Share

Diana

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-11-24 01:45:39

Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu.

Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami.

Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah.

Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk menerangi bumi.

Beberapa kali Danu melihat bintang berpindah tempat. Suatu saat ibunya pernah bercerita, ketika masih hidup, bahwa ketika bintang berpindah tempat, maka itu adalah waktu yang tepat untuk memanjatkan doa kepada Tuhan. Dan Tuhan kemungkinan besar akan mengabulkannya. Entahlah, itu mitos atau benar adanya.

“Wahai, Tuhan! Sampaikanlah dendamku!” Begitulah doa Danu malam ini, ketika sebuah bintang berpindah tempat.

Samar-samar angin bertiup dari utara, mengecup setiap kulit yang dilaluinya. Danu meraba-raba busur panah yang sekarang ia pegang.

“Apa istimewanya busur ini? Sehingga, Rangkasa masih sempat-sempatnya melepaskannya untukku ketika nyawanya dalam ancaman?” Danu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, selanjutnya menebak-nebak jawabannya. “Ah, mungkin ini kenang-kenangan dari masa mudanya. Tidak lebih!”

Salah! Danu salah besar. Busur panah itu bukan hanya busur panah yang menjadi sebuah kenang-kenangan. Tapi pada busur panah tersebut terdapat keabadian, menghancurkan sekaligus menghidupkan. Mungkin lain hari Danu akan tahu itu, bukan sekarang. Itulah benda yang dikejar-kejar oleh Narga, Serat Agung.

“Baiklah! Malam ini aku tidur. Mungkin besok aku akan menentukan langkah!” ujar Danu pada heningnya malam. Angin mengiringinya sampai pintu-pintu menuju alam mimpi. Sesekali nyamuk melambaikan tangan. Jangan pergi! Begitulah mungkin maksudnya.

***

“Jangan-jangan setan berwujud manusia itu sudah kembali berkeliaran?” Samar-samar Danu mendengar suara seseorang tengah berbincang.

“Iya, setan itu meresahkan sekali. Aku masih ingat sekali ketika lima penduduk kampung ini dimakan mentah-mentah oleh setan itu. Hanya menyisakan kepala dan jari-jari tangan. Hi, ngeri!” sahut temannya.

Seseorang lagi bicara. “Tapi setidaknya saat ini kita aman, karena siang hari setan itu tidak mempunyai kekuatan apa pun.”

Danu melihat ke bawah. Saat ini ia masih berada di atas dahan sebuah pohon. Ada tiga orang di bawah sana, para gadis. Melihat Danu setengah takut setengah penasaran. Mata mereka menyelidik. Sepertinya Danu paham apa yang tengah terjadi.

“Hai, aku bukan hantu yang kalian maksudkan.” Danu beranjak turun. “Aku adalah manusia baik-baik.” Dia membenahi pakaiannya yang tampak tidak tertata setelah sampai di bawah.

Tiga gadis itu saling berbisik. Danu tidak mendengarnya, terlalu pelan, sampai akhirnya gadis yang mengenakan pakaian merah berkata, “Sepertinya kau bukan penduduk desa ini?”

“Iya, aku memang bukan penduduk desa ini. Aku adalah orang yang kebetulan sedang melewati pedesaan ini, tidak lebih,” jawab Danu.

“Apakah kau dapat dipercaya?” tanya gadis berbaju kuning, rambutnya melambai-lambai diterpa angin pagi.

“Maksudmu?” tanya Danu, matanya menyelidik.

Gadis berbaju hijau mengikuti pembicaraan. “Tentunya kau tadi sempat mendengar pembicaraan kami tentang setan berwujud manusia. Maksud kami, apakah kau bukan setan tersebut?”

Danu menarik nafas pelan. Orang ganteng seperti ini dikata setan? Begitu maksudnya. “Hai, lihatlah! Kakiku menapak tanah, dan ini siang hari.” Danu mengarahkan pandangan pada matahari pagi yang setengah menampakkan diri. “Apakah kalian sekarang sudah percaya padaku?” tanya Danu.

“Baiklah, sepertinya dia benar-benar manusia.” Akhirnya gadis yang memakai baju hijau menyimpulkan. “Ayo kita pergi!”

“Ayo pergi!” sahut gadis yang memakai baju merah.

Sepertinya wanita-wanita desa itu cukup pandai merawat rambut. Rambut mereka tampak lurus, sedikit bergelombang, hitam pekat, melambai-lambai ketika disapu angin. Tinggi tubuh mereka hampir sama.

“Eh, bolehkan aku bertanya?” kata Danu beberapa saat sebelum tiga wanita itu melangkah pergi.

Mata ketiga wanita itu menyelidik. Baju hijau menyahuti, “Bertanya apa?”

“Apakah pemukiman penduduk jauh dari sini?”

“Oh, tidak. Cukup ikuti jalan setapak ini, beberapa saat kau akan sampai di gapura desa kami,” jawab baju hijau.

“Apakah kalian berkenan menunjukkan rumah pembesar desa ini? Maksudku ketua desa atau sejenisnya.” Danu sepertinya tengah menyusun rencana.

Ketiga gadis itu saling bertatapan.

“Sepertinya itu orang tuamu yang dimaksudkan, Diana!” kata baju merah.

Gadis yang bernama Diana tersenyum, sangat cocok senyum itu dengan baju hijau cerah yang ia kenakan.

“Bagaimana?” tanya Danu sekali lagi.

“Baiklah, kau bisa mengikuti kami bertiga!” kata gadis berbaju hijau. Mereka bertiga mulai melangkah, Danu mengikuti mereka dari belakang.

Tiga gadis itu tampak berbincang-bincang ringan di sepanjang perjalanan. Sesekali tertawa, sesekali melirik Danu. Mereka tengah melintasi jalan setapak, banyak tumbuhan-tumbuhan liar di tepian jalan.

“Omong-omong kalian dari mana?” tanya Danu. Dia bosan diam sejak kemarin malam.

“Apakah kau tidak melihat apa yang kami bawa?” jawab gadis berbaju hijau, matanya memelototi Danu.

Danu menarik nafas dalam-dalam. Ditanya baik-baik, bukannya dijawab dengan baik pula. Batin Danu.

“Eh, maaf! Teman kami satu ini memang suka bercanda. Kami dari sungai, mencuci pakaian.” Gadis berbaju merah menjawab, menunjukkan keranjang kecil yang dia bawa.

Ah, bodoh sekali Danu bertanya demikian. Seharusnya dengan melihat keranjang kecil tiga gadis itu penuh sesak dengan pakaian basah, seharusnya ia bisa menebak-nebak bahwa mereka dari sungai. Mencuci baju.

“Oh, apakah jauh letak sungai dengan pemukiman warga?” tanya Danu lagi. Ia benar-benar bosan berdiam diri.

“Lumayan. Cukup berja...” kata-kata gadis berbaju merah terhenti, disela oleh Diana.

“Memangnya kalau sudah tahu, kenapa?” kata Diana ketus, menarik tangan kedua temannya, mengajak berjalan lebih cepat.

Akhirnya disisa perjalanan Danu hanya terdiam, mengikuti mereka bertiga dari belakang. Sesekali matanya mengawasi sekitar, mereka telah memasuki gapura desa. Tertulis di sana nama desa tersebut, “MACANAN”.

“Atas dasar apa masyarakat menamai desa ini demikian?” tanya Danu.

Mereka, tiga gadis itu, menoleh ke belakang. “Kamu bertanya kepada siapa?” tanya Diana.

“Tentunya kepada kita. Kepada siapa lagi?” sahut gadis berbaju kuning.

“Tapi dia itu sepertinya tidak bisa diam, Permata! Sejak tadi bicara terus!” Diana menggerutu.

“Tidak ada salahnya, kan, jika kita menjawab?” bantah gadis berbaju kuning, Permata.

“Terserah!” kata Diana, suaranya meninggi. “Tapi aku masih mempunyai tugas yang lebih penting dari pada menjawab manusia tidak jelas ini. Aku belum memasak, nanti ibuku jelas marah kalau sampai telat.” Diana mempercepat langkahnya, mendahului dua temannya.

“Tunggu, Diana! Aku juga mempunyai tugas seperti itu,” kata Permata menyejajari langkah Diana.

Danu mengikuti mereka dari belakang. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya untuk beberapa saat. Ini benar-benar menyebalkan! Mungkin itu yang ada di benak Danu sekarang.

Satu-dua rumah mulai tampak. Pemukiman yang asri. Ayam-ayam kampung berkeliaran bebas, sesekali saling mengejar. Ibu-ibu tampak sibuk dengan kegiatan pagi. Ada pula yang tengah sibuk menjemur hasil panen musim lalu.

“Aku pulang dahulu, Diana!” kata Permata. Rambut lurusnya melambai-lambai tersapu angin. Baju kuningnya mengkilap diterpa sinar matahari pagi.

“Aku juga, Diana!” kata gadis berbaju merah.

“Eh, lalu siapa yang akan mengantarkan pemuda tidak jelas ini kepada bapakku?” tanya Diana. Dia bingung juga kesal.

“Kamu sendiri aku rasa bisa, Diana!” sahut gadis berbaju merah.

“Hai, Kusumu! Apakah aku tidak salah mendengar?” tanya Diana terheran-heran dengan jawaban temannya. “Apa tanggapan orang tuaku jika aku membawa orang tidak dikenal ini sendirian?”

“Sudahlah, Diana, ibuku bisa marah kalau aku tidak segera pulang,” kata gadis berbaju merah, Kusumu. Dia berjalan setengah berlari meninggalkan Diana dan juga Permata.

“Kalau begitu aku juga, Diana!” Permata mengikuti langkah Kusuma.

“Huh, menyebalkan sekali pagi ini.” Diana menggerutu sembari kembali berjalan.

“Apakah aku harus mengikutimu?” tanya Danu samar-samar.

“Hai, kau bertanya apa? Bukankah kau ingin bertemu dengan ketua desa ini? Dia adalah bapakku, dan aku rasa kau sudah tahu sejak awal tadi karena kami sempat membicarakannya. Lantas mengapa kau kembali bertanya bodoh seperti itu?” jawab Diana, ketus. Danu diam seketika, mengikuti langkah Diana yang semakin cepat. Menyebalkan sekali gadis ini. Begitu maksud pandangan Danu.

“Jaga sikap ketika berhadapan dengan bapakku,” kata Diana ketika mereka memasuki halaman sebuah rumah.

Rumah itu besar, beratap kayu hitam mengkilap. Begitu pula dindingnya juga terbuat dari kayu, mengkilap. Tapi sepertinya itu bukan kayu biasa, bahkan satu potong kayu itu sepertinya lebih mahal daripada tiga ekor kambing.

“Jangan terlalu banyak bicara ketika duduk bersama dengan bapakku,” kata Diana lagi.

“Eh, sejak tadi yang lebih banyak bicara itu kamu!” sahut Danu. Dia benar-benar kesal.

“Oh, iya? Kau berani denganku? Silakan lanjutkan perjalananmu sendiri.” Diana berhenti melangkah.

“Baiklah, aku tidak akan bicara lagi.” Akhirnya Danu mengalah, mereka kembali melangkah memasuki halaman rumah yang luas itu.

“Hai, tahukah kau bahwa masyarakat desa ini semua menaruh hormat kepada bapakku?” tanya Diana.

Tidak ada jawaban. “Tahukah kau bahwa semua masyarakat desa ini menaruh hormat kepada bapakku?” Diana mengulangi kata-katanya.

Tidak ada jawaban. Diana menoleh ke belakang, matanya memelotot. “Hai, manusia tidak jelas! Apakah kau mendengar kata-kataku?” kata Diana.

Danu mengangguk. “Lalu kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan?” cecar Diana.

“Aku tidak boleh banyak bicara,” sahut Danu.

“Menyebalkan!” celetuk Diana. Dia membuka pintu, mereka telah sampai di pintu masuk rumah.

“Tunggu di sini, jangan masuk sebelum pemilik rumah memberikan izin!” kata Diana. Dia masuk ke dalam rumah.

“Bapak, ada tamu!” Danu mendengar kata-kata itu dari luar rumah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Snack Video
Aku rasa tidak bisa aku berhenti membaca sampai bab ini Saja. aku harus melanjutkan pada bab lanjutnya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Satu Janji

    “Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,

    Last Updated : 2021-11-24
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Senyuman

    Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann

    Last Updated : 2021-12-01
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Selendang Kehidupan

    Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal

    Last Updated : 2021-12-02
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Dendam Lama

    “Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?

    Last Updated : 2021-12-03
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Lembaran Baru

    Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k

    Last Updated : 2021-12-03
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Teman Atau Kawan

    “Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses

    Last Updated : 2021-12-03
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Permata

    Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan

    Last Updated : 2021-12-04
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Jatuh Hati

    Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.

    Last Updated : 2021-12-05

Latest chapter

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Titihan Putri Anjasmara

    Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Putri Anjasmara

    Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Perhatian Yang Hilang

    Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Sebuah Keharusan

    Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Maukah Kau Menjadi Raja?

    Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Mendapatkan Pembenaran

    Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Berjumpa Dengan Diana

    Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Kesempatan Terbesar

    Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Pertarungan Tengah Malam

    Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status