Share

Bodoh

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-11-24 01:44:16

Lereng itu tengah diselimuti kabut. Sayup-sayup cahaya matahari pagi menerobos dedaunan. Daun pohon beringin itu hampir menyentuh tanah. Dari bawah sana terdengar kokokan ayam. Tentunya itu adalah ayam hutan.

“Uhuk... uhuk...”

Danu baru saja terbangun dari tidurnya. Tidur? Ah, entahlah, pingsan atau tidur. Seingatnya tadi malam dia bertarung hebat dengan Rangkasa, sosok tua yang sepertinya menghuni terasering lereng itu. Lalu Rangkasa mengeluarkan jurus hebat, memukul angin, lebih memukul dengan angin. Tubuhnya terangkat oleh angin pukulan Rangkasa. Lalu, terjun bebas. Kemudian...

“Ah, kenapa aku berada di tempat keparat ini lagi?”

Danu tersadar dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa dia sekarang kembali berada di sebuah lereng terasering, dengan pohon beringin yang daunnya hampir menyentuh tanah.  Matanya memandang sekeliling, tidak ada orang.

“Ke mana Rangkasa keparat itu pergi?” kata Danu melampiaskan geramnya.

Dia berusaha bangun dari posisi terbaringnya. Tubuhnya sakit semua. Dan, perutnya lapar. Samar-samar hidungnya mencium sebuah aroma daging bakar. Hidungnya mendengus-dengus, berusaha menelusuri asal aroma daging bakar.

Dengan berjalan tertatih-tatih, akhirnya dia menemukan sebuah perapian kecil, lengkap dengan daging bakarnya. Tidak terlalu besar, tapi setidaknya bisa mengisi perutnya yang belum terisi apa pun lima hari ini. Ia ingat makanan yang terakhir kali ia makan, adalah buah-buahan yang ia temui ketika masih dalam pendakian. Ia pun tidak sengaja menemukannya.

Tangan Danu meraih daging yang ditusuk menggunakan sebuah kayu kecil itu, lalu meniup-niupnya perlahan. Bau semerbak semakin menambah lapar perut Danu. Tapi ketika Danu bersiap untuk menggigit daging itu...

“Heh, siapa yang menyuruhmu memakannya? Apakah aku menyiapkannya untukmu?” Suara berat itu muncul kembali.

Danu geram. Tapi benar-benar perutnya berkata lain. Akhirnya Danu berkata lebih sopan. “Rangkasa, aku sudah lima hari tidak makan. Tidak bisakah kau memberikan daging kecil ini untukku?”

“Kamu menginginkannya?” tanya Rangkasa.

“Iya.”

“Usaha sendiri. Kau masih muda, mempunyai tenaga yang cukup untuk mencarinya sendiri,” sahut Rangkasa.

“Ayolah, Rangkasa yang menyebalkan! Tidak bisakah kau memberikan daging ini barang setengah? Aku sungguh lapar.”

“Sekali tidak bisa tetap tidak bisa. Jika mau, kau bisa mencarinya sendiri,” tukas Rangkasa sembari merebut paksa daging dari tangan Danu. Lalu memakannya perlahan-lahan. Danu hanya bisa menggigit bibir, menelan ludah.

“Bisakah kau meminjamkan busur panah itu kepadaku, Rangkasa? Aku akan mencarinya sendiri!” kata Danu, menunjuk busur panah yang tergantung di punggung Rangkasa.

“Nah, itu ide lebih baik dari pada menjadi seorang pengemis,” sahut Rangkasa, melepas tali busur panah itu dengan satu tangan, tangan satunya memegang daging, melemparkan busur panah itu sembarangan kepada Danu. Danu menerimanya.

 Danu berjalan menjauh dari Rangkasa yang tengah melahap daging bakarnya. Danu hanya bisa menelan ludah ketika Rangkasa menjilati tangannya.

Mata Danu menerawang jauh ke atas, mencari sekiranya ada burung yang melintas. Beberapa kali pula dia memeriksa pohon beringin, barangkali ada hewan yang bisa di makan.

Sampai Rangkasa selesai makan, Danu belum juga mendapatkan apa pun. Sebenarnya banyak burung-burung yang melintas, tapi selalu luput dari anak panahnya.

“Nah, itu!” seru Danu.

Tangan Danu menarik tali busur panah dengan kekuatan penuh, menanti seekor burung melintas tepat di atasnya. Dan ketika burung itu tepat di atasnya, segera Danu melepas tali busur, anak panah melesat dengan kekuatan penuh.

Wush...

“Ah, sial,” gerutu Danu.

Lagi-lagi anak panah hanya mengenai ruang kosong, kemudian jatuh dari lereng entah ke mana. Danu hanya melihat dari atas bahwa anak panah itu meluncur bebas. Entah sudah berapa anak panah yang ia biarkan terjun bebas.

“Hei, kau bodoh sekali dalam hal memanah. Sudah berapa anak panah kau biarkan hilang?” ujar Rangkasa dengan suara beratnya. Dia berjalan menghampiri Danu yang masih berusaha menyasar burung-burung yang beterbangan di atasnya.

“Sebenarnya aku juga tidak menginginkan hal tersebut, Rangkasa! Tapi perutku yang mengatakan demikian,” sahut Danu.

“Sini!” Rangkasa merebut paksa busur panah dari tangan Danu.

“Keparat.” Danu menggerutu.

“Rupanya kau tidak sehebat kata-katamu.” Rangkasa mencibir. Kepalanya mendongak, matanya awas, mengamati burung-burung di kejauhan yang akan terbang di atasnya.

Danu diam. Meskipun tidak suka, tapi memang keadaannya begitu. Urusan memanah memang Danu tertinggal.

“Nah, itu!” seru Rangkasa.

Matanya menatap tajam seekor burung yang akan melintas di atasnya. Itu adalah burung pertama yang melintas setelah Rangkasa merebut paksa busur panah dari Danu.

Wush...

Nah, itu adalah sebuah bidikan yang sangat tepat. Seekor burung berbulu putih keabu-abuan jatuh tepat di hadapan Danu. Beberapa saat burung itu menngerjat-ngerjat, anak panah tepat menancap di dadanya.

“Nah, ambillah dan panggang!” kata Rangkasa.

Danu geleng-geleng kepala. Rangkasa sudah berapa lama belajar memanah? Begitu maksud Danu. Tangan Danu segera mengambil burung yang sudah benar-benar mati. Mencabut anak panah dari dadanya, lalu membuang anak panah itu ke bawah lereng.

“Keparat! Seharusnya kau bisa membersihkan dan menggunakannya lagi!” bentak Rangkasa dengan suara beratnya.

Danu menyengir lebar. “Maaf, lupa, Tuan Rangkasa!” kata Danu sembari terus berjalan menuju perapian yang masih mengeluarkan asap. Rangkasa mengibas-ngibaskan jubah hitamnya yang terkena debu.

Bau semerbak mulai tercium. Danu tengah memanggang daging burung yang dibidik oleh Rangkasa. Lalu Rangkasa memberikan beberapa daun yang ditumbuk dengan batu kepada Danu. Mungkin itu adalah dedaunan yang digunakan sebagai pengganti bumbu asli.

“Sebenarnya alam sudah menyiapkan segalanya untuk manusia. Hanya saja, manusia itu bisa memanfaatkannya atau tidak,” kata Rangkasa yang duduk tidak jauh dari perapian.

“Iya, aku setuju denganmu, Rangkasa!” sahut Danu.

“Seperti kamu yang berkali-kali gagal memanah burung, padahal alam telah menyediakan begitu banyak burung kepadamu!” ejek Rangkasa. Tapi itu memang benar adanya.

“Keparat! Itu hanya sebuah awalan. Aku tidak pernah belajar memanah sebelumnya, Rangkasa!” elak Danu.

“Tidak usah banyak bicara! Segera selesaikan makananmu, sebentar lagi aku akan kedatangan tamu tidak diundang!” ujar Danu.

Salah siapa mengajak bicara? Batin Danu.

Tapi, siapakah tamu tidak diundang yang dimaksud oleh Rangkasa? Itulah pertanyaan Danu sekarang.

“Siapa yang kau maksud tamu tidak diundang itu, Rangkasa?” tanya Danu sembari menggigit daging bakarnya. Lahap sekali dia.

“Sudah aku bilang jangan banyak cakap,” sahut Rangkasa. Datar.

Danu mangut-mangut. baiklah. Begitu maksudnya. Dia mempercepat pekerjaannya. Satu, karena ia sangat lapar dan daging burung itu sungguh lezat. Dua, demi mendengarkan penuturan Rangkasa yang sepertinya serius.

Kabut mulai menipis, Danu telah selesai makan, tapi tamu tidak diundang yang dimaksud oleh Rangkasa belum juga datang.

“Sebentar lagi!” kata Rangkasa seperti mengetahui isi pikiran Danu. Mereka tengah duduk di atas sebuah batu lebar di bawah pohon beringin.

“Tapi omong-omong, Rangkasa,” kata Danu. “apakah kau tidak punya air untuk minum?”

“Sudah aku katakan bahwa alam menyediakan semuanya untuk manusia. Carilah di sekitar sini pasti ada.”

Mata Danu memelotot. Tapi baiklah, dia akhirnya berdiri mencari sumber air. Dia berjalan menuju semak-semak tepian jurang. Barangkali di sana ada air.

Sia-sia. Tidak ada air di sana. Selanjutnya Danu memanjat pohon beringin itu. Ia berpikir barangkali ada air sisa-sisa hujan yang mengisi rongga-rongga pohon beringin. Namun lihatlah apa yang Danu dapatkan, hanya sebuah kekecewaan.

“Aku menyerah, Rangkasa!” kata Danu. Dia berjalan kembali mendekati Rangkasa yang tengah membaca-baca sebuah lembaran kusam.

“Bodoh!” sergah Rangkasa. “Lihat itu!” Tangan Rangkasa menunjuk sebuah akar yang sering Danu gunakan untuk memanjat tebing ini beberapa hari lalu. “Ke sanalah, cepat!” Perintah Rangkasa.

Danu menurut saja dengan perintah Rangkasa. Dia berjalan menuju posisi sebuah akar berada. Akar itu berwarna cokelat tua, seukuran tangan orang dewasa. Tiba-tiba ketika Danu sudah berada setengah meter dari akar cokelat, sebuah anak panah mendesing.

Wush...

Tepat. Anak panah itu menancap pada akar cokelat.

“Cabut anak panah itu, Anak bodoh!” kata Rangkasa, dengan suara beratnya.

Pelan-pelan Danu mencabut anak panah itu. Ketika anak panah berhasil dicabut, dari lubang bekas anak panah  mengucur perlahan air bening. Airnya dingin.

“Nah, minumlah itu!” kata Rangkasa datar.

Cepat-cepat Danu melepaskan dahaga. Dia minum banyak sekali air dari lubang anak panah pada akar cokelat. Sampai dia puas, air itu tetap mengalir. Bagaimana cara menghentikannya? Akhirnya Danu menutupnya dengan sebuah kerikil.

Belum selesai Danu menutup lubang pada akar, lamat-lamat telinganya mendengar suara yang asing di telinganya.

“Selamat siang, Rangkasa! Selamat siang kakek tua yang sungguh menyebalkan! Aku datang kemari untuk mengantarkanmu ke neraka!”

Danu menoleh. Tubuhnya mematung. Matanya menatap sosok yang datang itu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
batik mida
knpa kta keparat sllu ada,,,mau mc atau lwan bicaranya ko kta kprat itu sllu ada,,gk hbis pikir,,,
goodnovel comment avatar
Indo Smart
Ini gambaran masyarakat Indonesia sekarang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Serat Agung

    “Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.“Lalu sek

    Last Updated : 2021-11-24
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Diana

    Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu. Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami. Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah. Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk me

    Last Updated : 2021-11-24
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Satu Janji

    “Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,

    Last Updated : 2021-11-24
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Senyuman

    Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann

    Last Updated : 2021-12-01
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Selendang Kehidupan

    Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal

    Last Updated : 2021-12-02
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Dendam Lama

    “Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?

    Last Updated : 2021-12-03
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Lembaran Baru

    Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k

    Last Updated : 2021-12-03
  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Teman Atau Kawan

    “Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses

    Last Updated : 2021-12-03

Latest chapter

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Titihan Putri Anjasmara

    Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Putri Anjasmara

    Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Perhatian Yang Hilang

    Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Sebuah Keharusan

    Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Maukah Kau Menjadi Raja?

    Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Mendapatkan Pembenaran

    Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Berjumpa Dengan Diana

    Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Kesempatan Terbesar

    Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,

  • Pendekar Gunung Tiga Maut   Pertarungan Tengah Malam

    Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se

DMCA.com Protection Status