aku sangat yakin, bahwa Diana pasti akan menjadi pendekar hebat jika menjalani proses semestinya.”
Itu adalah sebuah kesan pertama yang nantinya akan mengubah jalan hidup Danu. Tapi dia belum menyadarinya sekarang.
“Hebat! Aku juga pernah mendengar teman seperguruanku berkata demikian. Syukurlah, sekarang aku bertambah yakin bahwa putriku adalah calon pendekar hebat,” kata Abimana berbunga-bunga.
Beberapa saat suasana hening, hanya ada beberapa suara burung saling sahut-sahutan. Mereka hinggap di dahan-dahan pohon depan rumah, beberapa saat beterbangan kembali, saling mengejar.
“Danu!” kata Abimana dengan suara datar. “apakah kau bisa menerima amanatku ini?” tanya Abimana.
“Apa itu?” tanya Danu.
“Aku ingin putriku menjadi seorang pendekar. Aku ingin Diana menemukan hal-hal baru dalam hidupnya, menambah wawasan hidup agar menjadi lebih baik. Aku ingin putriku menjadi pengubah dunia yang telah dipenuhi dengan manusia-manusia busuk,” kata Abimana, matanya menerawang jauh ke atas langit.
“Lalu apa yang bisa aku bantu untuk mewujudkannya?” tanya Danu.
“Nah, itulah amanat yang aku maksudkan. Aku bermaksud untuk menitipkan Diana bersamamu, agar dia menjadi pendekar, menjadi seorang pengembara,” kata Abimana.
Der...
Jantung Danu bergetar hebat, entah kenapa. Atau, mungkin ini adalah keinginan yang Danu inginkan sejak tadi?
“Apakah aku tidak salah dengar?” tanya Danu, matanya menelisik.
“Tidak! Kau tidak salah dengar, Danu! Aku berencana mengirim Diana bertualang bersamamu, menjadi seorang pengembara hebat dan menjadi pengubah dunia,” kata Abimana berbunga-bunga. “Sebentar!” Abimana beranjak berdiri, berjalan masuk rumah.
Danu memandangi pepohonan yang sesekali diterpa angin. Daun-daun yang menguning berjatuhan, burung-burung beterbangan. Beberapa saat kemudian angin berhenti, burung-burung pun kembali bertengger pada dahannya.
“Duduklah, Diana!” kata Abimana. Dia keluar bersama dengan Diana di belakangnya.
“Ada apa, bapak?” tanya Diana lembut.
“Bukankah keinginanmu adalah menjadi seorang pengembara? Menemukan dunia-dunia baru dalam hidupmu?” tanya Abimana.
Diana menjawab samar-samar, ragu-ragu, belum sepenuhnya mengerti alur pembicaraan. “Iya, Bapak!”
“Nah, sekarang mengembaralah! Bapak rasa kamu sudah dewasa, Diana. Kau akan mengembara bersama Danu. Meskipun baru mengenalnya, rasa-rasanya Danu adalah anak yang baik,” kata Abimana.
Sebenarnya dalam hati Abimana juga mengetahui bahwa ada sifat-sifat buruk yang Danu miliki, tapi itu adalah hal yang bisa diubah. Bukankah Diana mempunyai kemampuan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan?
Abimana sepertinya telah menceritakan keseluruhan apa yang akan mereka lakukan.
“Bagaimana, Diana?” tanya Danu.
“Mengembara adalah impianku sejak kecil, dan kali ini aku mendapatkan kesempatan yang sangat besar,” kata Diana. Jari-jemarinya mengatup, sesekali dipatah-patahkannya. “Aku sangat bahagia mendengar kabar ini. Tapi yang masih aku ragukan,” Diana berhenti sejenak, “apakah ibu juga mengizinkan, Bapak?”
“Sudah. Beberapa saat lalu sebelum memanggilmu aku sudah mengatakannya kepada ibumu, ibumu setuju dengan itu semua.” Abimana menerangkan dengan semangat.
Wajah Diana tampak berseri-seri, ada juga rasa bersedih di wajah cantik nan manis itu. Bukankah pengembaraan adalah hal besar? Bukankah sebuah hal besar pastilah membutuhkan pengorbanan yang besar?
“Jangan khawatirkan ibu dan bapak, kami akan baik-baik saja.” Abimana seperti bisa membaca apa yang menjadi keresahan anaknya.
“Tapi...” sahut Diana. Belum selesai, Abimana kembali berbicara.
“Sebuah hal besar pastilah membutuhkan perjuangan yang besar pula. Jadi, pengembaraan pastilah membutuhkan pengorbanan yang setimpal dengan harganya,” kata Abimana. “Ah, ini sangat besar, Diana, kau harus menata hatimu sebelum berangkat!”
“Baik, Bapak! Sepertinya memang demikian,” sahut Diana. Matanya berkaca-kaca.
“Berpamitanlah dengan ibumu, jelas dia akan menangis,” kata Abimana. “Sebentar, ambilkan kotak kecil di kamar bapak, Diana!”
Tanpa banyak tanya, Diana beranjak berdiri. Beberapa saat kemudian dia kembali. Di sana sudah ada ibunya, bergabung bersama dengan Danu dan Abimana.
“Ini, Bapak!” Diana menyerahkan kotak cokelat kecil itu.
Abimana membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah kain berwarna hijau. Itu adalah selendang yang ratusan tahun tersimpan di dalam kotak cokelat tersebut, bahkan Diana juga tidak pernah membukanya. Bahkan dia baru sekali ini menyentuh kotak itu, ketika Abimana menyuruh untuk mengambilnya.
“Ini adalah Selendang Kehidupan, Diana!” Abimana mulai bercerita. “Mungkin saat ini kamu belum bisa atau belum tahu cara menggunakannya. Tapi suatu saat, dalam pengembaraanmu, bapak yakin kamu akan menemukan cara menggunakannya.” Abimana menyerahkan kotak cokelat itu kepada Diana. Diana menerimanya dengan tangan bergetar.
“Ibu, Diana pamit untuk bertualang!” Mata Diana tidak dapat lagi menahan air mata perpisahan.
“Baiklah, Diana. Semoga apa yang kamu impikan selama ini terwujud!” kata ibunya.
Tidak banyak pesan yang diberikan ibu Diana kepada anaknya. Tidak banyak. Namun dari tatapan mata yang mengalirkan air mata itu, dari pelukan hangat yang tidak segera dilepaskan, jelas terletak sebuah harapan besar dari seorang ibu.
“Nah, Danu, ini adalah amanat untukmu!” kata Abimana. Danu mendengarnya dengan saksama.
“Sekarang ibu akan menyiapkan makan siang!” kata ibu Diana. “Diana, kamu persiapkan segala kebutuhan yang Diana perlukan, tidak usah membantu ibu memasak.” Dia beranjak berdiri.
Diana juga beranjak berdiri. Abimana pergi entah ke mana. Danu duduk termenung sendiri di teras rumah itu, di atas sebuah kursi panjang berwarna cokelat.
“Akankah aku bisa menunaikan amanah berat ini?” tanya Danu pada dirinya sendiri.
Namun renungan Danu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dari sudut halaman rumah ada tiga orang yang masuk tanpa permisi. Tangan mereka membawa sebuah parang. Panjang.
“Hai, di manakah Abimana?” tanya salah seorang dari mereka dengan kasar.
Ah, sekarang tidak hanya tiga orang. Mereka lebih dari sepuluh orang.
“Abimana? Ada urusan apa kau dengannya?” tanya Danu. Suaranya juga meninggi. Entah kenapa Danu mudah sekali marah.
“Ah, tidak usah banyak tanya. Abimana, keluarlah!” teriak beberapa orang dari halaman rumah. Mereka berusaha masuk tapi Danu menghalanginya, menahannya agar tidak masuk ke dalam rumah.
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.
Pagi-pagi sebelum matahari keluar dari peraduannya Danu terbangun. Suara ayam saling bersahutan membangunkan manusia. Mata Danu mengerjap-ngerjap, memandang sekitar. Permata adalah pemandangan pertama yang membuat pandangannya bertahan beberapa saat.“Cantik!”Kata itu dengan sendirinya mengalir dari bibir Danu. Matanya masih memandang Permata untuk beberapa saat berikutnya. Bahkan sekarang Danu merangkak mendekati Permata yang mendekap dalam-dalam dadanya, menahan dinginnya pagi walaupun belum sepenuhnya dia tersadar.Danu ragu untuk membangunkan Permata. Tangannya bergerak mendekati kepala Permata, tapi tidak jadi menyentuhnya. Kini tangan Danu mendekati lengan Permata, membangunkan, tapi tidak jadi lagi. Ah, bingung sendiri bagian mana yang akan dia pegang untuk membangunkan. Sejenak Danu menatap buah dada Permata, tapi buru-buru dia mengalihkan pandangannya pada kaki Permata. Dia memberanikan diri untuk menyentuh kaki Permata, menggoyang-goyangka
Pagi kesekian datang dengan sinar matahari yang merekah, bak senyum seorang gadis berbibir merah. Petani-petani berjalan menenteng cangkul di tangan atau bahkan menyandangnya di pundak kanan, sesekali mereka mengundang tawa sesamanya ketika bertemu di kelokan jalan. Ayam-ayam berkejaran, memburu mangsa apa saja adanya. Burung-burung beterbangan membentuk sebuah pola yang mustahil manusia membuatnya.“Apakah kau sudah siap, Permata?” tanya Danu yang mendatangi rumah Permata. Pagi itu rencananya mereka akan berangkat memulai sebuah petualangan baru.Permata tersenyum manja, menyambut pagi dengan indahnya hati. “Aku sudah siap. Semua keperluan sudah aku siapkan meski tidak terlalu banyak. Bagaimana denganmu sendiri, Danu?” tanya balik Permata. Dia mempersilakan Danu untuk duduk sejenak di ruang tamu. Rumah Permata tampak sepi.“Syukurlah, aku sudah siap lahir batin,” jawab Danu sembari menatap lukisan besar di sisi dinding sebela
“Apakah kalian tidak tahu siapa kami, heh?” tanya orang kurus itu setengah membentak.Danu memandang orang itu sekilas. Jelas bahwa yang dimaksudkan oleh orang itu adalah Danu dan Permata. Danu masih bisa menahan hatinya agar tidak marah, Permata selalu memberikan ketenangan kepadanya.“Sudah, biarkan saja! Mungkin mereka adalah orang-orang yang tengah tidak punya pekerjaan!” kata Permata setengah berbisik sembari mengaduk-aduk minuman yang baru saja dihantarkan penjaga warung.“Rupanya mereka tidak sadar tengah seatap dengan siapa!” kata orang itu lagi menyindir, beberapa orang lainnya tertawa keras-keras.“Apakah kamu suka minuman ini, Permata?” tanya Danu, dia berusaha tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan orang-orang itu.“Aku suka, minuman ini segar sekali!” sahut Permata. “Aku jarang sekali mene..,” kata-kata Permata terhenti, orang itu tampak menggebrak meja, kasar
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se