Matanya mengerjap-ngerjap, hampir tiga jam pemuda itu tidak sadarkan diri. Rembulan tampak mengulurkan sinar kekuningannya dari celah-celah daun beringin. Hewan malam bernyanyi, terdengar menggema ke segala arah.
“Uhuk... uhuk...” Pemuda itu terbatuk.
Dia teringat bahwa beberapa waktu lalu ada yang menyerangnya. Anak panah. Pemuda itu ingat bahwa anak panah terakhir tepat mengenai perutnya. Tangannya meraba-raba perut yang terkena anak panah. Aneh, tidak ada bekas luka. Namun, rasa nyeri masih sedikit terasa.
“Akhirnya kau bangun juga, Anak muda!” Terdengar suara berat dari pohon beringin besar itu. Sosoknya keluar beberapa saat selanjutnya. “Kau sudah terlalu lama mengotori tempat suciku.”
Mata pemuda itu menyelidik. Siapa gerangan pemilik suara berat itu?
“Siapa namamu? Dan apa tujuan burukmu?” orang itu kembali berkata. Suaranya berat dan dalam.
“Setinggi apa derajatmu sehingga kau berani bertanya nama dan tujuanku?” tanya pemuda itu. Matanya menyelidik, berusaha bangun dari posisi terbaring.
“Hahaha! Aku harus mengakui bahwa kau mempunyai bekal mental yang cukup, Anak muda! Tidak ada salahnya kita berkenalan!” kata suara berat itu.
“Tapi sayangnya diriku terlalu murahan jika hanya mengenalmu. Manusia tidak jelas asal-usulnya,” sahut pemuda itu.
Sosok dengan suara berat itu sedikit tersinggung. Matanya memelototi pemuda itu beberapa saat, lalu berkata, “Apakah kau tidak ingat siapa yang membuatmu tersungkur dan tidak sadarkan diri?”
Demi mendengar itu, sang pemuda diam beberapa saat, mempertimbangkan situasi. “Ah, itu karena kamu pengecut. Aku tidak membawa senjata apa pun, dan kau membawa busur panah, ditambah dengan aku tidak tahu di mana posisimu.”
“Perkataan seperti itu adalah alasan untuk manusia-manusia yang lemah, menyalahkan lawan. Cobalah berpikir apakah kau akan selalu mengatakan bahwa lawanmu pengecut ketika kau tidak mengetahui di mana ia berada?” kata sosok itu. Kakinya berjalan ringan, berputar-putar tidak jauh dari pohon beringin.
Sepi. Pemuda itu terdiam. Sesekali angin malam menyapu tubuh mereka, sekalian pepohonan di sekitarnya. Rembulan timbul tenggelam di balik awan-awan hitam tipis. Udara dingin.
“Baiklah, rasanya tidak buruk juga berkenalan denganmu. Namaku Danu. Siapa kau?” kata pemuda itu.
Beberapa saat lengang, sosok itu tidak langsung menjawab. Dia mendekati pemuda yang menamakan diri dengan Danu. Danu waspada.
“Aku Rangkasa.” Suara berat dan dalam itu memperkenalkan diri. “Namamu tidak terlalu buruk, Danu! Sepadan dengan keberanian yang kamu miliki.”
“Apa maksudmu?” tanya Danu.
“Ah, aku tidak bermaksud apa-apa. Tapi, sepertinya kau lupa dengan pertanyaanku yang satu lagi!” kata Rangkasa.
“Oh, benarkah? Apakah aku harus mengatakan tujuanku pula kepada manusia yang baru saja aku kenal, yang hampir saja membunuhku?” Danu berdiri. Tubuhnya telah kembali tegap. Rasa sakit pada perutnya telah hilang.
“Baiklah, sepertinya kau terlalu keras kepala, Danu. Baiklah! Baiklah! Aku tidak akan bertanya apa tujuanmu. Sekarang, pergilah dari tempatku ini!” kata Rangkasa dengan penuh penekanan pada kalimat-kalimat terakhirnya.
Mata Danu memelototi Rangkasa. “Apakah kali ini aku tidak bisa meminta kemurahan hatimu?” kata Danu. Dia berjalan mendekati Rangkasa yang tengah berdiri tegap.
Rangkasa tertawa keras-keras. Suaranya dalam dan berat. Malam sunyi dan tebing yang begitu tingginya membuat suara Rangkasa menggema. “Aku kira kau tidak bisa memohon kepada manusia lain, Danu!” katanya mencibir.
Dalam hati Danu menyumpahi Rangkasa dengan berbagai sumpah. Namun untuk yang satu ini, dia harus merendahkan diri di hadapan Rangkasa. Jika dia memaksa untuk melanjutkan pendakian pun hasilnya akan sia-sia, bahkan lebih mengarah pada bunuh diri.
“Untuk yang satu ini aku harus memohon dengan hormat sebuah kemurahan hati dari Rangkasa.” Danu memperbaiki cara bicaranya, lebih sopan dan lebih halus.
“Tidak semudah itu, Anak muda!” sahut Rangkasa. “TERIMA INI!” teriak Rangkasa. Tubuhnya terangkat dua meter dari tanah.
Danu kaget. Matanya terbelalak. Apa yang akan Rangkasa lakukan? Itu adalah pertanyaan Danu sekarang.
Tubuh Rangkasa kembali memijak tanah. Sebuah kuda-kuda yang kokoh dan sulit untuk dirobohkan. Sesaat kemudian Rangkasa menarik nafas dalam-dalam. Tangannya mengepal, kaki tanpa alas itu mencengkeram tanah, bergerak memutar sedikit ke depan. Debu mengepul, remang-remang disinari oleh cahaya rembulan. “Bersiaplah!” Suara itu bertambah berat dan dalam.
Setelah Danu mengerti apa yang akan terjadi, dia mulai memasang kuda-kuda. Tapi belum genap kakinya mencengkeram tanah, Rangkasa telah mengirimkan serangan pertama. Tubuhnya terbang satu meter dari tanah. Tangan kanannya mengepal, menyasar dada Danu.
Tangan Danu susah payah menepisnya, tapi berhasil. Serangan pertama Rangkasa berhasil Danu belokkan.
Danu sekarang lebih siap dengan serangan. Dia memilih untuk menunggu, memasang kuda-kuda sekuat mungkin. Beberapa saat serangan selanjutnya datang.
Tanpa banyak bicara, Rangkasa menghentakkan kakinya ke tanah, memutar-mutarnya. Debu mengepul di sinari remang-remang cahaya kekuningan rembulan. Tangannya mengepal. Beberapa saat berikutnya tubuhnya terangkat, kepalan tangannya menyasar dada Danu. Dengan mudah Danu menepisnya.
“Seharusnya dari awal aku menyadari kekuatanmu, Anak muda! Kau berhasil mendaki tebing Gunung Tiga Maut sampai sejauh ini.” Rangkasa berkata dengan suara beratnya. “Tapi tidak ada salahnya kita bermain-main. BERSIAPLAH!” teriak Rangkasa dengan suara beratnya.
Pertarungan jarak dekat tidak dapat dihindari. Danu meladeni Rangkasa dengan tepisan-tepisan. Dia memilih untuk mengamati cara bertarung lawannya terlebih dahulu. Menyusun rencana terbaik untuk melakukan serangan.
Tangan kanan Rangkasa memukul dari samping, Danu menepisnya dengan baik. Sekarang tangan kiri Rangkasa yang menyerang dari samping. Lagi-lagi Danu menepisnya dengan baik.
Sekarang Rangkasa tidak hanya menggunakan tangan, tapi kedua kakinya mulai beterbangan menyasar tubuh Danu. Sungguh cepat serangan kaki itu. Danu hampir saja kewalahan.
Buk...
Satu tendangan kaki mendarat dengan mulus dari arah depan, mengenai dada Danu. Tubuh Danu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tapi beberapa saat berikutnya tubuh Danu kembali berdiri tegap.
Beberapa saat berikutnya datang, menyasar dada Danu kembali. Kali ini Danu lebih siap. Tangannya membentuk tameng, dan berhasil menghentikan tendangan Rangkasa. Berikutnya serangan datang dari kepalan tangan Rangkasa. Kiri, kanan, samping, depan, semua berhasil Danu tangkis dengan baik. Itu yang membuat Rangkasa sedikit geram.
“Hai, Anak muda, kenapa kau hanya diam menangkis? Apakah kau tengah kelaparan?” kata Rangkasa. “Ah, rasanya energi tangkisanmu masih cukup kuat, jelas kau tidak kelaparan.”
Danu hanya tersenyum tipis, tidak tertarik untuk menanggapi.
“Atau... hahaha...” Rangkasa tertawa keras-keras dengan suara beratnya. “kau ingin mempelajari teknik menyerangku? Itu hebat, Anak muda. Tapi, itu tidak akan berlaku jika kau tengah bertarung denganku.” Jubahnya melayang-layang rendah diterpa angin malam.
“Sepertinya Rangkasa bukan manusia biasa,” bisik Danu kepada dirinya sendiri.
“Apa? Kau gentar menghadapiku?” bentak Rangkasa.
Itulah yang sangat tidak disukai oleh Danu, diremehkan, apalagi sampai ada yang menghinanya. Dia keras kepala.
“Jangan sebut aku Danu Amarta jika ada manusia yang menghinaku bisa tertawa lepas!” kata Danu, suara penuh penekanan.
“Oh, nama yang indah. Danu Amar...”
Belum selesai Rangkasa mengulangi nama lengkap Danu, dari arah depan Danu telah mengirimkan serangan pertamanya. Tangannya mengepal, tubuhnya terbang satu meter dari tanah. Menyerang Rangkasa.
“Benar keras kepala sekali anak ini!” ucap Rangkasa lirih kepada dirinya sendiri.
Tangan Danu mengepal keras bagai batu pegunungan, menyasar wajah Rangkasa. Tapi Rangkasa lebih dari siap untuk menangkis pukulan Danu. Rangkasa mengepalkan tangannya, menghadang pukulan Danu dengan pukulan. Dua pukulan bertemu di udara. Senyiur angin menyelimuti.
Setelah serangan pertama tidak berhasil, Danu kembali mengepalkan tangannya, memukul dari arah kanan. Pukulan itu berhasil ditangkis oleh Rangkasa. Kiri, juga demikian. Kaki Danu mulai terangkat, menendang-nendang tubuh Rangkasa. Tapi semua berhasil Rangkasa tepis.
Rangkasa tengah menaikkan level tenaga dalamnya. Memasang kuda-kuda, benar-benar kokoh. Jubahnya beterbangan diterpa angin malam. Bayangan tubuh Rangkasa terpampang jelas di tanah oleh remang-remang cahaya rembulan. Senyiur angin tertiup, daun-daun beringin bergerak.
“HA...” teriakan Rangkasa terdengar menggema, mengalahkan deru hewan malam yang tengah bernyanyi. Angin semakin bertiup kencang.
Kedua tangan Rangkasa mengarah ke depan, menyasar tubuh Danu dari jarak tiga meter. “HA...” sekali lagi Rangkasa berteriak. Kali ini beriringan dengan menaiknya debu-debu yang terkena hempasan angin pukulan kedua tangan Rangkasa.
Tubuh Danu melenting ke belakang, kuda-kudanya tidak mampu menahan angin pukulan Rangkasa. Bahkan tubuh Danu terangkat dua meter dari tanah, melayang ke belakang. Danu tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Meskipun Danu mempunyai kemampuan untuk meringankan tubuh, tapi itu tidak akan membantu banyak jika dia jatuh dari tebing itu.
Rangkasa mengeluarkan pukulan kedua kalinya. Angin bertiup lebih kencang. Jubahnya melayang-layang diterpa angin, rembulan bersinar terang. “HA...” sekali lagi Rangkasa berteriak.
Debu mengepul, beterbangan, berputar-putar. Tubuh Danu yang masih melayang di udara harus pasrah menerima angin pukulan kedua kalinya dari Rangkasa.
Bum...
Angin itu tepat mengenai sasaran. Tubuh Danu melayang tujuh meter dari tanah, selanjutnya terjun bebas dari tebing. Benar-benar tidak ada yang dapat menyelamatkan Danu sekarang ini. Kemungkinan paling ringan adalah tubuhnya terbelah menjadi dua, minimal kepalanya terputus, terbentur bebatuan di bawah sana. Empat ratus meter.
“A... keparat kau, Rangkasa!” teriak Danu. Suaranya menggema, tapi tubuhnya telah hilang, terjun bebas ke bawah.
Lereng itu tengah diselimuti kabut. Sayup-sayup cahaya matahari pagi menerobos dedaunan. Daun pohon beringin itu hampir menyentuh tanah. Dari bawah sana terdengar kokokan ayam. Tentunya itu adalah ayam hutan. “Uhuk... uhuk...” Danu baru saja terbangun dari tidurnya. Tidur? Ah, entahlah, pingsan atau tidur. Seingatnya tadi malam dia bertarung hebat dengan Rangkasa, sosok tua yang sepertinya menghuni terasering lereng itu. Lalu Rangkasa mengeluarkan jurus hebat, memukul angin, lebih memukul dengan angin. Tubuhnya terangkat oleh angin pukulan Rangkasa. Lalu, terjun bebas. Kemudian... “Ah, kenapa aku berada di tempat keparat ini lagi?” Danu tersadar dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa dia sekarang kembali berada di sebuah lereng terasering, dengan pohon beringin yang daunnya hampir menyentuh tanah. Matanya memandang sekeliling, tidak ada orang. “Ke mana Rangkasa keparat itu pergi?” kata Danu melampiaskan geramnya. Dia berusaha bang
“Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.“Lalu sek
Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu. Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami. Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah. Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk me
“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se