“Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.
“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.
“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.
Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.
“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.
“Lalu sekarang apa yang kau inginkan, Narga?” tanya Rangkasa.
“Orang tua budek! Jelas-jelas sejak kedatanganku kemari aku ingin mengambil hak seorang Narga. Apakah kau sudah pikun, Rangkasa?” Mata Narga memelotot.
“Tapi sayangnya tidak ada yang pernah mengakui hak busuk itu. Itu bukanlah hak, itu adalah ambisi,” sangkal Rangkasa.
Adu mulut berlangsung sampai beberapa saat. Danu sekarang sedikit mengerti apa yang sedang mereka permasalahkan. Sebuah barang dan hak milik terhadap barang tersebut. Tapi sayang, sejak tadi Danu tidak mendengar barang apa yang mereka maksud.
“Aku salah kaprah, Kakang Narga. Aku kira kau banyak berubah setelah belasan tahun tidak bertemu. Tapi nyatanya tidak. Kau masih seperti dahulu ketika kita berkelana bersama, kau masih kanak-kanak, meski usiamu lebih tua dariku. Aku hanya...” suara Rangkasa terputus.
“Jangan ingatkan lagi tentang perkelanaan omong kosong itu. Dan kau, Rangkasa, kau adalah manusia yang curang, keparat!” Narga benar-benar marah kali ini.
Narga menata kaki, membangun kuda-kuda. Tangannya mengepal, mengatur nafas yang sebelumnya berantakan karena marah. Matanya memelotot tajam, jubahnya dikibas-kibaskan angin. Sementara itu, burung hitam besar yang sebelumnya ia tunggangi telah menepi. Burung hitam itulah yang sempat membuat Danu ternganga beberapa saat setelah kedatangan Narga. Menurutnya itu cukup spektakuler.
“Kita sudah omong kosong tidak berguna itu. Sekarang aku berikan kesempatan terakhir untukmu, Rangkasa! Berikan Serat Agung itu, atau kau akan mati?” kata Narga dengan nada mengancam. Dia benar-benar tidak sedang bergurau.
“Ambil saja nyawaku jika kau mampu,” sahut Rangkasa dengan suara beratnya.
Rupanya pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Serat Agung? Benda apakah itu? Seberapa berharganya sehingga Narga dan Rangkasa berani mempertaruhkan nyawa untuk benda itu? Itulah pertanyaan-pertanyaan Danu.
Tangan Narga mengepal. Jubah hitam keabu-abuan yang ia kenakan dikibas-kibaskan angin. Gigi Narga bergemerutuk, rahangnya mengeras. Narga siap membantai lawannya. Rambut panjang Narga melambai-lambai.
Sementara itu, Rangkasa tampak biasa-biasa saja. Bahkan dia belum memasang kuda-kuda.
Tubuh Narga mengambang satu meter dari tanah, jubahnya semakin menggelepar-gelepar di terpa angin. Di lereng itu, lereng dengan ketinggian empat ratus meter, akan menjadi saksi siapakah yang akan kehilangan nyawa.
“Bersiapkah, Rangkasa keparat!” teriak Narga.
Tubuhnya melesat maju, tangannya mengepal menyasar wajah Rangkasa. Rangkasa hanya diam, menunggu sampai Narga tinggal beberapa jengkal darinya.
Buk...
Pukulan yang kuat, tapi Rangkasa mampu menahannya dengan pukulan pula. Itu adalah pukulan yang sama ketika Rangkasa menahan pukulan Danu. Tapi sepertinya kali ini lebih bertenaga.
Narga telah mengeluarkan beberapa jurus untuk membantai Rangkasa. Pertempuran berjalan alot, belum jelas siapa yang akan memenangkan pertempuran. Narga mengepalkan tangan kiri, memukul dari arah kiri kepala Rangkasa. Rangkasa menepisnya dengan baik. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, semua telah Narga jajaki. Tidak ada satu pukulan pun yang mengenai sasaran.
Sekarang kaki Narga ikut bermain. Pertunjukkan spektakuler pun terjadi. Danu menyaksikan itu semua dengan wajah berseri-seri, perut kenyang. Sekali-kali Danu membuka kembali akar yang disumpalnya dengan kerikil. Kemudian air mengucur dari bekas lubang anak panah Rangkasa.
Kaki Narga melangsungkan lima belas tendangan sekaligus, tubuhnya mengambang dua meter dari tanah. Rangkasa menepis tendangan-tendangan itu dengan kedua tangannya.
“Sial! Kenapa kau hanya menangkis-menangkis tolol seperti itu, Rangkasa?” Narga berhenti menyerang. Nafasnya memburu. Dadanya naik-turun. “Apakah kau sudah lupa dengan jurus-jurus yang pernah kau banggakan kepadaku, hah?”
Rangkasa diam, seperti Danu yang diam ketika Rangkasa mengatakan sebuah perkataan yang sama dengan apa yang dikatakan Narga. Danu tersenyum menyaksikan kejadian itu.
Narga bersiap-siap kembali. Kuda-kuda yang sangat kuat, tangannya mengepal, rahangnya mengatup. Jubah hitam keabu-abuan itu dikibarkan angin. Rambutnya melambai-lambai. Tubuhnya kembali mengambang satu meter dari tanah.
Pukulan siap dilangsungkan oleh Narga. Oh, itu adalah jurus yang sama dengan jurus yang dikeluarkan Rangkasa malam itu. Jurus yang membuat Danu jatuh ke jurang, dan Rangkasa pula yang mengejar Danu, membawa Danu kembali ke atas lereng. Tapi Danu tidak menyadari bahwa yang membawanya kembali adalah Rangkasa. Dia sudah tidak sadarkan diri pada malam itu.
“Hai, Rangkasa! Hati-hati. Itu adalah jurus yang sangat mematikan!” Danu berteriak dari bawah pohon beringin.
Mendengar itu Narga tertawa. “Lihatlah muridmu itu, Rangkasa! Dia sangat mengkhawatirkanmu!” Narga mencibir. Rangkasa tidak menanggapinya.
Burung-burung beterbangan di atas sana, atau bahkan di bawah lereng. Mereka seakan menyaksikan dengan khidmat apa yang tengah terjadi di bawahnya. Narga bersiap-siap mengeluarkan jurus Angin Kematian. Sebenarnya itu adalah jurus yang menggunakan tenaga dalam, menggunakan angin yang diperbesar sedemikian rupa sehingga memunculkan angin dengan kekuatan besar. Angin yang mematikan.
“HAAA...” Narga berteriak keras-keras. Senyiur angin terasa. Burung-burung di atas sana terbang menjauh. Daun-daun pohon beringin bergoyang-goyang diterpa angin.
Debu mengepul terkena angin pukulan Narga. Beberapa saat tubuh Narga yang tengah mengambang satu meter dari tanah tidak terlihat.
Rangkasa membangun kuda-kuda kokoh. Tangannya mengepal, siap menyambut angin pukulan Narga.
Bum...
Dua pukulan angin bertemu. Kuda-kuda Rangkasa benar-benar kokoh. Sedang Narga yang mengambang satu meter di atas permukaan tanah melenting dua meter ke belakang.
“Ternyata aku salah menyepelekanmu, Rangkasa! Ternyata kau masih mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawanku!” kata Narga keras-keras. Setelah itu ia tertawa lebar. Tubuhnya kembali menapak tanah.
Tidak menunggu lama, Narga telah siap dengan pukulan selanjutnya. Ia masih menggunakan jurus yang sama dengan sebelumnya. Ia menggunakan jurus Angin Kematian.
“HAAA...” teriak Narga. tangannya mengepal, menyasar Rangkasa yang juga siap dengan kuda-kudanya.
Debu mengepul, beterbangan terbawa angin pukulan Narga. Benar-benar sebuah pukulan yang sangat kuat. Danu melongo menyaksikan hal tersebut. Apakah Rangkasa bisa menahannya? Begitulah arti tatapan Danu.
Bum...
Tubuh Rangkasa terselimuti debu tebal. Tidak terlihat.
Narga melihat kejadian itu dengan tatapan penuh kemenangan. Dia berpikir bahwa pertarungan akan berakhir sampai di sini dan selesai sudah dendam dalam hati. Ternyata yang terjadi bukan seperti yang Narga pikirkan.
Ketika debu yang mengepul itu perlahan-lahan hilang, Rangkasa tampak berdiri dengan kuda-kuda kokohnya. Jubahnya berdebu, samar-samar angin menyingkapnya. Danu terheran-heran dengan pertarungan yang terjadi di depannya.
“Sepertinya kau masih sering berlatih, Rangkasa!” Narga menebak-nebak.
“Kau mestinya sejak awal menyadari itu,” sahut Rangkasa.
“Tapi jangan senang terlebih dahulu, masih banyak jurus yang aku pelajari selama belasan tahun terakhir,” kata Narga. Dia sudah siap kembali untuk mengirim serangan-serangan yang lebih mematikan.
Kaki Narga membentuk kuda-kuda sempurna. Tangannya mengepal, rahangnya bergemerutuk. Jubah hitam keabu-abuan itu beterbangan diterpa angin. Tubuhnya terangkat satu meter, mengambang.
Kedua tangan Narga membentuk sebuah lingkaran di depan dadanya. Debu di sekitar tubuhnya yang mengambang beterbangan, tubuh Narga menarik angin. Apakah ini adalah kebalikan dari jurus Angin Kematian?
Tubuh Narga menarik apa saja yang ada di sekitarnya. Debu-debu beterbangan tidak karuan, jubahnya menari-nari. Batu-batu kecil mulai beterbangan tersedot jurus tarikan angin yang dikeluarkan Narga. Bahkan batu-batu seukuran kepala orang dewasa ikut beterbangan, perlahan-lahan mendekati Narga. Lalu ketika batu-batu itu mendekati tubuhnya, dia segera menepisnya, menghempaskannya menuju bawah lereng. Batu-batu berjauhan.
Rangkasa menguatkan kuda-kuda. Ia tahu bahwa Narga tengah mengeluarkan jurus Tarikan Angin Maut. Tidak semua pendekar memilikinya, hanya beberapa. Rangkasa sendiri juga mempunyai jurus tersebut, tapi menurutnya terlalu berlebihan jika menggunakan jurus tersebut untuk sekarang.
“Narga benar-benar telah ditutupi oleh ego menguasai dunia!” ujar Rangkasa kepada dirinya sendiri.
Tarikan angin bertambah kencang. Radius tiga puluh meter pengaruhnya, bahkan lebih luas. Danu yang sejak tadi duduk-duduk santai, beberapa kali meneriaki Rangkasa agar berhati-hati, kini terkena pengaruh tarikan angin itu juga. Danu berpegangan erat-erat pada pohon beringin. Daun-daun berguguran terkena tarikan angin Narga.
“Danu, kuatkan kuda-kudamu!” teriak Rangkasa dengan suara beratnya. Dia sendiri mati-matian mempertahankan posisi agar tidak tersedot angin Narga. Kuda-kudanya mencengkeram bumi, kuat sekali. Jubahnya menggelepak-gelepak tidak karuan.
Beberapa menit selanjutnya tarikan angin semakin kencang. Tidak ada batu-batu seukuran kepala yang tersisa di atas lereng itu. Semua berhamburan, lalu Narga menepisnya, membuangnya turun.
Tubuh Rangkasa bagian atas setengah tertarik angin. Kini Rangkasa membungkuk, mempertahankan kuda-kuda. Sekali kakinya terlepas dari bumi, maka entah apa yang akan terjadi berikutnya.
Ah, keadaan semakin mencengangkan. Kini kedua tangan Rangkasa mencengkeram bumi kuat-kuat, hampir saja ia tertarik angin Narga. Debu-debu semakin mengepul pekat. Matahari di atas sana bersinar terik, menambah panas suasana yang telah memanas sejak tadi.
Lihatlah! Danu bahkan sekarang tubuhnya tengah melayang-layang, namun tangannya masih berpegangan kuat pada pohon beringin. “Keparat tua bangka itu!” gerutu Danu. Dia mati-matian mempertahankan diri. Tapi sebenarnya ini bukan sebuah masalah serius bagi Danu. Bagi orang yang berhasil menaiki lereng Gunung Tiga Maut sampai ketinggian empat ratus meter, ini adalah awal perjuangan yang cukup mudah.
Kedua tangan Rangkasa semakin erat mencengkeram bumi. Hampir setengah kedua jari tangannya terkubur, kuat sekali ia mencengkeram tanah. Kakinya bergetar hebat. Bahkan sekarang Rangkasa telah sempurna terbaring, tubuhnya jatuh ke tanah, namun berusaha bertahan mati-matian, mencengkeram tanah dengan kedua tangan dan kakinya.
“Haaa...” Narga berteriak lebih kencang.
Angin bertiup lebih dahsyat. “Keparat! Terkutuk orang tua itu!” Danu menggerutu. Pegangannya cukup kuat untuk bertahan sampai beberapa saat.
Cengkeraman kaki Rangkasa terlepas. Kini, ia sempurna hanya berpegangan dengan kedua tangannya. Kaki Rangkasa mengambang satu meter dari tanah, mengarah kepada Narga. Berarti sekarang kaki Rangkasa lebih dekat dengan Narga. Jubahnya terombang-ambing.
Beberapa saat Rangkasa mampu bertahan. Tapi Narga menambah kembali kekuatannya. Hingga akhirnya satu tangan Rangkasa terlepas dari tanah. Sekarang ia hanya berpegangan dan bertahan dengan satu tangan.
Sementara di bawah pohon beringin, Danu juga demikian. Tangannya tidak mampu lagi menahan tarikan angin Narga. Akhirnya ia sempurna terlepas dari pohon beringin, tubuhnya melayang.
“DANU!” teriak Rangkasa.
Danu menetap Rangkasa, mencari maksud di balik teriakannya. Rangkasa sepertinya mengisyaratkan kepada Danu bahwa Danu harus mengambil busur panah di pundaknya. Sekelebat ketika tubuh Danu melewati tubuh Rangkasa, Rangkasa menarik tubuh Danu yang tengah terbang.
“Rawatlah busur panah ini!” kata Rangkasa pelan, tapi cukup untuk memberi kefahaman kepada Danu.
Satu tangan Danu segera mengambil busur panah di pundak Rangkasa. Busur panah itu sekarang bertengger gagah di pundak Danu.
Selanjutnya Rangkasa melepaskan pegangan pada tangan Danu. Danu melayang menuju Narga yang tengah berteriak-teriak. Namun apa yang terjadi berikutnya sangat tidak masuk akal. Tubuhnya menghilang sesaat sebelum Narga mencekik lehernya.
Lihatlah! Sekarang Danu jauh dari keramaian itu. Danu sekarang berada di sebuah tempat yang sunyi. Malam hari. Bintang-gemintang ramai di atas sana, tidak ada rembulan. Langit menjadi kain hitam pekat, bintang-bintang mengisi sebagai pola titiknya.
“Di manakah aku sekarang berada?” tanya Danu pada dirinya sendiri.
Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu. Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami. Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah. Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk me
“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se